KODE-4

Friday, February 16, 2007

Memormat Alas Bakul Pandidikan di Sumatra Barat

OLEH Nasrul Azwar

Secara nasional, kondisi mutu pendidikan dari laporan terakhir serta tingkat partisipasi publik Sumatra Barat terhadap dunia pendidikan termasuk paling rendah. Perbandingan demikian bisa kita baca dari data-data jumlah sekolah negeri dan swasta. Jumlah sekolah negeri lebih banyak dibandingkan dengan sekolah swasta. Dan bahkan, ada beberapa sekolah swasta yang ingin dinegerikan. Jumlah yang cukup signifikan dan mencolok terlihat dalam rentang tahun 1970-1990-an. Persoalan ini akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan Jakarta atau Bandung. Justru partisipasi publik bagi pembagunan dunia pendidikan meningkat, tentu, terlepas dari kualitasnya.

Namun demikian, secara umum, permasalahan pendidikan secara makro hampir sama di semua daerah di Indonesia, dan telah menjadi problem klasik, yakni persoalan kualitas pendidikan, tingkat kesejahteraan pendidik, dan media informasi yang teringgal dari negara lain.
Jika ditelusuri lebih jauh, memang sejarah mencatat publik Minangkabau pada masa dulunya terdepan dalam soal pemikiran dan sumber daya manusianya. Partisipasi publik dalam pendidikan cukup tinggi, dan itu terlihat dari gambaran tokoh-tokoh pemikir yang berpengaruh yang muncul di tingkat nasional dan internasional. Pasca-PRRI, sejarah mencatat lagi, nyaris tidak ada lagi pemikir yang punya integritas yang memadai yang muncul dari daerah Sumatra Barat.
Bagi publik yang berada di luar komunitas Minangkabau, hal semacam ini bukan rahasia umum lagi. Namun, sebagian komunitas Minangkabau yang masih kepincut dengan kebesaran masa lalu, agaknya sulit mengakui kondisi faktual itu. Lalu, mereka yang sulit mengakui kekurangan dan lemahnya sumber daya manusianya, melemparkan kesalahannya pada sistem kebijakan pusat yang sentralistik, termasuk mengatur secara terpusat sistem pendidikan itu. Dan juga yang acap mencari kambing hitam adalah persoalan dana yang sedikit dianggarkan.
Kembali pada partisipasi publik terhadap pendidikan. Pada era 1970-1990-an, seperti disinggung di atas, partisipasi publik terhadap pendidikan dinilai rendah, dan tertinggal dari daerah lain. Akan tetapi, lepas era itu, tampaknya Sumatra Barat berbenah diri. Kini, Sumatra Barat termasuk daerah dengan angka partisipasi kasar pendidikan yang cukup baik. Tingkat partisipasi publik dalam tingkat SLTP sudah mencapai 83%, dan ini memosisikan Sumatra Barat sebagai salah satu dari 5 provinsi yang mampu mencapai angka tersebut: yaitu DKI Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan Sumatra Utara.
Data statistik menurut versi depdiknas ini tentu memperlihatkan antusias publik terhadap pendidikan cukup tinggi dan melegakan. Paling tidak, “imej” yang melekat selama ini tentang Minangkabau sebagai “gudang otak” sedikit terobati. Namun, benarkah demikian? Coba dilihat data yang agak detil perbandingan partisipasi publik di daerah-daerah di Sumatra Barat?
Kabupaten Pasaman, partisipasi publik baru mencapai 69% untuk SLTP, dan ada 31% anak-anak usia SLTP yang belum sekolah. Jika SMU-nya masih lebih sedikit. Untuk Kota Bukittinggi—yang telah punya sejarah panjang melahirkan tokoh-tokoh pemikir—partisipasi publik terhadap pendidikan cukup tinggi. Ini juga dipengaruhi karena banyaknya orang luar yang datang menuntut ilmu di Kota Bukittinggi ini. Jumlahnya cukup tinggi yaitu 174% untuk SMK. Tampaknya, Bukittinggi punya daya tarik tersendiri bagi orang luar untuk menimba. Akan tetapi, tampaknya, tingkat pastisipasi publik tidak sejalan dengan output dan kualitas dari manusia yang dihasilkan. Menurut Dr. Indra Djati Sidi, Dirjen Diknasmen Depdiknas RI, bahwa paradigma pendidikan berubah schooling ke learning. “Kini harus empower (memberdayakan), harus kompoten. Hubungan guru dan murid harus bagus, di luar kelas juga harus bagus. Kini sistem kita berubah dari government ke komunitas. Dan ini yang mesti dikembangkan,” kata Djati dalam makalahnya.
Ditambahkannya, ia melihat ada beberapa modal yang kuat yang ada di Sumatra Barat. Tingkat penuntasan wajib belajar kita sudah lebih 80%, jadi kuantitasnya bagus. Rasio guru dan murid cukup baik yaitu, SD 1: 22, SLTP/SMU 1: 16. Data-data ini sudah cukup bagus, tetapi masih terlihat kekurangan guru karena menumpuk di kota-kota besar, di desa kecil dan terpencil, minim sekali guru.
Virtual capital di Sumatra Barat, yaitu tradisi excellence. Maka Sumatra Barat, sesungguhnya bisa melakukan penguatan di bidang pendidikan, karena Sumatra Barat pernah punya masa lalu, punya tradisi, tapi jika tidak dibangkitkan ia akan hilang demikian saja.
Senada dengan Indra Djati Sidi, Basri. AS, mantan Kakanwil Depdiknas Sumatra Barat, mengatakan tidak sulit memperbaiki kondisi pendidikan di Sumatra Barat jika hal ini diiringi dengan political will dari Pemda Sumatra Barat. Jika kini Sumatra Barat masuk dalam ranking 5 secara Nasional, maka tidak tertutup kemungkinan daerah ini masuk ke ranking pertama. Dan jika belum dapat masuk, maka ada yang salah dalam sistem pendidikan di Sumatra Barat, serta perlu perbaikan.
Caranya seperti yang ditawarkan Basri. AS, dilihat critical point-nya. Dicari-cari titik-titik yang menjadi kelemahannya yang mengganggu peningkatan kualitas pendidikan. “Jika mungkin diharapkan DPRD mesti punya perhatian penuh terhadap masa depan pendidikan,” kata Basri dalam makalahnya.
Contoh paling aktual dan konkret tentang critical point itu adalah 70% guru Sekolah Dasar di Kota Padang hanya membawa gaji pulang setiap bulan sebesar 25% dari gaji yang mesti diterimanya. Apa yang bisa diharapkan dari gaji sekecil itu? Sementara tuntutan menyangkut kualitas pendidikan dan moral anak demikian besarnya diemban para pendidik.
Itu baru satu contoh dari sekian banyak kasus dan persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Sumatra Barat. Sesungguhnya, tidak sulit memecahkan persoalan itu. Paling tidak untuk Sumatra Barat, komponen-komponen pendidikan dan juga sumber daya manusianya cukup handal dan tidak jauh tertinggal dari daerah lain, baik itu guru, kepala sekolah, anak didik, serta pendidikan tinggi. Akan tetapi, yang jadi soal adalah komitmen itu sendiri.
Maka, soal sikap dan alas bakul dunia pendidikan perlu dibenahi dan diperjelas. Dunia pendidikan Sumatra Barat dalam berbagai hal bentuk pengembangannya selalu berorientasi proyek, dan semua kerja tanpa mempertimbangkan kualitasnya, selalu duit dan dan duit. Jika, korupsi erat kaitannya dengan mutu pendidikan, maka hal demikian bisa ditemukan di Sumatra Barat.
Dari pengalaman Basri AS selama menjadi Kanwil Depdiknas Sumatra Barat, tergambar bagaimana bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme yang tinggi, dan semua itu berorientasi uang. “Guru SD mau naik pangkat, guru SMP menghitung angka kredit, guru SMU mau apa? Kepala SD mau apa? Dan seterusnya, semua ada uangnya,” tutur Basri.
“Saat saya di Sumatra Barat, itu yang saya babat. Babatan saya mengarah ke saya. Saya yang dituduh korupsi. Dan saya berhasil menghentikannya? Guru-guru sering berkumpul di Kanwil, dan semuanya mengurus naik pangkat, pindah, dan lain sebagainya. Semua hal ini saya larang, tidak ada dibenarkan guru datang ke Kanwil. Kepala Sekolah yang tidak memperhatikan guru dipindahkan! Dengan pengawasan demikian, ketentuan dan peraturan bisa dijalakan,” katanya. Lebih lanjut dijelaskan Basri AS, pengawasan selama ini baik itu dari DPRD, Inspektorat, atau lembaga lainnya terkesan bersifat basa-basi.
Namun demikian, dari informasi yang berkembang menyangkut kualitas pendidikan Sumatra Barat secara umum, memang jauh tertinggal dari sekolah-sekolah di daerah lain. Salah satu contoh adalah SMU 3 Bandung. Lebih 3,7% output-nya diterima di ITB dan perguruan tinggi yang bagus lainnya. Dan untuk kasus SMU 3 Bandung dapat dijadikan bahan studi bagi pihak terkait di Sumatra Barat. Jika memang masyarakat Sumatra Barat punya keinginan memperkuat basis sebagai penghasil otak. ***

No comments:

Post a Comment