KODE-4

Tuesday, May 15, 2007

MURSAL ESTEN

Fenomena Datuak Maringgih

Masih ingat potret tipikal tokoh kontroversial Datuk Meringgih dalam roman Sitti Nurbaya (juga di sinema televisi dengan judul sama yang diperankan dengan amat bagus oleh HIM Damsjik) karya Marah Rusli? Ia terbilang tokoh kontroversial. Bergelar “Datuk”, tetapi tidak tahu asal-usul ke-”Datuk”-annya. Ia dikesankan sebagai tokoh jahat dan berkarakter buruk, tetapi di sisi lain ia pulalah yang menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.

Bagi Prof Dr Mursal Esten (59)—tokoh budaya dari tanah Minang, yang justru dikenal lebih banyak mengritik perilaku orang Minang itu sendiri—karakter dan sosok Datuk Meringgih sangat multidimensional. Sebagai pedagang ia kaya-raya. Dengan kekayaannya itu ia lalu membabat saingan-saingan bisnisnya, se-hingga bisa melakukan praktik monopoli. Dengan ke-kayaannya itu pula ia dapat dengan mudah menggaet wanita-wanita cantik untuk diperistri, tak terkecuali si cantik Sitti Nurbaya.

Dalam tataran inilah Datuk Meringgih tampil sebagai sebuah fenomena menarik. Sosok tipikal Datuk Meringgih yang dibangun Marah Rusli di awal 1920-an itu, pada hakikatnya adalah potret dari perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam masyarakat Minang-kabau khususnya di Kota Padang yang ketika itu te-ngah berkembang menjadi bandar perniagaan pada saat roman Sitti Nurbaya ditulis.

“Akan tetapi, jangan lupa, tokoh seperti Datuk Meringgih ini ternyata tetap hadir di dalam berbagai zaman: dahulu dan sekarang,” kata Mursal, lelaki kela-hiran 5 September 1941 di Kacang, suatu daerah di pinggiran Danau Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatra Barat.

Saat meluncurkan dua buku terbarunya tentang ke-budayaan, Desentralisasi Kebudayaan dan Kajian Transformasi Budaya, di Padang akhir tahun lalu, de-ngan gaya sinis Mursal Esten menguraikan kaitan so-siologis munculnya kelompok “masyarakat baru” Mi-nangkabau yang tak lagi takluk kepada nilai-nilai tra-disi yang selama ini dijunjung tinggi di satu pihak, dengan fenomena munculnya sosok Datuk Meringgih masa kini.

Menurut dia, “masyarakat baru” Minangkabau se-perti itulah yang kemudian melahirkan orang-orang seperti Datuk Meringgih. Para datuk yang tak jelas asal-usulnya ini memiliki kenalan amat luas, bahkan bisa mempengaruhi kebijakan yang diambil penguasa. Di masa Orde Baru lalu ia jadi tokoh yang amat dihormati, bahkan dianggap juru selamat rakyat. “Di Sumatra Barat ini ia jauh lebih dimuliakan daripada datuk-datuk se-benarnya. Jika ia datang dari rantau (baca: Jakarta), di bandara ia dijemput oleh Gubernur atau pejabat-pejabat negara. Saya kira di daerah-daerah lain hal itu juga dilakukan,” katanya.

Sosok Datuk (datuk-datuk) Meringgih baru itu be-rubah menjadi sosok yang baik dan dermawan. Daerah-daerah, desa atau kota, menjadi berkilau oleh keha-diran mereka. Jika tokoh-tokoh tersebut belum bergelar datuk akan diupayakan dicarikan asal-usul yang me-mungkinkan mereka mendapat gelar tersebut. Mereka bisa tampil menjadi Menteri atau menjadi wakil rakyat di DPR.

Demikianlah citra mereka di saat faktor ekonomi dan industri menjadi Panglima. Akan tetapi, sewaktu ekonomi ambruk, citra mereka pudar, apalagi ternyata datuk-datuk itu kaya karena KKN. Watak dan perangai aslinya pun mulai terbuka. Ternyata, mereka lebih buruk dari Datuk Meringgih yang ada di roman Sitti Nurbaya.

“Tokoh Datuk Meringgih ini sampai sekarang tetap aktual dan kontekstual. Bukankah tokoh-tokoh seperti itu dapat mengerahkan massa dengan dana yang dimi-likinya? Bukankah menjelang dan sewaktu kampanye Pemilu lalu mereka juga dengan ‘ikhlas’ menyum-bangkan dana dalam jumlah ratusan juta rupiah ke-pada rakyat? Bukankah praktik-praktik seperti itu juga yang dilakukan Datuk Meringgih, yakni (istilah men-terengnya) money politics? Kalau Datuk Meringgih dulu melakukannya untuk melawan Belanda, tetapi se-karang untuk apa?”

Bagi sementara orang Minang, kritik dan gugatan seperti yang kerap diucapkan Mursal ini terdengar ke-ras, jauh dari gambaran ideal orang Minang sebagai-mana ajaran, nilai budaya, dan tradisi setempat. Dalam tradisi Minang, seseorang baru ideal sebagai manusia bila selalu tampil low profile. Sikap rendah hati tersebut, menurut cerpenis Harris Effendi Thahar, tergambar da-lam pepatah: “kok bakato, di bawah-bawah; kok mandi, di baruah-baruah.”

Mursal tidak begitu. Dalam pandangan Harris, Mursal adalah lelaki Minang modern yang tak lagi me-nempatkan diri di balik mitos-mitos kebesaran Minang-kabau masa lalu. Oleh karena itu, seorang Mursal Esten tidak akan berkata di bawah-bawah, tetapi sesuai kon-teks dan proporsinya. Ia juga tidak akan mandi di ba-ruah-baruah, melainkan akan ‘memandikan’ orang lain kalau memang mitra bicaranya itu perlu dimandikan.

“Oleh karena itu, tak heran kalau sebagian teman sejawat menilainya arogan,” kata Harris mengomentari posisi Mursal, yang kini dipercaya memimpin Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang dan Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Sarjana Kesusaste-raan Indonesia.

Tidak aneh pula bila dalam kesempatan lain Mursal dianggap sebagai Malin Kundang yang hidup di alam modern. Tekadnya mengubah orientasi keilmuan STSI Padangpanjang dari “hanya” sebagai pusat kajian tra-disi Minangkabau menjadi pusat kajian Melayu, di-tanggapi oleh sebagian orang Minang sebagai bentuk lain dari “pengingkaran” Mursal terhadap tradisi yang membesarkannya.

Di dunia intelektual ia bahkan dituduh sekuler. Per-nyataannya tentang sikap Islami seseorang tidak di-tentukan oleh kepatuhannya terhadap segala bentuk ritual ibadah, tetapi oleh sikapnya yang selalu mem-pertanyakan dengan akal pikiran yang diberikan Tuhan kepada manusia, sempat mengundang tanda tanya di antara sejawatnya. Bahkan isu sekuler ini pula yang (konon) membuat ia gagal pada tahap akhir pe-milihan Rektor Universitas Negeri Padang (UNP; sebe-lumnya IKIP Padang-red) beberapa waktu lalu.

Adanya berbagai tudingan tersebut tak membuat Mursal surut. Terhadap isu dirinya penganut paham sekuler, ia cuma berujar ringan. “Kalau dunia aka-demik tidak sekuler, lalu bagaimana mungkin ia bisa berkembang?” Sedangkan menyangkut kebiasaannya melakukan semacam otokritik terhadap perilaku orang Minang, Mursal juga punya jawaban sendiri. “Di dalam alam dan adat Minangkabau, tokoh-tokoh yang dihargai adalah orang-orang yang ‘memberontak’, berpikir kri-tis dan kreatif, meskipun itu terhadap alam dan adatnya sendiri.”


Menyelesaikan program doktor di Universitas Indo-nesia (1990), Mursal kini tercatat sebagai guru besar pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra UNP, serta Ketua STSI Padangpanjang. Ia juga menjadi Ketua Pusat Kesenian Padang (1974-1979), Kepala Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat (1979-1989), Ketua Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Padang (1986-sekarang), selain sebagai Ketua Pengu-rus Pusat Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia sejak tahun 1997.

Di samping menjadi staf pengajar di UNP, Mursal te-tap produktif menulis artikel tentang sastra, kesenian, dan kebudayaan di berbagai media massa nasional dan majalah terbitan Kualalumpur, Malaysia. Suami dari Ny Tati Mursal dan bapak dari Eka Anugraha, Aria Natalia, dan Triyana Citra ini juga sering melakukan penelitian dan banyak menulis buku. Selain dua buku terbarunya yang diluncurkan akhir 1999 lalu, ia telah melahirkan sejumlah buku, di antaranya Kesusastraan, Pengantar Teori dan Sejarah (1979), Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur (1981), Kritik Sastra Indonesia (1984), Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Mambaca Puisi (1987), Apresiasi Sastra Indonesia (1987), Sastra Jalur Kedua (1987), dan editor buku Menjelang Teori dan Kritik Susastra yang Relevan (1988). Mursal Esten meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 2003 di Padang.

Guru yang Tak Pernah Merasa Lelah


KETIKA pagi itu saya memasang bendera di depan rumah untuk merayakan HUT ke-58 RI, Minggu 17 Agustus 2003, bendera itu jatuh ke tanah dengan tiangnya meski rasanya sudah saya ikat erat-erat ke pagar. Di saat yang sama, handphone berdering, cuma SMS: Mursal Esten meninggal, pukul 06.15 pagi ini. Innalillahi wa ina ilahi rojiun. Telah kembali ke kampung asal seorang tokoh nasional, budayawan, kritikus sastra, mahaguru, teman sejawat, yang namanya sering disebut-sebut teman sejawat karena beberapa bulan belakangan ia sudah berkali-kali keluar masuk rumah sakit akibat diabetes melitus yang dideritanya sejak lama.

Sekitar enam bulan lalu, kami berdua bermobil dari Maninjau ke Padang (sekitar 90 km) sehabis seminar sehari "Budaya Melayu" dengan dua orang pembicara pakar dari Malaysia. Dan, Mursal Esten adalah salah seorang pembicara dari pihak Indonesia untuk sesi pertama dan saya moderatornya. Waktu itu ia sudah mulai sakit, cepat lelah, tapi ia menolak ketika saya menawarkan diri jadi sopir. Alasannya, justru kalau sedang mengemudi, ia jadi lupa bahwa ia sakit. "Mengemudi termasuk hobi saya," tambahnya.

Ia memilih tampil pada sesi pertama karena ia ingin mengajak saya makan siang di Kota Pariaman yang terkenal dengan gulai ikan lautnya yang segar. Meski masih sesi pertama, justru pada babak diskusi Mursal Esten berlangsung seru. Mursal terkesan begitu keras "memandikan" seorang datuk yang getol mengatakan bahwa semua orang Melayu harus pakai jilbab karena Melayu identik dengan Islam.

"Saya justru tidak percaya pada atribut-atribut luar. Untuk Anda ketahui, Perda Kota Padang Panjang- tempat STSI yang saya pimpin berada-mewajibkan semua pegawai negeri wanitanya memakai jilbab. Tapi, kok skandal seks di sana yang paling banyak diekspos pers? Kalau Anda memang seorang datuk, lebih baik mengurus perilaku anak-kemenakan. Bukan mengurus jilbab."

Dalam perjalanan menuju Pariaman, menjelang siang itu, kami masih membicarakan suasana seminar di tepi Danau Maninjau yang permai itu. Saya katakan, "Sikap Pak Mursal menjawab datuk tadi itu semakin meyakinkan sebagian orang-orang di ranah Minang ini bahwa Pak Mursal Esten itu sekuler."
Konon, tahun 1999 lalu, Mursal Esten kalah bersaing dengan Prof Dr A Muri Yusuf untuk kursi rektor Universitas Negeri Padang (UNP, dulu IKIP Padang) adalah lantaran isu sekuler yang diembuskan pihak "lawan" ke senat universitas. Akhirnya, semula diramalkan Mursal menang, suara berbalik dan mengalahkan dia. Bahkan, nama Mursal Esten ditolak masuk dalam kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Sumatera Barat (Sumbar) lantaran isu itu juga. Dua bulan setelah pemilihan rektor UNP, ia diangkat sebagai Ketua STSI Padang Panjang-yang sebelumnya ASKI Padang Panjang-yang juga dipimpin Prof Dr Mursal Esten sejak 1994. Perubahan status dari akademi ke sekolah tinggi itu berkat perjuangan Mursal. Semua orang di Sumatera Barat tahu itu. Dan, Mursal Esten jugalah yang mengundang Wakil Presiden Megawati (waktu itu) berkunjung ke STSI Padang Panjang dan berhasil mendapatkan hadiah tiga bus baru untuk angkutan kampus yang sejuk itu, setelah Megawati jadi presiden beberapa bulan kemudian. Hingga hari-hari terakhir menjelang kepergiannya, ia masih Ketua STSI Padang Panjang.

Mursal Esten termasuk orang yang "ditakuti" kalangan pemangku adat yang berhimpun dalam Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) di Sumbar karena kesinisannya terhadap lembaga itu. "Tuan-tuan yang datuk-datuk ini sebenarnya mengerjakan apa sih? Dari dulu hingga sekarang fungsi LKAAM ini tidak lebih dari sekadar untuk pelengkap acara seremonial, selebihnya apa? Mengapa tidak mengurus anak kemenakan agar menjadi anak Minang yang berbudi luhur? Menurut saya, LKAAM ini tak perlu ada, bubarkan saja!" katanya dalam suatu seminar. Padahal, waktu itu yang menjadi Ketua LKAAM adalah Gubernur (Hasan Basri Durin, Dt Rajo Nan Kuniang).

Dalam perjalanan menuju Pariaman, Mursal Esten bilang pada saya tentang keinginannya menunaikan ibadah haji tahun 2004 ini. Sayang, dokter yang merawatnya melarang karena kesehatannya yang tak meyakinkan. "Apakah agar supaya Pak Mursal jangan dianggap orang sekuler lagi?" tanya saya.
"Karena dari segi ekonomi saya sudah mampu," jawabnya.
"Tunggulah, kalau Pak Mursal sudah benar-benar sembuh," bujuk saya.

Ia tak menjawab, seperti sedang mempertimbangkan kata-kata saya itu. Meski demikian, ia toh masih terbang ke sana-ke mari, sesuai tugas yang diembannya sejak ia menjabat sebagai Ketua HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) hingga Ketua Paguyuban Pimpinan Perguruan Tinggi Seni, Anggota Steering Committee Kongres Bahasa Indonesia 2003, mengajar dan menguji mahasiswa program pascasarjana UNP, belum lagi waktunya untuk STSI yang kabarnya sedang diusahakan meningkatkan statusnya menjadi Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Ia pun, sejak tiga tahun lalu, telah merintis pembentukan Pusat Kajian Melayu di STSI PadangPanjang yang banyak mendapat sokongan dari Pemerintah Indonesia dan Malaysia.

Konon, di Sumatra Barat, ia termasuk tokoh pelobi nomor satu. Seolah-olah ia tak peduli dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

MINGGU PAGI itu, cuaca redup, seperti hendak turun hujan. Di rumah duka, sekitar pukul sepuluh siang menjelang jenazah dimandikan, begitu ramai oleh pelayat datang. Tidak terbilang provinsi, pemerintahan kota, instansi, legislatif, kalangan perguruan tinggi tentu saja. Kalangan muda, terutama mahasiswa sastra dari tiga universitas (UNP, Unand, Universitas Bung Hatta) generasi muda pencinta dan pekerja seni hadir melayat, memperlihatkan rasa kehilangan yang dalam.

Sejak muda, Mursal memang peduli pada anak-anak muda yang aktif berkesenian, terutama sastra dan teater. Ia lebih suka menyumbang daripada dibayar apabila ada kelompok-kelompok diskusi sastra dan teater yang mengundangnya menjadi pembicara. Bahkan, ia tak segan-segan menyumbang penerbitan buku puisi anak-anak muda yang berbakat.

Ketika pertama kali Kota Padang memiliki sebuah Pusat Kesenian yang didirikan di atas lahan bekas Padang Fair tahun 1975, Mursal Esten ditunjuk sebagai Ketua Pusat Kesenian Padang (PKP). Sejak itu, seniman di Kota Padang merasa memiliki "rumah" tempat berekspresi. Ternyata Mursal mampu menghidupkan kesenian dan menyatukan seniman di Padang yang terkenal suka bertengkar itu. Sanggar-sanggar teater, seni rupa, sastra, dan tari bermunculan. PKP jadi hidup ketika itu karena didukung oleh tokoh-tokoh seniman seperti Alm AA Navis, Alm Chairul Harun, Leon Agusta, Abrar Yusra, Wisran Hadi, Hamid Jabbar, Darman Moenir, Upita Agustine, Alm Asneli Luthan, BHR Tanjung, Bagindo Fahmi, dan lainnya.

PKP akhirnya dikukuhkan menjadi Taman Budaya Sumatera Barat di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan 1979 dan Mursal Esten langsung menjadi Kepala Taman Budaya. Kesenian di Padang menjadi hidup. Malah banyak di antara seniman-seniman di luar Sumatera Barat ingin diundang datang ke Taman Budaya Sumbar di Padang pada masa itu. Bagi seniman Sumatera Barat waktu itu, kalau sudah mentas di Taman Budaya seperti telah merasa "disahkan" jadi seniman.

Pamor Taman Budaya mulai redup ketika Mursal Esten mundur dari jabatannya selaku Kepala Taman Budaya Sumbar karena harus berangkat ke Leiden (Belanda) menyelesaikan program studi doktornya, kerja sana dengan Program Pascasarjana Universitas Indonesia di bidang Sastra, tahun 1988.

Meski ia telah menyandang gelar akademis Doktor dua tahun setelah itu (satu-satunya Doktor Sastra di Sumatera saat itu), penampilan Mursal tidak pernah berubah. Masih tetap sebagai guru (dosen) favorit, lebih banyak tersenyum, dan suka membantu mahasiswa dengan buku-buku. Malah ia dengan senang hati memberikan buku yang ditulisnya secara gratis untuk mahasiswa yang tidak mampu. Kalau ada mahasiswanya yang menulis puisi, cerpen, atau esai kesenian di koran, ia sempatkan diri memberi semangat, kalau perlu dengan mentraktirnya minum kopi di kantin sambil berdiskusi. Saya termasuk orang yang mengalami hal itu dengan Pak Mursal ketika saya menjadi mahasiswa di tahun-tahun awal.

Di bulan-bulan terakhir sebelum kepergiannya, saat sakitnya mulai parah, ia masih menyempatkan diri datang ke ruang sidang Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS UNP, "habitat"-nya, mengendarai mobil sendiri meski hanya untuk silaturahmi. Banyak teman sejawat menyarankannya agar lebih baik beristirahat di rumah, dan kalau rindu telepon saja kami. Tapi ia langsung menjawab, "Saya tidak bisa istirahat!"

Kini, ia betul-betul telah beristirahat untuk selama-lamanya. Sebelum meninggal, ia minta dikuburkan di kaki kuburan ibunya di Kacang, Solok. Ia meninggal dalam usia hampir 62 tahun (lahir di Bireuen, Aceh, 5 September 1941), meninggalkan seorang istri, tiga putra, dan dua menantu. Semoga Tuhan mengasihinya dan memberinya tempat yang indah.*

SUMBER (Yurnaldi/Kenedi Nurhan), Kompas, Senin, 24 Januari 2000

Harris Effendi Thahar, Staf Pengajar FBSS-UNP, Kompas. Minggu, 31 Agustus 2003

No comments:

Post a Comment