KODE-4

Sunday, June 24, 2007

Perjumpaan Dua Etnis Pedagang


OLEH NELTI ANGGRAINI
DATA BUKU
Judul: Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat
Penulis: Erniwati
Halaman: xvi + 175 halaman

Penerbit: Penerbit Ombak

Cetakan: Pertama, Januari 2007
Tionghoa—salah satu etnis yang identik punya naluri bisnis yang kuat—berjumpa dengan etnis Minang dengan etos dagang yang tak kalah pekat, apa jadinya? Sejarawan Universitas Negeri Padang juga kandidat doktor Jurusan Sejarah Universitas Indonesia yang cukup intens dan fokus melakukan kajian tentang etnis Tionghoa, Erniwati, mencoba memotret keberadaan dan perkembangan komunitas Tionghoa di Ranah Minang, dan bagaimana mereka berinteraksi dan membaur dengan penduduk pribumi Minangkabau. Dalam kajian dan pendekatan historis, ia memaparkanya dalam buku Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatra Barat.

Kajian tentang etnis Tionghoa di Indonesia memang cukup banyak, namun kajian khusus tentang komunitas Tionghoa di Sumatra Barat masih sangat sedikit. Padahal, kajian tentang etnis Tionghoa di Sumatra Barat sangat penting dalam mengisi kekosongan historiografi di Indonesia. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak ini, diangkat dari tesis S2 Erniwati di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Kajian dalam buku ini mengambil rentang waktu mulai dari pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Dalam buku ini diulas mendalam asal-usul kedatangan komunitas Tionghoa dan faktor yang mendorong mereka untuk bermukim di Sumatra Barat (halaman 43-63), juga dibeberkan perkembangan populasi dan peranan orang Tionghoa dalam perkembangan ekonomi di Sumatra Barat (halaman 75-98), terakhir penulis buku ini mengurai tentang kehidupan sosial dan budaya dan organisasi orang Tionghoa di Sumatra Barat (halaman 104-139)
Kedatangan orang Tionghoa ke Sumatra Barat tak terlepas dari faktor ekonomi. Persentuhan pertama antara etnis Tionghoa dan penduduk pribumi Minangkabau dalam aktivitas perdagangan sudah diawali berabad- abad yang lalu, ketika orang Tionghoa melakukan perdagangan Internasional dengan Raja – raja di wilayah Nusantara (halaman 3). Hubungan dagang antara pedagang–pedagang dari Cina dengan pedagang Minangkabau di pedalaman Sumatra Barat terjadi melalui jalur transportasi sungai yang melintas dari daerah pedalaman sampai keselat Melaka. Jumlah orang Tionghoa yang datang ke Sumatra Barat semakin meningkat ketika jalur perdagangan lada juga dibuka di pantai barat Sumatra sejak abad ke-13, perdagangan dilakukan di pelabuhan pantai Pariaman, Tiku, Ulakan, Koto Tangah, dan pantai Padang
Sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jumlah penduduk Tionghoa merupakan kelompok kedua terbesar setelah penduduk pribumi (halaman 40). Meningkatnya jumlah orang Tionghoa seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi yang dilaksanakan oleh Hindia Belanda untuk melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam Sumatra Barat.
Orang Tionghoa pada awalnya memilih tinggal didaerah pelabuhan pantai barat Sumatra, seperti di pelabuhan Pariaman, bahkan menurut catatan Christine Dobbin pemukiman Tionghoa sudah ada di Pariaman sekitar tahun 1630. Selain di pelabuhan Pariaman orang Tionghoa juga terdapat di pelabuhan Padang, Tiku, serta Painan. walaupun etnis Tionghoa tersebar di berbagai tempat di pesisir barat Sumatra, namun khusus untuk pemukiman komunitas Tionghoa hanya terbentuk di Pariaman dan di Padang. Daerah Pondok atau Tanah Kongsi di Padang merupakan pemukiman Tionghoa terbesar di Sumatra Barat. Kawasan pemukiman komunitas Tionghoa disebut Pecinan kalau di daerah Sumatra Barat orang menyebutnya Kampuang Cino
Aktivitas ekonomi etnis Tionghoa pada awalnya hanya berpusat di daerah pesisir pantai barat Sumatra, terutama di Padang dan Pariaman, namun karena terpikir untuk mendapatkan barang dagangan secara mudah dengan harga murah, mereka mencoba masuk seluas mungkin ke pusat- pusat produksi di daerah-daerah pedalaman Sumatra Barat, kondisi tersebut tidak berlangsung lama karena kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang Tionghoa hanya diperbolehkan tinggal di kota- kota dagang yang ditunjuk oleh asisten residen. Pada tahun 1874, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tanah liar/woeste gronden (halaman 69-70) yang memungkinkan orang Tionghoa membeli tanah di daerah pedalaman Sumatra Barat. Setelah peraturan itu keluar, banyak orang Tionghoa ditemukan tinggal di kota kota pedalaman seperti Padangpanjang, Bukitinggi, Solok, Sawahlunto dan sebagian kecil di daerah lainnya.
Selain itu pula, dalam buku ini terlihat keunikan relasi sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi Minang di Sumatra Barat. Keunikan orang Tionghoa di Sumatra Barat terlihat dari keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat Minangkabau yang memiliki kemampuan untuk bersaing di bidang ekonomi, bahkan etnis Tionghoa mampu menggeser kedudukan pedagang Minangkabau tanpa menimbulkan konflik (halaman 147). Mengenai keunikan hubungan antara etnis Tionghoa dan Etnis Minangkabau yang sama-sama memiliki etos dagang sempat disinggung oleh Bambang Purwanto, guru besar FIB Universitas Gadjah Mada, dalam pengantar buku ini yang menyatakan bahwa ruang kontestasi yang harusnya menimbulkan konflik laten berdarah antara komunitas Tionghoa dan masyarakat Minangkabau ternyata tidak berlangsung seperti halnya pernah terjadi di daerah Medan, Makassar, Kudus, Surakarta dan Tasik Malaya (halaman xv). Hal ini disebabkan, selain memiliki modal, orang Tionghoa memposisikan dirinya hanya sebagai pedagang, tanpa memasuki sistem sosial, budaya, dan politik masyarakat Sumatra Barat.
Pada awalnya, antara dua etnis ini terjadi hubungan mutualisis, di mana pedagang Minangkabau membutuhkan orang Tionghoa yang memiliki jaringan perdagangan internasional di Selat Malaka dan Batavia, juga sebagai penghubung penduduk pribumi dengan pedagang Eropa, serta sebagai tempat memperoleh barang-barang impor yang tak dapat diproduksi sendiri oleh orang pribumi. Sedangkan orang Tionghoa membutuhkan penduduk pribumi sebagai pemasok hasil bumi seperti cengkih, pala, lada, emas, dan komoditas ekspor lainnya. Hasil bumi ini ditukarkan dengan tekstil dari India, Persia, dan barang-barang lain yang dibawa dari China, seperti benang, kain sutra, porselen, keramik, tembaga, obat, barang pertukangan, dan barang mewah lainnya.
Pada perkembangan selanjutnya, pedagang Tioghoa dapat dikatakan lebih sukses ketimbang pedagang Minangkabau. Ini disebabkan pedagang Tionghoa didukung oleh praktik perkongsian, juga dimotivasi penguasa Belanda, Faktor-faktor demikian, tak lebih karena Belanda ingin aman dan menanggung risiko yang lebih kecil jika kekuasaan ekonomi diberikan kepada kelompok pedagang Tionghoa ketimbang diserahkan kepada kelompok pedagang pribumi. Untuk meredam sentimen penduduk pribumi, orang Tionghoa hanya menempatkan diri hanya sebagai pedagang dan tidak mencampuri kehidupan lainnya di Sumatra Barat
Buku ini memperlihatkan ketelitian dan kecermatan penulisnya dalam menggali sumber tertulis maupun lisan, yang menghasilkan satu kajian lokal masyarakat Tionghoa pada abad ke-19 dan awal abad-20 di Sumatra Barat. Selain itu, buku ini hadir juga sebagai usaha untuk lebih memahami peranan sejarah hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas lainnya di Nusantara, khususnya etnis Minangkabau. Maka, buku ini layak untuk diapresiasi pengamat sosial dan juga para pelaku ekonomi. ***
Nelti Anggraini,
Penulis bergiat di Komunitas Daun dan Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang

No comments:

Post a Comment