KODE-4

Tuesday, May 15, 2007

MUSRA DAHRIZAL KATIK RAJO MANGKUTO

“Ruh” Seni Randai

Arena laga-laga Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat di Jalan Diponegoro, Padang, Selasa, 27 Agustus 2002, pagi, dipadati pengunjung tak seperti biasanya. Sekelompok pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) berpakaian tradisional tengah bersiap menampilkan randai, salah satu seni tradisi Minangkabau. Ada festival randai pelajar SLTP se-Sumatra Barat, rupanya. Melalui pengeras suara, panitia memanggil-manggil nama. “Tuo Randai kita, Mak Katik, mohon sangat kehadirannya.”

Mak Katik adalah nama keseharian Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto. Setiap ada barandai (pertunjukan randai) di mana pun, lelaki berkumis dan berjambang lebat itu selalu hadir.

“Semalam saya tidur dini hari, sekitar pukul 02.00. Ada anak-anak barandai. Pagi ini, saya dipercaya jadi juri festival randai. Ini sesuatu yang perlu kita sokong dan kita bantu,” katanya.

Suatu kali, dini hari usai pertunjukan randai Ke-lompok Tungku Tigo Sajarangan pada awal Agustus 2002 di Pauh, dini hari seusai pertunjukan, Mak Katik memberi kesan dan pesannya.

“Kesenian Minang hidup dan berkembang, serta me-narik dan dikagumi banyak orang dari berbagai etnis dan negara karena kesenian itu sendiri punya ruh; se-hingga dia hidup dan memberikan kesan mendalam bagi pengunjung.”

Menurut dia, kesenian Minang apa pun jenisnya, termasuk randai, harus memperhatikan penontonnya, kalau perlu melibatkan penonton. Pertunjukan kese-nian randai, misalnya, baru bisa dikatakan berhasil bila orientasinya untuk tiga kategori penonton: Orang buta, dengan kekuatan dialog, dendang, dan musik, ia seolah melihat langsung mimik para pemain. Pe-nonton yang tuli, tetapi mata nyalang, seolah men-dengarkan dan mengerti apa yang diucapkan pemain. Kemudian, penonton yang normal, cukup mata dan te-linga, juga mendapat kesan mendalam dari per-tunjukan itu.

Bila Anda menonton randai, perwatakan tokoh da-lam penampilan randai tidak diungkapkan melalui tata rias, tetapi disampaikan lewat dendang (gurindam) ber-bahasa Minang. Kemudian, yang menjadi musik selain tepuk galembong, juga tepuk tangan, tepuk kaki, tepuk siku, petikan jari, hentakan kaki, dan teriakan-teriakan “hep...ta...ti.. hai” oleh tukang gore, dan nyanyian atau dendang yang dilakukan para pemain sambil mela-kukan gerakan-gerakan galembong, gerakan silat.

Sudah banyak peneliti yang menjadikan Mak Katik sebagai narasumber untuk kajian randai, antara lain peneliti dari University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, Kirsten Panka, menjadi doktor karena randai.

Bahkan, ketika Mak Katik menampilkan randai dengan melibatkan mahasiswa asing dari delapan ne-gara menjadi pemain, pemusik, dan pendendang untuk cerita “Umbuik Mudo” yang dialihbahasakan dari bahasa Minang ke bahasa Inggris, seorang profesor dari University of Hawaii dengan spontan menyatakan kekagumannya. Dia sampai empat kali menonton.

Mak Katik diundang University of Hawaii menjadi pengajar selama enam bulan pada tahun 2000/2001, mewakili kesenian Asia. Ada 53 mahasiswa berbagai negara mengikuti pelajaran randai.

Menurut catatan Dewan Kesenian Sumatra Barat, saat Mak Katik jadi dosen tamu di University of Hawaii, Manoa, AS, itulah kali pertama kesenian randai tampil dan jadi bahan studi di luar negeri.

Sukses dalam 12 kali penampilan di empat tempat, antara lain di Kennedy Theatre, Amerika Serikat, Mak Katik yang juga menguasai seni silat, saluang, dan petatah-petitih Minang yang semuanya terpakai dalam pertunjukan randai, dengan Kelompok Singo Barantai mendapat undangan tampil beberapa kali di Jepang. Terakhir dia tampil di Melaka, Malaysia. Akhir tahun 2002, Mak Katik ada kemungkinan tampil di Brunei Darussalam.

Pergumulan Mak Katik secara intens dengan randai sudah sejak 43 tahun lalu. Tak heran ia dipanggil Tuo Randai”, panggilan kehormatan dalam sistem kebu-dayaan Minang yang sejajar dengan sebutan guru besar atau pakar dalam sistem pendidikan Indonesia. Bedanya, seorang yang dianggap Tuo Randai tidak hanya sekadar ahli dan sangat menguasai, tetapi juga sekaligus pelestari.

Menurut Mak Katik, kesenian randai disukai dan dikagumi antara lain karena di balik dialog, di balik gerak silat, sarat filosofi adat dan agama yang menjadi dasar kehidupan. Ia melukiskan, di balik semua ge-rakan silat randai, filosofinya sama. Dalam proses ke-budayaan Minang ada proses yang harus dilakukan. Bila dibawakan ke kehidupan, itu warna kehidupan, karakter hidup.

Dalam dialog randai, filosofinya ia lukiskan seperti sapakaik hati jo jantuang, sakato budi jo aka, budi manimpo ilimu, baso basisiah paham dalam batin. Bila dikaji terus, larinya bisa ke tasawuf. “Persoalannya, tidak seberapa orang randai yang pengetahuan dan pemahamannya sampai ke tingkat (tasawuf) itu,” ujarnya. Begadang setiap malam untuk kesenian randai, bagi Mak Katik itu konsekuensi dari pilihan hidup. Dilahirkan di Subang Anak, Nagari Batipuah tanggal 18 Agustus 1949, pada usia 10 tahun Mak Katik belajar randai dari pamannya, Kabun Rangkayo Batuah. Bersamaan dengan itu ia juga belajar silat dan saluang. Tiga tahun kemudian ia belajar petatah-petitih Minang. Sebagai pemain randai, Mak Katik kecil sudah tampil di berbagai daerah di Sumatra Barat.

Tahun 1976, ia membentuk sendiri kelompok ran-dai Talago Gunuang di Padang. Mak Katik langsung se-bagai pelatih. Pemainnya orang Cina dan Nias. Randai tersebut sempat terkenal dan bertahan lebih kurang delapan tahun. Kini, sekitar 52 kelompok randai di Kota Padang, Mak Katik salah seorang pembinanya. Tidak hanya di Padang, pada hampir seluruh daerah di Sumatra Barat, Mak Katik terlibat sebagai pelatih atau pembina.

“Untuk mengurus randai sampai tahun 1986, sudah satu mobil dan satu sepeda motor cair (tandas-red). Bagi ambo — begitu ia menyebut ke dirinya — tak ada pamrih. Melatih randai, silat, dan saluang, tidak untuk mencari makan, tetapi mengembangkan kesenian tra-disi dan menjalin tali silaturahmi. Sudah seluruh pelo-sok daerah di Sumatra Barat dikunjungi untuk mema-jukan kesenian randai. Sampai sekarang tali silatu-rahmi dengan masyarakat tempat randai itu hidup dan berkembang, tetap jalan,” papar seorang pembinanya.

Tidak hanya di Padang, pada hampir seluruh daerah di Sumatra Barat, Mak Katik terlibat sebagai pelatih atau pembina.

Untuk kebutuhan hidup dan membiayai istri dan empat anaknya, Mak Katik sejak tahun 1974 sudah punya usaha percetakan di Padang yang dijalankan adiknya.

Karena alasan tanpa pamrih melestarikan dan me-ngembangkan kesenian tradisi itu, ia tidak pernah memberi tahu bahwa ia punya usaha percetakan dan tidak pernah meminta proyek kepada pejabat-pejabat (Wali Kota/Bupati, dan Gubernur) yang pernah dekat dengannya.*

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Selasa, 29 Agustus 2002

No comments:

Post a Comment