KODE-4

Tuesday, May 15, 2007

ERY MEFRI

Menyatukan Rasa dalam Tari

Ketika menemukan kenyataan yang menyakitkan, di mana manusia seolah tidak bisa memaafkan diri sendiri, koreografer Ery Mefri (45) memu-tuskan berhenti menari. Anak yang begitu ia cintai me-ninggal karena tifus, ketika Ery mengikuti American Dance Festival di Durham, North Carolina, dan New York, Amerika Serikat, tahun 1994.

“Dua jam sebelum meninggal ia masih sempat tele-pon saya dan mengatakan sedang latihan menari di Taman Budaya Padang. Katanya, ayah lanjutkan saja mengikuti festival di Amerika,” tutur Ery ketika di-temui, Selasa, 17 Juni 2003, sesaat menjelang pemen-tasan beberapa karya tarinya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Lelaki yang kini bertubuh tambun itu, dan karena tubuhnya itu banyak yang menduga ia tak cocok seba-gai koreografer, sejak itu pula berhenti menari. Bahkan kenyataan pahit itu hampir saja mengubah jalan hi-dupnya.

“Saya memutuskan berhenti menari. Sepulang dari Amerika, saya mencipta tari berjudul “Tunggal”, khu-sus buat anak kedua saya yang waktu meninggalnya pun saya tidak tahu. Tapi, sejak itu, setiap saya menari, selalu ingat dia. Maka saya putuskan berhenti saja.... Saya hanya akan mencipta saja,” kata Ery sembari me-nyedot rokoknya dalam-dalam. Kelihatan koreografer yang pernah menjadi penata tari dan musik terbaik se-Sumatra Barat tahun 1984 itu masih terpukul meng-ingat kejadian itu.

Saat meninggal, Refi Mefri berusia 10 tahun. Pada usia itu, menurut Ery, anaknya selalu berlatih di Ta-man Budaya Sumatra Barat, tempat Ery bekerja. “Waktu dia menelepon saya itu, dia sudah berada di rumah sakit,” kata dia terbata.

Momentum itu menjadi begitu penting bagi perja-lanan Ery sebagai koreografer. Sejak itulah ia menjadi lebih percaya bahwa yang terpenting dari seluruh ba-ngunan yang bernama tari itu adalah penyatuan rasa. Meski ia tidak langsung bergerak ketika menata tari, seluruh muridnya seolah sudah mengerti apa yang dia kehendaki.

“Tari Bundo Kanduang” yang diciptakannya tahun 2000, dan malam itu ditarikan Angga Djamar dan Afrizal di GKJ, barangkali menjadi contoh paling pen-ting bagi pandangan Ery tentang tarian.

Dalam keheningan suasana, karena tanpa musik, Angga dan Afrizal terlihat begitu fasih dan padu meng-ekspresikan setiap gerakan. Mereka seperti dua ekor ular yang licin dan lentur. Kondisi saling mengerti se-perti itu, kata Ery, tidak akan tercapai dalam waktu satu atau dua tahun.

“Angga sudah ikut saya lebih dari 10 tahun, semen-tara Afrizal tujuh tahun. Penyatuan rasa itu memang membutuhkan waktu. Maka, murid saya tak pernah lebih dari 10 orang,” ujar Ery.

Pada rentang waktu itulah terjadi “sublimasi” rasa antara guru dan murid serta antarsesama murid. Dalam kondisi seperti itu, Ery tidak merasa perlu harus bergerak untuk sekadar memberi contoh gerakan. Seluruh spirit tari yang menggelegak di dalam dada Ery seperti ditransformasikan lewat rasa kepada para muridnya.Ery Mefri, yang lahir pada 23 Juni 1958 ini, belajar menari dari ayahnya, Djamin Manti Jo Sutan (84), pada usia tiga tahun. “Saya ingat tari yang saya pelajari pertama kali adalah “Tari Piring”. Agar piringnya tak pecah, saya sampai belajar di atas kasur tempat tidur ayah, ha-ha-ha...,” ujarnya.

Sebenarnya, tambah Ery, dasar dari seluruh tarian Minang adalah gerakan-gerakan silat. Sejak kecil, se-bagaimana lelaki Minang yang senantiasa tidur di su-rau, Ery belajar silat dari seorang guru.

“Nah, saat istirahat belajar silat itulah kami juga mempraktikkan seni randai. Spontan saja, sembari me-nyanyikan tembang-tembang tradisi, kami semua membawakan lakon-lakon yang diambil dari mitologi,” tutur ayah dari Rio, Gebi, Intan, dan Ririn Mefri ini. (Meski menyebut nama-nama anaknya, Ery tetap me-nolak memberi tahu nama istrinya).

Pada masa kecil itu, menurut Ery, orang Minang se-perti punya prinsip, “Kalau bapaknya penari, masa anaknya tidak bisa. Malu kita.”

Sebelum akhirnya belajar di Sekolah Menengah Ka-rawitan Indonesia (SMKI) di Padangpanjang, Sumatra Barat, Ery sesungguhnya telah menguasai tarian tradisi secara otodidak. “Saya tamat dari SMKI tahun 1981 dan tahun 1982 mulai mencipta tari sendiri,” tutur dia.

Justru saat dia mulai mencipta tari sendiri itulah yang banyak menimbulkan kontroversi.

“Banyak sekali orang Minang yang menganggap saya merusak tari minang karena saya adaptasi dengan tari kontemporer. Mereka tidak mengerti bahwa sampai sekarang, di mana sudah 36 karya yang saya hasilkan, spirit semuanya tetap tradisi. Saya selalu berangkat dari tradisi,” kata Ery.

Karya Ery terbaru yang berjudul “Tiang Nagari”, yang dipentaskan pula di GKJ, memang masih jelas berupaya mengadaptasi gerakan-gerakan silat Minang ke dalam gagasan terkini. Tari ini juga berangkat dari filosofi orang Minang yang terjemahannya berbunyi, “Mene-puk air di dulang, tepercik muka sendiri. Mencabik baju di dada, mempermalukan diri sendiri”.

Kenyataan sekarang, ujar Ery, begitu banyak orang yang mempermalukan diri sendiri dengan berbagai per-buatan melanggar etika dan hukum. “Ini spirit barunya, tetapi spirit tradisinya saya tetap mengambil Minang.”

Pendapat Ery, jikalau ia mengambil tradisi secara fisik, maka tradisi yang sudah dipelihara beratus-ratus tahun akan rusak. “Maka, tradisi bagi saya hanya pe-rangsang untuk mencipta,” tuturnya.

Ketika menamatkan pelajaran di SMKI, Ery men-dirikan kelompok tari bernama Nan Jombang Group. Kata ini sebenarnya berasal dari judul karya tari Ery yang ia ciptakan pertama kali. “Dan, ayah saya juga sering dipanggil Nan Jombang, orang yang gagah se-kali, tapi nakal. Jadi, waktu mencipta itu juga saya ter-ingat ayah,” katanya mengenang.

Lelaki kelahiran Saningbakar, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, ini barangkali menjadi salah satu penari yang masih menganggap tari sebagai sebuah “ritual”. Karena itu, gerakan-gerakan yang dimainkan tubuh hanyalah bentuk-bentuk ekspresi yang sesungguhnya terjadi di dalam batin. Dia lebih berupa olah rasa, yang kemudian tervisualisasi di dalam gerak.

Bisa dimengerti kemudian jika sejak tahun 1985, ketika ia berjumpa dengan pemusik Rizal D Siagian, Ery tidak memanfaatkan musik secara visual untuk mementaskan tariannya.

“Rizal mengatakan kepada saya, musik yang baik adalah musik yang tak terdengar betapa kerasnya pun kamu mengukur. Ini saya kira pernyataan inti dari mu-sik itu sendiri. Sejak itu, musik selalu terintegrasi ke dalam tari-tari yang saya ciptakan,” tutur Ery. Kalau toh di dalam koreografi Ery memerlukan musik, ia, mi-salnya, hanya memasukkan hal-hal yang lumrah ada di dalam seni tradisi Minang. Dalam tari “Adat Salingka Nagari 2”, Ery memanfaatkan celana galembong, celana silat Minang, yang kemudian dipukul-pukul pada ba-gian selangkangan kaki. Selain itu, dalam tari “Tiang Nagari”, Ery hanya memasukkan nampan logam yang terinspirasi “Tari Piring”. Nampan itu pun hanya dipu-kul-pukul sesekali.

“Musik itu sudah ada di sini,” ujar Ery sembari menunjuk dadanya. Dan itu, tambahnya, harus ada da-lam setiap penari. “Memadukan ini yang tersulit. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memperoleh rasa yang sama sehingga gerakan-gerakan jadi padu,” kata dia.

Itulah, mengapa dalam setiap pementasan tari karya Ery selalu tercipta suasana hening. Gerakan-gerakan adalah sebuah upaya untuk mencapai tahap meditasi, bukan sebuah atraksi yang mengeksploitasi kekuatan fisik. *

SUMBER (Putu Fajar Arcana) Kompas, Sabtu, 21 Juni 2003

No comments:

Post a Comment