Kebiasaan Tuanku Imam Bonjol yang selalu menanyakan anaknya saat pulang dari medan perang paderi merupakan kisah menarik, sehingga Sastrawan Nasional Wisran Hadi mengangkat hal ini dalam sebuah sinetron TV.
"Di balik heroisme Imam Bonjol melawan Belanda, ternyata dari kedalaman hatinya memancarkan cahaya nilai-nilai kemanusiaan yang penuh makna kesucian. Hal ini patut diwarisi para generasi muda selanjutnya," ujar Wisran Hadi pada acara dialog tentang sinetron IMAM BONJOL di TVRI
Sinetron ini, menurut Wisran, akan ditayangkan di TVRI pusat bulan depan. Sesuatu hal yang menarik dari sinetron yang dibuat empat episode ini adalah cahaya nilai-nilai kemanusiaan yang memancar dari seorang ulama besar asal Minangkabau itu.
Sinetron IMAM BONJOL ini bukan menonjolkan adegan `berdarah-darah` namun yang dipertontonkan dari sisi lain seputar perbenturan pemikiran-pemikiran antara kaum agama dan adat di Bonjol, Pasaman dulunya," kata Wisran.
Dalam dialog bertema "Menimbang Empat Lakon Perang Paderi" karya Wisran Hadi yang digelar TVRI dan dimoderatori Kepala Stasiun TVRI Padang Purnama Suardi itu, juga tampil Sejarahwan Nasional Anhar Gonggong, sutradara senior (film) Khairul Umam dan sutradara Televisi Alwi Pamuncak.
Menurut Wisran, agar penampilan sinetron ini dapat ditonton dengan baik, dirinya terpaksa belajar secara intensif tentang Islam dan adat Minangkabau supaya mudah menemukan persoalan-persoalan guna melahirkan dialog-dialog drama dalam rangka memperkaya wawasan.
Wisran tertarik mengangkat kisah Tuanku Imam Bonjol ini, karena selama ini masih belum tergali secara lebih dalam hakekat kepribadian terdalam dari Tuanku Imam Bonjol yang ternyata sangat humanis, selain berkarakter heroisme dan spitualisme.
Karakter humanisme ini, kata Wisran yang juga dosen pada Universitas Kebangsaan Malaysia itu, jelas sekali terlukiskan dalam sejarah, setelah pulang berperang, Tuanku Imam Bonjol selalu menanyakan anak-anaknya.
"Hal ini justru sangat menyentuh perasaan saya karena Tuanku Imam Bonjol memiliki sifat kemanusian yang tingi terhadap keluarganya (anaknya), selain selalu berkuda dengan membawa pedang di
Ia menambahkan, kebiasaan pemerintah dulunya, jika seorang pejuang ditangkap penjajah Belanda maka mereka bisa dinobatkan sebagai pahlawan nasional sementara yang lainnya belum tentu.
Anhar Gonggong mengatakan, dalam tayangan sinetron "Mempertimbangkan Empat Lakon Perang Paderi" itu, Wisran terkesan mencari identitas dirinya baik sebagai orang Islam maupun sebagai orang Minang.
"Kunci utama sejarah perang paderi bukan persoalan melawan Belanda, tetapi temuan yang paling penting adalah pergumulan di dalam lingkungan internal antara kaum agama dan adat hingga mudah diadu domba oleh Belanda," katanya.
Sementara itu, yang menarik dalam sinetron itu adalah interprestasi dari sejarah itu yang dilakukan oleh Wisran Hadi, dimana penyebab perpecahan bukan hanya Belanda tetapi muncul juga dari internal kaum agama dan adat itu.
"Kali ini Wisran memang menampilkan sinetron sejarah yang berbeda paling tidak dapat memperluas wawasan terutama dalam upaya menggali makna sejarah itu sendiri," katanya.
Empat Sinopsis Sinetron "Mempertimbangkan Empat Lakon Perang Paderi" yang ditulis Wisran Hadi memuat empat sinopsis, yang mengisahkan tentang Perguruan Tuanku Koto Tuo, Perburuan Tuanku Nan Renceh, Pengakuan Tuanku Imam Bonjol dan Penyebrangan Sultan Abdul Jalil.
Dikisahkan bahwa, Tuanku Nan Renceh adalah tokoh penting dalam sejarah Perang Paderi yang terkenal dengan sosok yang teguh dan keras dalam menjalankan agama dan menjadi pemimpin Harimau Nan Salapan himpunan dari delapan perguruan yang terkenal.
Karena tidak berhasil ditangkap Belanda, lalu Belanda memberikan informasi yang keliru terhadap tokoh besar itu seperti bahwa Tuanku Nan Renceh telah membunuh saudara ibunya karena tidak mau dilarang makan sirih.
Pencatatan sejarah yang keliru itu telah menyebabkan seorang pemuda berusaha menyelami kehidupan Tuanku Nan Renceh, tetapi pada akhirnya ia terseret dan tersesat dalam sejarah hingga harus menanggung resiko dalam kesesatannya.
Sinopsis Pengakuan Tuanku Imam Bonjol, dimana perjuangannya yang panjang penuh heroisme, berakhir dengan penghianatan Belanda yang berhasil menangkapnya. Ia merupakan cerminan kegigihan seorang pemim pin, ulama dalam menegakkan dan mempertahankan ajaran Islam sekaligus melawan penjajah.
Sementara itu "Penyebrangan Sultan Abdul Jalil" lebih mengisahkan benturan antara Sultan Abdul Jalli yang terpaksa berhadapan dengan adik kandungnya sendiri karena diadu domba Belanda.
Walau Bonjol telah jatuh ke tangan Belanda hingga melumpuhkan pertahanan Paderi di Lintau, namun Sultan Abdul Jalil tetap bertahan pada sebuah Masjid besar yang dibina bersama jamaahnya. (*/dar)
No comments:
Post a Comment