Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia sekitar 10 tahun yang lalu, sebagian besar orang berpendapat bahwa mereka yang menggeluti ekonomi menengah ke bawah mampu bertahan. Mereka tidak hanya mampu bertahan karena modal yang mampu mereka kendalikan, namun juga karena interaksi bidang dan produk mereka terhadap pasarnya yang demikian intim. Misalkan saja petani yang menjadi produsen bagi kebutuhan perut sebagian manusia Indonesia yang hidup di kota-kota.
Kebijakan yang mendukung usaha kecil menengah (UKM) ini juga menjadi komitmen dunia perbankan, selain juga perhatian mereka yang besar pada usaha menengah ke atas yang walaupun jumlahnya lebih kecil namun memerlukan modal bergulir yang sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan berbagai program yang ditujukan kepada UKM. Dari usaha produksi hingga pemasaran. Tak ketinggalan juga berbagai program pemerintah dalam membantu UKM.
Ekonomi menengah ini memang digarap oleh sebagian masyarakat kita. Diversifikasi bidang garapannya pun juga beragam. Mulai dari bidang agraria hingga kerajinan. Mulai dari masyarakat biasa saja tingkat pendidikannya hingga para sarjana. Bahkan juga UKM menjadi bagian dari bisnis sambilan bagi mereka yang memiliki modal.
Mencermati perkembangan UKM di Kota Padang memang cukup menarik. Apalagi bila dikaitkan dengan tindakan represif penggusuran PKL yang dilakukan oleh Pemkot melalui Pol PP. Di satu sisi pemerintah mengelu-elukan kehidupan dan perkembangan UKM yang ada di Padang, dan juga Sumatra Barat umumnya. Merekalah para penolong perekonomian yang sempat kolaps. Mereka juga yang menjadi tumpuan bagi kehidupan masyarakat.
Namun di sisi lain, UKM yang berwujud pedagang kaki lima (PKL) menjadi sasaran empuk kebijakan penataan kota. Mereka dinilai sebagai biang dari berbagai kemacetan dan perampasan fasum seperti trotoar. Inilah yang menjadi masalah yang tak habis-habisnya. Karena memang kecenderungan para pengelola UKM seperti PKL untuk membuka usaha di tempat yang ramai. Masalah yang tak kalah serius adalah penanganan yang tepat bagi persoalan ini. Bagi pemerintah, misalnya, masalah ketertiban umum menjadi alasan dan kebutuhan. Sementara bagi para PKL, tempat-tempat yang ramailah yang menjadi posisi strategis bagi mereka. Di sinilah kemudian muncul konflik yang berdasarkan kepentingan masing-masing.
Sementara ini, kebijakan yang berkaitan dengan PKL ini masih setengah hati. PKL yang memegang dua peran sekaligus, sebagai pahlawan dan sekaligus musuh juga menghadapi dilema yang sama, menjadi incaran penertiban. Inilah persoalan yang terjadi. Tindakan setengah hati ini terlihat dengan tidak adanya alternatif penyelesaian masalah. Infra struktur yang secara komprhensif dapat memberikan jalan keluar. Salah satunya dengan sosialisasi kembali rencana penataan ruang, dimana saja lokasi yang dapat digunakan untuk berbisnis, sentra bisnis, hingga daerah yang dilarang untuk digunakan sebagai arena berbisnis.
Dengan begitu, diharapkan orang, terutama mereka yang menggeluti bisnis dalam skala kecil dapat memperhatikan. Sementara mereka yang memiliki modal besar, tentu saja dapat bernegosiasi, seperti yang acap terjadi meski sering kali menyalahi berbagai rencana dan peraturan yang ada. Ini mungkin yang masih menjadi pertanyaan. Bagaimana rencana pembangunan dan pertumbuhan Kota Padang sesungguhnya, dan apa saja langkah-langkah antisipasi yang telah disiapkan?
Politik belah bambu sudah saatnya diakhiri. Di sana sini menggembar-gemborkan peran dan keberadaan UKM, namun pada kenyataannya malah menghabisi mereka. Sering kali memang, kemiskinan masih menjadi komoditi yang potensial, baik dalam menjalankan program pemerintahan maupun dalam meluncurkan kebijakan. Sementara orang-orang miskin dan kelas menengah ke bawah nyaris tiada henti bekerja dan melapangkan kesempatan hidup mereka, di bawah tekanan modal dan juga kebijakan yang mengancam mereka.*
Sudarmoko, bergiat di Komunitas Langkan Padang
No comments:
Post a Comment