KODE-4

Wednesday, February 21, 2007

Sekolah Air Mata


OLEH Nasrul Azwar

Namanya Dimas Gumilar Taufik, siswa SMA kelas II IPS Sandy Putra, Bandung. Matanya tampak memerah dan berkaca-kaca menyiratkan sesuatu yang tidak sulit untuk dimaknai. Dia berdiri dalam barisan bersama temannya. Dia gelisah. Tiap sebentar menoleh kiri-kanan.
Saat yang sama, di lapangan Kiarapayung, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melangkah menuju podium. Dia akan memberi sambutan pembukaan Jambore Nasional 2006, Minggu, 16 Juli 2006.
Setelah Presiden berdiri dan tersenyum di podium khusus yang dibawa dari Jakarta, Dimas Gumilar Taufik berlari meninggalkan barisan pramuka. Tak seorang pun yang mengetahui apa yang akan dilakukan siswa ini. Sesampainya di podium, dia langsung menyerahkan sebuah map putih kepada Presiden tanpa berkata-kata. Malu, tapi harus dilakukan. Aksi mengejutkan ini ternyata luput dari pengawasan pasukan pengamanan presiden (paspampres).
Ada apa gerangan? Menapa Dimas begitu nekat menghampiri presiden? Apa yang diinginkannya? Ternyata aksi yang dilakukan Dimas hanyalah meminta bantuan biaya sekolah kepada Presiden. Dimas Gumilar Taufik mengatakan, dirinya sangat ingin sekolah dan menuntut banyak ilmu. Apa mau dikata kedua orangtuanya menganggur tanpa pekerjaan. Dirinya bingung hendak meminta bantuan pada siapa. Saudaranya juga sama-sama susah dan miskin.
Aksi siswa cerdas dan aktif ini, memang sengaja dilakukannya dan sudah dipersiapkan sebelumnya. Terbetik pikiran menyampaikan masalahnya langsung kepada Presiden. Toh bukan aksi kejahatan, bukan pula salah kirim. Ia berikan langsung kepada Presiden, karena di tangannyalah nasib pendidikan jutaan anak bangsa, termasuk dirinya.
Tidak sesuai prosedur? Memang, tapi ia sadar jika sesuai prosedur, suratnya tidak akan sampai ke tangan Presiden.
Presiden kaget, memang, menerima surat tersebut. Namun dengan bijak ia menerimanya dan ia simpan untuk ditindaklanjuti. Namun sampai kapan akan disimpan kita, tidak tahu, jikapun ternyata ditindaklanjuti dan dibantu biaya sekolahnya.
Sepenggalan kisah itu di-posting seorang wartawan radio Dakta 107 FM Bandung di mailing list jurnalisme. Dimas Gumilar Taufik reprsentasi satu dari sekian puluh juta anak Indonesia yang miskin. Dapat dibayangkan, bagaimana repotnya seorang Presiden jika semu siswa dan anak Indonesia meniru apa yang dilakukan Dimas. Di Sumatra Barat, hal serupa—sepanjang informasi yang saya dapat—belum pernah terjadi. Tapi, mata tak dapat ditutup, kondisi yang persis dengan Dimas Gumilar Taufik tidak sedikit jumlahnya. Barangkali, jumlahnya tegak lurus dengan jumlah penduduk miskin di Sumatra Barat: data resmi dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat mencapai 20% dari jumlah penduduk daerah ini.

***

Pendidikan di Indonesia adalah dunia ironis. Paradoks. Juga menyebalkan. Sisi alokasi dana di anggaran pemerintah, sektor ini terbilang sangat besar. UUD 1945 menuntut 20% dari total anggaran, walau belum terpenuhi. Taruhlah, rata-rata setiap provinsi di Indonesia mengalokasikan dana untuk pendidikan 10% (termasuk Sumatra Barat APBD 2007 diproyeksikan lebih 10% dari Rp 1,3 triliun). Lebih kurang Rp 130 milyar lebih untuk tingkat provinsi, dan belum terhitung di kota, kabupaten, dan pusat dalam APBN-nya.
Dana yang mengalir di sektor ini sangat melimpah. Persis dengan “melimpahnya” jumlah anak didik yang tak bisa menikmati pendidikan secara benar, tersebab karena miskin.
Selain itu, dana “membanjir” tak menutup kemungkinan korupsi bak air bah di tubuh institusi pemerintah ini. Semenjak hulu hingga hilir, sudah jadi buah bibir, sebut saja satu sektor, misalnya pengadaan buku-buku bacaan penunjang pendidikan pelbagai jenjang, korupsi dan pembengkakan anggaran menjadi menu setiap proyek.
Sementara, Dimas Gumilar Taufik dan sekian juta lainnya, meneteskan air mata saat hendak menuju sekolahnya, karena ia tak mampu membeli buku dan seragam. Mereka malu. Malu pada dirinya, tapi riwatat seperti ini selalu berakhir dengan kejayaan. ***

No comments:

Post a Comment