OLEH BUDIMAN
Dalam berbagai perhelatan berkesenian apapun bentuknya baik seni rupa, seni suara, seni tari, teater, tradisi, seni musik dan lain sebagainya di daerah Sumbar pada tahun-tahun terakhir ini telah mampu memperlihatkan geliatnya. Pasalnya para penggiat seni banyak berusaha mengusung konteks keseniannya masing-masing dengan intens, namun masih menganut pola berjalan sendiri-sendiri atau bersifat intern kelompok/komunitas seni mereka saja. Artinya yang dilakukan seniman-seniman tersebut baru berada pada tahap presentasi (penampilan) bukan untuk sebuah bargaining position (posisi tawar) pada tahap sosiokultural secara wajar dan dinamis, termasuk sisi kesejahteraan seniman dalam materi sebagai umpan balik dari kegiatan itu.
Bila dikaji lebih jauh permasalahan ini menandakan bahwa jalannya berkesenian di daerah ini masih sangat jauh dari manajemen seni yang benar-benar mencitrakan integritas profesionalitas seniman. Hampir-hampir di banyak kesempatan pengelolaan even berkesenian dipegang atau dijalani sendiri oleh kelompok/komunitas seni yang bersangkutan. Kadang kala dari hal demikian sering terjadi kesemrautan dalam pengelolaannya yang akhirnya menyebabkan terjadi pemiskinan terhadap kiprah seniman yang bersangkutan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga masyarakat memandang seni dan seniman bersangkutan seperti angin lalu saja atau tidak bermutu.
Bukan hanya itu saja, masalah lainpun menerpa alam berkesenian Sumbar yang tak kalah ruwetnya adalah ketergantungan dan keterbatasan seniman di segala aspek baik finansial, kompetensi, eksistensi, dll. Hal ini bukan saja menjadikan seniman sangat terbatas ruang geraknya tapi banyak sedikitnya turut mempengaruhi independensi seniman dan maju-mundurnya seni itu di masyarakat.
Karena dalam setiap pemunculan karya-karya seni seniman, banyak yang hanya menunggu even dari donasi pemerintah lewat Taman Budaya, kampus seni, even dari fihak swasta yang bersifat non profit/hibah, dan undangan-undangan dari pihak-pihak yang berminat terhadap mereka (mengisi acara tertentu), dan lain sebagainya. Sangat jarang kita melihat dilapangan seniman betul-betul independen menunjukan eksistensi dirinya, dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Artinya seniman yang bersangkutan memperlihatkan profesionalitasnya sebagai bagian dari dinamika seni secara luas (makro) dalam kehidupannya. Tanpa adanya dukungan manapun ia tetap eksis dan konsisten berkarya dan mempromosikan dirinya. Konsekuensi ini merupakan cerminan sebuah sikap profesionalitas yang benar-benar terlahir dari jiwa yang paling dalam sebagai seniman.
Maksudnya adalah seniman bergerak dalam berkesenian memiliki sebuah pola manajemen seni yang mampu berperan strategis dan dinamis menjawab semua tantangan dan segala kemungkinan terhadap usaha mempertahankan eksistensi diri dan kesinambungan berkarya. Untuk mewujudkan hal itu, maka seniman mesti bersinerji dengan berbagai fihak yang mau dan mampu memperjuangkan atau membangun seni untuk kemajuan bersama lewat kerja sama saling menguntungkan satu sama lain dengan memperhatikan aspek-aspek yang berlaku sesuai peran masing-masing.
Manajemen seni yang profesional dengan aplikasi yang tepat tentu akan berfungsi mengatur lalu lintas berkesenian dengan baik, terarah, dan profesional. Akibatnya posisi seni dan seniman dengan sendirinya akan terdongkrak ketingkat terhormat dan penting baik ditingkat wacana maupun sosiokultural.
Tanpa manajemen seni yang profesional akan menyebabkan dinamika seni tersebut berjalan ditempat atau mandul dalam pergerakannya dan sulit mensejahterakan seniman-seniman secara materi. Konsekuensi ini akan sangat mempengaruhi arus perubahan dinamika berkesenian dari waktu ke waktu. Karena seniman dalam berkesenian lebih banyak berkutat pada rasionalitas dirinya sendiri yang sangat membelenggu gerak langkah mereka, seperti bagaimana berkarya, mempromosikannya, bagaimana karya tersebut dapat menghidupi mereka dan lain sebagainya.
Kenapa bisa demikian?. Pertanyaan ini pantas kita ajukan agar bisa dicarikan solusi yang terbaik untuk memecahkan masalah tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui kebanyakan seniman daerah Sumbar terlahir bukan dari sebuah pilihan profesi. Maksudnya adalah seniman-seniman di Sumbar belum sepenuhnya menjadikan berkesenian sebagai profesi (pekerjaan) yang memberikan kehidupan seperti lazimnya seniman-seniman luar negeri atau di daerah Jawa yang mampu mencerahkan kehidupan mereka seutuhnya.
Walaupun hal itu membungkus kesenian daerah ini, tapi sisi positif yang dapat dicermati dalam pergerakannya banyak seniman yang bersungguh-sungguh memperjuangkan seninya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri dan kehidupan mereka. Hal ini banyak dibuktikan dengan secara berkala seniman-seniman itu mempromosikan diri dan karya-karyanya dengan berani serta percaya diri seperti lazimnya yang terjadi di daerah lain. Biar belum bisa dijadikan sebagai sandaran hidup, mereka tetap berkarya dan tampil dimana-mana sebagai bentuk aktualisasi mereka sebagai seniman.
Realitas yang unik ini sudah sangat biasa terlihat di ranah berkesenian Sumbar. Seniman Sumbar dilapangan betul-betul teruji dan mumpuni menerobos segala rintangan serta hambatan yang membatasi dinamika mereka dalam berkesenian, walaupun belum dikelola dengan manajemen seni yang baik.
Gejala lain yang terkadang menjebak seniman dalam sosialisasi ditengah-tengah masyarakat adalah banyak seniman yang beranggapan bahwa diri dan seninyalah yang lebih baik dari yang lain (egoistis yang tidak dikelola dengan baik), terkadang mereka turut menjaga jarak dengan masyarakat dengan anggapan bahwa mereka merupakan makhluk ekslusif.
Padahal dalam berkesenian apapun bentuk seninya seseorang semua sama saja tanpa ada pembedaan satu sama lain dan keberadaan mereka tanpa dukungan dari masyarakat tidak ada artinya sama sekali. Dan kadang dalam alam berkesenian dan kehidupan semua seni bisa saja tergabung menjadi satu atau berkolaborasi yang mana satu sama lain saling memperkuat integritas masing-masing.
Untuk menjadikan seni Sumbar maju dan berjaya tentu semua hal-hal yang bertentangan dengan usaha itu harus diperbaiki secara mendasar (secara keseluruhan) seperti; perilaku seniman, manajemen seni yang mengatur seluruh kegiatan seniman, komponen-komponen seni yang ada sebagai sinerji antara seniman dengan masyarakat, dan cara berfikir atau sudut pandang masyarakat terhadap seni itu sendiri (apresiasi, wacana dan skeptisme terhadap seni). Sebab tanpa adanya sebuah upaya yang nyata mengarah kesana dipastikan seni Sumbar akan tetap dipandang seperti yang sudah-sudah yakni biasa-biasa saja atau malah keberadaannya tidak penting sama sekali.
Seni, seniman dan masyarakat adalah jalinan yang utuh mendudukan seni sebagai sebuah cerminan peradaban bersama yang dipandang tinggi dan bernilai. Dengan manajemen seni yang bagus harapan seni menjadi sebuah cerminan peradaban yang menentukan perubahan sosial dan budaya dapat terwujud sebagaimana yang kita harapan bersama.
Dalam manajemen seni terangkum segala konsekuensi arah dan tujuan serta tanggungjawab integral dari seluruh unsur-unsur seni (seniman, pengelola, pengamat, dll) yang ada sesuai kapasitas masing-masing. Artinya semua unsur tadi dapat berjalan bersinerji sesuai dengan kompetensi dan integritas masing-masing tanpa harus menguasai satu sama lain atau tidak saling merugikan. Pengaturan lewat manajemen seni akan merekat keutuhan berkesenian dengan kuat, baik dan profesional.
Manajemen seni merupakan sebuah tata nilai yang menjadi payung seniman dalam kiprah-kiprahnya. Dengan melibatkan manajemen seni dalam berkesenian diharapkan jalan berkesenian dapat berjalan harmonis, positif dan dinamis. Karena manajemen seni telah mengatur dan meng-update semua permasalahan berkesenian mulai dari hulu hingga hilir termasuk masalah kesejateraan seniman.
Di Sumbar kita masih belum memiliki kapasitas yang baik dengan namanya manajemen seni ini. Banyak diantara kita yang mengabaikan tentang manajemen seni dalam beraktivitas berkesenian baik individu maupun kelompok atau komunitas. Dan diperparah lagi ketiadaan arah yang jelas dari jalannya berkesenian secara makro (menyeluruh) yang mana terkesan seni dan berkesenian hanya milik pribadi, kelompok, atau daerah tertentu (Kab/Kota) saja. Sehingga seni itu hanya berkembang diseputar lingkungan dimana ia tumbuh saja dan seniman penggeraknya dalam berkesenian hanya menjalankan hobi atau kesenangan semata bukan sebuah kerja profesi.
Pemikiran inilah yang menyebabkan kehidupan berkesenian di Sumbar memperlihatkan sulit mencapai kemajuan maksimal diseluruh aspek. Artinya seni hanya menjadi suguhan yang tidak membawa arti dan perubahan apa-apa kepada masyarakat, apalagi mendudukan seni sebagai sebuah profesi yang bergengsi tentu akan sangat jauh dari harapan.
Hal ini senada dengan pendapat kepala Taman Budaya Sumbar Asnam Rasyid dalam penyelenggaran workshop manajemen seni pertunjukan di Taman Budaya tanggal 24-26 Maret baru-baru ini, “Bahwa komunitas-komunitas seni (25 komunitas seni Kota/Kab yang diundang) di Sumbar banyak yang tidak dikelola dengan manajemen seni dalam kiprah-kiprahnya.
Apa yang menyebabkan ketiadaan manajemen di dunia seni Sumbar, apakah kesenian masih belum menjanjikan secara finansial atau memang betul-betul belum sampai pemikiran untuk kesana, dikarenakan SDM yang tidak ada dan sangat jauhnya kontribusi pihak-pihak yang menggarap kesenian sebagai aset komersial. Atau memang seniman-seniman itu sendiri dan komponen-komponen yang bertanggungjawab terhadap itu sengaja menggabaikan atau tidak peduli sama sekali.
Nah, ini perlu kita pikirkan bersama bagaimana ke depannya manajemen seni mampu berperan sebagai pegangan/pedoman yang memayungi seniman dan karyanya secara profesional. Selain itu bagaimana menjadikan seni tersebut bagian terpenting dalam realitas sosiokultural yang sekaligus dapat dianggap sebagai profesi yang bergengsi. Dan harapannya akan membawa perubahan yang signifikan pada dinamika seni Sumbar yang mulai dilirik sebagai pusat baru seni Indonesia dengan khasanah seninya lokal genius Minangkabau (ABS-SBK). ***
Padang, 16 April 2007
Budiman, pemerhati seni rupa dan budayam kini tinggal di Padang
Budiman, pemerhati seni rupa dan budayam kini tinggal di Padang
No comments:
Post a Comment