KODE-4

Saturday, June 16, 2007

Koreografer Rasmida "Menghidupkan" Hoerijah Adam

OLEH SAHRUL, dosen di STSI PADANGPANJANG
Akan selalu ada peristiwa-peristiwa kembali ke cahaya, ketika seseorang merasakan zaman keemasan dari kemenangan dan sekali lagi berdiri tegak dan tak tergoyahkan, siap untuk menghadapi bahkan hal-hal yang paling keraspun, seperti sebuah busur meregang melawan bahaya-bahaya baru. Tapi, Anda adalah dewa yang tak bertuan. (Nietzsche dalam Genealogi Moral, hal: 46)
Tulisan Nietzsche di atas memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh Hoerijah Adam semasa hidupnya. Sebagai seorang pelopor kesenian tari Minangkabau, Hoerijah Adam telah menorehkan tinta emas dan menuju pada kemenangan kreativitas. Sosoknya berdiri tegak dan tak tergoyahkan, seperti tugu estetis dalam jiwa seniman-seniman muda saat ini. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya ada hal-hal yang membuat dirinya menderita, seperti kehancuran rumah tangga sampai pada peristiwa tragis kematiannya. Begitu itu saja, Hoerijah Adam pun harus berhadapan dengan adat Minangkabau yang keras. Sosok perempuan di Minangkabau --mungkin juga pada etnis lain-- adalah sosok yang menjadi nomor dua. Perempuan adalah ibu rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Sementara untuk dunia yang lebih luas laki-laki merasa lebih berkuasa. Dari fenomena ini, Hoerijah Adam menyongsong derasnya angin kebiasaan. Dia menantang dunia yang dikuasai laki-laki dan dia menang dalam perjuangannya. Kesendirian dalam kemenangan Hoerijah Adam sama halnya dengan apa yang dikatakan Nietzsche bahwa “Anda adalah dewa --mungkin untuk Hoerijah Adam bisa disebut dewi-- yang tak bertuan”.

Memanggil kembali Hoerijah Adam inilah yang dilakoni oleh Rasmida di Minangkabau Village Padangpanjang yang akan dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2003 mulai jam 17.00 WIB. Sebagai koreografer, Rasmida mengingatkan kembali kejayaan dan keemasan Hoerijah Adam dalam bentuk 4 (empat) pertunjukan yang menyatu dalam satu judul yakni “Mambangkik Batang Tarandam: Hoerijah Adam Tokoh Tari Minangkabau”.
Pertunjukan diawali dengan menyaksikan pameran foto-foto dan lukisan tentang Hoerijah Adam. Foto-foto tentang masa keemasan hingga lukisan tragis peristiwa kematiannya. Pertunjukan selanjutnya adalah mengenang Hoerijah Adam (In Memoriam Hoerijah Adam) yang melibatkan sahabat serta murid-murid Hoerijah Adam seperti Irsyad Adam, Dedy Luthan, Sentot S, Yunarti, Roslaini Murad, Anida Kristini, Sawanismar, dan Nirwana Murni. Kemudian pertunjukan dilanjutkan dengan shalat serta do’a bersama untuk ketenangan Hoerijah Adam yang sudah berada di alam yang berbeda. Fenomena seperti adalah ungkapan kehormatan yang sangat besar terhadap pejuang kesenian dan pejuang emansipasi.
Pemutaran film dokumenter tentang biografi Hoerijah Adam merupakan bagian pertunjukan yang menyiratkan keteguhan hati seorang wanita dalam mengarungi kehidupan, baik kehidupan berkesenian maupun kehidupan berumah tangga. Penciptaan seni yang berbeda dengan seni sebelumnya membuat Hoerijah Adam harus berhadapan dengan kekakuan tradisi budaya Minangkabau yang semasa dia hidup memiliki kekuatan yang sangat besar.
Pertunjukan diakhiri dengan menghadirkan komposisi tari karya Rasmida. Pertunjukan ini merupakan puncak dari rangkaian pertunjukan dalam rangka memanggil kembali Hoerijah Adam. Pertunjukan tari tersebut dikemas dalam bentuk kontemporer dengan melibatkan 10 penari dan 9 pemusik. Ide penciptaan karya tari tetap dilatarbelakangi oleh perjalanan kreatif dari seorang yang bernama Hoerijah Adam. Seniman besar yang lahir pada tanggal 6 Oktober 1936 tewas dalam kecalakaan pesawat MNA di pulau Katang Katang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat pada tanggal 10 November 1971. Hoerijah Adam hilang bersama dengan 68 penumpang lainnya. Lautan adalah kuburan abadi dari seniman besar ini.
Karya tari juga menggambarkan sosok perempuan yang hidup di lingkungan adat dan tradisi Minangkabau yang keras. Sosok perempuan masa lalu yang harus menghadapi fenomena sosial yang menomor sekiankan perempuan menjadikan dirinya sulit untuk memilih antara keluarga dengan karis kesenimanan. Sebagai perempuan Minangkabau yang beragama Islam, sebenarnya dia ingin mempertahankan keluarga dari kehancuran. Akan tetapi untuk hal yang satu ini, dia mendapat rintangan yang cukup besar. Dia harus rela berpisah dengan Ramudin sang suami tercinta.
“Akan selalu ada peristiwa-peristiwa kembali ke cahaya” kata Nietzsche dan peristiwa-peristiwa tersebut memiliki makna yang berbeda. Hoerijah Adam dalam rangka menuju cahaya keemasan dan kemenangan selalu menemukan peristiwa-peristiwa dan tentu saja ada yang baik dan ada yang buruk. Penilaian baik dan buruk ditentukan oleh etika yang berkembang di tengah masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat Minangkabau khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Bisa juga komunitas perempuan yang menginkan keseimbangan dalam mengarungi kehidupan yang beragam ini.
Konsep baik menurut Spencer secara kualitatif sama dengan konsep kegunaan atau practical manfaat, sehingga dalam pertimbangan-pertimbangan baik dan buruk, kemanusiaan konon telah menghitung dan mengizinkan secara pasti pengalaman-pengalamannya yang tak termaafkan dan tak terlupakan dari manfaat berguna dan kerusakan tak berguna. Kebaikan adalah segala hal yang selama ini telah membuktikan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang berguna dan meletakannya dalam status yang lebih tinggi dan terhormat sebagai sesuatu yang bernilai baik. Dalam hal ini Hoerijah Adam mendapat kehormatan yang tinggi karena ia bisa menghasilkan karya-karya yang berguna dan bermanfaat. Etika masa lalu adalah rintangan yang kecil dari sesuatu yang berguna dan bermanfaat yang diperjuangkan.
Rasmida mengambil etika yang baik dari sosok Hoerijah Adam dalam dunia kreatifitas seni tari, akan tetapi juga tidak terlepas dari sisi kehidupan yang lain sebagai sosok perempuan yang memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Rasmida mencoba memanggil kembali sosok yang menjadi legenda, akan tetapi bukan berarti Rasmida melahirkan karya yang sama dengan sosok tersebut. Rasmida hanya mengambil spirit (semangat, jiwa, atau roh) dari Hoerijah Adam.
Memanggil kembali jiwa seorang tokoh merupakan gejala dekonstruksi seperti halnya Derrida memanggil kembali Marxis dalam Hantu-hantu Marx-nya. Derrida menghidupkan kembali spirit Marx tetapi bukan Marx yang hidup pada masa lalu, akan tetapi Marx yang telah mengalami dekonstruksi. Akibatnya bukan Marx yang hadir akan tetapi adalah hantu-hantunya atau sosok yang menyerupai Marx dan bukan Marx.
Rasmida berbeda dengan Derrida. Pada tiga pertunjukan yang pertama, Rasmida utuh menghadirkan Hoerijah Adam sebagai sosok masa lalu. Hanya pada pertunjukan keempat, Rasmida mengambil jiwa atau roh dari sosok yang bernama Hoerijah Adam. Memang untuk memanggil sosok seseorang atau tokoh kita sering terjebak dengan persoalan idola-idola.***
SAHRUL N, pengamat seni pertunjukan dan pengajar jurusan teater di STSI Padangpanjang


No comments:

Post a Comment