Jasa retribusi perparkiran merupakan salah satu sumber pemasukan yang penting bagi sebuah kota. Jumlah kendaraan bermotor yang cukup banyak tentu menjadi sasaran penghasilan. Baik dalam urusan pajak kendaraan, kelangsungan perputaran BBM, bengkel-bengkel, toko-toko sparepart, sopir-sopir angkutan umum maupun pribadi, dan sebagainya. Bukan hanya pemerintah, namun juga banyak pihak lain yang berkepentingan dalam hal ini.
Perparkiran di kota Padang tampaknya belum dikelola dengan baik. Pemerintah kota sepertinya hanya memikirkan dan mengejar target pemasukan dari retribusi perparkiran. Dengan sistem pengelolaan yang dikelola oleh swasta, apapun bentuknya, semuanya berlangsung bak cukong atau tauke yang mengerahkan pihak-pihak lain untuk menarik pemasukan dan sementara si pemilik atau cukong hanya menunggu di balik meja.
Indikasi yang lain adalah tidak tersedianya ruang perparkiran yang memang disiapkan. Sehingga uang yang dihasilkan dari sektor ini tak memiliki nilai bagi pengembangkan bidangnya. Sistem yang digunakan hanya menggunakan bagian pinggir dari jalan-jalan, yang tak jarang bahkan sampai dua lapis, seperti yang terjadi di jalan M Yamin, yang tak urung menyebabkan kemacetan. Di beberapa jalan, terutama daerah yang disiapkan sebagai wilayah perkantoran dan publik services semisal pasar, rumah sakit, atau lembaga-lembaga pendidikan, mestinya harus diantisipasi dengan merencanakan kelancaran lalu lintas. Jalan Jati merupakan salah satu contoh jalan yang sering mengalami kemacetan atau kepadatan lalu lintas karena alasan ini.
Beberapa tempat publik, baik pemerintahan maupun swasta, merupakan tempat-tempat yang dari konsep pembangunan prasaranya mensyaratkan adanya tempat parkir, baik untuk pegawai maupun tamunya. Kondisi Padang saat ini saya pikir masih dapat dikatakan belum mengalami masalah serius dalam kondisi ini. Namun bila kita mempercayai adanya pertumbuhan dan perkembangan dalam hal populasi dan infra struktur yang dibutuhkan, tentu dalam beberapa dekade ke depan hal ini akan menjadi masalah serius.
Contoh kasus pembangunan sebuah gedung di pusat kota Bukittinggi yang mengalami tarik ulur karena syarat untuk pengadaan tempat parkir beberapa waktu lalu patut diperhatikan. Bukan hanya masalah bagaimana sebuah perencanaan tata ruang kota, namun juga bagaimana hal ini menjadi sebuah usaha yang harus dijalankan. Pembangunan harus diimbangi dengan perencanaan dan dampak yang mungkin timbul karenanya.
Bila tempat parkir ini dapat disiapkan di beberapa tempat yang rawan kemacetan dan keramaian, tentu saja hal ini dapat membuat Padang menjadi sebuah kota yang lebih nyaman dan dicintai. Sekitar komplek Pasar raya, ada sebuah tempat parkir yang disediakan di lantai atas Blok A. Namun, sepertinya tempat ini tak berfungsi secara maksimal. Pengguna kendaraan lebih memilih bersempit-sempit memarkir kendaraan mereka di sepanjang jalan antara komplek A dan Pasar raya. Sebuah pemandangan yang setiap hari mengganggu emosi kita.
Sikap mental pengguna kendaraan untuk dapat memanfaatkan tempat parkir dan meletakkan kendaraan mereka dengan tertib juga harus ditumbuhkan dan dikembangkan. Dengan kondisi serupa ini, sebenarnya antara fasilitas dan sikap mental dapat diserasikan. Beberapa strategi tentu dapat dirumuskan dari sekarang. Misalnya saja, sangat jarang ditemui penilangan karena parkir yang tidak pada tempatnya. Atau mobil derek yang melintas juga sepertinya tak pernah kelihatan. Mungkin ini menjadi tanda bahwa tak ada pelanggaran dalam masalah perparkiran.
Bila masalah ini dicermati, tentu akan banyak muncul hal-hal yang selama ini lepas dari perhatian kita. Baik dalam penarikan retribusi, pengelolaan, perencanaan pengembangan dan perbaikan, kewajiban pemerintah, dan sebagainya. Sementara kasus penggusuran PKL yang katanya merebut hak para pejalan kaki dilakukan pemko, sering kali parkir, yang sudah jelas aturannya, mengganggu hak pejalan kaki dan pemakai jalan jalan tak pernah ditertibkan. Apakah karena status sosial dan ‘pandangan mata’ yang berbeda terhadap dua hal yang berlainan ‘rasa’ ini kemudian berbeda pula penertibannya? *
Sudarmoko, bergiat di Komunitas Langkan Budaya Padang
No comments:
Post a Comment