OLEH SAHRUL N
Memahami Indonesia hari ini adalah memahami sesuatu yang absurd, yang tercerai berai oleh sistem yang tak jelas. Di satu sisi Indonesia memiliki Presiden sebagai orang nomor satu dengan demokrasi Pancasila sebagai ideologinya.
Namun pada sisi yang lain sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap Raja sebagai panutannya. Artinya di dalam satu negara kesatuan yang luas ini ada daerah yang memiliki raja. Hal ini mengakibatkan terjadinya persaingan antar etnis yang masing-masing mereka memiliki keinginan-keinginan sendiri atas negara yang mereka miliki. Masyarakat Aceh ingin menerapkan hukum Islam, Dayak merasa "dijajah" oleh Madura, Melayu Riau merasa diperas, Maluku telah menjadi medan peperangan antar agama, sementara Jawa merasa memiliki Indonesia. Pertentangan dalam keberagaman ini akan selalu terjadi bila jalan keluarnya tak pernah ditemukan. Indonesia hari ini adalah negara tanpa identitas dan negara-negara yang dipenuhi oleh shopisme-sophisme. Sophisme berarti pemikiran palsu yang bertujuan untuk menipu, dimana di Indonesia saat ini, pemerintah seperti melakukan pembenaran-pembenaran terhadap kekacauan yang ada. Pembunuhan rakyat merupakan kebenaran, pencurian merupakan kebenaran, fitnahan merupakan pembenaran. Di samping itu pemerintah juga meminta masyarakat agar sabar dan tahan menghadapi mereka di bawah dispensasi baru. Ini merupakan sophisme-sophisme.
Kekacauan identitas di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak Indonesia ini ada. Merujuk pendapat Benedict Anderson bahwa apa yang digembor-gemborkan oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia tentang penjajahan Belanda di Indonesia tidak seluruhnya benar. Tidak semua walayah Indonesia --yang sekarang ini-- yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Sebahagian besar wilayah Indonesia hanya dijajah selama 60 tahun atau dalam kurun waktu 1850-1910. Hal ini menurut Benedict Anderson merupakan kerancuan atau penipuan sejarah yang mengakibatkan Indonesia itu penuh dengan imajinasi-imajinasi. Indonesia dibangun oleh kerangka imajinasi; imajinasi sejarah, imajinasi hukum, imajinasi politik dan imajinasi-imajinasi lainnya. Maka sophisme sejarah juga terjadi.
Sementara Y.B. Romo Mangunwijaya menjelaskan, dulunya konsep dan sosok negara tak lebih hanya instrumen, diadakannya demi pengangkatan orang kecil. Pengangkatan marhaein dan bukan proletariat komunis. Proletariat komunis cuma buruh dan tani, sedangkan marhaein meliputi semua rakyat kecil. Inilah yang diselewengkan oleh kekuasaan hari ini.
Lalu kemudian lama kelamaan terjadi perubahan prioritas, perubahan jiwa dan roh. Sepertinya kita kembali lagi ke jaman Hindia Belanda, dengan menempatkan posisi rakyat menjadi tidak berdaya, karena tidak adanya kepastian hukum, tidak adanya perlindungan hak dan yang utama tidak dihargainya keberadaan dan aspirasinya. Kepentingan rakyat kecil hari ini hanyalah nomor kesekian dari banyak kepentingan-kepentingan individu yang didahulukan.
Untuk itu dalam memahami negara yang absurd, diperlukan pemikiran yang kompleks dengan mencoba memadukan pemikiran-pemikiran yang ada, seperti halnya memadukan konsep idealisme dan materialisme. Memang kedua konsep pikiran ini saling bertentangan namun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan dalam memandang gejala budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Idealisme menurut ilmu sosial adalah doktrin bahwa ciri-ciri dasar kehidupan sosial manusia merupakan hasil dari sifat dasar pemikiran dan ide manusia.. Sedangkan materialisme menurut ilmu sosial merupakan cara pandang bahwa keadaan dasar kehidupan sosial berasal dari "kondisi material kehidupan sosial", seperti ekonomi, lingkungan fisik, dan tingkat teknologi.
Lebih jauh Sanderson menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan idealis berusaha menjelaskan ciri dasar kehidupan sosial dengan merujuk kepada daya kreatif pikiran manusia. Pendekatan ini mempercayai bahwa keunikan manusia terletak dalam fakta bahwa manusia memberikan makna-makna simbolik bagi tindakan-tindakan mereka. Manusia menciptakan rangkaian gagasan dan cita-cita yang rinci dan menggunakan konstruk mental ini dalam mengarahkan pola perilaku mereka. Berbagai karakteristik pola perilaku yang berbeda-beda dalam masyarakat yang berbeda dilihat sebagai hasil serangkaian gagasan dan cita-cita yang berbeda pula.
Sementara pendekatan materialisme menolak keras berbagai jenis teori yang ditelorkan oleh ilmuwan-ilmuwan idealis. Pemikir materialis berusaha menjelaskan ciri-ciri dasar kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan kondisi praktik-material dari eksistensi manusia. Kondisi-kondisi ini meliputi sifat lingkungan fisik, tingkat teknologi, dan sistem organisasi ekonomi. Para materialis melihat berbagai faktor ini sebagai pembentuk prasyarat dasar eksistensi manusia. Bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah adabtasi terhadap lingkungan fisik, dan ini harus dilakukan dengan menciptakan tekonlogi dan sistem ekonomi. Sekali teknologi dan sistem ekonomi diciptakan, maka ia akan menentukan sifat pola-pola sosial lain yang dilahirkan masyarakat manusia. Jenis teknologi dan sistem ekonomi yang berbeda akan melahirkan jenis pola-pola sosial yang berbeda pula. Bahkan, para materialis umumnya menganggap gagasan dan cita-cita manusia berasal dari pola-pola sosial yang diciptakan sebelumnya.
Idealisme yang terkenal adalah idealisme yang dikembangkan oleh ahli filsafat sejarah yaitu Hegel dengan mengemukakan bahwa kebebasan merupakan "ide". Sekalipun demikian, kebenaran tentang universalitas formal yang karena dirinya sendiri tidak menentukan dan menerima ketentuan dari masing-masing materi yang dengan itu merupakan kesadaran yang diaplikasikan dalam sebuah universalitas yang menentukan dirinya sendiri, yang merupakan kehendak, adalah kebebasan. Karena kehendak itu memiliki universalitas, dirinya sendiri sebagai bentuk yang tidak terbatas, karena isinya, objeknya, dan tujuannya, ia bukan hanya kehendak yang bebas di dalam dirinya, melainkan kehendak yang bebas untuk dirinya. Idealisme Hegel ini erat kaitannya dengan sejarah, dimana nanti juga merupakan rujukan oleh Karl Marx untuk membuat konsep materialisme historis dan Engel dengan konsep materialisme dialektis. Marx menjelaskan bahwa penggilingan dengan tangan menghasilkan masyarakat tuan-tuan feodal, penggilingan dengan uap menghasilkan masyarakat kaum kapitalisme industri. Sedangkan materialisme menganggap bahwa hakekat seluruh realitas adalah materi dengan menunjuk faktor-faktor sejarah. Jadi bukan dari pemikiran melainkan oleh keadaan material manusia.
Tokoh-tokoh yang terkenal yang menganut paham idealisme setelah Hegel adalah Strukturalis Perancis yang juga antropolog Claude Levi-Strauss, kemudian Sherry Ortner, Marshal Sahlin, dan Talcott Parsons. Sementara tokoh-tokoh materialisme adalah Karl Marx, Friedrich Engels, Marvin Harris dan lain-lain. Sedangkan Max Weber merupakan ahli yang tidak bisa dikatakan materialis dan juga bukan idealis. Dalam kenyataanya, Weber sering disebut sebagai seorang pemikir yang mengkombinasikan pola penjelasan materialis dan idealis dalam pendekatan sosiologi yang bersifat menyeluruh. Jadi Weber berpendapat bahwa gagasan bukan semata hasil dari kondisi-kondisi material yang ada, tetapi keduanya seringkali memiliki signifikansi kausalnya sendiri-sendiri.
Indonesia hari ini, merupakan negara yang sedang terpuruk dalam lumpur krisis yang paling dalam. Tidak hanya krisis ekonomi, namun juga krisis mental dan krisis identitas. Tak ada lagi yang bisa dipercaya dari Indonesia, yang ada hanyalah sophisme-sophisme. Hal ini bisa dilihat dari pandangan-pandangan negara lain terhadap Indonesia. Indonesia adalah negara terkorup di dunia, tersadis di dunia, paling banyak hutang dan lain-lain yang arahnya tetap pada posisi negatif. Betapa mengharukan dan menyedihkan, namun kita tidak bisa berbuat apa-apa. Memang pada satu sisi, apa yang dikatakan dunia internasional, tidak seluruhnya benar, karena mungkin ada kepentingan-kepentingan tertentu di dalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Edwar W. Said bahwa ada kepentingan-kepentingan tertentu dunia barat dalam memandang dunia timur. Kepentingan yang mengarah pada hegemoni barat dalam menguasai dunia dalam segala bidang. Pada dasarnya dunia barat menginginkan posisinya tetap yang teratas dan memposisikan dunia timur sebagai dunia primitif.
Namun melihat kenyataan yang ada, di Indonesia memang sedang terjadi "kegelapan" yang yang menyeluruh. Di Kalimantan banyak kepala-kepala yang berserakan, di Aceh darah berceceran dimana-mana, di Maluku luka tak pernah sembuh. Di saat itu pula para politisi sibuk merapikan baju masing-masing dan mengeratkan ikat pinggang untuk kepentingan-kepentingan sendiri-sendiri. Betapa memalukan, sehingga Taufik Ismail memberi judul kumpulan puisinya dengan "Malu Aku Jadi Orang Indonesia". Lalu dengan apa kita harus memahami Indonesia ini? Saya kira tidak bisa hanya lewat ide-ide atau pemikiran-pemikiran (idealisme) saja atau hanya lewat materialisme saja. Harus ada kedua sistem ini dalam memandang Indonesia. Dimulai dari materialisme baru kemudian dikembangkan dalam tataran idealisme. Seperti yang dikatakan oleh Camus bahwa jika manusia adalah “suatu spesies material semata”, ia hanya mungkin diperlakukan sebagai objek dan sebagai objek eksperimen.
Dalam tataran praksis, antara idealisme dan materialisme tidak jauh berbeda, hanya saja cara berangkat dari keduanya memiliki perbedaan. Kalau idealisme memulainya dengan ide-ide yang cemerlang, sementara materialisme memulainya dengan bentuk atau kenyataan yang sudah ada. Pada dasarnya idealisme dan materialisme sama-sama mengadopsi pemikiran Hegel. Seperti yang diungkapkan Camus bahwa materialisme ilmiah dan ateisme secara pasti menggantikan paham antiteisme dari para pemberontak pada waktu-waktu yang lalu dan terlalu berpihak --dibawah pengaruh Hegel-- pada suatu gerakan revolusioner yang, sampai tiba masanya, adalah tidak benar-benar terpisah dari asal usul moralnya yang bersifat evangelis dan idealistik.
Orisinalitas Marx terletak dalam penegasannya bahwa sejarah, secara serempak, dialektik dan ekonomik. Hegel sebenarnya lebih ekstrim lagi, menegaskan bahwa sejarah adalah materi (matter) dan sekaligus semangat (spirit). Marx menolak semangat sebagai substansi yang definitif dan memperkokoh materialisme-historis. Hal ini ditanggapi oleh Berdayaev tentang ketidakmungkinan mendamaikan antara dialektika dengan materialisme. Dialektika sama halnya dengan idealisme hanya bisa berada dalam pikiran. Bahkan materialisme sendiri merupakan gagasan yang ambigu. Dengan hanya merumuskan kata itu, maka haruslah diterima bahwa tentu saja ada sesuatu, di dalam dunia ini yang lebih unggul dari materi itu sendiri.
Untuk itu dalam memahami sebuah negara --seperti Indonesia-- maka konsep materialisme idealistik adalah konsep yang cocok, karena tidak mungkin hanya memikirkan sesuatu tanpa melihat keadaan. Kehadiran materi harus diimbangi dengan pemikiran yang kompleks. Sama halnya dengan I Wibowo yang memberi kata pengantar buku Giddens bahwa orang cenderung untuk memikirkan “jalan ketiga” ini sebagai pilihan ketiga antara sosialisme dan kapitalisme. Bagi Giddens sendiri melihat masa sekarang merupakan masa yang diliputi oleh ketidakpastian. Untuk itu harus ada jalan tengah yang mencoba menggabungkan unsur-unsur yang bisa diterima dari sosialisme dengan unsur-unsur yang juga bisa diterima dari kapitalisme. Seperti contoh yang ditulis oleh sosialis Indonesia yang cerdas pada tahun 1951, Lintong Mulia Sitorus, bahwa sampai akhir abad ke-sembilan belas, orang-orang kulit berwarna masih tidur dengan pulasnya, selagi orang-orang kulit putih sudah sibuk bekerja di setiap lapangan. Kenyataan ini menandakan bahwa kelemahan sosialis adalah semangat kerja yang merupakan kelebihan bagi kapitalisme. Sedangkan kesenjangan yang berlebihan antara pemilik modal dengan kaum buruh merupakan kelemahan kapitalisme yang juga merupakan kelebihan dari sosialisme.
Kalau kita berkaca pada masa lalu yaitu pada masa orde baru yang kita ambil buahnya hari ini, memang banyak sekali kebobrokannya. Undang-undang digunakan oleh penjahat-penjahat berdasi yang mengubah dirinya menjadi hakim untuk dirinya sendiri. Kesalahan selalu terletak di pundak mereka yang tak mampu membeli keadilan. Hukum sebagai sesuatu yang ideal tidak pernah membenarkan sesuatu yang salah. Lalu kesalahan terletak pada pelaksanaan dan ini merupakan tataran materi yang hadir hari ini.
Secara materialisme, keadaan Indonesia sedang berada dalam lubang krisis yang paling dalam. Pengangguran yang semakin berlipat ganda, mengakibatkan banyaknya tindak kejahatan. Maling dengan santai, tanpa merasa bersalah berlalu seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu akan timbul pertanyaan, kenapa orang melakukan tindak kejahatan? Maka jawabanya secara materialisme adalah karena mereka tidak mampu secara materi untuk mempertahankan hidup yang semakin keras. Usaha untuk menanggulangi hal ini adalah dengan cara meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kalau masyarakat sudah makan secara wajar maka tingkat kejahatan itu akan menurun dengan sendirinya. Kecuali tingkat kejahatan besar seperti korupsi.
Untuk pemikiran hari ini, tidak mungkin menerapkan materialisme murni seperti keinginan Marx yang tumbuh pada ratusan tahun yang lalu dan dalam konteks perubahan yang berbeda. Seperti yang dikatakan Derrrida bahwa tidak mungkin menghadirkan kembali marx dengan segala pemikiran-pemikirannya, karena waktunya tidak nyambung. Waktu bagi Derrida adalah perubahan, dan Marx pun harus dipahami sebagai sesuatu yang berubah.***
No comments:
Post a Comment