KODE-4

Monday, May 21, 2007

Peristiwa Kebudayaan dan Proses Kebijakan

OLEH SUDARMOKO
Sejumlah kegiatan kebudayaan yang bersentuhan dengan pemerintah lebih banyak ditekankan pada orientasi pariwisata. Kebudayaan tak lebih menjadi komoditi. Dengan logika seperti ini, maka perkembangan budaya tak dapat diharapkan akan menjadi lebih baik. Bukan hanya kebudayaan kemudian akan menjadi artefak dan komoditas belaka, namun juga kebudayaan dalam artian ‘proses’ akan menjadi mandul.

Pandangan yang sering digunakan dalam melihat relasi budaya dan pariwisata adalah kebudayaan sebagai asset yang dapat mengundang turis datang ke tempat kebudayaan itu hidup. Masyarakat dipacu untuk menghidupkan berbagai kesenian dan peristiwa budaya. Dengan berbagai program yang dirancang, pemerintah terkesan mencikaraui kehidupan dan proses kebudayaan. Hal ini, saya duga, karena pemerintah memang tidak memiliki definisi dan konsepsi yang jelas mengenai kebudayaan, atau kesenian dalam arti khusus.
Ketidakmengertian ini sering kali diikuti dengan penyelenggaraaan peristiwa budaya yang justru melemahkan proses kebudayaan itu sendiri. Tidak sedikit iven kebudayaan yang kemudian malah menjadi bom waktu dengan menyisakan berbagai konflik dan pertentangan diantara pelaku kebudayaan. Misalnya saja, apa yang berbekas dari peristiwa Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi beberapa tahun yang lalu, yang dengan habis-habisan didukung oleh Pemprov Sumatra Barat dan Pemkot Bukittinggi. Rasanya tidak banyak efek yang berbekas dan menjadi inspirasi bagi perkembangan kebudayaan di Sumatra Barat, selain hanya sebagai tuan rumah yang ramah dan kemudian dicatat dalam sejarah kongres berikutnya.
Namun demikian, tetap saja pemerintah atau dinas yang mendapat tanggung jawab dalam ranah kebudayaan menciptakan berbagai iven ini. Setelah sekian banyak peristiwa kebudayaan yang pernah digelar, tak pernah ada kajian atau evaluasi yang kemudian menjadi pijakan pada arah pengembangan proses kebudayaan kita. Seluruh iven atau program digelar secara dadakan dan tanpa persiapan dan orientasi, sehingga tidak betul-betul dapat menjadi acuan dalam program berikutnya.
Inilah yang menjadi perdebatan dalam penyelenggaraan berbagai iven kebudayaan yang digelar oleh pemerintah, sesuatu yang pernah dicap sebagai peristiwa kebudayaan plat merah. Pemerintah memang memiliki kekuatan dalam hal penyediaan dana dan fasilitas. Sesuatu yang kemudian menjadi nilai tawar yang dimiliki pemerintah. Namun kebudayaan tidak hanya dibangun dan didasarkan pada masalah ini saja. Ia menyangkut mentalitas dan elan vital yang dimiliki manusia secara individu dan kolektif.
Padang, misalnya, yang menjadi pusat administrasi Sumatra Barat, tidak serta merta dapat menentukan dan mendikte kebudayaan macam apa yang sedang atau akan dikembangkan. Apalagi bila melekatkan kata ‘Minangkabau’ di dalamnya. Karena Kota Padang memang bukan daerah utama yang secara kultural bersangkut paut dengan makna di dalam kata ‘Minangkabau’. Keuntungan yang dimiliki Padang adalah ia menjadi pusat perkembangan dimana kaum intelektual terdidik memilih tinggal di sana, dan pemerintah dengan segala perangkatnya memilih untuk menjadikannya ‘markas besar’.
Saya hanya dapat membayangkan, bagaimana bila Festival Minangkabau atau Pekan Budaya Minangkabau, atau peristiwa dengan nama lain dalam konsepsi yang akan digelar pada akhir bulan November itu dilangsungkan di sebanyak mungkin tempat. Misalnya saja, di Bukittinggi yang kini memiliki perpustakaan mewah itu menjadi tempat sebuah seminar atau kongres, sebagai mana dulu Bukittinggi pernah menjadi ladang pemikiran dan iven intelektual, dengan banyak tokoh dan persitiwa intelektual digelar. Sementara di Payakumbuh digelar pesta sastra dan seni, karena memang Payakumbuh banyak melahirkan seniman dan sastrawan. Untuk kegiatan pertunjukan kontemporer dilangsungkan di STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatra Barat. Dan seterusnya.
Rancangan seperti ini, rasanya pernah digulirkan oleh DKSB dalam programnya. Dan iven itu cukup berhasil, misalnya di Batipuh dan Taeh. Setidaknya masyarakat yang menjadi pelaku dari kebudayaan dapat mengapresiasi dan menumbuhkan inspirasi dan motivasi untuk proses selanjutnya. Masyarakat menjadi gembira dan bangga, karena mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka, kebudayaan mereka, dan apresiasi mereka terhadap kebudayaan dan kesenian. Merekalah pelaku dan penikmat dari kebudayaan dan kesenian itu.
Namun saya hanya dapat membayangkan, sekaligus selalu berharap bahwa kebudayaan kita akan menjadi lebih baik. Dengan saling mendengarkan dan mengkritik kerja-kerja kebudayaan. Dan inilah salah satu bagian dari proses kebudayaan itu. Siapa tahu, nanti akan lebih jelas arah perkembangannya.*
Sudarmoko, alumnus Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda, bekerja pada Laboratorium Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.

No comments:

Post a Comment