KODE-4

Friday, May 25, 2007

Sinergi Lembaga Kebudayaan Mencari Strategi Budaya Bersama

OLEH SUDARMOKO
Ranah budaya kita layaknya menjadi ladang pergulatan yang menarik. Banyak lembaga yang berdiri dan memiliki perhatian serta wilayah kerja dalam bidang ini. Bukan hanya universitas yang memang memiliki fakultas dan tenaga ahli serta dukungan finansial dari DIKTI atau perusahaan, namun juga lembaga independen yang menjamur.

Dari berbagai publikasi dan kegiatan yang dilakukan selama ini terkesan bahwa wilayah budaya masih menjadi objek yang belum jelas arahnya. Sebagai objek, kebudayaan menjadi terkotak-kotak dan dilihat secara parsial. Belum jelas grand design dari berbagai kegiatan, baik secara akademis intelektual maupun kebijakan yang lebih praksis. Beberapa contoh dapat dilihat dari Kongres Kebudayaan yang sudah berulang kali dilakukan. Dari forum ini tidak secara jelas memperlihatkan apa yang sebenarnya ingin dilakukan terhadap kebudayaan Indonesia. Alih-alih kebijakan umum, dari forum ini malah terlihat dengan jelas menjadi kendaraan untuk masuk dalam politik praktis, misalnya mennggolkan adanya kementrian khusus kebudayaan.
Dalam wilayah kebijakan, rancangan RUU-APP memperlihatkan secara jelas bagaimana kebudayaan dipenetrasi oleh lembaga pemerintah dan legislatif. Kebudayaan dilihat hanya sebagai komoditi politik yang membingungkan dan tidak menyentuh substansi permasalahan, yang kemudian malah menimbulkan kontroversi di sana-sini. Demikian juga dengan implementasi dari keinginan beberapa daerah untuk menerapkan syariat Islam diikuti dengan peraturan untuk mengenakan pakaian muslim dan muslimah di sekolah-sekolah, seperti yang terjadi di Padang dan daerah lain di Sumatra Barat.
Dari beberapa contoh di atas, terlihat bagaimana kebudayaan lebih banyak dikontrol oleh pemerintah dan legislatif. Sementara peran lembaga kebudayaan, baik dari pemerintah sendiri maupun independen masih belum menunjukkan peran pentingnya. Anehnya, begitu banyak lembaga yang bergerak dalam wilayah ini, namun tak kunjung menunjukkan kemampuan dan pengaruh yang dapat memberi kontribusi penting dalam perumusan kebudayaan secara umum.
Sinergi Antar Lembaga
Masalahnya adalah ketika begitu banyak lembaga penelitian yang bergerak dalam wilayah yang sama yang tidak memiliki sinergi satu sama lain. Saya ingin mengambil contoh dalam ranah budaya. Di negeri ini ada beberapa lembaga yang mengurus bidang tersebut. Di lingkup universitas, ada fakultas sastra atau ilmu budaya, dan juga fakultas seperti Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dengan berbagai jurusan yang ada di dalamnya. Kemudian ada Pusat Bahasa dan Balai Bahasa di sejumlah daerah. Ditambah lagi dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional yang menjadi bagian dari lembaga pusat seperti LIPI. Keberadaan beberapa lembaga ini masih ditambah dengan lembaga profesi seperti HISKI atau Masyarakat Linguistik Indonesia, Masyarakat Sejarah Indonesia, Asosiasi Tradisi Lisan, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Tentu masih ada beberapa lagi yang lain.
Saya membayangkan bila terjadi sinergi tentu saja terdapat hasil-hasil atau kerja yang secara konkrit memetakan persoalan yang ada. Setidaknya dalam level yang paling sederhana terdapat sebuah strategi pengembangan budaya lewat berbagai anasir yang ada di dalamnya. Contoh menarik adalah adanya beberapa daerah yang memiliki tradisi dan kehidupan budaya yang dinamis, sementara di sejumlah besar daerah masih mencari-cari bentuk strategi budayanya. Diversifikasi pengembangan budaya berlangsung secara natural, dengan mengandalkan pada proses yang terjadi melalui proses alam. Sebagian daerah terus maju dengan dukungan penuh dari para pelaku dan perekayasanya, sementara daerah lain harus berjuang dengan susah payah yang antara lain kemudian mengadopsi pola daerah lain sebagai langkah short cut, yang sebenarnya belum tentu sesuai.
Dengan kekuatan lembaga yang ada, sebenarnya kita dapat berharap banyak. Berbagai program, aktivitas, publikasi yang ada dibagi dan dilakukan secara bersama. Bukankah dengan bekerja sama maka permasalahan dapat diringankan. Dengan sikap dan kesadaran seperti ini boleh jadi kehidupan budaya kita akan lebih baik. Hal serupa sempat mengemuka ketika masalah kemiskinan yang ditangani oleh banyak kementrian dan departemen digabungkan dalam sebuah program dengan skala yang cukup luas dalam sebuah koordinasi bersama. Tujuannya jelas, target pengurangan kemiskinan tercapai dan biaya program dapat ditekan yang memiliki implikasi pada belanja pemerintah. Wacana ini memiliki dampak yang positif bagi sasaran yang hendak dicapai. Namun pada sisi lain memang memiliki dampak negatif bagi para pemegang program yang terbiasa mengambil keuntungan dari program masing-masing kementrian atau departemen.
Kondisi lembaga yang eksklusif dan keterbatasan akses publik untuk menjangkaunya juga menjadi persoalan yang serius. Apalagi pada ranah budaya, yang menempatkan manusia pada posisi subjek. Manusia yang terbebas dari sekat dan status dalam posisinya sebagai pelaku dan pencipta kebudayaan. Lembaga kemudian menempatkan manusia pada posisi objek, sebagai populasi dan sampel yang tak jarang berubah menjadi data statistik dan angka-angka dari penelitian yang dilakukan. Pemetaan bahasa, misalnya, apakah memiliki dampak pada masyakarat yang ditelitinya atau masyarakat luas ketika hasil penelitian yang dilakukan malah kemudian tersimpan dalam laporan penelitian di perpustakaan lembaga bersangkutan. Padahal bahasa banyak sekali menyimpan nilai historis dan filosofis, terkait dengan budaya yang dikembangkan oleh masyarakat.
Kajian-kajian sejarah terasa tidak lagi menggetarkan. Selain hanya cuplikan-cuplikan episode yang malah membingungkan. Sensitifitas penggali sejarah belum terasah dan bahkan interpretasi dan kritik yang dilakukan seperti begitu saja, memaparkan fakta yang didapat untuk kemudian dideskripsikan. Dengan penghormatan yang mendalam pada historian, saya, dan mungkin banyak orang, menantikan berbagai penemuan penting dalam perjalanan bangsa ini. Kreativitas yang tinggi dalam mengukuhkan identitas bangsa dengan segala kebaikan dan keburukannya. Dalam beberapa waktu terakhir, pembicaraan dalam bidang sejarah yang cukup menarik adalah tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang memiliki akibat pada upaya pelusuran sejarah, kurikulum yang ada di sekolah menengah, hingga upaya rehabilitasi dan pencabutan ketetapan MPR tentang komunisme, marxisme, dan leninisme.
Sementara itu, gerakan yang pernah terjadi di daerah juga mulai dikuak. Salah satunya adalah peristiwa PDRI yang memunculkan wacana kehadiran presiden yang masih diperdebatkan, Syafruddin Prawiranegara, dan peran penting yang diemban oleh PDRI. Tentu saja, masih banyak peristiwa yang belum sepenuhnya diangkat ke permukaan. Terlebih dengan peristiwa yang mempengaruhi perjalanan bangsa ini, termasuk keberadaan berbagai penerbitan, pers, sastra, organisasi dan partai politik, dan juga pertarungan wacana yang pernah terjadi. Mata rantai sejarah sering hilang dalam pembicaraan yang mengakibatkan bangsa ini sering limbung dalam menghadapi persoalan. Referensi historis yang terlupakan sering kali berakibat kita berbicara dalam pengulangan-pengulangan. Akibatnya, ya, kita seperti berjalan di tempat.
Interdisipliner
Salah satu kata kunci dalam persoalan ini adalah interdisipliner. Dengan pergaulan yang terbuka dan kerja sama antar disiplin dan lembaga tampaknya peluang untuk meminimalisir hambatan komunikasi dapat dilakukan. Beberapa lembaga sudah menyadari hal ini. Terbukti dengan kehadiran pakar bidang tertentu dalam memberikan kontribusi pandangan terhadap bidang yang lain, seperti yang dilakukan beberapa lembaga profesi seperti Jurnal Antropologi, Masyarakat Sejarah Indonesia, atau HISKI. Setidaknya, kajian cultural studies atau cross cultural studies yang sedang menggejala di Indonesia belakangan ini dapat memberikan inspirasi bagi kehidupan intelektual yang baru.
Secara prinsip hal ini sebenarnya sudah berjalan dalam beberapa lembaga. Mediasi yang dilakukan dalam bentuk peer reviews dalam presentasi dan publikasi. Kerja sama dalam melakukan penelitian, publikasi, dan sebagainya. Sebuah kondisi yang dijaga oleh sejumlah lembaga ternama seperti jurnal internasional maupun lembaga riset asing.
Hal ini secara langsung maupun tak langsung membuka kemungkinan keterpengaruhan dari berbagai lembaga yang memungkinkan terjadinya diskusi yang mengarah pada persinggungan konsep dan praktik. Dari sinilah diharapkan akan muncul grand design dari arah pembangunan kebudayaan kita. Kesan yang muncul selama ini adalah perkembangan yang dibiarkan begitu saja, tanpa mendapatkan respon dari pihak di luar yang mendistribusikan ide atau gagasan.*
Sudarmoko, alumnus department of languages and cultures of southeast asia and oceania, leiden university, bekerja pada laboratorium sastra indonesia fakultas sastra universitas andalas padang.

No comments:

Post a Comment