Andaikan sebuah universitas yang telah berumur 50 tahun mengadakan perayaan ulang tahunnya. Dengan perebutan daya tariknya, sebagai sebuah representasi dari dunia intelektual di Sumatra Barat, seorang presiden akan turut hadir karena berkah pemberian gelar kehormatan, doktor honoris causa. Inilah pertaruhan (citra) intelektual di Sumatra Barat.
Universitas Andalas merupakan cermin dari sejarah baru dunia intelektual selepas kemerdekaan Indonesia. Sekaligus sebagai bentuk usaha kebangkitan diri setelah peristiwa PRRI yang banyak membawa dampak psikologis massa. Dengan peran dan beban yang disandangnya, Unand memang diharapkan menjadi lokomotif bagi gerbong panjang dunia intelektual.
Namun demikian, representasi dari cita-cita itu masih menjadi tanda tanya besar. Meski banyak sudah sarjana yang dihasilkan, namun dalam kehidupan riil masyarakat, khususnya Sumatra Barat masih kurang dirasakan. Berbagai program dijalankan, yang tujuan akhirnya adalah membantu masyarakat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun tetap saja, tanpa mengurangi capaian yang sudah dihasilkan, kondisi yang terjadi masih jauh panggang dari api.
Acara lustrum Unand, dengan materi acara yang disusunnya terlihat kehilangan orientasi, tak jelas kemana arah perubahan yang diinginkannya. Setelah beberapa materi acara seperti lecture series, penerbitan 50 judul buku, pengabdian masyarakat, dan seterusnya, yang menarik untuk dicermati adalah acara entertainmentnya. Hal ini telah menjadi perbincangan serius dan hangat di milist alumni Unand. Dengan masuknya acara entertainment dalam agenda bidang seni, terlihat Unand memiliki pandangan sendiri dalam memandang apa itu seni dan hiburan, yang disandingkan dalam dunia akademis intelektual.
Budaya populer dan kitsch, artifisial dan material, telah mengukuhkan tempatnya di kalangan akademis intelektual. Ia menjadi bagian yang merasuk dalam wilayah para resi yang bermukim di atas angin, dengan balutan selendang pendidik yang mereka kembangkan. Inilah kondisi satir yang dihadapi oleh kampus megah itu. Berbagai dugaan tentu saja patut dilayangkan. Terutama dalam kaitan antara harapan besar pada institusi pendidikan ini dengan realitas yang terjadi.
Bagaimanakah memasuki realitas yang dihadirkan dalam acara lustrum Unand itu? Keinginan untuk menghadirkan nuansa akademis dan entertainment sekaligus merupakan sebuah tendensi akan kondisi orientasi para panitia yang nota bene adalah merupakan pengajar. Di sinilah terlihat fragmentasi pandangan akan dunia yang dihuni, universitas itu. Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan alasan akademis untuk setidaknya memberikan justifikasi akan apa yang mereka kerjakan. Misalnya saja, dengan landasan kajian cultural studies atau ranah keilmuan sosial, yang melihat budaya massa sebagai bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat. Atau jangan-jangan mereka tidak menyadari atau dapat rujukan terhadap masalah ini.
Akibatnya adalah ketiadaan pertanggungjawaban publik atau pembenaran yang dapat diajukan untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Bila hal ini yang terjadi, maka sangat disayangkan hal ini menimpa dunia akademik itu. Apalagi bila kegiatan entertainment, kehadiran para idol ciptaan media massa yang mengadopsi produk luar yang berbeda kondisi dengan negara dan bangsa kita, hanya menjadi gambaran kegagapan dan kebebekan kita, generasi yang diharapkan semakin peka dengan berbagai realitas sosial yang terjadi.
Apakah generasi kini, terutama mahasiswa yang sedang belajar, disuguhi dengan acara-acara entertainment yang artifisial, sebagai pengukuhan atas apa yang mereka hadapi di rumah atau kos mereka. Generasi penonton dan penerima pasif tayangan televisi, menggosipkannya sambil nongkrong di koridor dan kafe kampus, sementara buku-buku telah tertutup, seiring dengan meredupnya gairah dan kreativitas intelektual.*
Ulasan yang menarik
ReplyDelete