OLEH SUDARMOKO
Data Buku
Judul : Perantau Kumpulan Cerita Pendek
Penulis : Gus tf Sakai
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Maret 2007
Tebal : ix + 133 halaman
Penulis : Gus tf Sakai
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Maret 2007
Tebal : ix + 133 halaman
Kesan adanya studi yang dilakukan dalam penulisan karya sastra dapat dirasakan dalam cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi cerpen Perantau. Cerpen-cerpen yang ditulis Gus tf Sakai dalam buku kumpulan cerpen ini dapat dikatakan sebagai cerpen antropologis, cerpen yang merekam kegelisahan berbagai etnis, manusia, yang berangkat dari mitologi dan kepercayaan masyarakat. Cerpen-cerpennya berangkat dari studi yang mendalam, dengan penguasaan yang detil terhadap tema yang dikerjakannya. Secara tematis, kumpulan cerpen ini berisi problematika manusia terhadap identitas dirinya, yang berhubungan dengan jejak historis, asal muasal, dan jati diri etnisitas.
Buku ini menjadi salah satu karya sastra Indonesia yang menunjukkan capaian estetika literer yang tinggi. Gus tf Sakai memperlihatkan kerja sastranya dengan memasuki peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, memanfaatkannya menjadi cerita yang kuat dan sublim. Ia bergerak dari berbagai legenda, sejarah, mitos, dan peristiwa kekinian. Menariknya, benang merah yang merangkum keseluruhan cerpen ini, sebagaimana dapat dilihat dari judulnya, adalah perantauan. Sebuah suasana keberjarakan yang memungkinkan seseorang untuk melihat segala persoalan dirinya dengan lebih jernih dan menghadirkan perspektif kemungkinan yang terbuka.
Studi yang dilakukan oleh Gus tf lebih terarah pada studi khas antropologi dan psikologi, dengan memasuki persoalan tokoh dari lingkungannya, pikiran-pikiran yang ada dalam manusia dan masyarakat lingkungannya, sehingga menjadikan tokoh-tokoh itu memiliki konflik dan karakter, dan karenanya terasa benar-benar hidup. Tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpennya tidak berhenti sebagai tokoh literer fiktif imajinatif, yang hidup dalam cerita, namun lebih hadir sebagai representasi dari sebuah entitas masyarakatnya.
Perantau dan perantauan bukan sebatas fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau. Dimana seorang lelaki Minangkabau diharapkan dan didorong untuk meninggalkan kampung halamannya untuk meraih masa depan yang lebih baik. Ini pun, perantauan yang dilakukan oleh lelaki, dengan segera dihadapkan oleh fenomena seorang perempuan, dalam cerpen “Stefani dan Stefanny”, yang menjadi seorang aktivis LSM dan sangat terobsesi oleh berbagai masalah sosial, termasuk sejarah misterius dan besar yang menyangkut keberadaan tambo dan sistem sosial kemasyarakatan Minangkabau. Fakta ini telah jamak terjadi. Seorang perempuan yang kini telah berbaur dalam pergaulan besar manusia global dan wacana semesta yang terjadi di berbagai belahan dunia, namun tetap risau dengan masalah etnis kesukuannya.
Perantau dan perantauan dalam antologi ini juga dapat dilihat dalam berbagai variasinya. Dari buku ini kita juga akan mengalami perantauan itu. Pergerakan dari satu peristiwa di sebuah daerah beralih ke peristiwa lain di daerah lain, dari satu daerah pedalaman ke sudut perkotaan, dalam masa yang juga berbeda. Pergerakan ini menjadi daya tarik dari berbagai cerita yang dihadirkan. Dan menariknya, sekali lagi, cerita-cerita itu berangkat dari fakta atau peristiwa yang dipercayai adanya, baik dari sudut pandang mitologi maupun historis.
Berbagai mitologi maupun cerita yang berkembang dalam sebuah masyakat dimanfaatkan dengan baik oleh Gus tf. Usaha ini terutama sekali didukung dengan mempergunakan data-data kesejarahan. Seperti misalnya dalam cerpen “Jejak yang Kekal”, “Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas” yang menceritakan tambang emas di Rejang, Bengkulu yang ikut menyumbang nilai penting dari Monas, “Hilangnya Malam”, sebuah cerpen menarik yang mengisahkan perubahan yang terjadi di sebuah masyarakat di Sumatra Utara akibat adanya jam malam yang diterapkan oleh pihak militer. Jam malam ini, dan operasi militer, berakibat pada berubah dan hilangnya ritual yang biasa dilakukan masyarakat di komunitas pedalaman itu. Atau pada cerpen “Tok Sakat” yang berasal dari Palembang, bekas kerajaan Sriwijaya dan hubungannya dengan kepercayaan berbagai suku bangsa terhadap alam dan kekuatan transendental. Demikian juga dengan “Kota Tiga Kota” yang bercerita tentang asal usul sebuah kota, dan perubahan yang terjadi karena adanya seorang pendatang yang mengacaukan kepercayaan lama. Atau pada cerpen “Stefani dan Stefanny”, kisah tentang seorang perempuan Minangkabau yang gelisah atas sejarah dan mitos asal usul yang termaktub dalam tambo. Cerpen terakhir ini merupakan salah satu karya Gus tf yang berbicara tentang keberadaan tambo, sistem sosial, dan kesejarahan masyarakat Minangkabau.
Cerpen “Jejak yang Kekal” menurut saya merupakan salah satu cerpen terbaik yang pernah dihasilkan oleh Gus tf Sakai. Cerpen ini dipenuhi unsur visual dramatik, kisah yang dilakoni oleh seorang ahli arkeologi dalam upaya memburu jejak yang diduga berasal dari masa ribuan tahun yang lalu, sebelum keberadaan homo habilis. Jejak sepatu itu ditemukan pada seekor monyet yang diinjak sepatu. Namun anehnya, jejak itu sesuai benar dengan jejak yang ditinggalkan oleh sepatu lars masa kini, yang biasa digunakan oleh militer, dalam sebuah penyerbuan ke sebuah kampus. Jejak sepatu lars berlumpur yang menginjak foto jejak sepatu pada monyet dari temuan sebelumnya, ternyata sama persis. Cerpen ini terkesan abstrak dan absurd namun di sisi lain sangat memikat dengan logika dan jalinan cerita yang sangat di luar dugaan.
Tidak hanya mitos atau kepercayaan daerah pedalaman atau etnis tertentu yang biasa menjadi obyek antropologi tradisional, tema-tema mitos atau peristiwa perkotaan juga menjadi perhatian dari cerpen-cerpen Gus tf. Hal ini dapat dibaca pada cerpen “Lelaki Bermantel”, “Belatung”, “Kami Lepas Anak Kami”, dan “Sumur”. Cerpen-cerpen dengan latar dan problematik perkotaan ini lebih banyak bicara tentang ekses yang timbul dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat perkotaan. Kota dan kebudayaan yang ada di dalamnya, selalu saja meninggalkan korban, baik karena kekalahan dalam kompetisi kehidupan kota atau tantangan lain bagi mereka yang masuk dalam arus besar kebudayaan perkotaan.
Sebagaimana karya-karya Gus tf lainnya, baik dalam bentuk puisi maupun novel, cerpen-cerpen dalam antologi Perantau ini ditulis dengan bahasa yang sangat puitis dan terpilih. Bahasa digunakan dengan sangat leluasa. Sebuah tanda bagaimana penulis cerpen-cerpen ini menguasai bahasa. Demikian juga, Gus tf secara intensif mencari bahasa atau kata dari berbagai referensi dan kamus. Bahasa yang ada dalam cerpen-cerpennya sangat terpilih dan tidak berhamburan tanpa makna dan fungsi. Melalui cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi terkininya ini kita dapat melihat bagaimana usaha keras yang dilakukan Gus tf dalam dunia sastra kita.
Di samping itu, usaha serupa yang ia tampilkan dalam puisi-puisinya adalah jalinan antar paragraf yang rapat. Ia menggantung kalimat di akhir paragraf untuk diulang dalam kalimat awal paragraf berikutnya, meski latar atau tokoh yang ada dalam paragraf berikutnya berlainan. Kepaduan ini menciptakan nafas yang erat dan jalinan cerita yang merenggut perhatian pembaca untuk tetap berada dalam suasana yang dibangun dalam cerpen-cerpennya. Usaha ini juga tampak dilakukan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam kebanyakan cerpennya. Tidak mudah memang untuk mengalirkan cerita dalam bahasa yang jalin menjalin antar paragraf seperti yang dilakukan oleh dua pengarang kuat dalam sastra Indonesia ini.
Catatan lain patut pula dikemukakan di sini. Dalam sejumlah cerpennya, Gus tf menghadirkan berbagai peristiwa kekerasan, konflik yang berujung pada semburan darah, peperangan, dan kisah tragik dramatik lainnya. Selain sebagai sebuah realitas, peristiwa ini juga memperlihatkan bagaimana perang dan tumpahnya darah merupakan sebuah artikulasi dari penyelesaian atau risiko dari konflik yang ada. Pembunuhan, kekerasan, dan pertumpahan darah menjadi bagian dari kehidupan. Sebuah gambaran penting untuk melihat masyarakat kita dalam keutuhannya.
Akhirnya, antologi cerpen Perantau yang memuat dua belas cerpen ini tidak sekadar kumpulan cerita pendek yang tersebar di berbagai media massa. Lebih dari itu, kesatuan tema yang merangkai berbagai cerpen ini merupakan hasil kerja keras Gus tf Sakai dalam mengelaborasi proses kreatifnya. Perantau menjadi bagian penting dari proses yang dijalaninya. Setidaknya, untuk sebuah tema besar, ada obsesi atau elaborasi yang diusahakannya dengan menggunakan berbagai referensi yang ada. Sebuah usaha yang tidak banyak dilakukan oleh para penulis karya sastra, terutama cerpen yang memiliki ruang cerita yang terbatas durasinya.***
Sudarmoko, peneliti sastra Indonesia, tinggal di Padang.
No comments:
Post a Comment