KODE-4

Wednesday, May 9, 2007

NINA RIANTI


Berdendang Memperkaya Tari
Tiba-tiba, siang itu, suasana di kantor Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Provinsi Sumatra Barat, yang semula agak hiruk pikuk, maklum ada puluhan pegawai dan sejumlah wartawan di ruangan itu-hening. Ada alunan dendang yang se-akan-akan menghipnotis pendengarnya. Tidak lama kemudian, suasana hati kita seperti disayat-sayat. Bulu kuduk pun bergidik. Aura suaranya menggetar-kan dada, menyentuh relung hati.
Di sebuah pojok, seorang perempuan tampak tengah melantunkan secara spontan dendang-dendang berbahasa (pantun) Minang. Dendang itu dipersiapkan untuk ilustrasi gambar, memperkuat pesan dari suasana atau gambar yang akan direkam, untuk kepentingan promosi daerah Sumatra Barat.

Perempuan tadi bernama lengkap Nina Rianti Alda, atau sering dipanggil Nina, memang, untuk urusan dendang, ia memang jagonya. Kualitas dan warna suaranya, bahkan kemampuannya berimprovisasi, sampai saat ini, boleh dikata belum ada pendendang lain di Sumatra Barat yang bisa menya-mainya.
Nina sudah berkali-kali ke luar negeri bersama Sanggar Gumarang Sakti pimpinan koreografer ter-depan Indonesia saat ini, Boi G Sakti. Dendang yang dilantunkan Nina menjadi salah satu unsur penting, menjadi musik yang memperkuat suatu koreografi tari karya Boi G Sakti.
Boi G Sakti yang dihubungi secara terpisah melalui telepon ke Jakarta, Jumat 25 Oktober 2002 petang, mengatakan, antara tarian dan dendang boleh dikata tak bisa dipisahkan. Dendang diperlukan dalam seni pertunjukan tari untuk mengantar ke suasana yang diinginkan, atau masuk ke tema itu sendiri.
“Dendang bisa menjadi ilustrasi untuk mengantar ke suasana dan tema yang diinginkan, serta penca-paian yang diharapkan. Dendang menjadi pendukung unsur teateral dan dramaturgi,” katanya. “Sekitar 90 persen komposisi musik untuk karya tari diisi oleh dendang/vokal.”
Tentang Nina, putra koreografer Gusmiati Suid ini mengatakan, sangat unik, spesifik. Skill Nina bermain luar biasa. “Yang membuat saya salut, intensitas de-ngan eksplorasinya. Ketika dikasih tema dan motivasi dari tema, Nina dengan ligat berimprovisasi. Sehingga suasana dan pencapaian-pencapaian yang diinginkan mampu ia ciptakan,” ujar Boi.
Dendang-dendang spontanitas Nina, menurut pe-ngakuan audiens saat tampil keliling selama satu bu-lan di Denmark dan Jerman, dan terakhir, tanggal 12 dan 13 Oktober 2002 di Singapura, sampai mengeluar-kan air mata. “Ada getaran jiwa, ada aura di suaranya,” tambah Boi G Sakti.
Hal senada juga dikemukakan budayawan dan pe-neliti seni tradisional dan kontemporer Minang, Edy Utama, yang ditemui terpisah di Padang. “Nina sangat menguasai dendang, dan sekaligus menguasai sua-sana, yang merupakan sumber inspirasi dendang. Yang membuatnya menjadi unik dan penting, karena kemampuan olah vokal Nina yang luar biasa,” katanya.
Dendang dalam kesenian Minang, baik tradisi mau pun kontemporer, menurut Edy Utama memerlukan cengkok, coda dan lekukan-lekukan irama khusus yang tidak semua orang bisa melakukannya. Dalam istilah Minang, Nina punya iro (pola) dan rono (sosok identitas masing-masing, warna).
Nina, perempuan seniman bersuara sopran ini, su-dah lama bercita-cita bagaimana dendang memberi warna pada seni tradisi dan kontemporer, sehingga suatu karya menjadi kuat dan berbeda.
“Saya menaruh harapan, musik dan dendang tak hanya sebagai pengiring, tapi sama pentingnya dan ber-sinergi dengan karya tari itu sendiri,” katanya.
Sebagai pendendang, Nina yang berulang tahun ke-40 tanggal 22 Oktober lalu, sebelumnya sudah malang melintang dengan Pentassakral, kelompok musik rakyat kontemporer yang dipimpin suaminya, Alda Wimar. Konsep musik yang dikembangkan kelompok ini berasal dari musik etnik Melayu Minangkabau. Yang khas dari Pentassakral adalah menciptakan lirik lagunya dari puisi-puisi karya penyair-penyair Indonesia, antara lain “Tanah Air Mata” karya Sutardji Calzoum Bachri, “Siap Sedia” karya Chairil Anwar, “Danau Paling Sunyi” karya Yusrizal KW, “Lagu Bunga” karya Harris Effendi Thahar, dan “Hitam Merah Kuning Padangku” karya Alda Wimar.
Sampai sekarang, sudah puluhan lirik lagu dari puisi ia garap. Pentassakral dengan vokalis Nina, memberi media yang luas untuk sajak/puisi. Mereka tidak membatasi diri dengan suatu jenis musik atau suara. Komposisi musik diaransir ada yang berirama balada, mars, country, samba dengan memasukkan unsur musik/dendang tradisional Melayu-Minang dan masyarakat pedalaman ke dalam pola musik modern, sehingga menghasilkan warna orkestrasi yang unik sebagai identitas musik Pentassakral.
Bersama Pentassakral, Nina sejak 1991 sudah be-berapa kali diundang tampil berdendang di berbagai kegiatan kesenian di Sumatra Barat, Riau, Jakarta, Malaysia. Tahun 1993, ia meraih penghargaan sebagai penyaji terbaik dalam festival komposisi musik, yang diselenggarakan Taman Budaya Sumatra Barat. Tahun 1992, Nina dengan Pentassakral pernah dikontrak Hotel Pusako Bukittinggi selama enam bulan, khusus untuk menghibur tamu-tamu mancanegara.
Awal Nina diajak memperkuat koreografi karya Gusmiati Suid, tahun 1994 dan kemudian Boi G Sakti sampai sekarang, karena melihat pementasan Pentas-sakral yang mempesona dan penuh kejutan. “Baik tari-tari karya Gusmiati Suid dan Boi G Sakti, kekuatannya di vokal dan spontanitas dari musik/dendang pen-dukung yang mengacu ke suasana,” ungkap Nina, yang juga Wakil Sekretaris Dewan Kesenian Sumatra Barat.
Dalam tarian karya Boi G Sakti, menurut Nina, se-laku pendendang ia bisa saja mengiringnya ke irama atau suasana Afrika, Kalimantan, atau Minang, ter-gantung tema tarinya. Nina memposisikan dendang itu sebagai suara-suara jiwa.
Keterlibatan ibu dari Nanda Wirawan (mahasiswa se-mester tiga Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Andalas, Padang) dan Alisa Rianda (pelajar kelas II SMP) di dunia kesenian, bermula ketika ia mengikuti ajang festival, tahun 1979. Pertama kali ikut festival bintang radio di Sumatra Barat, tahun 1979 itu, ia langsung menyabet juara ketiga.
Kemudian, tahun berikutnya berlanjut meraih juara tunggal seriosa bintang radio dan televisi tingkat Sumatra Barat. Sejak itu ia terus berkecimpung dalam kesenian. Waktu ia menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Penerangan, Nina dengan kemam-puannya berdendang dan bernyanyi, sering tampil da-lam berbagai forum.
Ketika Departemen Penerangan dilikuidasi tahun 2000, Nina ditempatkan di bagian Hubungan Masya-rakat (Humas) Pemerintah Daerah Sumatra Barat. Potensi yang dimiliki Nina pun tak disia-siakan oleh Kepala Biro Humas Yuen Karnova. Ia dipercaya untuk membacakan narasi film dokumenter dan menjadi pendendang untuk berbagai illustrasi tentang daerah Sumatra Barat.
“Di mana pun saya ditempatkan, berkesenian tetap jalan. Melalui dunia kesenian, dengan spesialisasi se-bagai pendendang dan atau penyanyi, perempuan ternyata bisa berkarier sampai ke dunia internasional,” ujarnya, sembari beres-beres mempersiapkan ke-berangkatan ke Kota Padangpanjang, tempat di mana Dewan Kesenian Sumatra Barat menggelar “Pentas Seni III” Tahun 2002, mulai tanggal 26 sampai 31 Oktober 2002. *
SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Senin 28 Oktober 2002

No comments:

Post a Comment