OLEH WISRAN HADI
Mustahil itu bisa terjadi! Bagaimana mungkin bisa diberikan gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh PRRI, ketika semua pikiran rakyat Sumatra Barat sampai hari ini masih menganggap bahwa pergolakan daerah yang disebut PRRI itu sebagai sebuah pemberontakan.
Dari sisi pemerintah pusat di Jakarta, memang pergolakan daerah seperti itu dianggap pemberontakan. Tapi dari sisi Sumatra Barat sendiri, apakah PRRI juga dianggap pemberontakan?
Bukankah kehadiran PRRI merupakan representasi keinginan rakyat Sumatra Barat terhadap sistem sentralistik Jakarta, dan keinginan untuk membagi kue pembangunan dan kekuasaan, antara daerah dan pusat berada dalam sebuah keseimbang yang adil?
Bukankah pergolakan tersebut merupakan cetusan kehendak dari keinginan untuk mendapatkan otonomi daerah, agar masing-masing daerah dapat membenahi dirinya menurut kemampuan yang ada di daerah tersebut?
Mungkin saat ini kita perlu kembali untuk mengkaji ulang tentang keberadaan PRRI. Dua rezim terdahulu; Soekarno dan Soeharto telah meluluh lantakkan keberadaan PRRI, baik secara fisik maupun politik, karena dianggap sebagai tandingan dari pemerintah pusat yang sah.
Kedua rezim terikat dengan pengertian kata PRRI, tetapi tidak memasuki esensi persoalan dengan lebih objektif. Ketika seorang wartawan sekaligus sastrawan Soewardi Idris menulis berpuluh cerita pendeknya tentang keterlibatannya dengan PRRI, dan berpuluh eseinya tentang pergolakan daerah tersebut, mungkin kita tersentak membacanya.
Sampai akhirnya kita dapat menemukan berbagai hal yang penting untuk keberadaan kita hari ini. Bahwa, pergolakan daerah yang merebak dan meletus begitu cepat dan padam begitu cepat pula, perlu mendapat apresiasi yang wajar.
Mungkin saja para tokoh PRRI masih terbelenggu dengan tudingan bahwa mereka adalah “pemberontak”, tetapi dari hari ke hari bahwa apa yang diperjuangkan para tokoh itu untuk mendapatkan otonomi daerah, untuk mendapatkan perlakuan yang pantas dan seimbang bagi setiap daerah di wilayah NKRI kian terasa dan nyata.
Apakah kita begitu teganya menghapus apa yang diperjuangkan para tokoh itu beserta rakyat Sumatra Barat dipinggirkan begitu saja, dihapus, tidak diapa siapakan lagi?
Sebagai sebuah mata rantai dari sejarah kebangsaan, peristiwa pergolakan daerah yang dimotori oleh PRRI tidak perlu disembunyikan. Jika pengkhiatan PKI terhadap republik ini makin hari makin dimaafkan, lalu kalau kita boleh membanding, seberapa benarlah “dosa” PRRI terhadap negeri ini dibanding dengan pengkhiatan partai komunis itu?
Sampai saat ini, baik pemerintah daerah mapun tokoh-tokoh politik selalu menghindar bila bicara hal-hal yang telah lalu.
Masalah PDRI dan masalah PRRI sama-sama dianggap sebagai “masa lalu” yang tidak perlu diungkit lagi, karena dianggap dapat menggelisahkan kedudukan beberapa tokoh-tokoh.
Begitupun tokoh-tokoh PRRI, yang tentunya mereka sudah banyak yang meninggal, tua renta, juga tidak dapat menjelaskan secara lebih gamblang kepada generasi berikutnya, kenapa mereka terlibat dalam “dosa” yang tidak dapat diampuni itu?
Dalam konteks ini, posisi Soewardi Idris sebagai “pembawa berita” dan “penyampai khabar” terhadap bagaimana kemelut itu dirasakan, dialami oleh rakyat Sumatra Barat sangatlah penting. Dua bukunya yang diluncurkan oleh TVRI Sumbar 15 Februari 2008;
Kumpulan cerpen “Pergolakan Daerah” dan setumpuk esei tentang pergolakan daerah itu “Perjalanan dalam Kelam” adalah sesuatu yang dapat disebut sebagai “catatan kebudayaan” dari perjalanan sejarah bangsa ini.
Tapi benar juga, sedangkan pergolakan daerah yang telah begitu banyak memakan korban, nyawa dan harta benda tidak mendapat perhatian yang layak dari generasi hari ini, apalagi Soewardi Idris-nya.
Begitulah sifat kita yang kurang terpuji. Kekalahan PRRI dianggap pemberontakan. Bagaimana sekiranya PRRI menang? Mungkin jika PRRI itu menang, akan berbondong-bondong pula rakyat Sumatra Barat ini mengusung tokoh-tokohnya untuk diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
Memang, tidak ada tokoh yang kalah dibuatkan sejarahnya. Artinya sejarah kekalahan termasuk “aib” dari sebuah masyarakat yang sombong. Tapi bagaimana pula dengan Imam Bonjol yang ditangkap Belanda, yang dituduh pula oleh Belanda sebagai pengacau dan pemberontak?
Imam Bonjol kalah dari Belanda, namun dia dipandang terbalik oleh bangsa Indonesia; dia pahlawan.
PRRI kalah oleh pemerintah pusat, lalu apakah rakyat Sumatra Barat berani memandangnya terbalik sebagaimana mereka memandang Imam Bonjol; bahwa PRRI telah berjuang untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter; bahwa PRRI telah berusaha untuk mendapatkan otonomi daerah dan setelah berjarak 50 tahun barulah otonomi itu dapat dilaksanakan sedikit-sedikit.
Walau sudah 50 tahun peristiwa PRRI itu berlalu, namun kita tetap kehilangan nyali untuk memberikan apresiasi.
Akankah kita, masyarakat Sumatra Barat ini, terus menjadi orang-orang yang tidak mampu lagi untuk berterima kasih? ***
Mustahil itu bisa terjadi! Bagaimana mungkin bisa diberikan gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh PRRI, ketika semua pikiran rakyat Sumatra Barat sampai hari ini masih menganggap bahwa pergolakan daerah yang disebut PRRI itu sebagai sebuah pemberontakan.
Dari sisi pemerintah pusat di Jakarta, memang pergolakan daerah seperti itu dianggap pemberontakan. Tapi dari sisi Sumatra Barat sendiri, apakah PRRI juga dianggap pemberontakan?
Bukankah kehadiran PRRI merupakan representasi keinginan rakyat Sumatra Barat terhadap sistem sentralistik Jakarta, dan keinginan untuk membagi kue pembangunan dan kekuasaan, antara daerah dan pusat berada dalam sebuah keseimbang yang adil?
Bukankah pergolakan tersebut merupakan cetusan kehendak dari keinginan untuk mendapatkan otonomi daerah, agar masing-masing daerah dapat membenahi dirinya menurut kemampuan yang ada di daerah tersebut?
Mungkin saat ini kita perlu kembali untuk mengkaji ulang tentang keberadaan PRRI. Dua rezim terdahulu; Soekarno dan Soeharto telah meluluh lantakkan keberadaan PRRI, baik secara fisik maupun politik, karena dianggap sebagai tandingan dari pemerintah pusat yang sah.
Kedua rezim terikat dengan pengertian kata PRRI, tetapi tidak memasuki esensi persoalan dengan lebih objektif. Ketika seorang wartawan sekaligus sastrawan Soewardi Idris menulis berpuluh cerita pendeknya tentang keterlibatannya dengan PRRI, dan berpuluh eseinya tentang pergolakan daerah tersebut, mungkin kita tersentak membacanya.
Sampai akhirnya kita dapat menemukan berbagai hal yang penting untuk keberadaan kita hari ini. Bahwa, pergolakan daerah yang merebak dan meletus begitu cepat dan padam begitu cepat pula, perlu mendapat apresiasi yang wajar.
Mungkin saja para tokoh PRRI masih terbelenggu dengan tudingan bahwa mereka adalah “pemberontak”, tetapi dari hari ke hari bahwa apa yang diperjuangkan para tokoh itu untuk mendapatkan otonomi daerah, untuk mendapatkan perlakuan yang pantas dan seimbang bagi setiap daerah di wilayah NKRI kian terasa dan nyata.
Apakah kita begitu teganya menghapus apa yang diperjuangkan para tokoh itu beserta rakyat Sumatra Barat dipinggirkan begitu saja, dihapus, tidak diapa siapakan lagi?
Sebagai sebuah mata rantai dari sejarah kebangsaan, peristiwa pergolakan daerah yang dimotori oleh PRRI tidak perlu disembunyikan. Jika pengkhiatan PKI terhadap republik ini makin hari makin dimaafkan, lalu kalau kita boleh membanding, seberapa benarlah “dosa” PRRI terhadap negeri ini dibanding dengan pengkhiatan partai komunis itu?
Sampai saat ini, baik pemerintah daerah mapun tokoh-tokoh politik selalu menghindar bila bicara hal-hal yang telah lalu.
Masalah PDRI dan masalah PRRI sama-sama dianggap sebagai “masa lalu” yang tidak perlu diungkit lagi, karena dianggap dapat menggelisahkan kedudukan beberapa tokoh-tokoh.
Begitupun tokoh-tokoh PRRI, yang tentunya mereka sudah banyak yang meninggal, tua renta, juga tidak dapat menjelaskan secara lebih gamblang kepada generasi berikutnya, kenapa mereka terlibat dalam “dosa” yang tidak dapat diampuni itu?
Dalam konteks ini, posisi Soewardi Idris sebagai “pembawa berita” dan “penyampai khabar” terhadap bagaimana kemelut itu dirasakan, dialami oleh rakyat Sumatra Barat sangatlah penting. Dua bukunya yang diluncurkan oleh TVRI Sumbar 15 Februari 2008;
Kumpulan cerpen “Pergolakan Daerah” dan setumpuk esei tentang pergolakan daerah itu “Perjalanan dalam Kelam” adalah sesuatu yang dapat disebut sebagai “catatan kebudayaan” dari perjalanan sejarah bangsa ini.
Tapi benar juga, sedangkan pergolakan daerah yang telah begitu banyak memakan korban, nyawa dan harta benda tidak mendapat perhatian yang layak dari generasi hari ini, apalagi Soewardi Idris-nya.
Begitulah sifat kita yang kurang terpuji. Kekalahan PRRI dianggap pemberontakan. Bagaimana sekiranya PRRI menang? Mungkin jika PRRI itu menang, akan berbondong-bondong pula rakyat Sumatra Barat ini mengusung tokoh-tokohnya untuk diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
Memang, tidak ada tokoh yang kalah dibuatkan sejarahnya. Artinya sejarah kekalahan termasuk “aib” dari sebuah masyarakat yang sombong. Tapi bagaimana pula dengan Imam Bonjol yang ditangkap Belanda, yang dituduh pula oleh Belanda sebagai pengacau dan pemberontak?
Imam Bonjol kalah dari Belanda, namun dia dipandang terbalik oleh bangsa Indonesia; dia pahlawan.
PRRI kalah oleh pemerintah pusat, lalu apakah rakyat Sumatra Barat berani memandangnya terbalik sebagaimana mereka memandang Imam Bonjol; bahwa PRRI telah berjuang untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter; bahwa PRRI telah berusaha untuk mendapatkan otonomi daerah dan setelah berjarak 50 tahun barulah otonomi itu dapat dilaksanakan sedikit-sedikit.
Walau sudah 50 tahun peristiwa PRRI itu berlalu, namun kita tetap kehilangan nyali untuk memberikan apresiasi.
Akankah kita, masyarakat Sumatra Barat ini, terus menjadi orang-orang yang tidak mampu lagi untuk berterima kasih? ***
Sumber: Harian Singgalang, 16 Februari 2008
sejarahmu bukan milikmu. ia milik anak-anakmu. kau tak punya hak menilai sejarahmu sendiri, orangtua. kau hanya perlu katakan, "beginilah aku apa adanya!"
ReplyDelete"inilah PRRI itu!" maka biarkan kami yang menilai, apakah kau pemberontak atau tidak. kami, anak-anakmu lebih cerdas darimu, orangtua.
Pak Wis mungkin benar. Pahlawan atau Pemberontak adalah hasil dari perspektif. Aru Palaka bagi sejarah Nasional kita adalah kaki tangan Belanda, ia memusuhi Hasanuddi. tetapi bagi orang-orang Bugis, ia Pahlawan. ia membela kepentingan Bugis yang dijadikan pekerja paksa oleh Gowa
ReplyDeleteMenilai PRRI,
ReplyDeleteduh, rasa sakitnya jelas lain, bagi kami orang muda yang tak terlibat apa-apa, dengan Angku-angku yang mengangkat senjata, terbirit-birit dikejar tentara, atau terluka di rimba-rimba rahasia.
rasa sakitnya jelas lain, jelas berbeda tikam-tusuknya.
jalan-jalanlah ke Pesisir sana,
ReplyDeletejika dulu, ketika PRRI meletus, akan kita temukan rumah-rumah yang pada pintunya ada tanda silang warna merah. tanda itu diberikan oleh APRI untuk menandai dan membedakan mana rumah yang "bersih" dan yang tidak--yang para penghuninya naik ke rimba-rimba mengangkat senjata.
ada kebanggaan bagi perempuan-perempuan yang tinggal di dalamnya, yang suami atau anak bujang mereka naik ke rimba-rimba itu.
kini, ada tanda baru yang lebih pedih yang tidak meninggalkan kebanggaan apapun bagi penghuni di dalamnya, RUMAH TANGGA MISKIN.
PRRI dulu ingin melawan ini, melawan kemiskinan, kesenjangan sosial. Nilai-nilai PRRI yang seharusnya kita serap hari ini adalah bagaimana kita mempersempit jurang sosial itu. hari ini kita bisa saksikan, betapa, RUMAH TANGA MISKIN bertetangga dengan rumah-rumah gedung.
PRRI lagi-lagi kalah, untuk yang kesekian kalinya.
barangkali kita tak perlu gelar pahlawan bagi mereka, para pejuang PRRI itu. Mereka akan lebih bangga jika kita bisa lebih berbagi.
Mak Naih, kunjungi bolg buruak ambo ciek dih. heheheh
ReplyDeletehttp://urangmudiak.blog.com
Tarimo kasih alah singgah di lapau kito. Kito link kan blog deddy tu. Salam arek
ReplyDeleteMN
mak naih kunjngilah blog dodo ciek, buej\k tags nyo yo
ReplyDelete