KODE-4

Friday, May 11, 2007

Komunitas Paragraf Diskusi tentang BM Syam

Dalam khasanah sastra Riau, nama BM Syamsuddin, menempati posisi yang harum. Meski terbilang “terlambat” terjun di dunia sastra, namun hingga akhir hayatnya, lelaki kelahiran Natuna (Kepulauan Riau) ini menjadi cerpenis paling produktif dari Riau di eranya. Hingga saat ini, belum ada cerpenis Riau yang mampu menandingi produktivitasnya, juga pencapaian estetikanya.

Untuk mengenang salah satu cerpenis penting Indonesia seangkatan AA Navis ini, Komunitas Paragraf Pekanbaru akan menyelenggarakan acara “Mengenang BM Syamsuddin” di Galeri Ibrahim Sattah Kompleks Bandar Serai Pekanbaru, pada Ahad (13/5/2007) pukul 19.00 WIB. Acara ini akan diisi dengan pembacaan cerpen-cerpen BM Syam oleh beberapa sastrawan dan seniman Riau seperti Marhalim Zaini, Hang Kafrawi, Syaukani Alkarim dan yang lainnya; pembacaan perjalanan kepengarangannya dan diskusi karya-karyanya yang akan menampilkan dua budayawan Riau, Al Azhar dan Elmustian Rahman, sebagai pembicara.

“Harus diakui, posisi BM Syam sangat penting dalam dunia sastra Indonesia, khususnya Riau. Ketika masih produktif menulis sebelum meninggal, hampir tak ada media yang “berani” menolak cerpen-cerpen BM Syam,” jelas Marhalim Zaini, Koordinator Komunitas Paragraf.

Menurut Olyrinson, salah seorang penggagas acara yang juga anggota Komunitas Paragraf, karya-karya BM Syam memiliki kekuatan lokalitas Melayu yang kental, dan sangat dekat dengan persoalan sehari-hari masyarakat Melayu yang terpinggirkan. “Memang, BM Syam agak terlambat berkarya dibandingkan AA Navis dari Sumbar atau nama-nama cerpenis lainnya seangkatannya di Indonesia, tetapi karya-karyanya telah memberi pengaruh besar dalam sastra Riau dan Indonesia,” kata penulis novel Gadis Kunang-kunang (DAR-Mizan 2004) ini.

Untuk itu, baik Marhalim maupun Olyrinson, berharap para pecinta sastra, mahasiswa, siswa, guru bahasa dan sastra dan mereka yang suka dengan sastra, bisa hadir dalam acara ini. “Bisa dikatakan, selain Soeman Hs, BM Syam adalah seorang “guru” cerpen di Riau,” kata Budy Utamy, Sekretaris Komunitas Paragraf.

Menurut Kazzaini Ks dalam pengantar buku kumpulan cerpen BM Syam, Jiro San, Tak Elok Menangis (Yayasan Sagang, 1997), hingga akhir hayatnya Bm Syam adalah cerpenis Indonesia yang cukup produktif dari tahun 1980-an hingga dekade 1990-an. Kompas --selain Haluan, Suara Karya, Suara Pembaruan, Riau Pos dan beberapa media lainnya--adalah media yang paling sering memuat karyanya sehingga beberapa teman BM Syam pernah berseloroh, “Apa redaktur koran itu tak bosan dengan cerpen BM Syam?”

Diperkirakan, saking produktifnya, sudah lebih 100 cerpen yang lahir dari tangannya. Sebelum kumpulan cerpen yang diterbitkan Yayasan Sagang tersebut, belum ada kumpulan cerpen yang khusus memuat karya BM Syam. Cerpen-cerpennya hanya dimuat dibeberapa antologi seperti Kado Istimewa (Kumpulan Cerpen Kompas tahun 1992) dan Pertemuan Kedua (Kumpulan Cerpen Pengarang Johor, Singapura dan Riau yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustakan Malaysia 1992).

Yang menarik, menurut Hasan Junus (seperti dikutip Kazzaini Ks), pada mulanya BM Syam tidak dikenal sebagai seorang penulis cerpen, melainkan roman dan novel. Beberapa roman/novelnya dimuat sebagai cerita bersambung di Haluan (Padang), karena ketika itu di Riau belum ada koran harian. Roman/novel BM Syam yangs sudah diterbitkan oleh Balai Bahasa adalah Damak dan Jalak (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Tun Biadjid I (1984) dan Tun Biajid II (1984). BM Syam mengaku tak bisa menulis cerita pendek, karena sudah 30 halaman ketikannya, katanya, belum berbentuk cerita. Namun, di ujung-ujung usianya, BM Syam sangat produktif menulis cerpen dan menjadi penulis cerpen Riau yang paling produktif di media ibukota.

Dilahirkan di Natuna, Kepulauan Riau pada 10 Mei 1935, BM Syam memang memiliki bakat menulis sejak kecil. Cerpen pertamanya dimuat di Majalah Merah Putih pada tahun 1956 dengan nama samaran Dinas Syams. Karya-karya BM Syam tak hanya sebatas novel dan cerpen, tetapi juga esai, kritik, dan artikel kebudayaan, juga pernah menjadi wartawan untuk Haluan dan Riau Pos menjelang akhir hayatnya.

Pendidikan guru yang ditempuhnya, menjadikan dia seorang pendidik yang tangguh dan sepanjang tahun 1955-1981, BM Syam menjadi guru SD dan SMP di beberapa tempat di Riau, juga pernah menjadi dosen di FKIP UIR (1988-1994). Semangat menulisnya tak pernah padam sebelum akhirnya meninggal dunia di RS Ahmad Mochtar, Bukittinggi pada 21 Februari 1997, setelah dirawat cukup lama di Pekanbaru. Keinginan menulis yang begitu kuat, selalu keluar dari mulutnya, bahkan di saat berbaring di rumah sakit.

Salah satu cerpen BM Syam yang sangat dikenal adalah “Jiro San, Tak Elok Menangis”. Cerita yang dituturkan Bujang (yang kemudian namanya diganti menjadi Jiro San oleh guru Jepang) tentang seorang guru bernama Engku Jauhar pada masa pendudukan Jepang di Natuna, adalah sebuah kisah yang mengharu-biru tentang buruknya kondisi masyarakat di Natuna ketika itu. Cerpen lainnya, “Cengkeh pun Berbunga di Natuna” juga salah satu cerpen BM Syam yang banyak dikenal luas di masyarakat Riau, yang menceritakan tentang kondisi masyarakat Natuna ketika perkebunan cengkeh ditebang oleh kapitalis dan kemudian diganti tanaman sawit.

“Tak banyak cerpenis Riau dan Indonesia sekarang yang mau menulis tentang persoalan sosial masyarakatnya. BM Syam sangat komit dengan persoalan sosial masyarakatnya,” kata Marhalim mengakhiri.* **Relis