Siapa yang tidak kenal dengan namanya Iyut Fitra, seorang sastrawan muda asal Payakumbuh yang malang melintang dalam dunia sastra (puisi, cerpen, dll) di kancah seni Indonesia. Karya-karya Iyut Fitra telah banyak dipublikasikan di berbagai media massa Nasional (Kompas, Media Indonesia, Horizon, dll) maupun lokal dan bahkan diantaranya telah diterbitkan dalam bentuk buku (Musim Retak). Dilihat dari usahanya dalam berkarya dan beraktivitas membesarkan dirinya dan daerah kelahirannya Payakumbuh, pantas kita acungi jempol.
Iyut Fitra bersama kawan-kawan dari daerah Payakumbuh tampil secara live di Taman Budaya Sabtu, 31 Maret 2007, membacakan beberapa karya puisinya yang dikolaborasikan dengan musik atau lebih dikenal musikalisasi puisi. Kepiawaian Iyut dalam mensinerjikan puisi yang dipresentasikannya dengan lantunan alat-alat musik mengundang decak kagum para pengunjung yang hadir pada malam tersebut. Iyut tampil betul-betul menghadirkan ‘aura’ tema-tema puisi yang sarat makna dan sangat mendalam sekali kajian realitas bentangan kehidupan. Lewat performa seorang Iyut realitas bentangan kehidupan seperti rindu, cinta, duka dan kasih sayang masuk menelusup singgah direlung hati orang yang mendengarnya.
Sebagai contoh adalah bagaimana Iyut bercerita tentang tsunami di Aceh lewat tema puisinya “Desember Berduka”, yang mana gambaran-gambaran yang dicatat serasa terbayang dipelupuk mata. Dan beberapa puisi lain yang dibacakan antara lain “Rimba Yang Kesepian”, “Kabar Lumpur”, dan “Bayangan Senja”, yang kesemuanya sangat kental sekali mengungkap fakta-fakta fenomena bangsa ini yang tak habis-habisnya dirundung duka dan bencana.
Kehadiran Iyut dalam musikalisasi puisi tersebut sangat mempertegas posisinya sebagai seorang penyair kondang daerah ini yang aktif berkarya. Nampaknya Iyut mampu meletakan pondasi dasar berkesenian yang benar-benar ia lakoni secara arif dan terarah. Ia berkarya dan mempublikasikan karya-karyanya dengan berani dan tak kenal lelah. Iyut Fitra merupakan salah seorang sastrawan muda Minang yang pantas kita hormati karena ia berani berdiri sendiri secara independen di tengah-tengah banyaknya generasi sekarang yang gamang. Iyutlah yang bersuara lantang dan memiliki visi jauh kedepan menerjang gelombang kehidupan dengan karya-karya puisinya.
Sulit kita menemukan generasi baru yang menyamai seorang Iyut Fitra di kancah dunia sastra Sumbar sekarang ini. Nampaknya yang bakalan mengikuti jejak Iyut di dunia sastra yang karya-karya juga telah banyak dipublikasikan di media massa nasional maupun lokal adalah Agus Hernawan.
Musikalisasi puisi merupakan perpaduan antara musik dengan puisi secara ajek (tetap/tidak berubah). Dalam musikalisasi puisi-puisi yang dinyanyikan terasa menjadi lebih ‘hidup’ dan menarik. Karena dengan kombinasi antara puisi dengan musik maka sensibilitas (kepekaan rasa) dan pemahaman makna terhadap aspek-aspek terpenting khususnya tema-tema puisi terbuka lebar. Permasalahan yang terkesan abstrak dari gambaran sebuah puisi berubah menjadi klise-klise visual yang memperjelas jalan cerita puisi-puisi itu.
Nah, disinilah terlihat jelas pesona seorang Iyut Fitra yang hadir bagai seberkas cahaya menerangi relung hati penonton. Iyut berkomunikasi dengan penonton lewat puisinya seperti layaknya ia seseorang bercakap-cakap dengan sahabatnya. Ia menceritakan ungkapan-ungkapan perasaan yang berasal dari sabda alam lewat renungan-renungan dengan jujur tanpa adanya maksud-maksud untuk menguasai alam berpikir mereka. Artinya ia membiarkan para pengamat yang mendengarkan puisi-puisinya paham dengan permasalahan menurut pengertiannya sendiri.
Sekelumit cerita puisi dalam musikalisasi ini selain mendalam juga mengena. Maksudnya adalah momentum ini sangat berhasil membuat penonton merenung, hanyut dan berpikir tentang kehidupan disekitar mereka. Mereka dapat meraba keluh kesah, duka, cinta dan sekelumit fakta-fakta kehidupan.
Sebagai seorang penyair atau sastrawan tentunya hal ini merupakan disipliner Iyut. Artinya dunia kepenyairan sudah menjadi darah daging bagi Iyut, yang tentunya tidak dapat ditawar-tawar dengan konsekuensi lainnya walupun sangat menjanjikan. Disinilah letak pesona Iyut ditengah-tengah sangat sulitnya banyak penyair terhadap pilihan berkesenian di bidang sastra ini. Apalagi kalau hal tersebut dianggap sebagai profesi tentu akan lebih banyak lagi yang tidak masuk dalam perhitungan atau pilihan.
Mungkin waktu pulalah yang membuktikan seorang Iyut Fitra akan dipuja dan dibesarkan oleh kekuatan dirinya sendiri sebagai penyair. Iyut sudah membuktikan bahwa ia sanggup mengarah pada perjalanan menaiki tangga-tangga kesuksesan dan kematangan sebagai seorang seniman. Hal tersebut dibuktikannya dengan pernah memperoleh juara pertama dalam lomba karya sastra tingkat nasional di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Perjalanan Iyut dalam mengisi ruang sastra Sumbar dengan karya-karya serta aktivitas bersama komunitas yang dibangun bersama kawan-kawan merupakan langkah pembuktian diri. Iyut membuktikan pada dunia bahwa jangan hanya sibuk berbicara diri kita besar tapi kita tidak berkarya. Dengan karyalah kebesaran diri seseorang sesungguhnya terletak. Dan karya-karya itu pulalah yang menjadi tolak ukur keberadaan diri seseorang dari waktu ke waktu.
Konsekuensi ini tidak terbantahkan lagi dimanapun juga. Karya dan seniman adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Menariknya lewat karya seniman dapat dibaca siapa sebenarnya seniman yang bersangkutan, dan bagaimana arah dan kecenderungannya dalam kehidupan. Seniman sastra muncul dengan kata-katanya yang tajam mempesona yang sangat berbeda dengan kebanyakkan manusia lainnya yang berkata-kata. Kata kunci terletak pada seni rangkaian kata-kata yang penuh arti.
Realitas Iyut menyusuri lorong dan dimensi berkesenian Sumbar tidak saja mempopulerkan namanya semata tapi turut membangun deretan generasi baru sastrawan. Karya-karya Iyut beredar dimana-mana sekaligus di up-date luas oleh masyarakat bahkan dijadikan barometer karya-karya populer. Seperti sepenggal puisinya berikut ini yang berjudul : KABAR LUMPUR: kau kirim jua ratap itu penuh lumpur. Dalam kata-kata rengkah isyaratkan kematian perlahan. Dari mereka yang tak bisa apa-apa. Wahai, kalau saja terdengar guruh zikir kami. Kalau saja terlihat kelupas kulit kami keriput nasib yang terbakar, menyala dari siasat sengaja dikirim di meja-meja dalam runding masa depan yang menghanguskan masa lalu dan kami kini adalah orang-orang tersingkir! Kubaca alangkah betapa serasa ingin menampung tangismu yang lelehhitam dan panas. Untuk kujahit sebagai bendera negeri ini. Sebagai lagu bangsa ini agar kepedihan tak sekedar irama di koran-koran. Kubaca jua ratap itu danau lumpur. Tempat kekasihku terbenam sebelum sempat menulis puisi cinta panah ranahnya. Pada tanah membesarkannya jangan pernah datang. Seluruh kenangan di sini telah meleleh! Aku menangis. Diantara berjuta mata bersemburan tangis kubayangkan rumah-rumah lumpur, sekolah lumpur, masjid lumpur, kereta lumpur, meja penuh lumpur dan kau terkubur dalam lumpur kurasa negeri ini tak pantas lagi bercerita kenangan, atau kedamaian! ***
Padang, 2 April 2007
Budiman, pengamat seni, tinggal di Padang
Budiman, pengamat seni, tinggal di Padang
No comments:
Post a Comment