KODE-4

Sunday, June 24, 2007

Etnisitas Minangkabau dalam Film Dog's Life


OLEH SAHRUL N
Saya pernah mendapat beberapa pertanyaan dari orang di luar etnis Minangkabau, seperti, “Kenapa orang Minang suka berburu babi?”, “Kenapa orang Minang suka pada anjing, padahal orang Minang itu Islam?”, “Kenapa babi harus dibunuh, padahal ia hanya hidup di hutan?”, dan pertanyaan lain yang sejenis dengan itu. Waktu itu saya menjawabnya dengan logika-logika seadanya yang tentu saja tidak akan memuaskan penanya tersebut.

Lalu muncul film independen dengan judul A Dog’s Life karya Zainal “Jay Abi” Abidin, produksi STSI Padangpanjang yang mengisahkan kehidupan manusia (sebuah keluarga) yang berburu babi di Minangkabau. Film yang Adi Krishna sebagai director of photograpy-nya merupakan pemenang II Festival Film Independen Indonesia II (FFII II) tahun 2003 yang diadakan SCTV ini, secara ironis memperlihatkan bagaimana seorang peburu babi lebih sayang sama anjingnya yang dibeli dengan harga jutaan rupiah dibandingkan dengan anak dan istrinya sendiri. Dari film ini, teman yang dulu bertanya mungkin akan menambah pertanyaan baru yaitu “Kenapa orang Minang yang katanya beragama Islam lebih sayang kepada anjing yang mahal dan haram dibandingkan anak dan istrinya yang halal?” Menjawab pertanyaan baru inipun mungkin saya harus kembali mencari logika-logika seadanya yang sangat diragukan oleh teman tersebut.
Kehidupan yang digambarkan A Dog’s Life bagi orang Minang mungkin tidak menjadi persoalan, karena tradisi berburu babi yang telah ada sejak dulu memang harus begitu. Kebiasaan berburu merupakan upaya untuk mengamankan wilayah pertanian dan perkebunan dari gangguan binatang perusak. Berburu bagi orang Minang, sama halnya dengan tradisi berburu binatang oleh etnis yang lain seperti di Afrika, Amerika dan lain-lain. Akan tetapi cara yang dilakukan akan berbeda pada masing-masing etnis. Maka proses berburu merupakan proses akulturasi (acculturation) dimana pengaruh kebudayaan asing diakomodasi serta dintergrasi tanpa menghilangkan kepribadian. Akulturasi terjadi bila ada kesamaan kepentingan dalam hal ini kesamaan dalam upaya menyingkirkan gangguan binatang terhadap tanaman petani. Pemberdayaan anjing sebagai binatang yang sanggup disuruh menghalau dan membunuh babi juga merupakan pengaruh dunia lain. Anjing menjadi simbol universal tentang binatang yang patuh pada manusia.
Kebudayaan berburu di Minangkabau telah menjadi kebudayaan yang sukar (sulit) berubah atau disebut juga dengan covert culture. Perubahan sektor ekonomi yang dulunya didominasi usaha pertanian memang sedikit merubah pola berburu babi di Minangkabau. Kalau dulu orientasinya jelas membunuh atau menghalau binatang perusak seperti babi, tetapi sekarang orientasi itu telah berubah menjadi semacam hobby yang harus disalurkan. Keinginan untuk memperlihatkan kehebatan individu manusia beserta anjing-anjingnya sangat menonjol. Hal ini bisa dilihat dan didengar di kedai-kedai kopi dimana paburu sangat bersemangat menceritakan keberhasilan ternaknya dalam usaha membunuh babi. Akibatnya harga ternak (anjing) yang hebat menjadi tinggi, bahkan sampai puluhan juta. Tentu saja persaingan seperti ini harus mengorbankan kehidupan yang lain yaitu keluarga. Makan anak cukup dengan lauk seadanya, sementara anjing makan dengan gizi yang lebih baik, kalau perlu diberi minuman berenergi agar staminanya tetap terjaga.
A Dog’s Life menjadi identitas etnis masyarakat Minangkabau dalam menjalani kehidupan. ***

No comments:

Post a Comment