KODE-4

Friday, August 8, 2008

Wawancara Eksklusif dengan Emha Ainun Nadjib

Bangsa Indonesia Butuh Intervensi Tuhan
Pengantar

“Penyakit” bangsa Indonesia sudah masuk tahap stadium paling parah. Komplikasi. Termasuk dalam jajaran kekuasaan. Penyakit itulah yang menggerus nilai-nilai kejujuran. Sehingga rakyat Indonesia semakin sulit berlaku jujur, sulit menanamkan keikhlasan. Malah, yang paling mudah berkembang biak itu adalah fitnah. “Bangsa kita sedang sakit parah. Komplikasi. Untuk mengobatinya, kita butuh intervensi Tuhan,” kata Can Nun.
Secara jujur dan terbuka, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, membentangkan semua aspek yang menelikung penyakit bangsa ini, termasuk mentalitas pemimpinnya. Tanggal 2 Agustus, pekan lalu, Cak Nun bersama Komunitas Musik Kiai Kanjeng melakukan pertunjukan musik dalam rangka ulang tahun PT Timah yang ke 32 di kampus Polman UBB, Sungailiat. Di sela-sela istirahatnya, Endang Kurniawan melakukan wawancara eksklusif dengan Cak Nun. Berikut petikannya.

Setelah reformasi 1998, tampaknya Anda menghindar dari panggung hiruk pikuk politik, dan terkesan Anda kecewa dengan kondisi itu?
Ya, saya kan umurnya terbatas. Saat reformasi bergulir, saya berada di pusaran reformasi itu. Fakta-fakta mengenai reformasi, menurut saya, juga tidak terungkap kepada masyarakat secara substansial. Selanjutnya, bangsa kita tidak cukup jujur dalam memahami reformasi. Bukan bahasanya tidak jujur, tapi tidak diberikan informasi yang akurat mengenai apa yang terjadi pada 1998 itu. Saya tidak mempunyai media dan media juga kurang berminat untuk mengali sunguh-sungguh sejarah reformasi itu. Jadi, saya melihat, sisa usia saya tidak mungkin cukup untuk melakukan rekaveri seperti itu. Jadi, ya saya sekarang menikmati hidup saya. Kalau Indonesia monggolah (silahkan saja) begitu.
Bagaimana komentar Anda dengan kondisi Indonesia yang masih terkungkung dari deraan krisis multidimensi ini?
Saya kira, kita sungguh-sungguh berada di dalam satu cengkraman global desain yang tidak ada satu pihak pun dari pelaku-pelaku sejarah Indonesia yang merasa punya kepentingan atau apalagi militansi untuk memahami itu. Sehingga, mereka hanya menjadi pemain-pemain kelas dua dan kelas tiga yang tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang mereka mainkan. Kita ini hanya mencari keuntungan-keuntungan lokal di sekitar kegiatan kita masing-masing. Begitu lho. Jadi Indonesia ini tidak memahami dirinya dan tidak tahu di mana dirinya berada. Dunia sedang berkembang ke mana? Polarisasi yang terjadi itu apa? Perang dingin yang terjadi itu apa? Semua itu tidak dipahami benar, dan tidak ada kelompok yang sungguh-sungguh memahami itu karena tidak berkepentinggan. Yang penting dapat untung dan selesai.
Sebetulnya, apa sih yang salah dari negeri ini, pemimpinnya atau rakyatnya?
Dulu pemimpinnya, tetapi sekarang sudah berbareng rakyatnya juga salah. Rakyat juga sekarang ini sudah tidak sanggup lagi untuk jujur terus. Sudah tidak sanggup untuk tidak ikut rakus, untuk tidak ikut semua penyakit-penyakit jiwa yang selama ini ada, ya sudah tidak sanggup. Kecuali orang-orang yang hidup di dalam satuan-satuan institusi ekonomi yang tidak terlalu terganggu. Tetapi kalau rakyat umum dalam arti sipil, ya, setengah mati untuk mempertahankan kejujuran, mempertahankan ketidakcurangannya, tidak nyerobot, untuk tidak ikut maling.
Apa jalan keluar yang paling baik yang harus dilakukan pemimpin bangsa ini?
Tidak ada, kecuali intervensi Tuhan. Sudah tidak mungkin diselamatkan. Hanya intervensi Tuhan yang diperlukan. Kalau Tuhan tidak intervensi, ya kita tinggal taruhan mengenai berapa lama hancurnya bangsa ini. Tapi bangsa kita ini adalah bangsa yang tangguh, yang hancurnya pelan-pelan. Lho itu betul.
Siapa yang semestinya bertanggung jawab atas kehancuran bangsa ini? Budayawan seperti Cak Nun kah, atau pemimpin yang berkuasa sekarang?
Yang pasti saya tidak bertanggung jawab atas semua itu. Saya tidak diberi tangung jawab kok. Saya orang biasa. Saya tidak dibayar oleh siapa-siapa. Jadi saya tidak mempunyai kewajiban apapun. Ya silahkan harus bagaimana, cuma saya harus menyelamatkan masa depan anak-anak saya. Mereka harus saya siapkan. Harus menjadi orang yang siap hidup di tengah situasi yang sudah bisa kita hitung sejak sekarang.
Anak-anak di sini dalam konteks Cak Nun atau anak-anak bangsa?
Ya anak-anak saya sendiri dong dan anak-anak dari komunitas saya. Lah kalau anak bangsa bagaimana seluas ini. Orang Indonesia itu ditolong belum tentu berterima kasih. Ditolong malah memfitnah. Contoh coba Anda memberi makan pengemis setiap pagi selama 3 bulan saja, setiap pagi diberi 1 bungkus makanan saja. Nanti pas bulan ke 3 Anda tidak memberi selama 2 hari saja, Anda difitnah macam-macam. Gara-gara 2 hari tidak memberi makan kepada pengemis tadi, malah bukan berterimakasih selama ini sudah diberi makan. Dan semua itu betul-betul sudah saya alami. Jadi sekarang, saya tidak berani menolong rakyat. Demi Allah, saya tidak berani menolong rakyat. Rakyat malah balik memfitnah, ngomong yang tidak-tidak. Naudzubilahminzalik, saya tidak berani menolong rakyat.
Apakah anak-anak Cak Nun, tidak ada yang tertarik mengikuti langkah orangtuanya?
Jangan ada yang menerusin saya, sengsara nanti. Jangan. Anak saya jangan nerusin saya. Anak saya punya sejarah sendiri dan harus berdasarkan prosesnya sendiri. Jangan sampai hidup seperti saya, sengsara. Jadi menteri tidak, mesti jadi presiden tidak. Punya mobil difitnah. Sengsaralah pokoknya.
Padahal bangsa ini sangat membutuhkan orang seperti Cak Nun?
Begini lho orang Indonesia itu, dia melarang saya bertanam padi, tapi kalau dia tidak bisa makan, dia minta nasi kepada saya. Tapi saya tidak boleh menanam padi..ha...ha...ha. Orang Indonesia itu tidak ada yang ikhlas. Dan itu normal kalau orang Indonesia itu tidak ikhlas. Karena selama mereka merdeka tidak pernah terpenuhi hak-hak dasarnya. Jadi kita didik jadi orang yang tidak ikhlas.
Apakah Cak Nun merasa bangga menjadi warga negara Indonesia?
Bangga saya. Oh bangga sekali. Tapi Indonesia dalam pemahaman yang tadi saya omongkan. Bangsa yang besar. Bangsa yang tangguh. Mentalnya luar biasa dan saking hebatnya, binggung mau ngapain.
Korupsi salah satu penyebab hancurnya negeri ini. Tapi kini, korupsi kian menjadi, malah terkesan tidak tuntas ditindak. Selain itu, haruskah diterapkan hukuman mati bagi pelaku koruptif?
Korupsi itu output buka input. Dan Anda tidak bisa membenahi dari moral. Korupsi itu soal mental. Kalau moral sudah tahu semua baik-baik saja kan. Koruptor itu kan sopan. Mereka baik kepada tetangganya, baik kepada anak istrinya. Jadi takmir masjid juga sering memberi uang buat masjid. Jadi secara moral, mereka baik-baik saja, tetapi mentalnya yang kurang ditata.
Menurut Cak Nun sendiri moral dari pemimpin kita ini bagaimana?
Mereka baik-baik. SBY baik. Megawati baik. Masalahnya bukan moral, tetapi mentalnya dan ilmu. Mesti intelektual. Jadi kayak SBY, dia tidak konekting antara A dan B di dalam otaknya. Bagaimana bisa konek, mahasiswa sampai masuk rumah sakit karena digebukin oleh polisi. Lah dia kok malah asik bersepeda ria. Itukan tidak konek otaknya. Mestinyakan dia malu kok sempat-sempatnya bersepeda ria. Rakyatnya pada tidak beres, sengsara. Dia kok senang-senang seperti itu. Itu bukan berarti dia orang jelek tetapi ilmunya yang tidak konek.
Bangsa ini terkesan bebal, apakah Anda setuju dengan sebutan itu?
Bangsa kita tidak bebal. Bangsa kita itu tidak mempunyai landasan untuk tidak bebal. Sekarang antre di mana-mana saja orang nyerobot. Kok saya disuruh antre, begitu lho.
Kini, tampaknya, politik dagang sapi dengan menghalkan segala cara masih menguat. Apakah ini terkait dengan mentalitas politisi?
Inikan sepertinya penyakit yang komplikasi. Jadi kalau sudah sakit kayak efek domino, semakin menjalar, tidak bisa potong satu. Jadi kalau mau menjadi politisi jujur itu kita bisa masuk penjara. Kalau peraturannya berubah, Anda bisa salah, seperti perumpamaan main pimpong, dulu gamenya 21. Sekarang pimpong gamenya 15. Kan salah semua yang 21 dulu.
Ini terkait dengan dunia sastra: Apakah komentar Cak Nun dengan dunia sastra Indonesia saat ini?
Sebaiknya saya tidak usah menilai karya orang lain. Saya hanya ingin memberitahukan bahwa saya sekarang terseret untuk kembali ke situ. Jadi sebentar lagi saya siap menerbitkan kumpulan puisi-puisi saya yang baru.
Adanya kesan bahwa dunia sastra cenderung vulgar dan mengumbar syahwat, dan itu dipelopori oleh penulis dari kalangan perempuan, apa komentar Anda?
Ya orang dengan perhatiannya sendiri-sendiri. Ada yang memperhatikan Tuhan. Ada yang memperhatikan seks. Ada yang meperhatikan macam-macam, ya silahkan saja. Saya tidak mau berdebat di situ. Itu namanya dunia tafsir. Itu namanya demokrasi.
Apa yang paling mengesankan bagi Anda tentang Bangka Belitung?
Ini adalah kunjungan saya yang pertama ke Bangka Belitung. Saya kalau masuk di suatu daerah itu sangat senang dan merasa mempunyai harapan cukup besar untuk Indonesia Mumpung Bangka Belitung ini belum jadi Jakarta. Belum jadi Pulau Jawa. Tolong dijaga. Kalau sudah menjadi Pulau Jawa, kacau jadinya. Jawa itukan berkembang tanpa desain. Berkembang tanpa transformasi tertata, tidak substansial langkah-langkahnya. Potensi-potensi yang ada di Jawa sudah tidak ada. Yang susahnya, orang luar Jawa berlomba-lomba datang ke Jawa.
Katakanlah buku tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, ternyata mampu mempertegas posisi Bangka Belitung. Apakah Anda setuju hal itu?
Saya belum baca tentang buku itu. Jadi saya tidak bisa beri komentar, tapi saya sangat percaya kepada lokaljenius, kepada kekuatan lokal. Sekarang ini kita harus berpikir pascaglobal. Jadi pertumbuhan sastra dengan khasanah lokal, tetapi dia membunyikan khasanah global.
Apa yang akan Anda katakan tentang kasus Lapindo, kasus BLBI dan korupsi di tingkat penegakan hukum?
Untuk Lapindo tidak ada hubungannya dengan hukum. Kalau dihubungkan dengan hukum penduduk harus menanti proses hukum. Bisa mati mereka kalau menanti proses hukum. Jadi sekarang juga harus dibayar. Siapa yang bisa menyatakan kalau Lapindo bersalah kalau bukan hukum? Tanggung jawab apa? Kalau tanggung jawab moral, semua dong yang berkewajiban. Inikan orang yang tidak tertib berpikirnya. Saya menguasai seratus persen soal Lapindo dengan segala fitnahnya. Saya ingin diadili soal Lapindo. Saya senang itu. Dari pada main internet sama juga main lempar batu dari jauh. Itu sama saja permainan orang yang pengecut. Alasannya hanya berani menulis seenak udelnya saja tetapi tidak berani menampakan jati dirinya, wajahnya, mukanya!
Kalau BLBI itu sama saja. Ya mau bagaimana memang negara ini aneh. Seperti pemberian bantuan lansung tunai (BLT), benar atau tidak BLT itu? BLT itukan kurang ajar banget. Yang namanya membantu itu kan orang yang mempunyai duit, membantu orang yang tidak mempunyai duit. BLT itu duit siapa? Yang diterima oleh rakyat itu duit siapa? Itukan duit rakyat. Lah kok pemerintah mengaku-ngaku duitnya. Jadi di sinikan pemerintahnya yang kurang ajar.
Apa yang akan Anda katakan tentang kinerja SBY-Kalla?
Ya kita harus jalani. Kita harus mempunyai dia (SBY-Kalla) dalam hidup ini kita harus mempunyai tahap. Kita harus mempunyai mereka. Seumpamanya kalau di Jawa itu kita harus memberi sesajian diperempatan jalan, meskipun itu dewanya tidak mau memakan itu, kita juga tidak enak untuk memakan itu, ya mau bagaimana lagi. Tetapi mereka belum pemimpin sama sekali.
Selain itu pula, apa komentar Anda tentang “Tragedi Monas” yang melukai banyak orang dan pelbagai pihak saling klaim?
Sampai sekarang tidak bereskan? Tidak dapat kesimpulan. Tidak dapat ilmu. Tidak dapat kearifan. Tidak dapat informasi. Begitulah Indonesia. Anda tahu tentan AKKBB, FPI, ya tahunya tidak banyakkan? Tahunya Habib Rizieq hanya suka kekerasan kan? Makanya yang paling nomor satu adalah mencari tahu. Jadi ada semacam jurnalisme semi investigatiflah. *

Biodata
Emha Ainun Nadjib (lahir di
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953), adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung nafas islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.
Lima tahun hidup menggelandang di
Malioboro Yogya antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat
Padang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung.

1 comment: