Kehidupan masyarakat urban Minangkabau memiliki sisi-sisi yang unik dan khas. Di samping masalah ekonomi dan sosial budaya, tuntutan hidup telah membawa masyarakat pada kehidupan yang lain dari kehidupan rural, atau setidaknya masyarakat di daerah menengah.
Salah satu misal adalah masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota-kota besar. Mereka bergelut dengan desakan pemenuhan kebutuhan hidup yang keras dan kejam. Ditambah lagi dengan hubungan antarkeluarga yang sedikit banyak berkurang. Di sini, peran keluarga terhadap perantau, atau sebaliknya, berlangsung dengan caranya sendiri, akibat dari keberjarakan yang terjadi. Peran dan kewajiban mamak, atau ayah, terhadap anak, dan terutama anak perempuan, telah berubah seiring dengan budaya baru yang dihadapi. Salah satunya adalah masalah jodoh dan perkawinan.
Seperti disinggung oleh Wisran Hadi (Padang Ekspres, Minggu, 27 Agustus 2006) fenomena seperti di atas bukanlah hal jarang kita temui. Pergeseran peran dan kewajiban tetua kaum, yang lazimnya menjadi salah satu perkecualian dengan diizinkannya menggadai atau memanfaatkan harta pusaka karena pernikahan anak perempuan, mungkin saja tidak terjadi lagi saat ini. Di satu sisi, peran mamak (dan praktik adat dan budaya) telah mengalami perubahan. Di sisi lain, terlihat bahwa sebagian masyarakat tidak lagi mematuhi atau memenuhi tuntutan adat dan budayanya. Mereka berpikir bahwa persoalan kini yang mereka hadapi lebih banyak menyangkut diri mereka sendiri, apa lagi perantau itu berada jauh di luar wilayah adat, adat salingka nagari. Tentu saja perlu dialas di awal ini, bahwa ini merupakan sebuah fenomena dan belum mewakili secara keseluruhan.
Saya ingin melihatnya dari contoh kasus yang menarik. Jika kita membaca beberapa koran, dan terutama koran Minggu, yang menyediakan rubrik kontak jodoh, tentu kita akan mendapati fenomena seperti ini. Seorang gadis Minang, berumur di atas 30an tahun, bekerja di sebuah instansi atau perusahaan, lulusan minimal sekolah menengah atas, mencari seorang jejaka atau duda, mapan, pendidikan minimal sekolah atas, tinggi dan berat seimbang dan seterusnya. Mungkin kita akan membacanya sebagai sebuah kelumrahan saja, tidak ada yang janggal dari kalimat-kalimat tersebut.
Namun jika kita menariknya dalam kerangka berpikir di awal tulisan ini, dan tentu saja dari sudut keilmuan seperti antropologi dan sosiologi, tentu dari sana akan tergambar bagaimana perubahan-perubahan adat dan budaya itu terjadi. Meski pemasang kontak jodoh anonim, namun bagaimana ia memandang keluarga atau kaumnya ketika persoalan yang menurut adat ini menjadi tanggung jawab mamak, atau menyangkut nama kaum. Apakah mamak atau kaum, seperti ditulis Wisran, masih perhatian, care, terhadap anggotanya, yang menurut adat sudah semestinya menjadi perhatian dan pemikiran tetua kaum.
Inilah fenomena masyarakat urban, yang ternyata menyimpan berbagai masalah yang menarik untuk dibahas. Tidak saja pertanyaan tentang bagaimana praktik adat dan budaya berlangsung, namun juga fleksibilitas dan kemampuan adat dan budaya menembus perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dorongan dan keinginan untuk merantau menjadi hal yang lumrah. Anak-anak muda merantau untuk melanjutkan sekolah atau mencari kerja di kota-kota besar. Bukan saja anak laki-laki, namun juga anak perempuan. Sebagian mendapatkan kerja dan karir yang menjanjikan. Tidak sedikit juga yang hanya mendapatkan kesempatan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Persinggungan dengan dunia luar juga menumbuhkan perubahan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Seperti contoh di atas, kebutuhan dan keinginan untuk mendapatkan jodoh haruslah diupayakan dengan berbagai cara. Ketika peran mamak atau mereka yang berkewajiban akan hal itu tidak berfungsi (semoga saja tidak terjadi), maka harus dipikirkan cara yang lain, misalnya dengan mencari sendiri, dan hal ini sudah menjadi semacam praktik berterima dan bahkan membudaya atau keharusan. Bahkan di kalangan anak muda atau ABG cerita seperti ini akan lebih menarik lagi untuk diteliti.
Demikianlah, zaman berubah, adat berubah, masyarakat berubah, dan berbagai fenomena kadang mengejutkan dan menyisakan banyak pertanyaan.*
Sudarmoko, bergiat di Komunitas Langkan Budaya Padang
No comments:
Post a Comment