Setelah sekian lama bus AKDP dilarang memasuki kawasan dalam kota, seiring dengan difungsikannya terminal regional Bingkuang Aie Pacah, beberapa hari belakangan ini bus-bus itu diizinkan kembali memasuki kota dengan beberapa pengaturan atau persyaratan. Sederetan alasan dikemukakan untuk membenarkan, baik dari pihak pemerintah maupun dari kepentingan pengelola AKDP dan pihak penumpang atau pengguna jasa.
Dilihat dari fungsi dan keberadaan terminal Bingkuang, nyatalah bahwa tempat itu tidak atau belum terlihat strategis untuk arus transportasi. Usaha penunjang juga telah diusahakan, dengan menyediakan pasar (yang bahkan pernah meresahkan pengguna pasar Raya Padang), diikuti dengan usulan untuk memindahkan pusat perkantoran dan layanan publik di sekitar terminal, pengoptimalan kembali Padang Industrial Park, pembangunan pusat grosir di perbatasan, dan sebagainya.
Namun, lagi-lagi, terlihat ketidakkonsistenan pihak-pihak terkait dalam hal ini, terutama berkaitan dengan kembalinya bus-bus AKDP ini memasuki kawasan dalam kota. Sementara jalan sepanjang pantai yang akan dijadikan jalur utama wilayah barat belum juga selesai, dan kawasan jalan raya Padang-Bukittinggi yang saat ini digunakan merupakan kawasan padat lalu lintas, terutama sekali sepanjang depan Minang Plaza hingga simpang Tabing. Apa yang dapat dibaca dari situasi ini?
Idealnya, pertumbuhan dan pembangun kawasan dimulai dari jalur transportasi. Dari sini akan terbentuk sebuah pola yang tetap dan pengembangan dilakukan dengan menjadikan jalur transportasi sebagai pertimbangan utama. Ada bagian-bagian wilayah yang dikembangkan menjadi pusat kegiatan ekonomi, pelayanan, perumahan, kawasan hijau, dan sebagainya. Namun yang terlihat dari fenomena masalah transportasi ini adalah ketiadaan anutan yang jelas bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang. Pembangunan jalan (jalur transportasi) menjadi masalah sampingan yang timbul sebagai akibat dari perkembangan. Dan yang kemudian terjadi adalah tindakan reaktif ini selalu tidak dilatari dengan pertimbangan-pertimbangan yang logis dan terencana.
Implementasi perencanaan yang berkenaan dengan masalah transportasi ini dapat dilihat sebagai gambaran bagaimana kebijakan yang terjadi di tengah-tengah kita. Kebijakan yang masih sebatas coba-coba, trial and error, yang menunggu reaksi publik untuk dapat dilaksanakan. Kajian yang mendalam sebelum kebijakan diambil ternyata masih menjadi hal yang jauh panggang dari api. Sayangnya, hal ini berkaitan dengan kepentingan publik, yang pada satu sisi sangat merugikan bagi kita semua. Andaikan saja kebiasaan ini bersangkut dengan hal-hal yang menyangkut nasib dan hidup mati masyarakat, tentu saja kita tak dapat memaafkannya.
Demikianlah, setelah terminal regional Andalas dan Gwan Hoat tergusur, yang kemudian menjadi pusat bisnis baru, ada kabar untuk membuat terminal Angkot di dekat pantai atau di bekas bandara Tabing. Ketika masyarakat sedang terbiasa dan membiasakan diri untuk pergi keluar kota dengan mempergunakan jalur bus AKDP yang baru, eh tiba-tiba malah bus-bus itu masuk kota lagi. Kenapa tidak dibuat dulu terminal angkot yang baru, untuk kemudian menutup terminal lama dan menjadikannya pusat perdagangan? Saya khawatir, jangan-jangan hal seperti ini suatu saat akan menimpa kita, rumah digusur dulu baru kemudian dicarikan tempat relokasi. Perilaku seperti ini cukup berbahaya, karena terkait dengan masalah hajat hidup orang banyak.
Mungkin suatu saat nanti sebaiknya pemerintah, atau pengelola masalah transportasi, dapat membuat agenda yang jelas. Menentukan jalur-jalur yang pasti. Melakukan rotasi rute-rute angkot pada masa-masa tertentu dan terbatas, yang dapat menyegarkan orientasi sopir dan penumpang. Begitu vitalnya masalah transportasi, dengan segala faktor pendukungnya, sehingga kita dapat membaca wajah dan bentuk sebuah kota dari hal yang satu ini. Meski masalah transportasi ini sering diidentikkan dengan masyarakat kebanyakan yang menjadi pelanggannya, namun jumlah harga yang beredar dari sektor ini cukup fantastik. Mulai dari harga kendaraan, harga pembelian izin trayek, pungutan yang ada di sepanjang rute, BBM yang menjadi konsumsi setia kendaraan, hingga akumulasi ongkos penumpang. Nampaknya memang sederhana dan merakyat sekali, namun sebenarnya cukup besar jumlahnya.
Dan mungkin karena itulah perubahan-perubahan atau ketidakjelasan pengelolaan masalah transportasi ini terus terjadi. “Cakaknyo gadang,” kata seorang teman.*
Sudarmoko, alumnus Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda, peminat masalah sastra, tinggal di Padang.
No comments:
Post a Comment