KODE-4

Tuesday, May 15, 2007

ELIZAR KOTO

Musik “Pengusir” Tupai

Sudah lama ia mengumpulkan kaleng bekas makanan. Ia menumpuknya di sebuah ruang. Bekas wadah susu bubuk bayi ikut terkumpul di sana sejak anak pertamanya lahir. Kini, anak itu sudah dua tahun, sehingga tumpukan kaleng pun kian bertam-bah.

Sempat istrinya bertanya akan kesukaannya me-nyimpan barang bekas itu. Ia sering menyahut seka-darnya, namun tetap menegaskan bahwa biarpun be-kas, barang-barang itu perlu disimpan. Jawabannya yang lebih jelas berupa aksi: sebuah karya musik lahir dari sampah dapur tersebut. Komposisi berjudul “Di-alog Tanpa Tema” (Ma-o-ta) itu ia tampilkan dalam “Pe-kan Komponis X” yang berlangsung 23-26 Februari 2000 di Bandung. Penonton terkesima, dan memberi tepuk berkepanjangan.

“Barang-barang bekas itu membantu mewujudkan gagasan saya,” kata Elizar Koto seusai pementasan kar-ya yang ia siapkan bersama rekannya, Edi Junaidi.

Semula kaleng-kaleng itu akan ia biarkan lengkap dengan merek dagangnya, namun akhirnya ia memu-tuskan untuk menutup permukaannya dengan cat warna perak. Ia memanfaatkan efek gaung dari rong-ganya, ketika terbentur atau tergetar oleh dawai dari logam, yang dikejut atau dihentak. Dalam hal ini ia mengaku terilhami oleh musik Vietnam yang dide-ngarnya dari kaset; yang menampilkan efek bunyi me-liuk dan “dalam”.

Kelekatannya dengan kaleng tampak pula dari beberapa karyanya sebelum ini. Sebutlah itu komposisi-nya untuk hajatan budaya “Sacred Rhythm” di Bali akhir tahun lalu. Sebut pula karyanya yang tampil di dalam acara “Temu September” dua tahun lalu di Solo. Ia menggunakan kaleng seperti instrumen genta, dengan menambahi lidah-lidah dari logam di dalam-nya. Kelonengan bersuara cempreng itulah yang men-jadi modal pokok karya-karyanya.

Di dalam “Temu Budaya” di Padang Sumatra Barat beberapa tahun lalu, ia memanfaatkan kaleng dengan cara agak berbeda. Ia membentangkan tali-tali yang digantungi kaleng-kaleng bermodel genta melintasi ruang penonton ke arah panggung, dan mengendali-kannya dari ruang operator di arah belakang penonton. Kaleng-kaleng bekas wadah biskuit itu seketika ber-bunyi bersahutan setiap kali ia menariknya, membuat seisi gedung seperti berada di arena penuh bunyi yang berasal dari segala sudut. Ternyata ia mengambil ga-gasannya dari bunyi-bunyian pengusir burung di sawah, atau pengusir tupai di kampung-kampung.

Tupai? Di kampung kelahirannya di Bungotanjusng, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanahdatar, Sumatra Barat, lazimnya orang mengusir tupai dengan cara se-perti itu. Tupai-tupai itu selalu mengincar buah durian. Maka kaleng-kaleng berisi gantungan alat logam itu digantungkan di atas pohon dan diberi tali sampai se-dikit di atas tanah. Setiap kali lewat, orang wajib menarik talinya dari bawah, dengan harapan sang hama durian kabur.

“Kami punya tiga pohon durian. Saya suka memain-kannya dulu, senang saja, rasanya asyik. Sesungguh-nya saya tidak tahu apakah benar tupai itu akan lari atau cuma menghindar sebentar, tetapi lega kalau sudah menariknya setiap kali lewat,” tutur bungsu dari lima bersaudara keluarga Mustafa, pensiunan anggota TNI yang kemudian bertani ini.

Menurut Elizar, musuh durian yang tak kalah hebat adalah kalong, yang datang berbondong-bondong mengisap bunganya. Untung tak semua bunga ludes oleh kawanan kalong, sehingga selalu ada yang tersisa untuk si pemilik pohon. Memang, melawan kalong itu tampaknya manusia hilang akal. Kalau tidak, bisa jadi bakal lahir musik baru dari peralatan tradisional pengusir kalong.

Ia juga suka ikut mengusir burung-burung pelahap padi. Suaranya yang riuh menyenangkan hatinya, meski saat itu ia tidak membayangkan suatu saat bakal ia manfaatkan untuk musiknya.

“Saya memang senang membuat yang baru dari barang-barang yang tidak terpakai. Bunyi kaleng peng-usir tupai itu ‘kan sebenarnya musikal, meski mungkin saat kecil saya tidak menyadarinya. Pengalaman saya mengajari bahwa hal-hal yang belum kita sadari, kelak bisa jadi akan berguna,” tambahnya.

Dengan membuat musik kaleng, Elizar Koto tidak merasa lari dari tradisi musik yang membesarkannya. Ia tumbuh dan terdidik ketat di dalam tradisi karawitan Minangkabau. Lulusan Akademi Seni Karawitan Indo-nesia-ASKI (kini Sekolah Tinggi Seni Indonesia-STSI) Padangpanjang tahun 1986 ini giat mempelajari ber-bagai ragam musik dari latar budaya lain. Tahun 1989 sampai 1991 ia belajar secara formal di STSI Denpasar untuk bidang studi komposisi musik.

“Namun terdidik secara formal tidak dengan sendi-rinya mencetak seseorang untuk menjadi komponis. Membuat musik itu jangan hanya dari kepala, tetapi utamanya dari sini,” katanya, sambil menunjuk ke arah dada.

Ia mengaku selalu berusaha melepaskan diri dari teori-teori apa pun yang telanjur diserapnya, selagi menciptakan musik. Tak selalu ia mampu benar-benar “kosong” (dan katanya, “Apa itu mungkin?”) namun setidaknya ia punya ukuran-ukuran. Katanya, “Saya tahu akan bagus kalau terasa kena di hati.”

Ia sadar bahwa karya-karyanya menunjukkan jejak latihan dan pendidikan yang ia peroleh. Sebuah karyanya yang padahal sama sekali tidak menggu-nakan instrumen apa pun yang bersentuhan dengan tradisi Minang, ditunjuk oleh seorang komponis se-bagai “sangat Minang”. Komponis yang berasal dari latar budaya Cirebon itu, Embie C Noor, tidak silau oleh bentuk yang muncul, namun melihat langsung esensi sajian musik kalengnya.

Bahwa ia tidak lari dari tradisi yang membesarkan-nya tampak dari kegiatannya yang lebih banyak sebagai penjaga tradisi musik Minangkabau. Ia aktif di Ke-lompok Talago Buni, sebuah kelompok musik yang ber-tekad meneruskan dan mengembangkan tradisi ter-sebut. Sebuah rekaman CD berisi beberapa komposisi tradisional yang ia garap seperti “Bapilin Tigo” dan “Bakucindan” telah diluncurkan di Jerman. Pen-dukung rekaman itu antara lain juga Muhammad Halim dan Asril. Bersama beberapa pemusik lain seperti Halim dan Hanefi, ia menampilkan musik tradisi tersebut di Jerman tahun lalu.

Melihat potensi yang dimiliknya, Elizar Koto ter-masuk kurang beruntung dibanding beberapa rekan seniman lain. Salah satu sebabnya adalah, ia tak punya jaringan kerja seni global yang bisa dimanfaatkan untuk memasarkan karya ke festival atau hajatan seni di berbagai negeri. Juga belum ada yayasan atau badan-badan internasional yang memberinya kesem-patan memperluas wawasan atau belajar formal di luar negeri.

Lelaki ramah kelahiran 14 November 1962 ini meng-akui bahwa para pemusik seperti dirinya memang harus menjadi pengajar tetap di perguruan tinggi seni. Hal itu akan menjawab soal ekonomi rumah tangga karena berpenghasilan tetap. Pada sisi lain, hal itu sekaligus memenuhi kebutuhan akan iklim berkesenian, karena selalu berada di dalam lingkungan yang kreatif.

Ia tak ingat berapa hari dalam satu minggu harus mengajar (mata kuliah komposisi dan gambus Riau). Mungkin sebenarnya ia tidak hirau benar, karena pada dasarnya waktunya yang terpakai hanya sampai pukul empat sore.

“Lagi pula para mahasiswa akan senang kalau kita libatkan di dalam proses penjadian sebuah karya,” tutur suami dari Linda yang juga seorang penari, dan ayah dari Gaung ini. *

sumber (Nasrullah Nara/Efix Mulyadi), Kompas, Senin, 6 Maret 2000

No comments:

Post a Comment