KODE-4

Friday, February 16, 2007

Kongres Mencari Ketiak Ular

OLEH Nasrul Azwar

Tanggal 28-30 November 2006, budayawan, intelektual, cendekiawan, dan aktivis budaya Minangkabau—dan jika Tuhan memberi mereka umur panjang—berkumpul selama 3 hari di sebuah hotel di Kota Padang untuk membincangkan kebudayaan dan adat Minangkabau. Nama acaranya: “Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau”. Alasan diadakan kongres ini, mengutip Darman Moenir, karena belum adanya tolok ukur yang kuat dan proporsional untuk dijadikan modal dan model ideal—kebudayaan Minangkabau.

Aduh, lewat alasan yang terkesan ilmiah—tapi juga mengada-ada ini—agaknya ada sebuah motif yang disurukkan. Namun, sebelum menelisik apa motif itu, yang pertama terlihat, dari lasan itu, ialah cara berpikir yang terkilir. Kebudayaan (Minangkabau) kembali hendak dikonstruksi oleh segelintir orang yang sering merasa dirinya paling terdidik dan cerdas dibandingkan mayoritas kita yang kaum badarai ini. Elitisme ini, dengan sendirinya, menjadikan kebudayaan (Minangkabau) yang hendak dikonstruksi itu elite—atau bisa digolongkan bagian dari produk “feodalisme baru”. Tanpa harus bertele-tela, jelas konstruksi kebudayaan yang akan dihasilkan itu jadi bertabrakan dengan konseptual keminangkabauan yang demokratis dan egaliter.

Satu lagi, alasan tentang tiadanya “tolok ukur” terkesan alasan yang dicari-cari. Namun, terlepas dari itu, ketika “kaum priyayi” baru itu mulai memikirkan tentang sebuah “tolok ukur”, maka seiring itu mereka sesungguhnya sedang menggagas satu model uniformitas, sebentuk penyeragaman dan sejenis pengebirian. Kebudayaan sudah harusnya dibiarkan hidup dalam keberagaman “tolok ukur”, terkecuali kalau kita masih hidup dalam era istana sentris, era di mana segala hal memusat di satu tangan.

Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau ini, dilihat dari jadwal yang telah disusun, tidak menawarkan sesuatu gagasan yang baru yang dapat ditawarkan dalam kebudayaan Minangkabau. Meski terkesan bombastis dan penuh slogan, tema-tema yang diangkat dalam panel kongres masih terkesan normatif. Saya berangggapan, kongres ini, seperti kongres-kongres yang lain, tidak lebih dari pada sebuah upaya legitimasi bagi kepentingan-kepentingan yang tersuruk. Tanpa mengurangi rasa hormat pada penyaji makalah, tema-tema yang akan dibentangkan dalam kertas kerja ini memang berusaha untuk mencari arah perkembangan, semacam obsesi yang tak kunjung datang.

Tulisan Darman Moenir yang dimuat Harian Singgalang (Minggu, 12 November 2006)—mempertegas kesan bahwa pemegang teguh kebudayaan Minangkabau adalah perantau, sebaliknya masyarakat yang berada di Sumatra Barat, cenderung dinilai tidak lagi berada dalam konstruksi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Maka, kongres diharapkan memberikan solusi yang ideal menyangkut soal ini. Pola dan cara memberi stigma—dengan sangat kentara melemahkan posisi dan peran anak nagari di Minangkabau—membesarkan dan menghebatkan urang rantau sebagai pemegang teguh budaya dan adat Minangkabau. Simpul budaya dan adat Minangkabau membesar karena kuatnya posisi nagari-nagari di Minangkabau, bukan posisi keberadaan perantau Minang. Pengecilan makna dan posisi nagari seperti itu jelas sebuah cara berpikir yang sangat keliru.

Namun apa yang sebenarnya akan dicari? Atau inilah kongres mencari ketiak ular itu. Mencari yang tak jelas keberadaannya, atau memang tak pernah ada. Apa yang tidak ada itu, mungkin saja konsepsi, orientasi, diskontinuitas, dan praktik budaya Minangkabau. Inilah kondisi zaman kini, kongres yang diperuntukkan mempertemukan para fungsionaris ninik mamak, alim ulama, dan pengamat budaya/agama), yang difasilitasi dengan baik oleh pemerintah dengan segala fasilitasnya. Mungkin agak berbeda dengan “kongres” yang diadakan oleh para peneruka adat dan budaya Minangkabau dulu. Sekadar untuk membandingkan, semoga saja para peserta kongres ini teringat pada ‘kongres-kongres’ yang pernah dilakukan dulu. Tidak hanya sekadar ikut merayakan fasilitas dan kucuran dana dari pemerintah.***

No comments:

Post a Comment