KODE-4

Wednesday, June 27, 2007

Pertunjukan Tari Ali Sukri: Penganten Ombak: Ikonitas Kultur yang Terbelah

OLEH SAHRUL N
Pertunjukan tari Ali Sukri yang berjudul “Penganten Ombak” merupakan pembelahan budaya lewat ikon-ikon gerak yang diuniversalkan. Properti sedemikian rupa membentuk alur-alur kehidupan yang senantiasa bergerak tanpa henti dan menuju berbagai makna tentang hidup manusia. Hanya lewat selembar plastik besar, pertunjukan ini sarat dengan konflik bathin manusia, terutama manusia yang sedang dilanda bencana. Dalam hal ini tragedi Aceh menjadi inspirasi utama pertunjukan ini. Perang saudara belum berakhir datang lagi bencana yang hampir tidak menyisakan apa-apa. Akan tetapi ini semua ada hikmahnya. Tuhan seakan tidak tega melihat derita rakyat Aceh akibat perang yang tak pernah usai. Tuhan meminangnya dan menjauhkannya dari arena perang.

“Penganten Ombak” jelas menyiratkan bahwa bencana yang datang dari laut (baca: tsunami) begitu memilukan dan alam seakan meminang umatnya untuk dijadikan pahlawan dan menempatkannya di surga keabadian bersama kekasihnya. Plastik yang digoyang mengalun seperti ombak besar yang diiringi nyanyian dan ratapan kematian. Gerak penari yang gemulai membentuk tubuh-tubuh yang bicara, tubuh-tubuh yang bermakna.
Sumber gerak dalam pertunjukan ini adalah kolaborasi gerak tari tradisi (Minangkabau) dan gerak tari modern serta gerak tari kontemporer. Tari tradisi dijadikan dasar berpijak untuk menuju pertunjukan yang lebih kontemporer. Hal ini juga merupakan konsep interkulturalisme dalam dunia seni tari. Interkulturalisme merupakan persoalan keberagaman dan silang budaya yang dihadapi setiap komunitas (dalam hal ini adalah tari) dan mencegat kesadaran masyarakat terbuka. Istilah ini merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya yang memiliki fenomena budaya tari. Silang budaya memperoleh dimensinya yang baru berkenaan dengan persentuhan yang intensif antar kebudayaan baik karena proses globalisasi maupun revolusi media. Persentuhan antar budaya, tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan. Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan generasi ke generasi.
“Penganten Ombak” hadir dengan bentuk yang kontemporer berbasis tradisi. Proses kolaborasi bukan membunuh gerak tari tradisi, tetapi mencoba memadukan gerak tradisi dengan gerak modern sehingga menciptakan sesuatu yang nampak baru dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat yang mendukungnya. Gerak tradisi tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya. Penciptaan sesuatu yang baru justru akan menambah kekayaan karya tari yang ada di Indonesia. Di sini perubahan itu akan terlihat.

Konsep makna budaya yang tercermin lewat ikon-ikon semiosis seakan terbelah dalam ruang dan waktu. Karya tari bicara lewat gerak universal yang muncul akibat adanya kolaborasi dari gerak-gerak yang sudah ada. Tak perlu ada kata yang ada adalah tanda. Dalam seni pertunjukan tari, tanda-tanda verbal itu menemukan keutuhannya, sebab seni pertunjukan tari adalah dunia imajinatif yang lengkap dengan segi ruang dan waktu serta gerak. Makna pernyataan seluruh peristiwa yang ada dalam pertunjukan tari “Penganten Ombak” yang diutarakan secara linear merupakan sebuah keutuhan pula. Penyebab konotatif itu sendiri adalah fakta dari peristiwa stunami yang telah dimodifikasi dan interpretatif yang sesuai dengan konteks action yang diinginkan subjektivitas pengarangnya.
Tanda budaya dalam “Penganten Ombak” merupakan peranan metalingual. Hal ini terlihat pada saat tari tersebut dipertunjukan dan dihubungan dengan persoalan-persoalan realitas budaya yang membangunnya. Latar sosial budaya yang terdapat dalam pertunjukan tari ini memungkinkan adanya kesinambungan budaya sebelumnya. Bisa juga merupakan penyimpangan budaya sebelumnya, baik sebagian maupun keseluruhannya terhadap budaya yang telah mapan. Dalam pertunjukan tari Ali Sukri akan terlihat budaya yang melingkupinya yaitu kebudayaan Minangkabau dan budaya kontemporer. ***

No comments:

Post a Comment