KODE-4

Monday, May 21, 2007

Sastra, Media Massa, dan Beberapa Fenomena

OLEH SUDARMOKO
Prosa Indonesia telah berkembang sedemikian rupa mencari bentuknya. Dengan dukungan sarana publikasi media massa cetak, prosa bersama dengan puisi dan kritik sastra dan seni tumbuh subur dalam kehidupan sastra. Dari hari ke hari kian muncul sejumlah karya baru dan penulis baru. Disertai dengan capaian-capaian yang memperkaya keberadaan sastra kita. Sastra seakan mengukuhkan diri sebagai sebuah lini dari seni dan budaya yang mendapatkan tempat penting di tengah-tengah masyarakat. Sesuatu yang telah dilontarkan oleh Sartre dalam What is Literature? (1986), karena keunikan sastra dalam mengolah berbagai emosi dan keberterimaannya dalam masyarakat luas, terutama karena peran bahasa sebagai media utamanya.

Dalam waktu belakangan, banyak lahir dan hadir penulis muda yang memiliki karakter tersendiri dalam karya-karya sastranya. Setelah kepergian sejumlah sastrawan berkelas dan berkarakter seperti Umar Kayam, AA Navis, Kuntowijoyo, hingga Pramoedya Ananta Toer, dobrakan penting dalam sastra sangat ditunggu. Inilah mungkin masa-masa kesedihan sekaligus harapan akan lahirnya sastrawan yang akan membawa dan mengenalkan budaya bangsa pada dunia. Dengan wilayah eksplorasi yang berbeda, mereka menjadi pelanjut kehidupan sastra kita.
Setiap masa selalu melahirkan sejarahnya sendiri. Demikian juga dengan sejarah sastra (Indonesia). Setiap periode memiliki nama dan gaya pengucapan tersendiri, yang merupakan hasil dari pergaulan antara sastra Indonesia dengan sastra dunia, antara sastra dengan disiplin yang lain, sastra dan realitas sosial, dan pergaulan berbagai wacana dan sejarah sastra itu sendiri.
Cerpen, Novel, dan Media Massa
Cerpen dan novel masih menjadi karya yang mendapatkan tempat di tengah-tengah pembaca kita. Cerpen memiliki tempat khusus di koran-koran dan majalah. Sekian puluh, atau ratus, cerpen lahir dari tangan para cerpenis setiap minggu. Sebagiannya berhasil masuk dalam rubrik koran dan majalah, dan sebagian lebih besar harus berpuas diri untuk didiamkan atau masuk dalam barisan antri. Demikian juga halnya dengan sayembara cerpen yang berhasil menghimpun banyak karya.
Kehadiran cerpen di ruang-ruang koran merupakan bentuk fasilitasi yang menarik, dengan penyandingan antara fakta dan fiksi. Dengan menghadapi koran, pembaca dibiasakan untuk berhadapan dengan fakta dan berita. Resepsi yang disiapkan oleh pembaca membuat redaktur budaya bersiasat untuk menghadirkan cerpen dengan cara sedemikian rupa. Tak lepas dari itu adalah kecenderungan cerpen di koran yang harus beriringan dengan peristiwa yang ada di dalamnya. Di tengah-tengah kondisi seperti ini, kebebasan eksperimentatif dan eksploratif estetik cerpenis terus ditantang. Berbagai cara dilakukan, baik yang berhubungan dengan tema, peristiwa, maupun bahasa.
Satu hal yang dapat dapat dipertanyakan di sini adalah, bagaimana resepsi pembaca karya sastra yang bertaburan di media massa itu, dengan latar belakang pembaca, kesiapan ketika berhadapan dengan karya sastra dalam koran, maupun berbagai hal yang berkaitan dengan pengelola maupun penulisnya. Sebagai media publik, koran dibaca oleh berbagai kalangan. Dan ini menjadi penting untuk mengetahui bagaimana sastra diterima dan berbagai kemungkinan yang terjadi dalam konteks ini.
Sementara novel memang agak tersendat produksinya, dalam bentuk buku dan beberapa novel masuk dalam koran sebagai cerita bersambung, karena keterbatasan novel yang laku menurut pihak penerbit atau alasan lain. Demikian juga dengan penulis-penulis novel baru belum menampakkan karakternya, kecuali beberapa yang mencoba menawarkan bentuk pengucapan dan tema yang menarik karena alasan kondisi sosial yang telah berubah belakangan ini. Yang menarik untuk dicatat adalah adanya indikasi riset yang dilakukan untuk penulisan novel. Tradisi ini terasa kuat pada diri Pram, sehingga karya-karya yang dilatarbelakangi riset ini mendapatkan makna referensial tersendiri ketika membaca dan menikmatinya.
Pengalaman empiris dalam diri penulis novel, seperti terkesan dalam sejumlah karya terdahulu, dapat dibedakan dari kecenderungan belakangan ini. Apakah ini menjadi indikasi kehidupan sosial kita saat ini, ketika bahan-bahan atau materi penulisan dapat dilakukan di ruang baca atau sumber informasi lainnya, merupakan dugaan yang patut untuk dilontarkan. Perubahan budaya dan psikologi masyarakat dapat dimasuki lewat fenomena ini.
Namun demikian, tema-tema yang hadir tetap bermuara pada konflik tokoh yang mengalami perubahan dalam masyarakat. Ini dapat dilacak dalam alienasi tokoh dari lingkungan di dalam penceritaan. Perbedaan tetap mencirikan perubahan masyarakat. Hanya saja, resepsi penulis karya sastra terhadap realitas sosial mempengaruhi penceritaan yang ditawarkan. Demikian misalnya, kita mendapati problematika manusia sebagai tokoh-tokoh dalam karya sastra yang hidup dalam dunia modern, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mengatasi atau menghadapi masalah mereka. Pilihan seperti ini memang menguntungkan bagi mereka yang melihat peluang dengan pilihan cerita yang pas. Namun lain halnya dengan mereka yang bergulat dengan masalah-masalah masyarakat yang jauh dari akses seperti ini, yang nota bene masih mayoritas dalam masyarakat kita.
Masyarakat dan masalah urban sangat terasa dalam karya sastra Indonesia belakangan ini. Sistem yang sentralistik ternyata merasuk begitu mendalam, sehingga persoalan-persoalan dilihat dari perspektif urban. Gejala ini meruak sebagai akibat dari distribusi berita dan wacana yang dikembangkan oleh sumber informasi dan kebijakan. Belum lagi ditambah dengan pergaulan masyarakat, atau penulis, yang mengakrabi persoalan-persoalan global dengan sedikit kepekaan pada masalah lokal atau rural.
Sebagai akibat, karya sastra memberikan sumbangan yang penting pula dalam mengukuhkan keadaan ini. Kehidupan metropolis tetap membayang sebagai sebuah citra yang eksotis dan memabukkan. Dampak psikologis yang ditawarkan oleh karya-karya ini lambat laun mengisi ruang kognisi pembaca. Perlawanan pada perspektif metropolis ini secara tidak langsung dilakukan oleh sejumlah karya yang berangkat dari, atau dari penulis yang, mengekplorasi persoalan-persoalan masyarakat di luar arus utama. Dialektika tetap berlangsung dengan tanpa disadari karena adanya ketertarikan pengarang dan pembaca yang menginginkan keberagaman tema.
Puisi yang masih Sunyi Apresiasi
Belakangan ini pembicaraan mengenai puisi tidak begitu banyak diapungkan. Sementara puisi terus hadir, seperti halnya cerpen, yang turut didukung oleh media massa. Capaian-capaian estestik yang dilakukan oleh penyair juga menunjukkan perkembangan dalam beberapa hal. Setidaknya, secara individual masing-masing penyair mengolah berbagai kemungkinan yang berasal dari penggalian khasanah penciptaan. Marhalim Zaini mengkhusyui problem masyarakat puak Melayu Riau yang semakin berjarak dan terjarak dengan nilai-nilai asalinya. Agus Hernawan semakin intens dengan bentuk pengucapan berirama dan liris. Demikian juga Binhad Nurrochmat yang menggeluti tema penyucian diri dengan metafor tubuh. Hal yang sama, dengan eksplorasi yang lebih renyah hadir dalam puisi-puisi Joko Pinurbo. Hasta Indriyana mengolah cerita liris dengan bahasa yang akrab di tengah-tengah masyarakat dalam puisi-puisinya.
Masih banyak lagi penyair dengan kemampuan pengolahan tema dan bahasa yang bersetia dalam puisi. Sayangnya, apresiasi terhadap puisi dalam bentuk kritik tidak lagi banyak dilakukan. Padahal penyair-penyair muda kini, yang mendominasi wilayah ini, memiliki potensi poetika tersendiri, yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin hal ini pula yang membuat apresiasi terhadap mereka belum banyak dilakukan, tidak sebagaimana apresiasi yang diberikan kepada penyair-penyair sebelumnya, seperti Sapardi Djoko Damono, Rendra, Taufik Ismail, dan sebagainya. Atau hal ini menunjukkan bahwa apresiasi terhadap puisi merupakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan perhatian ekstra, sebagai bentuk sublimasi yang intensif dalam sastra.
Reproduksi dan perjalanan karya sastra juga menjadi persoalan lain. Kebanyakan dari karya-karya yang dimuat di koran-koran itu kemudian dikemas dalam bentuk antologi maupun diterbitkan dalam format buku. Dan persoalan yang sangat terasa adalah ketersediaan akses bagi peneliti maupun pengapresiasi sastra yang sering luput untuk mendapatkan dan membicarakan karya sastra yang tersebar di berbagai daerah. Sehingga, pembicaraan yang terjadi memang tak dapat mewakili berbagai perkembangan yang terjadi. Hal ini membutuhkan perhatian kita bersama, untuk memperbaiki dan menjaga kelangsungan sastra Indonesia. *
Sudarmoko, alumnus Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda, bekerja pada Laboratorium Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.



No comments:

Post a Comment