KODE-4

Tuesday, May 15, 2007

EDY UTAMA

Menduniakan Musik Tradisi Minang

Tidak banyak orang yang menggeluti riset musik tradisi rakyat Minangkabau, apalagi yang serius. Dari sekitar 4,4 juta jiwa penduduk Sumatra Barat, pelaku-pelaku musik tradisional di kampung-kampung di daerah itu, sepertinya hanya kenal satu nama; Edy Utama.

Yang ia lakukan sejak dua dasawarsa terakhir tidak hanya sekadar riset, tetapi juga pendokumentasian melalui foto, video, dan buku. Sekaligus ia juga menumbuhkembangkan musik tradisi Minangkabau melalui Kelompok Talago Buni, memperkenalkannya ke dunia internasional melalui video compact disc (VCD), pameran etnografi dan pertunjukan keliling di mancanegara.

“Edy Utama sudah memberikan sesuatu yang sangat berarti dalam pelestarian dan perkembangan musik tradisi Minang yang selama ini terabaikan. Pada saat kesenian tradisi dipinggirkan dan juga tenggelam oleh hiruk pikuk budaya pop dan budaya pasar karena globalisasi, bahkan terancam punah, ia mendoku-mentasikan, mengembangkan dan memperkenal-kannya ke dunia internasional,” kata Prof Dr Mursal Esten, budayawan yang kini Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang.

Senada dengan itu pengamat kesenian Yusrizal KW di tempat terpisah mengatakan, apa yang tidak dilakukan orang atau pemerintah melalui lembaga semacam Taman Budaya Propinsi Sumbar, misalnya, Edy Utama melakukannya.

“Dari dulu ia punya perhatian yang serius kepada musik tradisi yang tumbuh dan berkembang di Minangkabau. Santiang (hebat)-nya lagi, ia mampu menggaet donatur-donatur asing yang punya perhatian pada kesenian, terutama seni tradisi,” jelasnya.

Karena keseriusannya itu, sejak lima tahun terakhir Edy Utama acapkali diundang berpentas musik tradisi Minang, mengikuti festival, berpameran keliling, kunjungan kebudayaan antara lain ke Jerman, Australia, Amerika Serikat, dan Perancis. Terakhir, Januari-Februari 2000 lalu ia menggelar pameran foto tentang kehidupan teater rakyat Minangkabau, randai, di University of Hawaii at Manoa.

“Sejak 40 tahun terakhir kesenian tradisi hanya menjadi lip service, alat legitimasi kepentingan pemerintah, tanpa mempertimbangkan spirit dalam tradisi itu sendiri. Akibatnya seni tradisi tidak berkembang. Kesenian tradisi tidak mendapat penghar-gaan memadai,” kata Edy Utama, pekan lalu.

Ketika pemerintah yang lebih memperjuangkan kepentingan politik kekuasaan mengaitkan kepen-tingannya dengan kehidupan budaya dan seni pertunjukan rakyat Minangkabau, maka di situlah dinamika budaya rakyat tersebut mulai lumpuh. Bahkan hubungan ini mampu mempengaruhi dan mengubah orientasi serta filosofi budaya rakyat yang pada awalnya cukup demokratis menjadi feodal dan sentralistis. Pengaruh ini ternyata tidak memberikan daya hidup yang cukup berkesinambungan bagi aktivitas budaya dan seni pertunjukan rakyat Minang-kabau.

Edy dengan Kelompok Talago Buni yang dipimpinnya, berhasil memadukan potensi seniman musik akade-mik, seniman tradisional, dan seni pertunjukan. Lebih dari itu, ia dengan Kelompok Talago Buni juga berhasil menciptakan alat musik baru yang sampai sekarang belum diberi nama, terbuat dari bambu-dawai, dengan tetap mempertimbangkan karakteristik musik Minang-kabau.

“Pada saat kebudayaan dunia hampir seragam, tampilnya budaya lokal seperti kesenian kontemporer musik tradisi Minangkabau mendapat sambutan luar biasa di mancanegara. Kemampuan seni tradisi Minangkabau dinilai banyak pihak di luar negeri sangat komunikatif dan dianggap unik. Ia berbeda dari seni klasik yang mempengaruhi budaya industri pop yang berkembang selama ini,” jelas Edy.

Musik tradisi Minangkabau diterima banyak pihak di luar negeri karena penuh dinamika, tegas, dan kaya improvisasi. Melodinya sangat unik. Kekuatan melodi yang ada pada musik tradisi itu sendiri merupakan sumber penciptaan.VCD musik tradisi Minang Kelom-pok Talago Buni bertajuk “Bagurau” yang laris manis di banyak negara, diproduksi orang Jerman. Di Indonesia VCD tersebut belum beredar. Sejumlah VCD lagi siap diproduksi. Maret 2001, Kelompok Talago Buni diundang tampil di Perancis. “Oktober tahun ini, dua musisi Senegal selama satu bulan akan melakukan kolaborasi dengan Kelompok Talago Buni, di Padang, sebelum membuat VCD yang diproduksi orang Jerman,” tambah Edy.

Lewat Lembaga Komunikasi Budaya, Edy menggagas dan menggelar “Padang Multikultural Festival” pada 4-7 Agustus 2000. Di situ, selain pertunjukan kesenian etnis Cina, Keling, Minangkabau, dan Nias, juga ada seminar dengan pembicara Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Ketua LIPI Prof Dr Taufik Abdullah, pengamat politik Dr Daniel Dhakidae, dan Ketua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Dr Endo Suanda.

“Konsep ini barangkali bisa dipakai untuk menyele-saikan konflik antaretnis di Indonesia. Etnis lain juga harus diberi kesempatan berekspresi dalam kesenian. Selama ini, hak-hak mereka tak diakui. Dalam konsep Minang, kompetisi yang sehat memperkuat asal berjalan secara dialogis,” jelasnya. Rencananya, tahun 2001 kegiatan akan diperluas dengan mengundang praktisi musik etnis berbagai negara.

Kehidupan budaya dan seni pertunjukan rakyat di mana pun tetap merupakan ekspresi obyektif masya-rakat pendukungnya dan merupakan media dialog bagi peningkatan solidaritas kultural di antara pendukung-nya. Oleh sebab itu, kata Edy, memberi kesempatan berarti menciptakan ruangan lebih lega bagi pertum-buhan budaya dan seni pertunjukan rakyat itu sendiri, terutama yang berasal dari tradisi budaya etnis di Indonesia.

Dilahirkan di Lubuksikaping, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat, 41 tahun lalu, Edy Utama pernah kuliah selama tiga tahun di Institut Kesenian Jakarta sambil aktif di Teater SAE. Tahun 1982 ia pindah ke Padang dan menjadi sutradara di kelompok Teater Kita.

Ia menyutradarai pementasan “Kereta Kencana” (1982) karya Iogene Ionesco, “Caligula” (1983) karya Albert Camus, “Dongeng Hari Esok” (1985) karya Edy Utama, “Macbeth” (1997) karya William Shakespeare, Pertemuan, kolaborasi dengan kelompok Healing Teater dari Jerman, “Opera Bagurau: Sirkus Manusia” (1998) kolaborasi dengan seniman musik instalasi dari Kota Basel, Swiss, Dr Boeery Benhard Batzchelet.

Edy pernah menjadi redaktur kebudayaan di harian Singgalang, Padang (1982-1984), penulis freelance di Malaysia (1985-1986), dan redaktur budaya harian Semangat (kini Semangat Baru) Padang (1986-1987). Sejak tahun 1995, Edy Utama menjadi ketua penyun-ting Jurnal Kebudayaan Genta Budaya Sumatra Barat dan sekarang anggota dewan redaksi Harian Mimbar Minang, Padang.

Dalam kegiatan organisasi kesenian, Edy Utama yang ikut menulis buku Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1995 ini pernah pula dipercaya sebagai/Ketua Pelaksana Dewan Kesenian Sumatra Barat (1993-1995), anggota Dewan Pertimbangan Pekan Budaya Sumatra Barat (1989-1993), Sekretaris Pelaksana Yayasan Genta Budaya Sumatra Barat (1988-1998), dan Direktur Lembaga Komunikasi Budaya (1998-sekarang), yang bertujuan mendinamisasi kehidupan seni pertunjukan rakyat Minangkabau menghadapi perubahan dunia akibat globalisasi. Ia juga menjadi koordinator kelompok diskusi Saluang Balega, yang membahas berbagai persoalan kontemporer kebuda-yaan dan masyarakat Minangkabau. Ia juga pimpinan Kelompok Talago Buni.

Hasil risetnya sejak dua tahun terakhir tentang kehidupan musik tradisi Minangkabau yaitu saluang (flute) dan dendang (nyanyian), tengah disusun menjadi sebuah paket pameran etnografi foto dan buku. *

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Jumat, 19 Mei 2000

No comments:

Post a Comment