KODE-4

Monday, May 21, 2007

Orang Minangkabau dalam Global Village

OLEH SUDARMOKO

Arus globalisasi yang terangkum dalam istilah global village, ternyata tidak hanya membawa manusia pada kemudahan dalam mengakses belahan dunia manapun, atau melakukan perpindahan fisik dan intelektual imajinatif kemanapun dia suka, namun juga membawa manusia pada pencarian identitas diri yang semakin intens. Kebutuhan identifikasi diri ini menjadi begitu mendesak di tengah-tengah kondisi yang ditengarai sebagai pelucutan manusia dari sekat-sekat primordial. Inilah dilema kemanusiaan yang selalu muncul, bagaimanapun arus utama peradaban dijalankan. Hal ini juga terlihat dengan jelas dalam karya sastra.

Tulisan ini ingin melihat perkembangan dan perubahan pandangan yang terjadi dalam sebuah masyarakat, Minangkabau, terhadap berbagai fenomena psikologi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Bagaimana karya sastra merepresentasikan berbagai pandangan dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan (auto)kritik terhadap berbagai perubahan. Perbandingan antara pengarang yang berada di luar masyarakatnya, dengan berbagai persentuhan dengan dunia luar, dan pengarang yang memilih untuk menetap di tempat asalnya digunakan untuk mendapatkan kontras, yang diharapkan memberikan kesan lain dari usaha pembacaan yang dilakukan.
Beberapa aspek penting dalam menentukan fenomena manusia diaspora adalah kondisi psikologis yang dialami oleh perantau di daerahnya yang baru, identifikasi diri dalam masyarakat yang baru, dan juga harapan-harapan yang dapat membantu perantau untuk dapat bertahan di tanah yang baru, ikatan (solidaritas) baru diantara sesama perantau yang berasal dari daerah yang sama, seperti yang dijelaskan oleh James Clifford (1994), Homi Babha (1994), dan Paul Gilroy (1993). Pelacakan fenomena ini dapat diamati lewat karya-karya sastra yang dihasilkan oleh perantau. Karya sastra merupakan dokumen penting dalam perjalanan psikologi masyarakat yang diwakili oleh pengarang.
Di antara sekian banyak pembicaraan tentang tema ini, berkaitan dengan tradisi khas Minangkabau dalam soal merantau, penelitian Suryadi (terbit dalam bentuk buku 2005) tentang syair Sunur secara khusus berbicara tentang teks yang ditulis oleh seorang perantau (Syekh Daud) yang memiliki motivasi agama dan adat sehingga kemudian jauh dari keluarga dan kampung halamannya, dimana ia membuang diri setelah dikalahkan dalam sebuah debat oleh aliran lain dalam Islam.
Dalam karya sastra Indonesia, terutama sejak tahun 1920-an hingga kini, persoalan manusia diaspora ini menjadi fenomena yang menarik. Salah satu alasannya adalah bahwa sebagian besar dari penulis dan pengarang sastra dalam kurun waktu ini adalah orang Minangkabau. Tema-tema yang dibicarakan dalam karya sastra mereka adalah representasi dari pergolakan batin dan realitas yang dihadapi, terutama ketika berhadapan dengan dunia baru yang dialami ketika merantau ke daerah lain.
Di satu sisi, ada semacam tuntutan budaya mereka untuk melakukan perantauan ketika sudah dewasa. Hal ini dilakukan untuk mendorong seseorang menjadi berguna, sukses, dan menemukan identitas dirinya. Pada sisi yang lain, kepergian seseorang untuk merantau adalah sebuah fase untuk memasuki dunia yang ‘sesungguhnya’, setelah pada usia kanak-kanak hingga dewasa ditempa di lembaga pendidikan surau dan masyarakat sosialnya (baca: Mohammad Radjab (1950) dan Susan Rodgers (1995)). Kehidupan di perantauan inilah yang penuh dengan gejolak dan tantangan sehingga si perantau akan menghadapi berbagai dilema dan juga situasi-situasi psikologis yang membuatnya selalu berusaha untuk mengatasi persoalan yang ada, dan karena itu juga diyakini sebagai arena ujian untuk menjadi ‘orang’ dalam arti yang sesungguhnya.
Pada novel Salah Asuhan, tokoh Hanafi bermimikri menjadi Indo untuk dapat memasuki komunitas baru dalam lingkungan Belanda. Ia bahkan menikahi Corrie yang merupakan anak (noni) Belanda. Namun di kalangan keluarga dan orang-orang kampungnya, Hanafi dianggap telah berubah dan menjadi kafir karena telah berganti nama dan melakukan pernikahan dengan orang luar yang berlain agama, dan karenanya harus dibuang sepanjang adat. Padahal, dalam situasi yang dialaminya, Hanafi merasa bahwa ia memilih untuk melakukan itu semua karena ia telah berada pada situasi yang dianggapnya terbaik, untuk dapat melangkah menjadi warga dari masyarakat yang lebih baik, beradab, dan penuh dengan nilai-nilai modern, yang tidak didapatkannya apabila ia tetap berada dalam lingkungan dan identitas lamanya.
Novel Salah Asuhan ini menjadi contoh yang nyata tentang hilangnya identitas seseorang ketika berhadapan dengan lingkungan yang baru, yang menyedot banyak perhatian untuk mengambil sekian banyak pilihan dengan berbagai pertimbangan. Sikap yang diambil Hanafi secara sadar untuk berpindah identitas menunjukkan betapa kungkungan identitas primordial tidak lagi penting, sebab hidup dimana pun tidak menjadi soal ketika seseorang dapat menemukan harga diri dan arti hidup yang sesungguhnya. Hanya saja, benturan-benturan identitas tetap saja terjadi ketika pilihan ini dihadapkan pada lingkungan terdekatnya, seperti keluarga dan kaum kerabat.
Kondisi ini juga terjadi pada masa-masa sebelumnya, dimana mobilitas manusia memungkinkannya untuk melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Belum lagi ketika dihadapkan pada realitas untuk bersentuhan dan mentransfer berbagai kebudayaan berkat pesatnya perkembangan teknologi. Bahkan, imperialisme dan kolonialisme telah meninggalkan berbagai warisan, termasuk keturunan yang memiliki identitas dan budaya baru, hasil perkawinan antar budaya. Belum lagi kalau kita bicara tentang tenaga kerja kita yang berada di luar negeri, entah legal atau illegal.
Di dalam novel Sitti Nurbaya kisah yang terjadi adalah juga pertikaian dalam diri Syamsul Bahri yang menempuh pendidikan Barat dan kemudian menjadi serdadu Belanda. Dengan kehidupan dan pengalaman baru yang didapatkannya selama dalam perantauan, dan juga status baru yang harus dijalaninya dalam profesinya, ia mengalami dilema, harus berhadapan dengan orang dan kampung halamannya sebagai pihak yang bertentangan. Kondisi ini dapat dilihat sebagai sebuah keadaan yang mewakili gambaran bagi perantau yang ketika datang kembali ke kampung halaman dengan profesi dan predikat baru, yang tak jarang profesi dan predikatnya itu bertolak belakang dengan kondisi dan dinamika yang sedang terjadi.
Fenomena yang lebih kemudian dapat dilihat dalam karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang-pengarang dari Minangkabau. Navis dalam Kemarau (1967) membenturkan fenomena yang terjadi ini. Tokoh utama, Sutan Duano, lebih memilih kampung untuk membersihkan diri dari dunia rantau (kota) yang penuh dengan kemunafikan dan cara hidup yang tak sehat lagi. Ia malah berusaha untuk mencegah orang-orang pergi merantau dengan harapan akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik, dibandingkan dengan kehidupan di desa.
Tugas utama masyarakat adalah membangun desanya, agar dapat hidup dengan baik. Pada dasarnya, hidup di desa, kampung halaman, tidaklah berkekurangan. Hanya saja, etos dan èlan vital masyarakat harus lebih dihidupkan dengan cara melakukan terobosan-terobosan dalam mengolah sumber kehidupan. Hal inilah yang selama ini jarang sekali dilakukan. Banyak sekali sumber daya alam yang dibiarkan, sehingga kehidupan masyarakat tidak lebih baik. Masyarakat tidak tahu lagi bagaimana mengolah alam padahal mereka hidup di tengah-tengah kekayaan. Bak ayam mati di lumbung padi.
Pada karya sastra yang hadir kemudian, pandangan dunia yang dibangun lewat tokoh-tokoh dalam karya sastra itu lebih terbuka dalam melihat gejala ini. Pertemuan atau kontak yang ada tidak lagi dimaknai dalam kontak fisik, seperti yang terjadi pada karya-karya awal sastra modern Indonesia, seperti Siti Nurbaya atau Salah Asuhan. Dalam novel Wisran Hadi, Orang-orang Blanti (2000) berbicara secara spesifik tentang kehidupan lokal. Meski ada juga tokoh-tokoh dari luar yang dihadirkan, namun mereka malah digunakan untuk memperlihatkan pandangan masyarakat lokal tentang keberadaan orang-orang dari luar daerah yang datang ke Minangkabau. Wacana yang dibangun memperlihatkan bagaimana kehidupan riil dalam masyarakat Minangkabau dalam memandang kehidupan mereka yang juga heterogen. Dari sudut pandang ini, terbuka juga kemungkinan lain dalam melihat masyarakat Minangkabau ketika mereka dihadapkan dengan pergaulan yang lebih luas, bagaimana mereka dapat membangun komunikasi dengan para perantau yang datang ke tempat mereka, dengan segala konflik yang terjadi.
Sementara dalam novel Gus tf, Ular Keempat (2005), kehidupan kampung halaman dilihat sebagai sebuah romance, kenangan baik dan buruk. Cara seperti ini dapat juga dikesan dari novel otobiografi Muhammad Radjab di atas, Semasa Ketjil di Kampung. Kenangan ini membawa si tokoh melakukan pekerjaan karena ingatan (dendam) pada masa lalunya. Setidaknya, ada keinginan atau motif untuk membunuh kenangan masa lalu dengan melakukan berbagai hal yang dikira dapat menghapusnya.*
Sudarmoko, alumnus Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda, bekerja pada Laboratorium Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.

No comments:

Post a Comment