OLEH Halim HD
Pada catatan saya yang terdahulu yang saya beri tajuk “Suksesi Murti dan Visi Taman Budaya Surakarta” yang saya tulis dari Makassar pada tanggal 12 Maret 2007, saya lebih banyak menekankan kupasan saya kepada posisi dan fungsi kepemimpinan yang pernah diletakan oleh juragane TBS sepanjang hampir 27 tahun (selama rentang waktu kekuasaan 5 presiden, 10 menteri, 10 dirjen, dari jaman Suharto, Habibie, Gusdur, Megawati sampai SBY).
Gampangnya, jangan jadi kacang ninggalake lanjarane. Saya juga berharap kepada calon pengganti pimpinan TBS yang akan datang untuk mampu dan dapat mengembangkan gagasan dan konsepnya; gagasan serta konsep itu bukan datang dari “langit”! Saya tidak percaya hal itu. Saya hanya percaya kepada pertemuan antar manusia, kepada keringat, kepada usaha penggalian pengalaman dan merenunginya, lalu menyusun ke dalam suatu rencana kerja kebudayaan yang visioner, yang berangkat dari sikap terbuka, mau ngglesot, dan jangan hanya nongkrong di kantor, bersedia dan siap untuk bersilaturahmi dengan siapa saja, membuka kuping selebar-lebarnya dan tebalkan kuping lantaran dunia kesenian penuh dengan omongan yang sering tanpa argumentasi namun penting untuk didengar atau cara penyampaian yang mbulet, serta banyak cara penyampaian (seperti surat ini yang blak-blakan!) yang tanpa tedeng aling-aling, dan jangan lalu masuk kedalam prasangka etnis (waaah, cah kuwi dudu wong Jowo! misalnya, hal seperti ini sering saya dengar diseputar lingkungan STSI, atau disekitar tempat kita hidup), jangan cepat ngambeg, apalagi sok keminter.
Terpenting dari apa yang ingin saya sampaikan kepada calon pimpinan TBS nanti adalah: siapapun mesti diterima, sikap melayani mesti diutamakan.. Melayani tapi dengan sikap dan cara yang bermartabat. Hal ini sering jadi soal di nusantara, diantara orang kita: kalau yang datang pejabat propinsi atau “pusat”, semua pegawai, dari yang paling tinggi sampai yang rendah ngapurancang dan membungkukan badan melebihi orang Jepang. Bahkan banyak yang kayak cacing, melata! Untuk hal ini, juragane TBS yang mau pamit pensiun itu lumayan kendhel, wani ora ngapurancang.Sementara itu, kalau yang datang seniman kayak gelandangan, lalu dianggap asu budug-kurap yang mesti digebah! Ingat, ketika Sedyono “Gendhon” Humardhani pada tahun 1982, jaman gubernur Ismail, almarhum tak peduli, atau lebih tepatnya, waktu yang tepat mesti diterapkan dan kesenian di pendapa Sasanamulya, Wayang Buddha dan tari Sesaji mesti berlangsung sementara Ismail masih sibuk dengan pidato dan makan malam di balai kota. Dengan kata lain, disiplin diri kepada waktu, dan menerima orang bukan lantaran asesoris baju atau status sosial, namun karena buah pikiran, argumentasi yang jernih, wani ngudar rasa lan pikiran dengan blak-blakan yang mesti diiringi oleh pijakan berpikir yang kuat. Bukankah calon pimpinan TBS yang akan datang mengalami hal itu, melalui berbagai diskusi dan drilling debat dan diskusi periode pendapa Sasanamulya? Hal itu karena almarhum paham benar: feodalisme bikin orang kayak cacing melata yang dibawa dari wilayah pedesaan yang ditelikung oleh kolonialisme serta kekuasaan lokal yang kerap lebih kejam dari Walandi telah berurat akar dan diiringi oleh sistem keluarga yang salah kaprah dalam menerapkan unggah-ungguh yang – meminjam ungkapan almarhum pak Kajo “Bengok” yang rajin isah-isah dan nyapu – mesti dibongkar melalui keberanian menerima perbedaaan pendapat, keberanian untuk dikupas-bedah, ditelanjangi agar diri makin jernih, eling lan waspada.
Waktu yang lampau itu bisa bermanfaat jika kita lacak dengan teliti dan kritis, dan sangat inspiratif. Seperti betapa inspiratifnya sikap almarhum dalam kebutuhan hidupnya: sepanjang memegang PKJT dan ASKI selama belasan tahun (berapa miliar rupiah yang dikelolanya, bayangkan!!), sama sekali tidak memiliki kendaraan pribadi, bahkan sebuah rumah pribadipun tak pernah ter/di-wujudkan. Yang ada hanya ribuan buku dan sejumlah keris. Ironisnya, mungkin buku itu hanya disimak oleh beberapa gelintir, dan sebagian besar mereka yang menepuk dirinya sebagai cantriknya lebih menikmati bagaimana ngelus-elus mobil, atau sibuk dengan MLM, kreditan, gonta-ganti hape, dan menjadikan ruang tamu kayak toko klontongan (apa mau nyaingi tanggane Babah Lim? hehehehe) Padahal, almarhum sangat menekankan bagaimana membaca dan pengupas buku, dan menggali pengalaman, dan bagaimana mengkonfrontir antara analisa buku dengan pengalaman dari menelusuri tradisi di lingkungannya, dan lalu bagaiman menyusunnya kedalam makalah untuk diskusi, dan menciptakan karya baru. Diskusi itu perlu, supaya jangan plunga-plongo, kata almarhum.
Nah, kini saya ingin ngudar rasa tentang bagaimana staf TBS yang juga sangat penting dan ikut mendukung keberadaan dan menjadikan TBS selama rentang waktu yang lampau sampai kini sehingga dikenal sejagat nusantara? Tahukah Anda, siapa yang paling dikenal oleh kalangan seniman seni panggung, dari orang musik, teater dan tari, selain juragane TBS, yang selalu ditanyakan kepada saya ketika saya berada diluar Solo, di Jawa maupun luar-Jawa? Henky!! Itu lho yang banyak bulunya, yang terampil, dan siap melayani apa maunya seniman panggung, dan wani diskusi serta debat dengan seniman, disamping manut, dadi kanca wingking, sekalipun berhadapan dengan seniman pemula, dan mau belajar dari mereka yang dianggap berpengalaman dan matang! Sosok kayak begini ini penting bagi TBS, bagi ruang publik yang membutuhkan benar cara pelayanan yang manut namun kritis. Dan dari Mas/Bapak/Oom/Paklik/Pakde (silakan pilih yang cocok!) Henky pula, diakui atau tidak, selain sistem yang terasa memang telah dibentuk secara bertahap, kaderisasi penata panggung berjalan. Sapa seh anak STSI penata panggung yang nggak diajak dan tidak disentuh oleh Henky Syafruddin Rivai (jenenge dawa nyaingi SBY!), yang kini diantaranya tak sedikit memasuki jenjang professional, dan malang melintang diberbagai kota, dan masuk kedalam berbagai festival dan acara kesenian! Sekali lagi, saya ingin menyampaikan puja-puji serta rasa terima kasih untuk kehadiran sosok seperti ini yang betapapun ada beda pendapat saya tentang konsep lighting design, saya menganggap tenaga teknis jenis sosok seperti HSR sangat memadai dan membuat acara kesenian bisa lancar.
Saya ambil contoh HSR, sebab, saya juga tahu dan banyak orang yang telah menerima jasa baiknya beserta staf yang dibimbing oleh HSR. Dan berikutnya dengan Tria Vita (disingkat jadi TV) yang juga sigap, terampil dan mau menerima gagasan, sepetti juga Joko Listrik dan rekan yuniornya. Dan itu artinya ada policy yang telah diterapkan oleh pimpinan: bagaimana mendudukan seseorang dengan tepat dan sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya, dan dengan sikap yang sigap serta cara berpikir yang terbuka. Mari kita ambil contoh yang bisa membuat kita jengkel: kita menelpon kesuatu kantor misalnya, dan yang mengangkat dengan ogah-ogahan yang kita dengar dari nada suaranya, atau bahkan jengkel. Kita tentu juga jadi jengkel. Berapa biaya pulsa dan kepentingan kita yang dirugikan oleh cara-cara seperti itu? Saya lumayan senang dengan cara pelayanan TBS dalam menerima panggilan telepon, walaupun sering juga ada saja orang yang mungkin kesusu, tak acuh dengan apa yang kita butuhkan. Beruntung orang seperti mBak Manipolwati atau mBak Inong dan Mbak-mBak lainnya yang lumayan sigap, dan well information, atau Mas ST. Wiyono. Contoh kecil ini sangat perlu, sebab, kantor publik yang tidak sadar melayani akan repot sendiri: mari silakan telepon taman budaya di Palu atau Makassar, atau Surabaya, kita akan lumayan jengkel lantaran dioper kesana-kesini, sementara pulsa jalan terus, dan setelah diterima oleh yang kita anggap bersangkutan, kitapun tidak mendapatkan informasi yang kita inginkan. Sangat minim.
Nah, disini, saya ingin tekankan sesuatu yang sangat penting tentang, katakanlah bank data, bank informasi misalnya untuk grup-grup kesenian, dari yang tradisi sampai moderen-kontemporer dari seni panggung (musik, teater dan tari) sampai senirupa dan sastera, dari komunitas sampai sosok-sosok pribadi dan minimal alamat serta nomor telepon atau hape mereka. Dan ini mesti dikuasai dengan baik, sehingga TBS bisa diandalkan oleh siapa saja. Biaya untuk hal ini nggak mahal, lantaran TBS sudah kenal semuanya, tinggal menghimpun, dan setiap tahun sekali-dua dilakukan up date data, informasi dan posisi mutahir dari sebuah grup atau sosok. Jangan sampai informasi belasan tahun masih dipakai, seperti dinas pariwisata Solo kalau bicara tentang Balekambang sepertinya dianggap kayak tahun 1970-an! Padahal, kenyataannya sudah jauh berbeda. Bila perlu data-informasi itu dicetak secara sederhana, melalui fotokopian, yang bisa dibagikan kepada yang membutuhkan, asalkan disain dan cetakannya jelas. Jangan kayak majalah atau jurnal terbitan TBS yang terakhir saya dapatkan dan saya baca, pusing tujuh keliling: nggak tahu maunya seperti apa. Saya heran kepada Mas ST. Wiyono, cantrik pak Gendhon yang dianggap salah satu paling cerdas ini dan banyak pengetahuannya ini (ngerti teater tradisi, moderen, sastera Jawa dan Indonesia, ngerti tari, mau membaca, dan siap diskusi) sepertinya tidak tahu disain dan tidak mengerti jaringan kerja teman-teman penulis atau pengamat yang bisa dimintai tulisan. Kenapa pula majalah/jurnal itu tidak diserahkan kepada kaum muda, dan biarkan mereka yang menyusun. Sebenarnya banyak teman-teman muda yang siap membantu, asalkan didekati dan dibeberkan apa maunya TBS, dan bagaimana kondisi anggarannya. Sebab, yang perlu diketahui oleh Mas ST. Wiyono, bahwa majalah/jurnal itu juga jendela, show room informasi dan dokumentasi, jembatan, dan semuanya mesti rapijali. Ingat rapijali. Bukan mewah, bukan glamour! Dijaman ketika komputer demikian canggih dan bisa melayani apa maunya yang kita inginkan, saya heran masih ada disain dan terbitan yang jeleknya melebihi jaman Jepang, jaman darurat yang serba mawut itu! Ada orang yang tanya kepada saya lewat internet, email: “kan di TBS ada perupa?” Saya malah balik bertanya, apa setiap perupa itu punya sense of design? Belum tentu, apalagi memasuki dunia cetak mencetak, yang di layar komputer nampak bagus, belum tentu bagus setelah masuk kedalam berbagai rol dan melaui blanket mesin cetak off set, apalagi pakai paper plate, maka semua gagasan bisa berubah 180 derajat!
Dan perupa di TBS, lebih senang bergosip ria, kongko soal obat kuat kejantanan di sor pelem ketimbang memikirkan cetak mencetak apalagi menyusun program pameran berdasarkan pelacakan kepada berbagai potensi senirupa yang ada di daerah Jawa Tengah. Paling-paling ngelus-elus sepeda motornya yang kreditan baru. Menurut saya, majalah/jurnal itu tidak membutuhkan sebuah tulisan seperti yang dikutip dari katalog yang ditulis oleh Profesor sor pelem itu. Kasihan kepada Profesor yang namanya menjulang namun tulisannya hanya nempel begitu saja. Lebih baik isinya sejumlah informasi kegiatan, dan acara yang akan datang yang lebih rinci. Dan namanya ganti saja, jangan majalah atau jurnal, jadi news letter, surat, namun berisikan berbagai kegiatan yang setiap orang bisa tahu, dan disitu pula disampaikan bukan hanya judul, koreografer atau sutradaranya, atau nama perupa, tapi juga alamat lengkap yang bersangkutan, yang siapa tahu bisa dipakai oleh kalangan lain untuk mengontak seniman atau penyaji yang bersangkutan. Kritik saya kepada pengelola majlah/jurnal itu, sok keminter, terutama yang baru magang yang menganggap dirinya tahu dunia percetakan. Mungkin dia tahu, tapi adakah dia memiliki sense of design? Itu lain soal.
Juga saya kira, Mas ST. Wiyono, seperti yang saya dengar dari beberapa teman yang saling kontak lewat email, nampaknya sudah ogah-ogahan, asal jadi. Padahal, dari sosok inilah yang dulu saya kenal awal tahun 1980-an saya anggap punya bobot pikiran dan bisa sigap serta mau turun kelapangan, yang bisa jadi rekan siapa saja untuk mendongkrak dunia kesenian di Solo dan daerah sekitarnya. Pengetahuan yang dimilikinya yang rata-rata lebih baik dari semua staf, secara umum, semula saya anggap bisa menjadi jembatan yang lapang bagi rekan seniman, terutama yang pemula dan sedang menapak jalan terjal. Yang perlu diresapi oleh staf TBS adalah bahwa mereka disamping demikian sigap dibandingkan taman budaya lainnya, mereka diuntungkan oleh adanya berbagai kalangan seniman muda dan organizer yang mau berkeringat, yang mau membuat event, mau merumuskan gagasannya serta mengelola sebuah acara, misalnya acara tari bulan ganjil itu (dan kemana pula itu musik bulan genap yang pernah digagas oleh Ki Yayat Suhiryatna Nuruddin Rawud yang peka kepada potensi calon musisi dan komposer pemula dan terampil dalam melayni serta gampangan; dan kenapa pula Jarot Budidarsana tidak melanjutkan Open Day of Art di Wisma Seni) atau beberapa acara seperti sastera, diskusi buku, film, serta berbagai diskusi lainnya di Wisma Seni.
Dan jika kita mau merenungi semua perjalanan yang ada, dan belajar dari pengalaman itu, tidak terlalu sulit untuk membuat rencana kerja baik, dalam artian bahwa kontinyuitas terjaga, yang didasarkan kepada informasi yang mesti dikejar dan jangan hanya menunggu. Teater misalnya, sebaiknya jangan menunggu, apa mau Waiting for Godot? Repotnya terlalu banyak dalih bahwa semuanya beres. Sementara itu, kita menyaksikan betapa ringseknya kehidupan teater (juga terjadi di tempat lainnya) di Solo. Kondisi ini mesti ditanggulangi. Misalnya, apakah JTS (jaringan teater surakarta) mempunyai kesigapan berpikir untuk menangkap gejala dan kenyataan ini, dan bagaimana solusinya. Saya kira, ketika JTS melakukan kegiatan di TBS dengan mendengarkan berbagai jenis noslagia dari seniman senior: saya hanya bisa merenungi dan bertanya-tanya, apakah dengan “dramatisasi cangkeman” yang sesungguhnya cenderung frozen into nostalgia (pinjam ungkapan Eduardo Galeano, penulis Uruguay) bisa membuat kalangan pekerja teater yang rata-rata masih mahasiswa bisa mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat? Tentu selalu ada manfaatnya. Saya bukan nihilis. Namun jika kita tengok lebih jauh, sesungguhnya kebutuhan teater di Solo (dan dimana saja sekarang ini) adalah pendalaman dan pengembangan berbagai tehnik dan metode agar bagaimana ruang penciptaan bisa diwujudkan. Untuk itu bukan hal yang mustahil, jika saja staf TBS memang cerdas, membuka kemungkinan untuk melakukan woksyop secara kontinyu.
Sebab kita tahu, betapa gagasan atau tema atau lebih tepatnya sebenarnya cipratan gagasan yang belum sesungguhnya dirumuskan dan didasarkan kepada pelacakan dan eksplorasi sering mampat, mandeg dan tontonan jadi cerewet bukan main, lalu berdalih “yang penting pesannya”. Bagaimana pesan bisa diterima dengan baik kalau metode dan tehniknya melempem kayak kerupuk yang a lot? Semoga saja diantara waktu yang selama setahun-setengah lebih ini saya tidak menyaksikan pertunjukan teater di Solo, maka JTS bangkit dengan gairah berdasarkan kepercayaan diri yang memang agak lumayan menggebu-gebu seperti ketika didirikan jaringan itu. Repotnya, ini perlu saya sampaikan, walaupun saya tahu juga reaksinya: waaah, kuwi mung cangkeman thok! Diakui atau tidak, bukankah kalangan teater yang dianggap “senior”, yang bermula sejak akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an kini terlena dan melenakan diri, dan berpuas dengan berbagai dalih dan atas nama status quo? Padahal, Solo (seperti juga kota-kota lainnya), begitu banyak calon aktor, pemain yang benar-benar bisa meleburkan diri kedalam ruang penciptaan. Yang kurang, kalau tidak ingin dikatakan tidak ada: sutradara (seperti juga kota-kota lainnya)! Tentu sutradara yang cerdas, yang bukan, sekali lagi, frozen into nostalgia, dan agar tetap dilihat oleh peneliti dari mancanegara.
Sementara itu, konon dunia tari di Solo, para penarinya banyak yang lalu lalang ke mancanegara. Tapi, saya dengar dari redaksi Gong dan beberapa peminat serius dunia tari yang secara intensif mengamati acara tari di Solo menyatakan agak melempem dalam artian bahwa tiada karya yang bisa dianggap lumayan. Yang ada, pertunjukan tari dengan tajuk, judul yang gede-gede. Tapi dibandingkan dengan kota lainnya, seperti Makassar, Palu, Surabaya misalnya, tentunya dunia tari di Solo lebih menjulang. Dan dibandingkan dengan teater, kembali saya dengar dari rekan-rekan melalui email, lebih lumayan. Sekali lagi saya ingin melontarkan pertanyaan: adakah kondisi seperti ini ditangkap oleh staf TBS khususnya yang paham teater, atau dia hanya latihan sendiri dari satu kafe ke kafe lainnya sambil menunggu datangnya peneliti?
Bagaimanapun juga, sebagai perbandingan, acara teater secara kuantitas di TBS nampaknya lebih lumayan daripada senirupa. Pengelola galeri senirupa TBS sungguh jauh dari harapan. Paling-paling dalihnya tiada anggaran yang memadai untuk membuat acara yang bagus. Ini argumentasi pepesan kosong. Saya pernah terlibat selama belasan tahun, dan saya menyaksikan dana yang terbatas bisa diatasi. Soalnya: mau tidak mendengarkan gagasan dan berkeringat bukan hanya dalam artian melayani tapi juga sekaligus melacak dan mencari dan bergaul dan memasuki berbagai ruang senirupa di wilayah lain. Repotnya, lebih senang dengan gosip sor pelem. Ini ironisnya sor pelem, yang dulu dianggap dan didramatisir oleh jurnalis rekan sendiri sebagai “akademi”, kini hanya tak lebih ruang untuk saling ngrasani. Tak ada diskusi, tak ada lontaran gagasan, dan tak ada lagi greget untuk berspekulasi menindaki rumusan gagasan sebagai sebuah awal untuk penciptaan peristiwa kebudayaan.
Saya katakan “peristiwa”. Itu tentu beda dengan “acara”. Kalau “acara”, TBS jagonya sejagat nusantara diantara taman budaya! Nah, barangkali staf TBS yang mencoba-coba gagasannya, ada baiknya untuk bukan hanya terampil dalam soal teknis dilapangan, tapi juga menggelitik, walaupun saya ragu untuk kemampuan seperti itu, kecuali mungkin orang seperti Mas ST. Wiyono mau merenungi lagi posisi dirinya. Atau: wis kaya ngene wae. Sebab, kini TBS dengan berbagai fasilitasnya yang kian lengkap, dan sungguh membuat orang taman budaya atau lembaga kesenian lainnya sejagat nusantara ngiler ngetes-tes, perlu berpikir bahwa fasilitas semuanya itu mesti diisi dengan rencana kerja yang keren. Kalau nggak bisa yang keren, yaa yang sederhana tapi bisa menjaga kontinyuitas. Jangan seperti kegiatan sastera, dan staf di TBS yang konon menyebut dirinya penyair, cenderung dan selalu menunggu, atau bahkan sama sekali tidak memiliki gagasan untuk suatu acara sastera yang bisa dianggap lumayan. Sekali lagi, beruntung ada peminat dan penulis muda yang mau mengadakan acara sastera di Wisma Seni, termasuk diantaranya peluncuran buku, pembacaan pulisi, eh puisi dan diskusi. Penyair yang staf TBS ini gamang dan lamban. Menganggap dirinya mumpuni namun tak pernah bisa dibuktikan, dan ujung-ujungnya mencari orang lain untuk melakukan kegiatan. Untung masih mau mencari (itupun karena adanya instruksi!). Bagaimana kalau dia hanya presensi dan lalu mengisi tts, atau game-ria di komputer, seperti perupa-pematung yang dapat gaji buta itu?!
TBS yang sarananya kian lengkap, dan akan makin dilengkapi pada waktu yang akan datang hendaknya memikirkan perspektif ekologis. Singkat kata: jangan bangga dengan gedung yang berdesakan, betapapun mewah dan lengkapnya. Sebab, jaman kiwari yang namanya beradab jika warna hijau, pepohonan yang rindang, itulah konsep kehidupan jaman sekarang dan yang akan dating. Perlu diterapkan prinsip membangun ruang publik bahwa sekitar minimal 40 prosen harus terbuka dan hijau. Ruang-ruang terbuka di TBS saya anggap sudah baik, dan perlu makin dihijaukan dengan pepohonan, dan jangan masuk kedalam cara pandang lama: hutan itu tempat raksasa, belum berbudaya. Logika itu mesti dijungkirbalikan: dengan penghijauan, dengan pepohonan yang rindang, maka kita kian beradab. Sebab, kita juga tahu dimana kondisi hutan di nusantara kian rusak kalau tidak ingin dikatakan ambyar-ambles, dan Indonesia nomor satu didunia untuk perusakan hutan tropis. Maka langkah TBS untuk melakukan penghijauan adalah suatu hal yang perlu dikerjakan dan dijadikan prinsip untuk masa kini dan yang akan datang. Dengan kata lain, jika ada perintah dan anggaran pembangunan fasilitas yang baru, hendaknya pimpinan TBS yang baru berani menyampaikan konsep tata ruangnya; dan bukankah TBS sudah memiliki grand design sejak awal dirancang pada akhir 1970-an dan awal 1980-an? Saya berharap semoga pimpinan dan staf TBS tidak lupa daratan ketika sodoran proyek pembangunan dating dari propinsi atau “pusat”, walaupun saya ragu, adakah keberanian itu mampu dan dapat disampaikan? Sekali lagi, hal ini membutuhkan benar sikap bermartabat, komitmen kepada masadepan sebagai pengelola kepentingan publik, dan sekaligus juga jembatan antara pemerintah dengan warga.
Pimpinan dan staf TBS mesti tahu dan menyadari, bahwa diantara tata ruang perkotaaan, urban area, kian menyusut kehijauannnya, misalnya lihatlah Taman Sriwedari, atau Balekambang yang kian kumuh, dan masih untung Banjarsari kini kembali ceria, tidak serem seperti ketika menginjak pos-reformasi, maka jadikanlah TBS untuk masadepan sebagai salah satu paru-paru kota, dimana setiap orang yang memasuki ruang di TBS bisa merasakan kehijauan yang ceria yang membuat pikiran dan hati tenteram, dan bukan sekedar slogan “Berseri” yang lebih banyak omong kosongnya ketimbang membuat kota jadi lebih indah! Harapan seperti ini, memungkinkan nantinya TBS kian akrab, kian dekat dengan warga: menjadikan public space ini bukan hanya untuk dunia kesenian, tapi juga tempat dimana para orangtua bersama anak-anaknya bermain, dan disitulah terjadi proses pengenalan kesenian dan nilai kebudayaan secara lebih santai. Dengan demikian kesenian dan seniman bukan sesuatu yang oleh warga dianggap serem dan berjarak. Dan dengan itu pula, strategi yang akan datang TBS bisa lebih menyusun suatu rencana kerja kesenian yang seimbang untuk acara anak-anak, terutama membuka lebih lebar untuk latihan. Pasti ada kerepotan. Dunia anak-anak yang selalu penuh dengan enerji yang meluap bisa membuat kepala pening. Tapi itulah konsekuensi logis untuk suatu persiapan untuk masa yang akan datang. Dan kitapun bisa belajar dari komunitas Sarotama yang sudah teruji dan piawai dalam pendidikan kesenian anak-anak melalui wayang, karawitan dan tari serta teater tradisi seperti ketoprak dan wayang orang, yang kini anak didiknya kian banyak yang jadi. Dari Sarotama dan Mas Mujiono kita bisa belajar banyak: keterampilan yang sesungguhnya bukan sesuatu yang menonjol yang dimiliki oleh pendiri dan guru Sarotama. Tapi ketekunan dan kesabaran yang dahsyat yang membuat Sarotama bertahan selama belasan tahun, atau bahkan mungkin 20-an tahun, dan tak terputus sampai sekarang. Dan kita harap terus bertahan dan berkembang. Mungkin proses itu karena didorong, meminjam Erich Fromm (filsuf, psikolog humanis, penafsir Marxisme) dalam bukunya The Art of Loving: care (memelihara), responsibility (tanggungjawab), respect (rasa hormat) dan knowledge (ilmu pengetahuan) yang menyatu dalam kehidupan keseharian pada saat menyentuh dan memasuki dunia anak-anak. Dan merekalah pemilik masadepan, dan merekalah yang sesungguhnya menanggung masalah kehidupan yang lebih besar daripada yang kita hadapi pada masakini. Dan kita mesti bisa memberikan ruang yang terbaik kepada mereka. Jika tidak, maka kita berhutang kepada masalampau, dan bersalah kepada masa depan.
Dan kepada sesama rekan yang pernah bertemu dan bekerja bersama-sama di TBS, melalui catatan ini saya ingin menyatakan, sebelum menutup (untuk sementara; dan bukan tidak mungkin saya akan melanjutkan pada masa yang akan datang!) catatan ini yang saya mulai tulis pada jam: 22.30 wita tanggal 24 Maret 2007 , bahwa apa yang saya sampaikan disini, inilah yang saya pikirkan dan saya rasakan berdasarkan pengalaman saya, dan ditambah berbagai informasi, kabar dari rekan-rekan di Solo setahun terakhir ini. Apa yang saya nyatakan disini, saya sadari benar sebagai bagian dari diri saya untuk terus terlibat, apapun makna dan posisi saya. Dan saya tidak menolak untuk berbeda pendapat, bersedia untuk membuka diskusi dan dialog. Untuk itu, karena posisi saya sekarang di Makassar, Anda bisa mengontak saya melalui email saya. Terima kasih dan salam hangat.***
Makassar, 25 Maret 2007
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih Solo
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih Solo
No comments:
Post a Comment