KODE-4

Monday, June 4, 2007

Identitas Kultural dan Sastra yang Tersebar

OLEH SUDARMOKO
Suatu saat, saya pernah mendengarkan sebuah obrolan ringan tentang fenomena yang menarik tentang pengarang-pengarang Minangkabau. Mereka mencoba membagi dan melihatnya dalam beberapa bagian. Mengingat juga bahwa pembagian ini, dengan cara lain, sering dibicarakan dalam beberapa tulisan, lebih-lebih yang membicarakan tentang pengarang karya sastra Indonesia yang berasal dari Minangkabau.
Kehadiran dan pengaruh mereka terlihat jelas dalam sastra Indonesia. Hal ini disebabkan, mereka yang ‘menguasai’ Balai Pustaka dan karya-karya mereka banyak yang diterbitkan di sana. Demikian juga halnya dengan kedekatan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia. Mereka dengan mudah ‘menemukan’ frasa atau kalimat yang sangat indah dan penuh mewakili untuk mengekspresikan sesuatu. Demikian juga dengan sejumlah tradisi ritual dan seremonial yang, tak dapat dihindarkan, mempengaruhi kompetensi dan ingatan akan bahasa dan cara bertutur mereka.

Apa yang saya dengar ketika itu adalah bahwa pengarang Minangkabau memiliki kecenderungan untuk mengikatkan dirinya pada rantau dan kampung. Rantau menjadi sebuah wilayah atau ranah yang dianggap mendewasakan anak-anak lelaki, baik secara psikologis maupun materi. Dan sebagian besar pengarang yang berasal dari Minangkabau memang besar di kota-kota atau tempat di luar Minangkabau. Meski, sebagian juga masih bertahan tetap di dalam ranah Minangkabau, dan melakukan perantauan bukan dalam arti geografis dan fisikal.
Untuk kasus yang pertama, zaman Balai Pustaka sudah menunjukkan contohnya. Sementara pada kasus yang kedua, sejumlah nama seperti AA Navis (alm), Wisran Hadi, Gus tf, Yusrizal KW, Harris Efendi Thahar, Ode Barta Ananda (alm), dapat diajukan. Mereka masing-masing memberikan sebuah fakta yang patut diperhatikan dan mungkin dapat dilihat jejaknya dalam karya-karya mereka.
Memang tak ada jaminan bahwa karya yang dihasilkan oleh perantau akan lebih baik daripada orang-orang tetap tinggal di daerah. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilan karya-karya Navis, Wisran Hadi, atau Gus tf yang mampu menjadi fenomena dan bahkan mampu memenangi berbagai penghargaan berkelas regional. Dengan demikian, kemungkinan capaian estetik tak ada sangkut pautnya dengan keberadaan geografis pengarang.
Namun demikian, ada satu hal terlintas dalam pembicaraan semacam ini, apakah penting membicarakan wilayah dalam membicarakan karya-karya sastra? Seperti juga kenapa dalam sebagian karya-karya sastra dituliskan kolofon tempat dan waktu di bagian akhirnya? Apakah ia pertanda akan sebuah jejak atas nama tempat dan waktu? Mungkin sebagian pembaca karya sastra memperhatikan kolofon yang ada di akhir sebuah tulisan, entah itu puisi, cerpen, atau novel. Dapat saja dari sana pembaca mendapatkan sebuah informasi, entah untuk tujuan apa. Atau juga kadang hanya membacanya selintas dan kemudian menyudahi bacaannya.
Melalui penanda yang sering dilewati ini, saya mendapatkan sebuah ide untuk menuliskan sesuatu setelah membaca antologi Raudal Tanjung Banua, Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela Press, 2003). Tentu saja, pembicaraan ini, awalnya, berangkat dari cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi tersebut. Antologi yang menghimpun 18 cerpen ini diawali dan diakhiri dengan dua buah cerpen, masing-masing “Elegi Kantor Pos” dan “Pulau Cinta di Peta Buta”, yang ditulis dalam sebuah perjalanan di atas kapal Lambelu, Samudra Indonesia, Agustus 2000. Cerpen-cerpen lainnya ditulis di tempat tinggalnya, yang sekaligus dijadikan tempat berproses kreatif pribadi dan bersama dalam hal kepenulisan dan teater, Rumahlebah Yogyakarta (masing-masing untuk cerpen “Lengking Pilu Terompet Waktu”, “Seekor Kambing Mati Tergantung”, “O Bintang Kemana Bulan...”, “Jalan ke Bukit sudah Berubah”, “Lembah yang Riang dan Kemilau Mata Air”. Selebihnya hanya dituliskan kolofon Yogyakarta, bisa dimana saja di bagian Yogyakarta, yaitu cerpen “Purnama di Serambi”, Bis Berhenti di Kampung Lengang”, Truk Berderak di Waktu Malam”, “Pertemuan di Jakarta”, “Nyonya Helena da Costa”, “Metamorfosa Cicak di Atas Peta”. Sisanya, seperti cerpen pembuka dan penutup, ditulis di perjalanan atau tempat lain, Yogyakarta-Solo (untuk cerpen “Rendesvous”), Lombok-Yogyakarta (cerpen “Tanah Harapan”), di atas selat Bali (pada “Penyeberangan”), dan Denpasar (cerpen “Dongeng Pulau Dewata”). Sementara terdapat hanya satu cerpen, “Sungguh Kematian Begitu Indah”, yang tak berkolofon.
Cerpen-cerpen Raudal dalam antologi ini memiliki kekuatan dalam penceritaan dan imajinasi. Alur yang digunakan sebagian besar kuat dan solid. Ia seperti bercerita atau bergumam dalam sebuah keramaian. Lihatlah bagaimana dalam “Elegi Kantor Pos” sosok ‘aku’ bertemu dengan seorang ‘gadis dari sebuah daerah tak berkantor pos’ dalam rutinitas kantor pos. Atau dalam “Pertemuan di Jakarta”, percakapan antara Abilio dan Lozario, saudara kembar, yang terpisah lama, dan sudah berbeda garis perjuangannya masing-masing, melakukan percakapan dalam diam.
Demikian juga dalam hal suspensi, Raudal tampaknya dengan tekun menjaga setiap logika dan kejutan imajinasi yang dibangunnya. Ia bahkan mengelabui penonton dengan alur cerita yang dibangunnya. Pada “Elegi Kantor Pos” misalnya, gadis yang selalu setia di sana mencari orang-orang yang bersedia memberikan perangkonya untuk dijilat, ternyata bermotifkan pengalaman gadis itu yang sedang menunggu surat dari kekasihnya dan kepindahannya dari kotanya yang tak lagi berkantor pos karena konflik yang terjadi.
Gadis yang ‘terdampar’ di sebuah kota, yang lalu melakukan sebuah rutinitas aneh di kantor pos, meminta kesediaan orang-orang yang datang ke sana untuk menjilati perangko, menggantikan lem yang biasa tersedia di meja-meja khusus di tengah ruang tunggu, dan ketika bertemu dengan ‘aku’ ia menjilati perangko sedemikian rupa. Gambaran ini memang membutuhkan imajinasi yang liar, seperti sebuah keadaan atau scene yang tak terduga dalam benak siapapun. Sementara dengan baik Raudal menyimpan motif kelakuan gadis itu dibelakang. Eksplorasi imajinasi seperti ini tentulah dihasilkan dari sebuah kedisiplinan dalam mengolah tokoh dan penokohan selama proses kepenulisan berlangsung. Seperti halnya seorang aktor harus mampu mengeksplorasi segala kemungkinan dari tokoh yang harus diperankannya. Ia, sang aktor, harus mencari referensi dan sumber-sumber yang berkaitan dengan tokoh dan penokohan yang dibangunnya untuk kemudian memilih dan membentuknya seperti apa yang dia inginkan, atau diiinginkan oleh kemungkinan yang disediakan dalam teks dan di luar teks.
Atau pada “Rendesvous”yang pada awal cerita terlihat seperti sebuah kisah detektif namun sebenarnya bercerita tentang berbagai rekayasa yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam memantapkan operasi mereka. Dalam cerpen ini, Gunturu bukanlah digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan atau pengaruh yang kuat untuk membuat sebuah makar, namun sebenarnya dia tidaklah siapa-siapa. Namun pihak keamananlah, dan orang-orang yang terlibat dalam skenario yang melingkarinya, yang membuatnya menjadi ‘sesiapa’. Atau seperti inilah sebenarnya kerja seorang pengarang atau penulis, membuat sesiapa yang pada awalnya tak berharga, tak memiliki tempat dalam perhatian khalayak, menjadi penting dan dipikirkan oleh pembaca.
Demikian halnya dengan “Pertemuan di Jakarta” yang dengan sangat sabar Raudal menjalin ceritanya, menahan emosi, dan mempermainkan serta membawanya kemana-mana. Demikian juga, pada cerpen ini penokohan dibangun dari dialog dan narasi yang dengan sangat berhasil dihadirkan. Ia tidak berpanjang-panjang untuk menjelaskan detil tokoh yang kembar itu, namun dari cerita yang dibangun, pembaca akan dapat membangun penokohannya.
Melalui tokoh-tokoh ini Raudal, dan juga para pengarang pada umumnya, menghadirkan pada kita aktor-aktor lain dalam hidup ini. Di tengah tarikan dahsyat televisi yang menghadirkan tokoh-tokoh selebritis dan populis, apapun bidangnya, cerita malah menghadirkan orang-orang kecil dan biasa saja. Lihatlah pada cerpen-cerpen dalam antologi ini, hadir tokoh-tokoh seorang pengarang pemula, sopir truk di perkebunan yang jauh dari hiruk pikuk, seorang prajurit, seorang murid SD di sebuah pulau di ujung Indonesia, para pencari kerja di bagian lain Indonesia, dan sebagainya. Mereka hadir menjadi ‘tokoh’ yang menghasut pikiran kita. Menjadi ‘jagoan’ yang memiliki peran penting dalam sebuah peristiwa dalam hidup.
Raudal melalui cerpen-cerpennya ini, terlihat mampu bertindak melepaskan diri dari ‘identitas kultural’, seperti yang ditulis Agus Noor di halaman belakang antologi ini. Memang pada satu sisi hal ini dapat dilihat dalam sejumlah cerpen yang mengambil latar dan peristiwa di berbagai daerah. Namun juga tak dapat disangkal bahwa kerinduan pada kampung masih terasa sangat kental bila dibaca cerpen “Jalan ke Bukit Sudah Berubah”, yang dalam kolofonnya menyatakan bahwa cerpen itu ditulis di rumahnya, Rumahlebah, Yogyakarta. Kenyataan yang dihadapi oleh tokoh suami istri dalam cerpen ini seperti mewakili kenyataan sejumlah perantau Minang yang disebut merantau cina, merantau dan tidak akan kembali lagi ke kampung halaman. Sebagian perantau memang tidak kembali lagi ke kampung halaman, karena alasan atau pandangan tertentu yang dimiliki perantau itu.
Nah, apakah dengan demikian Raudal, dalam karya-karyanya, tidak lagi memiliki beban kultural semacam ini? Bila dilihat pada sejumlah cerpennya, memang didapat sebuah kesimpulan bahwa ia tidak hanya berbicara tentang etnik tertentu, bahkan kampung halamannya sendiri, namun lebih berbicara tentang apa saja dan dimana saja. Ia berbicara tentang Papua dalam “Elegi Kantor Pos”, “Metamorfosa Cicak di Atas Peta”, “Peta Cinta di Peta Buta”. Atau tentang Timor Timur dalam “Pertemuan di Jakarta” dan “Nyonya Helena Da Costa”. Tentang Lombok dalam “Tanah Harapan”. Tentang Bali dalam “Dongeng Pulau Dewata”. Atau yang lainnya. Namun ternyata, asumsi ini tak sepenuhnya benar. Beban kultural mungkin tak ditemui dalam pemilihan tema atau latar belakang cerita, namun dengan mudah dapat ditelusuri kegelisahan kulturalnya dalam mengungkapkan (bahasa) cerita, atau ketika secara khusus menjadikannya sebagai tema cerita. Di sini, saya berlainan dengan pandangan Agus Noor di atas.
Sama halnya, sebenarnya, ketika Gus tf menulis tentang etnik lain dalam cerpen-cerpennya. Meski letak geografis dan pengalaman empirik antara kedua cerpenis ini berbeda. Bahkan dialogpun diciptakan secara tak langsung antara kedua cerpenis ini ketika Raudal menulis cerpen “Sungguh, Kematian Begitu Indah”. Berbeda halnya dalam cerpen lain yang dilakukan Raudal adalah meminjam dan ‘menyetujui’nya, terutama dalam “Jalan ke Bukit Sudah Berubah” yang merupakan judul puisi Afrizal Malna. Pernah terlintas dalam pikiran saya, akankah ada sebuah karya yang merupakan ‘kelanjutan’ dari karya sebelumnya? Misalnya, akankah ada sebuah karya tentang anak Hanafi (dalam Salah Asuhan (Balai Pustaka, 1928) karya Abdoel Moeis) yang ditinggal mati, bagaimana nasibnya setelah ditinggal mati ayahnya, apakah dia akan mengikuti nasihat ibunya untuk tidak meniru ayahnya, tidakkah dia berpikir kemudian bahwa jejak ayahnya patut ditiru? Bagaimana nasibnya kini? Atau ini mungkin yang ditinggalkan oleh Moeis kepada kita.
Tapi bagaimana sebenarnya Raudal melihat perjalanan dan perantauannya? Dapat disimak dalam baris-baris sajaknya berjudul Mata Pisau Perantau berikut: Sebagai perantau, satu-satunya mata pisauku/mungkin cuma kenangan. Tapi ternyata, rantau punya/ dua mata pisau yang agak ganjil cara mengasahnya://Mata pertama diasah kabar gembira/yang kilauan-kilauannya memukau orang sekampung/- kabar keberuntungan/Di malam-malam larut mereka rindukan tajamnya/mengiris kebekuan mimpi, tak pernah rampung,/tak pula surut.//Mata yang sebelahnya lagi terasah kabar buruk/yang harus kubara sendiri dengan kengiluan-kengiluanku,/dengan igauan-igauanku, tak terbalaskan.// Dua mata pisau, satu hulu, menyatu dalam diriku/selalu terasah walau kusarungkan ke balik jantung/membuat kenangan pun berdarah!/ (Suara Karya, 13/3/2005)
Bagi perantau, entah apapun latar belakangnya, mengingat kampung adalah memungut kerinduan dan sekaligus kehilangan. Seperti juga yang saya alami ketika bertemu dengan orang-orang exile yang ada di sebuah negeri, bertahun-tahun hidup dalam pengembaraan dengan sebuah rindu tak terkatakan. Begitulah, bertemu dengan orang-orang seperti pak Mintardjo, Agus Salim, Cipto, Rusjdi dkk, yang selalu menitikkan air mata setiap kali menyanyikan lagu kebangsaan atau menceritakan kepedihan masa lalunya. Air mata yang bukan karena cengeng menghadapi hidup, terbukti bahwa sebagian dari mereka mendapatkan posisi dan kehidupan yang baik. Namun air mata itu lebih tertuju pada sebuah entitas bangsa, tanah air, kampung halaman mereka, saya kira. Siapa dapat menerka, seperti apa kerinduan mereka atas kampung halamannya? Saya pikir tak pernah tertuntaskan untuk membicarakannya. Hal ini juga dibaca dengan jelas oleh Komaruddin dalam esainya “Dapatkah Sastra Eksil Berbicara?” (Kompas Minggu, 25 Mei 2003) yang menunjukkan bahwa kerinduan terhadap tanah air mendominasi karya-karya yang dihasilkan oleh para pengarang eksil.
Jejak perjalanan dan perantauan akan tercatat dalam setiap kenangan. Namun demikian, rindu akan kampung adalah sebuah jejak awal sekaligus pemantik api yang selalu menghidupkan keinginan untuk terus hidup. Identifikasi seseorang terletak pada latar belakang etnisitas, yang semakin kabur pada saat belakangan ini, sembari terus mengenakan berbagai emblem kenangan dan kebudayaannya.
Membaca cerpen-cerpen Raudal, pada satu sisi memang mengindikasikan bahwa beban atau kaitan dan identifikasi etnis semakin kabur, dengan mengangkat berbagai tema dan peristiwa yang terjadi dimana-mana. Namun pada sisi lain, hal itu adalah sebuah warta kepada orang-orang di kampung bahwa ia masih ada dan masih harus terus berjalan. Kenapa? Karena masih didapati sejumlah karya yang ditujukan pada kampung, kenangan masa lalu, dan kegundahan serta tarik menarik untuk mengunjungi dan sekaligus usaha untuk berjarak.
Pendapat ini dapat dibenarkan melalui penjelasan yang diberikan oleh Suryadi dalam bukunya Syair Sunur Teks dan Konteks ‘Otobiografi’ Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19 (Yayasan Citra Budaya Indonesia dan PDIKM, 2004). Suryadi menjelaskan sebuah teks syair yang ditulis oleh syekh Daud dapat dikatakan mewakili dirinya untuk bercerita kepada orang-orang di kampungnya, Sunur. Hal ini dilakukan oleh Syekh Daud karena dirinya tak mungkin untuk kembali ke kampung karena alasan masa lalu yang memalukan. Maka ia hanya mengirimkan salinan teks syair untuk dibaca dan diketahui oleh orang-orang kampung bahwa dirinya masih hidup dan sebenarnya ingin kembali ke kampung.
Hal ini memungkinkan sebuah dialektika yang tak akan pernah hilang dan habis dalam perjalan hidup. Katakanlah bahwa ia juga menjadi sumber energi dan sumber penciptaan dalam proses kepenulisan dan kepengarangan. Raudal dalam karya-karyanya mungkin saja berbicara tentang etnis mana saja, namun pada dasarnya pengalaman masa lalunya memberi sebuah alternatif cara memandang dan cara berpikir dalam melihat persoalan. Masalah antara pendatang dan pribumi, misalnya, bukan hanya masalah di pulau paling timur Indonesia. Program transmigrasi telah membawa pengaruh besar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk juga di Sumatra Bara, dan juga di Pesisir Selatan, tempat Raudal pernah dibesarkan.
Bisa disimak ketika ia berbicara tentang “Tanah Harapan”, Raudal tidak sekadar bicara tentang orang-orang yang ada di Mataram, tetapi juga jutaan orang Indonesia yang bercita-cita menjadi tenaga kerja di luar negeri. Ini masih ditambah lagi dengan cerpennya “Jalan ke Bukit sudah Berubah” yang memperlihatkan keadaan yang sama di daerahnya sana. Inilah bentuk lain dari sebuah common sense itu. Raudal memperlihatkan perhatiannya pada masalah ini di berbagai daerah sembari juga menunjukkan jarinya ke daerahnya sendiri.
Atau, di sini berlaku apa yang dinamakan perasaan transindividualisme dalam sosiologi sastra itu. Perasaan yang lebih tepat untuk disebut perasaan bersama yang dialami oleh seseorang terhadap berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya. Semacam common knowledge dan common sense. Apalagi ditambah dengan arus informasi dan percepatan penyebaran berita yang dalam hitungan detik sudah bisa diketahui oleh jutaan orang. Seperti begitu dahsyatnya respon yang diberikan orang di seluruh dunia terhadap bencana Tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Aceh dan Nias (tulisan Sudjoko di Bentara Kompas, Rabu, 4 Mei 2005, “Adakah Persahabatan Semesta?” dengan sangat simpatik menggugah perasaan yang seharusnya dirasakan dan direnungkan lebih dalam).
Maka tak ada yang aneh dengan kepedulian dan perhatian yang diberikan pengarang, dan juga seniman, terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Mereka bebas untuk bicara apa saja dan tentang peristiwa dimana saja. Seperti yang ditulis oleh Radhar Panca Dahana dan kemudian ditanggapi oleh Danarto tentang adanya banjir karya karena bencana di Aceh, di harian Kompas beberapa waktu lalu. Atau kemudian harian Republika malah membuka ruang cerpennya khusus bertema bencana Aceh sejak bulan April lalu. Hal yang mengingatkan kita pada rubrik oase puisi Republika yang menyediakan tema reformasi di awal era reformasi dulu. Inilah sebuah semangat baru merespon dengan sengit apa yang terjadi di sekitar. Walau meski juga tak semua karya itu kemudian dihasilkan dari sebuah pendalaman, karena memang kadang bersifat emosional dan permukaan sekali.
Muhammad Radjab telah menghabiskan segala kenangannya Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928) kedalam novel biografinya (Balai Pustaka, 1950). Dan itu adalah batas dimana dia berhubungan secara fisik dengan kampung dan segala sudutnya, untuk kemudian harus menempuh sebuah perantauan. Tapi hal itu pula yang sangat membekas dan memberi alas bagi perjalanannnya berikutnya. Ada batas tak kentara dalam fase kehidupan. Batas yang ingin dijemput namun selalu tak sampai. Batas yang kemudian menghantui sepanjang jalan ke depan.
Tak dapat dielakkan begitu saja bahwa karya sastra, sedikit banyak, adalah biografi yang didasarkan atas pengalaman masa lalu. Atau pengalaman kekinian yang kemudian berubah nama menjadi cerita yang fiksi. Budi Darma (dalam Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (eds.), Muhammadiyah University Press and HISKI: 2000), dengan mengutip George Bernard Shaw dalam Gibb mengatakan bahwa karya sastra yang baik pada dasarnya merupakan representasi dari pengalaman pengarangnya sendiri.
Seperti apa beban kultural yang harus dipikul oleh pengarang? Mungkin bisa dihadirkan banyak pertanyaan untuk hal ini. Pun demikian dengan batasan yang dilekatkan ketika berbicara tentang kultur dan kampung halaman. Pengarang kini telah melebur dalam sebuah kebudayaan semesta yang tak dapat lagi dengan mudah dipilah dan dijejaki. Berbaurnya berbagai budaya telah dengan sangat dahsyat membentuk cara berpikir, yang kemudian terefleksi dalam karya-karya atau tulisan. Sementara di tengah serangan yang dahsyat atas keterpengaruhan budaya itu, identitas kultural semakin hablur. Orang semakin was-was dengan keetnisannya, apalagi bila menghubungkannya dengan perpindahan generasi, disertai pertanyaan akan resistensi yang dipunyai.
Sementara kampung halaman, mungkin lebih dipikirkan sebagai sebuah idealisasi individu. Masih relevankah berbicara tentang kampung halaman? Nyatanya, bila diteliti dengan lebih seksama, ia masih relevan, tentu bila kita ingin bicara tentang proses kreatif atau ekspresi yang dimiliki sastrawan, misalnya. Tak dapat dimungkiri bahwa diri kita, sebagian, semakin meringkuk dalam determinasi primordial. Sementara pada saat yang sama juga ditarik masuk dalam perputaran budaya semesta yang mengglobal. Di sini, mungkin, diperlukan sebuah identitas budaya dan kampung halaman itu, agar tak hilang diri dan tersesat dalam sebuah dunia yang menelikung.
Ada kemungkinan lain bahwa identitas kultural dan kampung halaman itu dimaknai sebagai kemanusiaan. Seperti halnya nilai sastra itu sendiri yang melampaui waktu dan batasan geografis. Ada kebebasan untuk membahas dan berbicara tentang apa saja dan dimana saja, tanpa ada batasan spesifik. Dan karenanya berguna bagi siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Kemungkinan ini lebih dapat diterima dan dianut oleh orang-orang. Toh, kerja sastra, dan seni, adalah mengabadikan sesuatu yang sebelumnya terserak dan liar.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya melihat bahwa sebagai sebuah pribadi yang berkembang, ada yang tak sinkron dengan kehidupan. Begitupun yang dialami sebagian para perantau yang tentu saja berhadapan dengan masalah-masalah psikologi yang unik dan menarik. Misalnya, perantauan menawarkan berbagai kebaruan, tampaknya, selalu berhadapan dengan kampung yang, tampaknya, statis dan lamban dalam kehidupan. Saya teringat dengan obrolan Gus tf di Kayu Tanam dalam sebuah acara dulu, bahwa “berhadapan dengan kamu, dunia seakan lamban berjalan,” begitu kira-kira dia berucap. Saya membawanya dalam sebuah konteks pembicaraan yang berbeda. Namun, sungguh, ada yang hilang ketika kita berjarak dengan sesuatu, entah kenangan, atau juga harapan.***

No comments:

Post a Comment