KODE-4

Sunday, March 23, 2008

Pertunjukan Tanpa Elemen Teater

Catatan Pementasan Datuk Layau

Oleh Nasrul Azwar

Tafsir terhadap teks telah menjadi wilayah kuasa sutradara teater yang paling absolut. Pada wilayah teks budaya yang maha luas itu, sutradara merambah belantara ikon, simbol budaya, dan penanda sosial lainnya untuk diwujudkan dalam estimasi ruang dan waktu dalam satu frame panggung dengan pertanggungjawaban kreatif sutradara.


Tafsir yang direpsentasikan dengan sebutan pementasan teater kerap memiliki kecenderungan pengaktualisasian tematik dengan kondisi kekinian. Teks budaya (tradisi) yang mendasarinya menjadi pijakan dan landasan kreatif sutradara untuk merentangkan sebuah “historiografi” perjalanan masa, katakanlah, semenjak munculnya sebuah cerita dengan tradisi oral hingga ke tradisi tulis pada saat sekarang. Masa atau zaman yang panjang itu—terlihat mencengangkan—dapat dimanpatkan dalam satu kerangka panggung dengan durasi cerita yang singkat oleh sutradara teater. Nyaris semua kelompok teater yang ada di Indonesia tak lepas dari pola dan tafsir seperti itu.

Menoleh ke belakang (tradisi) sebagai basis kreativitas bukan hal baru dalam teater modern Indonesia. Tendensi serupa ini telah berlangsung lama. Dalam tafsir yang demikian, ada “kesombongan tradisi” masa lalu yang menjadi kebanggaan kreativitas. Pada batas ini, kecelakaan tafsir sering terjadi—seperti yang diungkapkan Ninuk Kleden (2004)—anggapan bahwa kebudayaan dapat berperan sebagai identitas etnik mempunyai konsekuensi teoritis yang mengharuskan orang memperlakukan kebudayaan sebagai “tanda”. Sementara pemikiran tentang hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier) telah mengalami perubahan. Kalau semula hubungan tersebut boleh dikatakan memiliki makna tunggal, kini tidak demikian lagi. Jadi, tafsiran tentang representasi identitas, dalam hal ini identitas etnik, bukan merupakan hubungan yang linear dan bukan merupakan hubungan yang final.

Tafsir terhadap representasi identitas etnik, taruhlah kisah Datuk Layau (Kek Layau) yang berasal dari etnis Bangka, adalah tanda yang ditandai dengan memakai perangkat kekinian dalam pertunjukan teater Datuk Layau (Pertumpahan Darah 1850) yang dipentaskan Teater Lantera Kota Pangkalpinang di pelataran rumah dinas Wali Kota Pangkalpinang pada 29-30 Desember 2007 dengan sutradara Willy Siswanto, tampaknya—sepanjang pertunjukan—mengalami metamorfosis pengerucutan simbolisasi dengan memaknai kekuatan tradisi oral (lisan) budaya etnik Bangka. Pertunjukan sepanjang lebih-kurang 80 menit itu memang berada dalam cengkeraman “kekuasaan” tafsir sutradara. Kisah Datuk Layau yang diangkat dari tradisi tutur (tradisi oral) laksana lukisan realis yang diresepsi menjadi kisah dramatik heroik, dan dipertunjukkan dengan mencoba-coba serealistis mungkin, namun gagap.

Pada tulisan ini, sebenarnya saya tak ingin membincangkan tentang elemen-elemen teater, konsep penyutradaraan, konsep pertunjukan, dan lain sebagainya yang terkait dengan dramaturgi. Saya menghindar dari perbincangan tersebut karena memang pertunjukan teater Datuk Layau tak bisa dilihat dari kaca mata itu. Keterbatasan fasilitas, dan kondisi tempat pertunjukan yang sangat minimalis, menyebabkan saya tak kuasa bicara elemen-elemen teater.

Namun demikian, proses pertunjukan sudah dilewati. Pementasan Datuk Layau sudah dinikmati publik. Satu sisi, yakni penonton terhibur, sudah tercapai. Pesan yang ingin disampaikan tentang sosok Datuk Layau, seorang pejuang dari kampung kecil bernama Bakam dalam menantang kolonial Belanda, sudah sampai pula pada publik.

Lalu, menjelang menyaksikan pertunjukan Datuk Layau dengan segenap persiapan yang saya bangun dalam pikiran saya, ternyata tak seindah yang saya bayangkan. Sambutan dari pejabat yang berlama-lama membuat suasana yang sebelumnya tampak seremonialis menjadi betul-betul pertunjukan seni yang seremonial.

Setengah pertunjukan teater Datuk Layau yang memang sangat membosankan, saya mulai teringat apa yang diucapkan Eugenio Barba dan kawan-kawan dalam sebuah tulisannya. Eugenio Barba dalam tulisan berjudul Anatomie de L’ Acteur (1985) yang diterjemahkan Yudiaryani ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan: kata “teks” sebelum menunjukkan teks tertulis maupun lisan, dicetak atau tulisan tangan, berarti rajutan bersama. Dalam pengertian ini, tidak ada pementasan yang hadir tanpa rajutan bersama tanpa “teks”. Artinya, apa yang berhubungan dengan “teks” (rajutan) dapat diartikan sebagai ‘dramaturgi’—yang berarti drama-eregon—suatu kerja, penampakan bekerjanya sebuah laku dalam pertunjukan plot. Memang sulit membedakan dalam pendekatan dramaturgi, pementasan yang dianggap sebagai “penyutradaraan” seorang sutradara dan apa yang disebut sebagai “penulisan” seorang pengarang. Perbedaannya hanya tampak dengan jelas melalui penggarapan teater, melalui penafsiran sebuah teks tertulis.

Dari itu pula, menilik sebuah hasil garapan teater, yang menghasilkan pementasan teaterikal, penonton akan berhadapan dengan apa yang disebut laku. Laku menjadi pusat perhatian dalam dramaturgi. Perhatian yang diberikan bukan saja apa yang didialogkan aktor, akan tetapi juga suara-suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya, musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks”.

Laku yang dibawa para aktor ke atas panggung tak menguatkan ingatan dan imajinasi saya ke sosok seorang pejuang dan ulama yang bernama Kek Layau. Properti dimensi ruang dan waktu, musik, karakter, emosi, dan lain sebagainya, gagal merekonstruksi ingatan saya pada masa lalu. Pertunjukan teaterikal yang penuh dengan kejutan, seolah berhenti malam itu. Pementasan Datuk Layau tak berhasil menyugesti kesiapan saya untuk bertahan di kursi penonton.

Lemah pada Konsep

Teater yang dibangun dengan konstruksi dan landasan yang kuat, ia akan menjelma menjadi pertunjukan yang siap tampil di mana saja. Panggung sebagai wilayah pementasan bukan properti yang dijadikan harga mati. Teater yang sudah jelas konsep penyutradaraan dan pertunjukannya, tak akan gagap jika dipertunjukan di panggung mana saja: teater tertutup, terbuka, arena, dan di lapangan terbuka sekalipun.

Pementasan Datuk Layau sebenarnya bermasalah dari sisi tempat pertunjukan. Artinya, konsep pertunjukan yang belum matang membuat pementasan malam itu seakan kehilangan momentum. Sutradara yang bertanggungjawab dalam wilayah ini seperti tak membayangkan soal ruang dan waktu, properti, dan juga komposisi panggung. Akibatnya, untuk mengatakan satu bukti ketidakmatangan konsep ini adalah penukaran “babak” dengan kode matinya lampu. Cara ini jelas, sutradara tidak mempertimbangkan suasana lingkungan sekitar yang lampunya tetap terus menyala. Bagi saya, konsep ini bisa jalan jika pertunjukan dilakukan di teater tertutup. Seperti yang saya sebutkan di atas, soal elemen teater rasanya sulit untuk diperbicangkan lebih jauh dalam pertunjukan Datuk Layau ini.

Aspek lain yang sangat berpengaruh pada hasil garapan adalah soal naskah. Naskah sebagai urat pertunjukan yang terlihat dari dialog-dialog yang disampaikan pemain di atas panggung, masih terkesan artifisial, verbalistik, dan renggang.

Konsekuensi dari sebuah naskah yang berangkat dari kisah nyata adalah karakter tokoh yang semestinya tidak berada di bawah watak sebenarnya. Kek Layau, salah seorang tokoh pejuang, tentu akan kehilangan aura dan pesonanya, saat dia dimainkan dalam kadar yang verbalistik. Dan apa yang terjadi di atas panggung, peran Datuk Layau seperti kehilangan kharismatiknya.

Pada batas ini, studi sosiologis, antropologis, psikologis, dan juga kultur menjadi sangat penting. Walau ada upaya untuk datang ke kampung Bakam sebagai bentuk observasi, tapi dalam pertunjukan tak terlihat sama sekali. Pemain seperti kahilangan karakter, sutradara seolah kehilangan konsep. Dan pertunjukan Datuk Layau malam itu, seperti menyaksikan pementasan teater tanpa elemen teater. Tapi, satu upaya telah dilakukan: pementasan teater. Satu terobosan di saat publik Bangka merindukan pertunjukan seni. ***

Monday, February 18, 2008

Peninggalan Kerajaan di Dharmasraya, Sejarah yang Dijarah

Kendati masih berusia muda, Kabupaten Dharmasraya menyimpan sejuta pesona. Dari sana sekitar abad 11 masehi lembar sejarah Kerajaan Melayu bermula. Peninggalan-peninggalan arkeolog seperti candi, artefak, masjid, makam raja-raja dan rumah gadang menjadi saksi bisu sejarah kerajaan Hindu-Budha dan Islam di kabupaten pemekaran itu.

Sayang, kondisinya memprihatinkan, terabaikan dan tak ada yang peduli. Beberapa simpul sejarah yang bisa bercerita akan kondisi miris itu di antaranya peninggalan arkeolog kerajaan Hindu-Budha dan Islam yang tersebar di Nagari Siguntur, Padanglaweh dan Pulaupanjang. Parahnya lagi rentetan ekspedisi Pamalayu itu tidak diketahui masyarakat. Masyarakat cenderung apriori dengan sejarah di daerah tersebut, termasuk mahasiswa. “Ambo lai tahu ado situs bersejarah di Siguntur tapi alun ado ke sinan soalnyo ndak tontu apo nan dicari (saya tahu ada situs bersejarah di Siguntur, tapi belum pernah ke sana. Tidak tahu apa yang mau dicari) ,” ujar Peldi, mahasiswa asal Dharmasraya.

Pahlawan Nasional untuk Tokoh PRRI?

OLEH WISRAN HADI
Mustahil itu bisa terjadi! Bagaimana mungkin bisa diberikan gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh PRRI, ketika semua pikiran rakyat Sumatra Barat sampai hari ini masih menganggap bahwa pergolakan daerah yang disebut PRRI itu sebagai sebuah pemberon­takan.

Dari sisi pemerintah pusat di Jakarta, memang pergolakan daerah seperti itu dianggap pemberontakan. Tapi dari sisi Sumatra Barat sendiri, apakah PRRI juga dianggap pemberontakan?

Bukankah kehadiran PRRI merupakan representasi keinginan rakyat Sumatra Barat terhadap sistem sentralistik Jakarta, dan keinginan untuk membagi kue pembangunan dan kekuasaan, antara daerah dan pusat berada dalam sebuah keseimbang yang adil?

Bukankah pergolakan tersebut merupakan cetusan kehendak dari keinginan untuk mendapatkan otonomi daerah, agar masing-masing daerah dapat membenahi dirinya menurut kemampuan yang ada di daerah tersebut?

Mungkin saat ini kita perlu kembali untuk mengkaji ulang tentang keberadaan PRRI. Dua rezim terdahulu; Soekarno dan Soeharto telah meluluh lantak­kan keberadaan PRRI, baik secara fisik maupun politik, karena dianggap sebagai tandingan dari pemerintah pusat yang sah.

Kedua rezim terikat dengan pengertian kata PRRI, tetapi tidak memasuki esensi persoalan dengan lebih objektif. Ketika seorang wartawan sekaligus sastrawan Soewardi Idris menu­lis berpuluh cerita pendeknya tentang keterlibatannya dengan PRRI, dan berpuluh eseinya tentang pergolakan daerah tersebut, mungkin kita tersentak membacanya.

Sampai akhirnya kita dapat menemukan berbagai hal yang penting untuk keberadaan kita hari ini. Bahwa, pergolakan daerah yang merebak dan meletus begitu cepat dan padam begitu cepat pula, perlu mendapat apresiasi yang wajar.

Mungkin saja para tokoh PRRI masih terbelenggu dengan tudingan bahwa mereka adalah “pemberontak”, tetapi dari hari ke hari bahwa apa yang diperjuangkan para tokoh itu untuk mendapatkan otonomi daerah, untuk mendapatkan perlakuan yang pantas dan seimbang bagi setiap daerah di wilayah NKRI kian terasa dan nyata.

Apakah kita begitu teganya menghapus apa yang diperjuangkan para tokoh itu beserta rakyat Sumatra Barat dipinggirkan begitu saja, dihapus, tidak diapa siapakan lagi?

Sebagai sebuah mata rantai dari sejarah kebangsaan, peristiwa pergolakan daerah yang dimotori oleh PRRI tidak perlu disembun­yikan. Jika pengkhiatan PKI terhadap republik ini makin hari makin dimaafkan, lalu kalau kita boleh membanding, seberapa benarlah “dosa” PRRI terhadap negeri ini dibanding dengan pengk­hiatan partai komunis itu?

Sampai saat ini, baik pemerintah daerah mapun tokoh-tokoh politik selalu menghindar bila bicara hal-hal yang telah lalu.

Masalah PDRI dan masalah PRRI sama-sama dianggap sebagai “masa lalu” yang tidak perlu diungkit lagi, karena dianggap dapat menggelisahkan kedudukan beberapa tokoh-tokoh.

Begitupun tokoh-tokoh PRRI, yang tentunya mereka sudah banyak yang meninggal, tua renta, juga tidak dapat menjelaskan secara lebih gamblang kepada generasi berikutnya, kenapa mereka terlibat dalam “dosa” yang tidak dapat diampuni itu?

Dalam konteks ini, posisi Soewardi Idris sebagai “pembawa berita” dan “penyampai khabar” terhadap bagaimana kemelut itu dirasakan, dialami oleh rakyat Sumatra Barat sangatlah penting. Dua bukunya yang diluncurkan oleh TVRI Sumbar 15 Februari 2008;

Kumpulan cerpen “Pergolakan Daerah” dan setumpuk esei tentang pergolakan daerah itu “Perjalanan dalam Kelam” adalah sesuatu yang dapat disebut sebagai “catatan kebudayaan” dari perjalanan sejarah bangsa ini.

Tapi benar juga, sedangkan pergolakan daerah yang telah begitu banyak memakan korban, nyawa dan harta benda tidak mendapat perhatian yang layak dari generasi hari ini, apalagi Soewardi Idris-nya.

Begitulah sifat kita yang kurang terpuji. Kekalahan PRRI dianggap pemberontakan. Bagaimana sekiranya PRRI menang? Mungkin jika PRRI itu menang, akan berbondong-bondong pula rakyat Sumatra Barat ini mengusung tokoh-tokohnya untuk diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.

Memang, tidak ada tokoh yang kalah dibuatkan sejarahnya. Artinya sejarah kekalahan termasuk “aib” dari sebuah masyarakat yang sombong. Tapi bagaimana pula dengan Imam Bonjol yang ditangkap Belanda, yang dituduh pula oleh Belanda sebagai pengacau dan pemberontak?

Imam Bonjol kalah dari Belanda, namun dia dipandang terbalik oleh bangsa Indonesia; dia pahlawan.

PRRI kalah oleh pemerintah pusat, lalu apakah rakyat Sumatra Barat berani memandangnya terbalik sebagaimana mereka memandang Imam Bonjol; bahwa PRRI telah berjuang untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter; bahwa PRRI telah berusaha untuk mendapatkan otonomi daerah dan setelah berjarak 50 tahun barulah otonomi itu dapat dilaksanakan sedikit-sedikit.

Walau sudah 50 tahun peristiwa PRRI itu berlalu, namun kita tetap kehilangan nyali untuk memberikan apresiasi.

Akankah kita, masyarakat Sumatra Barat ini, terus menjadi orang-orang yang tidak mampu lagi untuk berterima kasih? ***
Sumber: Harian Singgalang, 16 Februari 2008

Kebijakan Pemko Bukitinggi Aneh

Pelaku dunia usaha Sumbar, Ridwan Tulus menilai, rencana Pemko Bukittinggi menutup objek wisata monumen Jam Gadang untuk per­ayaan pergantian tahun dalam mengatasi penyakit masyarakat, merupakan kebijakan aneh dan mengada-ada. “Itu kebijakan aneh dan mengada-ada, lebih baik cari solusi lain karena menutup Jam Gadang berdampak pada dunia pariwisata apalagi Bukittinggi adalah kota wisata,” kata Tulus di Padang, Jumat. Ia menyebutkan, masalah pariwisata Bukittinggi bukan pada kekhawatiran penyakit masyarakat tetapi karena kota ini terlalu penuh sesak pengunjung dan kemacetan lalu saat ada kegiatan wisata. Tak hanya itu, areal di sekitar Jam Gadang sudah sempit, masih saja dipersempit. “Jadi masalahnya bukan pada banyak orang yang datang, tapi lahan parkir yang tidak ada,” kata dia.

Sebelumnya Walikota Bukittinggi, Jufri, sebagaimana diberitakan Singgalang, mengatakan Jam Gadang ditutup bagi kegiatan perayaan pergantian tahun, untuk mengatasi penyakit masyarakat yang biasa terjadi pasca acara tahunan itu. Menurut Tulus yang pimpinan biro perjalanan wisata “Sumatera and Beyond” itu, menutup Jam Gadang bukan solusi mengatasi penyakit masyarakat dan perlu ditegaskan tidak ada kaitan antara kegiatan pariwisata dengan penyakit sosial tersebut. Apalagi momen pergantian tahun hanya sekali dalam setahun, apakah dengan menutup Jam Gadang pada kegiatan itu, penyakit masyarakat bisa diatasi. Lalu bagaimana dengan malam akhir pekan di objek itu apa tidak dikhawatirkan terjadi penyakit sosial, katanya. Menurut dia, Bukittinggi dengan suhu udara yang sejuk, cocok untuk berwisata sambil berjalan kaki, tanpa kendaraan ke pusat kota dan kawasan wisatanya.

Karena itu, buatlah kawasan parkir di luar pusat kota dan wisata­wan dapat berjalan kaki ke pusat kota dan objek wisata. “Ini menyenangkan karena suhu udara kota yang sejuk,” tambahnya. Kembali soal menutup Jam Gadang, Ridwan menyebutkan, untuk menga­tasi penyakit masyarakat yang dikhawatirkan terjadi saat acara pergantian tahun, lebih baik pada saat ini digelar iven pariwisa­ta bernuansa Islami. “Justru saat itu (perayaan pergantian tahun, red) bisa dijadikan sarana wisata dakwah,” tambahnya. Menanggapi kritikan kebijakan Pemko ini, Walikota Bukiitinggi, Jufri mengatakan, pihaknya tetap akan menutup Jam Gadang untuk perayaan tahun baru. “Kebijakan ini adalah prinsip dan tidak dapat ditawar-tawar lagi serta telah menjadi kesepakatan Pemko, Muspida dan masyarakat kota ,” katanya.

Bahkan masyarakat sudah berkomitmen, biarlah Bukittinggi sepi pengunjung wisata dari pada ramai tapi penuh penyakit masyarakat, tegasnya. Ia menjelaskan, penutupan Jam Gadang hanya dilakukan selama 13 jam selama menjelang dan setelah malam pergantian tahun, bukan untuk selamanya. “Jadi jangan memandang kebijakan ini hanya dari satu sudut saja,” tambahnya. Demikian Antara *
Sumber: Harian Singgalang, Sabtu, 16 Februari 2007

Friday, February 15, 2008

Malam Valentine Day di Bukittinggi

Tadi malam, 14 Februari 2008, Bukittinggi Kota Wisata, Parisj van Sumatra, berubah seperti Kota Madinah, bagai malam pertama Rama­dan. Ini bukan soal Jam Gadang yang berselimut, tapi soal paradok Valentine Day . Pada 49 masjid dan 80 musala dilangsungkan penga­jian. Di tiapnya, hadir pejabat. Jam Gadang tetap di sana , seperti nyonya besar mengawasi anak-anaknya. Sementara Walikota Bukittinggi Djufri jebolan ESQ itu, sedang berada di masjid, mengaji bersama warga dan para remaja. Pengajian di seluruh masjid temanya satu: Valentine Day (hari kasih sayang) bukan budaya Islam dan Minang. Sejumlah remaja kepada Singgalang mengatakan, mereka tahu, Valen­tine Day itu bukan budaya Islam dan sangat tahu bukan budaya Minang. “Tahu, kenapa sih ribet benar?” Kata salah seorang dari mereka.
Seorang remaja putri menyatakan perasaannya. Ia sedih, sebab menurutnya, moral remaja seolah-olah sudah bobrok benar, rusak dan akan masuk neraka. “Kami ini, dipersalahkan terus, bukankah bapak-bapak itu yang salah, kenapa kami yang jadi korban?” Ia bertanya. Lagi pula, katanya, dunia remaja tidak segawat yang dinilai oleh para pejabat dan ulama. “Kami juga belajar agama, dibimbing orangtua, sungguh saya sedih,” katanya.
Riuh-rendahSedih, sedih malah, yang jelas tadi malam Bukittinggi menyetel irama syahdu. Pengajian melantun dari masjid ke masjid, meliuk di udara Bukittinggi nan dingin. Wartawan Singgalang, tadi malam, melukiskan, Bukittinggi bagai malam pertama Ramadan. Di masjid dan musala, terlihat orang khusyuk mendengarkan penga­jian, tapi pasar dan jalanan tetap ramai. Yang ke pasar ke pasar juga, yang makan sate makan sate juga, yang mengocok teh telur terus juga. Yang main domino, sesudah Isya, tentunya. Dunia kecil Bukittinggi, riuh-rendah semalam tadi di masjid. Tidak ada Valentine Day, tapi siapa yang bisa jadi hakim bagi remaja yang bersileweran? Kabarnya, anak-anak pun akan dilarang membawa handphone (HP) ke sekolah. Malam terus merambat. Isya telah selesai, warga pulang ke rumah. Rutinitas kembali seperti biasa. Jam Gadang, tak berhenti berden­tang. Hari ini dan besok, entah apalagi yang akan terjadi. Kemis­kinan umat, ketertinggalan, pandangan miring akan Islam, hak-hak wanita yang terabaikan, mungkin menjadi pembicaraan di lain hari saja. o cun masido/af koto/kj
Sumber: Singgalang, Jumat, 15 Februari 2008

Mengapa Jam Ditutup?

Penutupan Jam Gadang di malam pergantian tahun bisa berdampak pada dunia pariwisata Sumbar dan akan membuat Bukittinggi buruk di mata dunia. Pasalnya, selama ini jam tersebut merupakan simbol atau icon Sumbar dan merupakan tempat tujuan wisata utama di daerah ini. Seharusnya Pemerintah Kota Bukittinggi menurut Ketua ASITA Sum­bar, Asnawi Bahar, kepada Singgalang , Kamis (14/2) di Padang, membuat kebijakan lebih baik dari hanya sekadar menutup jam tersebut. “Kebijakannya harus dikaji secara konprehensif dan tidak merugikan masyarakat. Juga jangan mengambil kebijakan dalam kondisi emosi,” ujarnya. Bila kebijakan itu dimaksudnya untuk menghindarkan kota wisata dari perbuatan maksiat, Asnawi tidak yakin. Karena, masih banyak tempat yang disinyalir bisa digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. “Tidak harus di bawah Jam Gadang dan di malam pergantian tahun. Berbuat maksiat dapat saja dilakukan orang-orang di mana pun dan kapan pun, tidak harus menunggu malam tahun baru,” sesalnya.
Terpenting, dalam pandangannya untuk menjaga kesucian di Jam Gadang dan sekitarnya dari perbuatan maksiat atau perbuatan tidak senonoh lainnya, Pemko Bukittinggi harus meningkatkan pengawasan. Agar, hal-hal yang tidak diinginkan itu tidak lagi terjadi. Pada dasarnya, perayaan pergantian tahun adalah sesuatu yang biasa. Hanya saja, gairah masyarakat untuk merayakan itulah yang membuatnya menjadi terkesan seperti luar biasa. Dan, Jam Gadang selama ini telah memberikan andil cukup besar dalam memberikan keindahan malam pergantian tahun. “Masa ini harus dirusak dengan rencana tersebut,” sesalnya lagi. Tidak hanya itu, imej pariwisata yang terus dibangun dengan baik bisa pula rusak dengan hal tersebut. Pasalnya, Jam Gadang adalah ikon wisata Sumbar. Walaupun diakuinya, tidak banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke sana , tapi rata-rata wisatawan nusantara dan lokal banyak yang mendatangi bangunan di areal terbuka hijau Kota Bukittinggi tersebut.
“Apalagi, kalau malam tahun baru, banyak wisatawan nusantara dan lokal yang datang ke sana , begitu juga warga Bukittinggi, lalu di mana lagi tempat mereka merayakan pergantian tahun itu. Ibaratn­ya, jangan gara-gara tikus, lumbung yang dibakar,” sebutnya. Pemko Bukittinggi juga dinilai terlalu cepat melahirkan kebijakan untuk menutup Jam Gadang. Karena, pergantian tahun masih cukup lama. Untuk sampai ke penghujung tahun 2008, akan banyak peruba­han-perubahan yang bakal terjadi, sehingga kebijakan yang diren­canakan bisa saja menjadi tidak relevan lagi. Dari itu, dia berharap supaya Pemko Bukittinggi kembali memper­timbangkan kebijakan yang dilahirkannya. Supaya, masyarakat dan dunia wisata di daerah ini tidak dirugikan dengan lahirnya kebi­jakan tersebut. o 104

Sumber: Singgalang, Jumat, 15 Februari 2008


Menutup Jam Gadang Sudah Final

Kebijakan menutup Jam Gadang saat malam penyambutan tahun baru oleh Pemko Bukittinggi, bukan sesuatu yang lucu. Tindakan itu dalam rangka menyelamatkan masyarakat, terutama dari hal yang berakibat negatif. “Kebijakan itu sudah final dan melalui musyawarah. Jangan dinilai sebagai sesuatu yang lawak-lawak”, kata Masri Habib Dt. Pandak, Ketua Lembaga Kerapatan Alam Minangkabau (LKAAM) Bukittinggi, Kamis (14/2). Datuak Pandak mengungkapkan hal tersebut, sekaitan pandangan miring yang diapungkan berbagai kalangan di tingkat provinsi, serta komentar yang ditulis Wisran Hadi, menyusul dikeluarkannya statemen Walikota Drs. H. Djufri, perihal rencana penutupan Jam Gadang pada malam tahun baru, sebagaimana diberitakan Singgalang edisi Rabu 13 Pebruari 2008.
Menurut Datuak Pandak, ditutupnya Jam Gadang pada malam penyambu­tan tahun baru masehi itu, karena pada dasarnya pengunjung di pelataran Jam Gadang itu sangat berjubel. Mereka hanya ingin menikmati detik-detik menjelang berdempetnya jarum panjang dan jarum pendek Jam Gadang pukul 00.00 WIB. “Adakah orang lain yang memikirkan nasib puluhan bahkan mungkin ratusan ribu yang nyaris dalam kondisi berdempet di seputaran Jam Gadang itu,” kata Datuk Pandak mempertanyakan. Dalam kondisi seperti ini, andai terjadi sedikit saja keributan, akibatnya sangat fatal. Bisa menimbulkan korban jiwa. Karena waktu itu tidak hanya orang dewasa yang berkumpul di sana , tetapi juga anak-anak, bahkan perempuan hamil. Semuanya itu berlangsung pada malam hari.
Persoalannya akan semakin rumit lagi, bila timbul korban jiwa dalam kondisi beramai-ramai itu. Contoh terakhir adalah konser musik di Bandung yang menelan 11 korban jiwa. “Saya sudah berbicara langsung dengan Walikota Djufri, dia sempat menangis ketika mendengar berita orang meninggal dunia di Ban­dung , hanya karena menonton pagelaran musik. Potensi peristiwa seperti itu juga ada di Bukittinggi, terutama pada penyambutan tahun baru,” katanya. Kata Datuk Pandak, kalau korban sudah terjadi, yang disalahkan siapa? Pasti Pemko pula yang jadi kambing hitamnya. Semua orang akan menuding tentang kelalaian Pemko, ketidak-beresan walikota, ketidak-mampuan aparat keamanan dan banyak lagi sumpah serapah yang muncul. Menurutnya, sekarang Pemko tengah menyusun programnya agar ke­mungkinan terburuk itu tidak terjadi. Artinya, Pemko jauh hari sudah mencari sebelum hilang, memintas sebelum hanyut dan bakuli­mek sabalun abih atau lebih berhemat sebelum miskin.
Datuak Pandak menambahkan, dalam nada guyon, “tak ada urusan tikus di sini, dan tidak ada pula lumbung yang mesti dibakar”. Soal rencana kain penutupnya yang merupakan warna marawa atau panji-panji Minangkabau, agaknya memang belum banyak orang yang tahu, bahwa ketiga warna itu sudah merupakan kesepakatan tidak resmi digunakan untuk warna marawa , dan hal ini berlaku di Luak Nan Tigo. Entah kalau di luar ketiga luak itu. Kalau ketiga warna itu adalah warna bendera Jerman, itu kebetulan saja. Dan, tidak ada pula orang membantah bahwa warna hitam, merah dan kuning sebagai warna marawa Minangkabau.

Jangan sisi ekonomi saja
Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bukittinggi, DR. Zainuddin Tanjung, MA., menyebut kebijakan Pemko menutup Jam Gadang pada malam penyambutan tahun baru, jangan dilihat dari sisi ekonomi saja. Adalah pemikiran yang sangat dangkal bila melihatnya dari segi untung rugi secara finansial. Justru Pemko Bukittinggi mengambil kebijakan itu berdasarkan kajian substansi yang sangat luas, terutama terhadap adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah . Ditinjau dari segi budaya, kata Zainuddin, jangan dilihat dari sudut yang sempit atau pengertian umum. Memperingati dan meraya­kan datangnya tahun baru Masehi bukanlah budaya Minangkabau dan islami. “Agama Islam tidak mengajarkan memperingati tahun baru, termasuk tahun baru Islam sendiri yakni 1 Muharram. Bahkan lebih diperte­gaskan, Islam tidak menggariskan baik dalam wajib maupun sunat untuk melaksanakan acara ritual,” tambah Zainuddin.
Menurutnya, kebetulan 1 Muharram dijadikan sebagai hari libur nasional. Mumpung memanfaatkan hari libur, pada 1 Muharram terse­but sangat pantas dilaksanakan kegiatan yang bernuansa agama, seperti wirid, tablig akbar dan lain-lainnya. Tapi konteksnya tidak lari dari upaya untuk mensyiarkan ajaran Islam. Zainuddin juga mengggarisbawahi, apa yang diambil oleh Pemko ini, adalah sebuah kebijakan yang benar-benar menyentuh secara esen­sial nilai-nilai keagamaan di negeri ini. Patut didukung, karena tujuannya sangat mulia. Ia mengingatkan, bila pada malam penyambutan tahun baru, ratusan ribu orang berkunjung ke Bukittinggi dan dominan terfokus ke kawasan Jam Gadang sampai larut malam. Menjelang Subuh mereka bersebar, entah kemana. Ingat, mereka itu tidak hanya satu ke­luarga, tetapi yang lebih banyak adalah kaum muda. Ia juga tidak tahu, karena berasal dari luar kota , apakah mereka itu suami isteri, atau hanya sekadar berpasangan dan memanfaatkan momentum tahun baru untuk memadu kasih ke Bukittinggi.
“Kalau itu memang benar terjadi, laknat Allah tentu akan turun. Kita tidak ingin hal itu terjadi,” ulasnya. Zainuddin menegaskan, apa pun resikonya, dan apapun yang bakal terjadi, MUI dan segenap ulama Bukittinggi mendukung program yang dilaksanakan Pemko.

Tak bergeming
Bergemingkah Walikota Djufri? Ternyata tidak. Usai membaca Sing­galang tentang munculnya tanggapan yang bernada miring terhadap kebijaksanaan Pemko Bukittinggi tersebut, Djufri terlihat tersen­yum. Tidak sedikit pun terkesan di wajahnya rasa tidak senang. Kendati demikian, Djufri mengemukakan, bahwa kebijakan menutup Jam Gadang menyambut pergantian tahun baru masehi itu adalah prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Ini sudah merupakan kese­pakatan antara Pemko dengan Muspida serta masyarakat Bukittinggi sendiri. “Malahan dalam konteks pengembangan kepariwisataan Bukittinggi, masyarakat sudah sepakat biarlah Bukittinggi sepi dari pengunjung daripada ramai tapi penuh maksiat. Itu sudah komitmen warga kota ,” ulasnya.
Penutupan Jam Gadang hanya sekitar 13 jam, pada malam pergantian tahun Masehi. Bukan ditutup sepanjang masa. “Adalah sangat tidak pantas bila kebijakan ini dilihat hanya dari satu sudut saja,” kata Djufri. Dalam lima tahun terakhir, Pemko sudah mengantisipasi agar kera­maian di sekitar Jam Gadang berkurang dengan mengadakan pentas terbuka di Lapangan Kantin, dan kegiatan hiburan lainnya di berbagai tempat, termasuk di Ngarai Sianok. Namun menjelang pukul 00.00 WIB pada malam pergantian tahun, secara serentak orang menuju Jam Gadang. Tak bisa dihalangi, bahkan mengarahkannya saja tidak bisa. Maklum, ratusan ribu orang bergerak dengan satu tujuan, yakni melihat jarum Jam Gadang akan berdempet di pengujung tahun. Diakui banyak yang diuntungkan bila pengunjung berjubel. Tapi dalam suasana yang sulit diduga karena ramainya orang, dan terja­di keributan sehingga menimbulkan korban jiwa. Djufri mengajak, agar jangan melihatnya dari segi bisnis saja, tetapi harus dikaji secara lebih mendalam dan jalan pikiran yang jernih. o 202/203
Sumber: Singgalang, 15 Februari 2008

Wednesday, February 13, 2008

Wisata Hening, Jam Gadang Ditutup

Seperti inilah Jam Gadang saat pergantian tahun nanti. Tak jelas benar apa maksud dari penutupan Jam Gadang itu dengan perbuatan maksiat. Seakan-akan perbuatan maksiat itu terjadi di tahun baru saja. (Foto dok Singgalang)


Jam Gadang ditutup! Tak ada lagi dentang bunyinya. Tak ada jarum jam yang terlihat. Tak ada pesta, tak ada keramaian. Hening-hening saja. Diam! Itu nanti, malam old and new pergantian tahun 2008 ke 2009 menda­tang. Malam-malam penuh gemerlap di pelataran Jam Gadang pada tahun-tahun sebelumnya takkan terulang lagi. Begitulah berdasarkan pengalaman pada acara menyambut tahun baru 1 Januari 2008 lalu, maka mulai malam 31 Desember 2008 dan men­yambut tahun baru 1 Januari 2009, Jam Gadang ditutup dan kebijak­sanaan itu sudah disetujui Muspida.
Djufri pun berkisah. Pada Senin malam (31/12) lalu, di taman Jam Gadang diadakan pentas terbuka, dengan acara puncak menyambut tahun baru. Ternyata di seluruh pelataran dipenuhi warga. Namun di tengah kerumunan warga itu, ada beberapa keluarga yang mengge­lar tikar dan mereka duduk di sana sekeluarga. “Saya tidak dapat bayangkan, bagaimana bila terjadi keributan, tentunya keluarga yang juga mengikut-sertakan anak kecil ini bakal terinjak. Dan, bukan tidak mungkin bakal menimbulkan ko­rban,” Djufri menguraikanny . Justru itulah, tidak ada lagi acara penyambutan tahun baru di seputar Jam Gadang, meski orang-orang akan menikmati pergeseran tahun baru dengan berdempetnya jarum panjang dan jarum pendek pada Jam Gadang tersebut. Sisi lain, berdasarkan laporan petugas kebersihan pagi hari, banyak ditemui ‘balon', maksudnya kondom bekas. Ada apa ini? Nah, dari pada acara menyambut tahun baru berlanjut ke maksiat, Pemko Bukittinggi bersama Muspida sepakat akan menutup Jam Gadang dan tidak memberikan izin keramaian pementasan.
“Kuncinya adalah Bukittinggi harus bebas dari maksiat,” tegas Djufri. Bentuk penutupan Jam Gadang itu direncanakan mempergunakan marawa Minangkabau dengan tiga warna, yakni hitam, merah dan kuning. Ketiga warna tersebut adalah warna kebesaran Minangkabau. Soren­ya, 31 Desember sekitar pukul 17.00 WIB diadakan upacara penutupan Jam Gadang, dan esoknya, 1 Januari sekitar pukul 06.00 dibuka lagi, juga dalam sebuah upacara. Begitulah benarlah. o 202/203/432/K.01



Harian Singgalang, Rabu, 13 Februari 2008



Di Bukittinggi, Valentine Day Dilarang

Pemko Bukittinggi mengambil langkah berani, menutup habis semua bentuk kegiatan Valentine Day (hari kasih sayang). Kebijaksaan itu diambil setelah melaksanakan musyawarah dengan Muspida. Hotel, restoran dan sejenis dilarang mengadakan acara yang ber­nuansa maksiat tersebut, dan mungkin ini satu-satunya di Indone­sia Pemda melarang perayaan tersebut. Walikota Bukittinggi, Drs. H. Djufri, didampingi Wakil Walikota, H. Ismet Amzis, SH., dan Sekda Drs. H. Khairul, menyampaikan hal itu dalam jumpa pers, Selasa (12/2). Jumpa pers itu juga dihadiri PHRI Bukittinggi, Kakan Kesbanglinmas, Kakan Sat Pol PP, Kakan
Perhubungan, Kakan Pariwisata, Seni dan Budaya, dan Kabag Humas. “Saya sangat banyak menerima pesan pendek lewat telepon selular saya. Yang intinya melarang adanya perayaan Valentine Day di Bukittinggi. Masukan dari masyarakat itu dimusyawarahkan dengan Muspida, dan ternyata Muspida sepakat di Bukittinggi tidak ada acara perayaannya,” tegas Walikota. Selain banyaknya pesan pendek dari warga, seluruh wartawan yang bertugas di Bukittinggi, juga berharap yang sama. Warga tidak ingin di tanahnya ini ada acara yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Setelah dipelajari ternyata Valentine Day itu bukanlah budaya bangsa ini. “Ajaran agama yang kita anut, yakni Islam melarang acara seperti itu. Meski labelnya hari kasih sayang, toh bila sudah dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan, maka dia jadi terlarang. Agama apapun di muka bumi ini tidak membolehkan penga­nutnya melakukan perbuatan maksiat,” katanya.
Dan, hari kasih sayang yang dirayakan 14 Februari itu, lebih bermuatan maksiat ketimbang kasih sayang. Bagi umat Islam, sesuai apa yang disampaikan lewat Alquran maksiat tersebut sangatlah terlarang. Sebagai realisasinya, selain tidak akan mengeluarkan izin bagi hotel dan restoran untuk acara tersebut, izin yang sudah terlan­jur diberikan baik dalam pentas musik dan sejenisnya, akan dica­but. Perizinan yang tengah dalam proses dihentikan dan dibatal­kan. “Jangankan berbentuk acara, bentuk-bentuk propagandanya saja tidak boleh. Misalnya memasang spanduk, pamflet, stiker dan lainnya. Untuk itu SatPol PP Kota Bukittinggi siap mengawalnya. Pokoknya tidak ada Valentine Day,” Djufri sambil memerintahkan Kakan Pol PP untuk mengawal Bukittinggi Kamis malam lusa itu. Walikota juga menghimbau seluruh warga kota , terutama keluarga yang mempunyai anak perempuan atau anak gadis, agar tidak membo­lehkan anak gadisnya keluar malam, kecuali dengan alasan penting. Karena selain Pemko dan jajarannya, warga sendiri juga berkewaji­ban membantu menertibkan kota ini.
Untuk lebih terpadunya pengawalan pada malam Kamis lusa itu, Pol PP bekerjasama dengan Polresta Bukittinggi, Kantor Perhubungan, Kantor Pariwisata dan Kantor Kesbanglinmas melakukan penjagaan di titik-titik rawan dalam kota , di hotel-hotel baik berbintang maupun hotel melati, rumah makan dan restoran serta tempat-tempat keramaian lainnya. Sementara itu, Edison , Sekretaris Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bukittinggi, menyebutkan secara pribadi menyam­but baik langkah yang diambil Pemko tersebut. Namun, PHRI akan terus menyampaikannya kepada seluruh anggota PHRI Bukittinggi.
MUI dan LKAAM dukung
Sementara itu sejumlah elemen masyarakat, di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bukittinggi, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Bukittinggi, menyatakan mendukung langkah yang diambil Pemko Bukittinggi tersebut. DR. Zainuddin Tanjung, MA., Ketua MUI Bukittinggi, menilai Valen­tine Day dan acara menyambut tahun baru bertentangan dengan agama Islam. MUI bahkan sudah melakukan upaya antisipasi lebih awal, seperti turun ke seluruh sekolah pada 8 Februari dan memberikan ceramah agama tentang larangan merayakan hari kasih sayang itu. “Secara umum siswa menyambut baik himbauan yang disampaikan oleh MUI tersebut. Selain itu menerbit buletin sebanyak 18.000 eksemp­lar yang isinya himbauan kepada masyarakat terutama kaum muslimin dan muslimat agar tidak ikut-ikutan merayakannya,” tambah Zainud­din lagi. Ketua LKAAM Bukittinggi, M. H. Dt. Pandak, mengajak seluruh tokoh-tokoh adat di Bukittinggi untuk mendukung komitmen Pemko dalam melarang kegiatan perayaan Valentine dan perayaan menyambut tahun baru Masehi. “Sebab dipandang dari segi mana pun, termasuk dari sisi adat kegiatan itu jelas tidak sesuai. Apalagi bila melihat falsafah alam Minangkabau yang berbunyi Adat Basandi Syarak, Syarak Basan­di Kitabullah. Salah seorang tokoh masyarakat Kurai, Datuak Limbago Sati, perin­gatan tahun baru dan Valentine Day ini adalah usaha pihak luar yang hendak merusak akidah dan norma-norma yang berlaku di ranah Minangkabau ini. Adanya langkah yang diambil Pemko yang melarang kegiatan terse­but, dihimbau kepada seluruh anak kemenakan agar mematuhi dan memakluminya. Ini adalah langkah yang berani, tepat dan terpuji di kalangan masyarakat. Salah seorang cendekiawan Bukittinggi, H. Sabir, SH., menyikapin­ya bahwa perbuatan yang mengarah pada maksiat, tidak hanya ber­tentangan dengan agama dan adat di Minangkabau ini, hukum positif pun mengatur tentang itu. Pasal 281 KUHP, mengancam dengan pidana penjara dua tahun delapan bulan, bagi barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan, dan barangsiapa dengan sengaja di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehen­daknya melanggar kesusilaan. -K.01/202/203/432

Singgalang, Rabu 13 Februari 2008

Wednesday, January 30, 2008

Rekomendasi

Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008
Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008

  1. Krisis moneter pada 1997 telah memurukkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Salah satu dampaknya adalah aset-aset nasional harus dijual kepada pihak asing, sehingga kepemilikan pihak asing terhadap aset-aset nasional makin menguat. Makin menguatnya kepemilikan asing tersebut tentu makin mengokohkan nilai-nilai kebudayaan asing, terutama kebudayaan Barat (baca: westernization) , dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Karena itu, nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme misalnya kemandirian dan kenusantaraan dalam karya sastra menjadi sangat penting untuk kembali dibumikan di Tanah Air. Karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan sangat pentingnya nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme tersebut. Tahun 2008 menjadi momen yang tepat untuk melakukan upaya tersebut mengingat pada tahun ini kita memperingati perjalanan kebangsaan atau nasionalisme kita untuk yang keseratus tahun.
  2. Krisis moneter pada 1997, yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan berujung menjadi krisis multidimensi, telah memicu konflik antarkelompok, antargolongan, antarsuku, dan antaragama di Indonesia. Kebenaran hanya diklaim sebagai milik satu kelompok, satu golongan, satu suku, atau satu agama tertentu dan pihak lain seperti dipaksa menerima kebenaran versi mereka. Kebinekaan atau keberagaman laksana kehilangan pijakannya. Bertolak dari kondisi seperti itu, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk menyuarakan sangat pentingnya kebinekaan atau keberagaman sebagai pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi. Tapi, hal itu bukan berarti bahwa komunitas sastra tak boleh mengidentifikasi diri secara spesifik, unik, atau khusus. Yang pokok, identitas yang spesifik dan unik tersebut tetap hidup dalam semangat inklusivisme. Semangat inklusivisme itulah yang diharapkan dapat menjadi tali penghubung atau jembatan yang mampu mengharmoniskan hubungan antarkomunitas sastra. Bukan napsu kekuasaan untuk menghegemoni atau mendominasi pelbagai komunitas sastra lain.
  3. Krisis multidimensi akhirnya juga membuat bangsa Indonesia laksana berjalan di tempat. Kemajuan seperti menjadi sesuatu yang musykil diraih di tengah keterpurukan pelbagai sendi kehidupan. Seperti negara-negara lain yang dihempas krisis moneter, Indonesia semestinya mampu menjadikan krisis multidimensi sebagai pijakan untuk melangkah lebih maju dengan semangat baru. Karya sastra dan komunitas sastra semestinya juga mampu menjadi bagian dari langkah lebih maju dengan semangat baru tersebut.
  4. Kemajuan selayaknya tetap bercermin pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dalam konteks kesusastraan Indonesia, sejarah kesusastraan Indonesia sepantasnya disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusastraan di negeri ini. Terhadap fenomena sejarah sastra mulai dari masa pasca1908, hingga tahun-tahun terakhir (sastra kontemporer) agar para pengamat dan sejarawan dari berbagai kalangan tak terpengaruh sejarah dominant yang mempengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia. Untuk itu, misalnya, kita ”terutama pemerintah” dapat membentuk semacam dewan sejarah kesusastraan Indonesia yang mampu menyusun sejarah kesusastraan Indonesia yang benar-benar mencerminkan realitas perjalanan sejarah kesusastraan di Indonesia. Secara struktural, dewan tersebut bisa saja berada di bawah dewan sejarah kesenian Indonesia. Payung utamanya sendiri bisa berupa dewan sejarah kebudayaan Indonesia. Tentu, sebelum itu, kita ”terutama pemerintah” harus lebih dulu menyusun strategi kebudayaan Indonesia.
  5. Agar penerbitan dan penyebarluasan karya sastra bisa lebih baik perlu diciptakan kondisi-kondisi yang mendukung misalnya pemerintah menurunkan harga kertas, menghapuskan pajak atas karya sastra dan kemudahan-kemudahan lainya.
  6. Kongres KSI 2008 di Kudus menegaskan perubahan yang cukup signifikan menjadi ormas terbuka dengan segera mendirikan 100 cabang baru di dalam dan diluar negeri dalam kurun waktu 3 tahun.

Kudus, Jawa Tengah, 20 Januari 2008

Tertanda,
Para Peserta Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008

Monday, January 28, 2008

DKSB Hulu dan Hilir Kreativitas Seniman

OLEH Yulizal Yunus
Seniman dalam life cycle-nya pastilah berusaha seni, berkreasi seni dan berkarya seni. Ibarat modal lahan, tempat berusaha, berkreasi dan berkarya (berproduksi) seni bagi seniman justru DKSB satu di antara modal untuk berladang yang subur. Sebagai ladang yakni hulu produktivitas karya seni seniman sekaligus DKSB juga hilir yakni tempat pemasaran karya seni itu.

Sunday, January 27, 2008

Meninggalnya Mantan Presiden Jenderal Soeharto





Tentang orang yang meninggal sebaiknya kita diam, atau kalau berbicara hanya yang baik-baik saja. Begitu kata satu pepatah. Jika demikian halnya, bab terakhir tentang kisah mantan presiden Indonesia Jendral Suharto bisa cepat rampung ditulis.

Tapi kenyataannya, justru terlalu banyak hal yang dulu didiamkan selama tiga dekade masa pemerintahan tangan besinya dengan bantuan militer. Juga sebagian besar fakta perebutan kekuasaan dan aksi kekerasan tahun 60-an, yang membawa Soeharto ke tampuk kekuasaan, masih belum terungkap sampai sekarang.

Sekalipun Jendral Soeharto selama masa pemerintahan otoriternya bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia, sampai sekarang ia tidak pernah diminta pertanggung jawaban. Semua upaya menghadapkannya ke pengadilan gagal, antara lain karena alasan kesehatan yang diajukan para pengacaranya. Sampai meninggal, pengaruh Soeharto ternyata tetap kuat untuk
menghindari proses hukum.

Orang bisa berargumentasi bahwa demokrasi di Indonesia pasca Soeharto masih terlalu lemah untuk bisa menggiring bekas presidennya ke pengadilan. Namun jangan dilupakan, banyak negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat dan Jerman yang juga lama menutup mata dan berdiam diri.

Soeharto, yang di kalangan internasional dijuluki The Smiling General, naik ke tampuk kekuasaan dengan dukungan Barat untuk menghindari kaum komunis menguasai Indonesia. Sebuah skenario yang cocok dengan situasi perang dingin kala itu.

Soeharto dianggap sebagai tokoh penting penentang bahaya komunisme di Asia Tenggara. Sehingga negara-negara Barat mendiamkan peristiwa-peristiwa buruk yang mengiringi masa kekuasaannya.

Indonesia mengalami masa bersimbah darah akhir tahun 60-an. Ratusan ribu anggota Partai Komunis Indonesia, dan orang-orang yang dicurigai dekat dengan gerakan komunis, jadi korban militer.

Memang sampai sekarang tidak terbukti bahwa Soeharto memerintahkan sendiri pengejaran buas terhadap mereka, namun faktanya adalah, ia yang mengendalikan aparat militer ketika itu.

Pada tahun-tahun selanjutnya, ribuan pengeritik rejim ditahan tanpa proses pengadilan dan dibuang ke pulau Buru. Terhadap gerakan makar di Aceh dan Papua dilakukan aksi pembersihan. Dan di Timor-Timur, sampai 200.000 orang tewas selama masa pendudukan oleh militer Indonesia. Barulah ketika Indonesia terkena dampak krisis moneter Asia, kekuasaan klan Soeharto mulai luntur. Dan ia akhirnya terpaksa mengundurkan diri.

Sampai sekarang, Indonesia masih menanggung beban berat warisan masa kekuasaan Soeharto: sistem birokrasi yang korup, kelompok militer yang sangat dominan, dan masa lalu penuh kekerasan yang belum juga terungkap.

Dengan latar belakang ini, boleh dibilang hampir sebuah mukjijat, bahwa negara multi-etnis ini bisa menemukan jalan kembali menuju demokrasi. Walaupun Soeharto dan para pendukungnya telah menjerumuskan negara kaya bahan mentah ini ke dalam krisis ekonomi yang parah.

Indonesia sampai sekarang tetap menjadi mitra negara-negara Barat yang bias dipercaya. Fanatisme fundamentalistis tetap tidak bisa meluas di negara muslim terbesar dunia ini. Ini juga bisa dicatat sebagai sebuah keajaiban kecil, dan menunjukkan kematangan demokrasi.

Apakah ada hal yang baik juga selama pemerintahan Soeharto? Selama kekuasaan tangan besinya ekonomi Indonesia berkembang pesat. Masyarakat miskin juga bisa menikmati sedikit berkah kemajuan ekonomi. Dengan stabilitas politik dan ekonomi, Indonesia berkembang menjadi macan kecil Asia Tenggara. Investor asing datang berbondong-bondong. Tapi secepat mereka datang, secepat itu pula mereka hengkang saat krisis moneter melanda.

Mungkin, dengan meninggalnya Soeharto, barulah masyarakat Indonesia bisa membahas lagi masa lalunya. Banyak hal yang perlu dibicarakan, sekalipun mantan penguasa itu tidak akan duduk lagi dibangku tergugat.


Sumber: http://www.dw-%20world.de/%20dw/article/%200,2144,3091633,%2000.html

Mantan Presiden Soeharto meninggal dunia pada hari Minggu, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB, di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta.

Thursday, January 17, 2008

Harris : Opini Tentang DKSB di Media Kurang Akurat

PADANG – Terkait artikel opini berjudul "Dilarang Berladang di Punggung Seniman" (Catatan untuk Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) yang dimuat di salah satu media di Padang, Ketua Umum DKSB Dr. Harris Effendi Thahar tidak menganggap tulisan tersebut sebagai pencemaran nama baik. (Baca: Klik di sini)

Dilarang Berladang di Punggung Seniman

Oleh Zelfeni Wimra
Dua Diskusi yang Menarik Diskusi pertama ada dalam ranah kesenian. Hal yang selalu menarik di sini adalah diskusi seputar bagaimana mensinergikan pekerja dan karya seni dengan kekuasaan negara dan dengan kekuatan lembaga seni yang bergerak dengan format swasta. Chanel kesenian di tubuh pemerintahan dijembatani oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Provinsi Sumatra Barat dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Budaya Sumatra Barat. Pada pihak swasta, lembaga paling populer adalah Dewan Kesenian (DK). Eksistensi dan fungsi seperti tertuang dalam Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) kedua lembaga ini menyiratkan betapa seni merupakan aset bangsa yang dimiliki setiap individu warga negara yang wewenangnya terlindungi secara hukum.

DKSB Memerlukan Kemitraan Pemerintah

PADANG - Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) masih terkendala masalah dana dalam merealisasikan program kerja mereka. Sebanyak Rp500 juta kebutuhan mereka untuk program tahun 2008, hanya dibantu Pemprov Sumbar sebanyak Rp150 juta. Jika dibandingkan dengan organisasi dan lembaga lain, semisal KONI yang memperoleh miliaran rupiah atau dana untuk kegiatan Uda-Uni Sumbar yang menyedot dana Rp500 juta, alokasi dana untuk DKSB memang sangat tidak relevan (sesuai).

Sunday, January 6, 2008

Mak Sawir Sang "Raja Bagurau"

Mencari di mana keberadaan seniman tradisi Minang seperti Sawir Sutan Mudo (65) ternyata susah-susah gampang. Sederet informasi tentang keberadaan Sawir bagai menguap saat lokasi-lokasi yang ditunjukkan itu didatangi.

Dari "Selompret Malajoe" Sampai "Slompret Melayoe"

OLEH SURYADI


Benarkah Selompret Melajoe Terbit Perdana 1860? demikian judul tulisan Saifur Rohman, kandidat doktor ilmu filsafat UGM, di harian ini September lalu. Artikel itu menanggapi pernyataan Dr Dewi Yulianti, pakar sejarah pers Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, yang mengatakan bahwa Selompret Melajoe terbit tahun 1860. Hal itu dikemukakannya dalam sarasehan "Melacak Jejak Pers Jawa Tengah" yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Tengah.

Tuesday, November 6, 2007

Pemekaran Agam dan Problem Nagari

Oleh Nasrul Azwar


Persoalan menolak atau menerima Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1999 (PP No 84/1999) tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, hingga kini masih berlangsung. Jika dihitung, PP 84/1999 yang dinilai sarat dengan rekayasa itu, kini telah berusia 8 tahun. Tapi, ujung dari drama “hukum” ini belum tampak ke arah mana cerita diakhiri.

Jika diamati lebih saksama, persoalan PP 84/1999 selalu “menghangat” lagi setiap habis Lebaran: saat tokoh-tokoh yang selama ini berada di perantauan (atau yang merasa tokoh di tengah masyarakat) yang berasal dari Agam, Bukittinggi, atau Sumatra Barat secara umum, pulang kampung berlebaran. Momen Lebaran biasanya diikuti dengan “pertemuan”, “silaturahmi”, “halalbilhalal”, serta bentuk lainnya. Saat itulah, kerap muncul pernyataan seputar soal PP 84/1999, dan diikuti dengan polemik pro-kontra. Semua itu dapat disimak di media massa.

Namun kini, tren mengeluarkan pernyataan oleh “tokoh-tokoh” itu tidak lagi seputar PP 84/1999, telah ditukar dengan wacana pemekaran Kabupaten Agam, yakni dengan mendirikan kabupaten baru dengan nama Kabupeten Agam Timur (Agamtuo), walau kadang dikaitkan juga dengan pro-kontra PP 84/1999.

Gagasan pemekaran itu—seperti biasanya perangai tidak populer politisi lokal— selalu pula disangkutkan kepada keinginan dan aspirasi masyarakat, percepatan pembangunan, memudahkan urusan dan pelayanan masyarakat, dan ini yang unik, pemekaran dianggap sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan PP 84/1999.

Seminggu setelah Lebaran tahun ini, gagasan pemekaran Agam menghiasi halaman-halaman surat kabar yang terbit di Padang. Setiap hari tertulis pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh dan lembaga yang selama ini menyuarakan penolakan terhadap PP 84/1999, misal DPRD Agam. Seperti biasanya, sambil bersilaturahmi ke wakil rakyat ini, segerombolan orang-orang dengan mengatasnamakan masyarakat, menyatakan telah menyampaikan ke DPRD Agam aspirasi rakyat untuk pemekaran dan lain sebagai. Dan ucapan mereka dikutip oleh wartawan yang berpos di gedung DPRD itu. Maka, masukan koranlah tokoh-tokoh itu Kondisi ini sama juga terjadi tahun-tahun sebelumnya. Tapi kini isunya dialihkan ke pemekaran: tampaknya isu pemekaran memang sedang naik daun di negeri ini.

Lahirnya keinginan untuk memekarkan Kabupaten Agam, memang bukan kemauan yang dimunculkan kemarin sore. Ia lahir hampir berbarengan dengan keluarnya PP No 84/1999 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada tanggal 7 Oktober 1999.

Dalam “sejarahnya”, gagasan pemekaran Agam ini disuarakan Lembaga Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Agamtuo sebulan sebelum PP 84/1999 disahkan. Rencana pemekaran itu “dideklarasikan” dalam Musyawarah Kerapatan Adat Nagari bersama pemuka masyarakat se-Agamtuo di Gadut pada tanggal 22 September 1999. Tokoh-tokoh nagari yang berada di Agam Timur, ketika itu berpendapat, pemekaran Kabupaten Agam sangat perlu sekali. Pemekaran itu berorientasi pada optimalisasi pengembangan potensi wilayah masing-masing. Jadi, dengan demikian, pemekaran Kabupaten Agam bukan untuk memecah belah orang Agam.

Munculnya PP 84/1999—tak beberapa lama setelah wacana pemekaran bergulir—gagasan pemekaran seperti mati pucuk. Tenggelam karena kontroversi pro-kontra PP 84/1999. Selain itu, jika PP 84/1999 direalisasikan, maka gagasan pemekaran Agam tak ada gunanya lagi. Sebab, dalam PP 84/1999, wilayah yang masuk dalam tapal batas sebagian besar adalah nagari-nagari yang akan dijadikan kabupaten Agamtuo itu. Dalam PP 84/1999, nagari-nagari itulah yang “diambil” Kota Bukittinggi, yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok VI Suku, Guguk Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah-Banuhampu, Pasia IV Angkek, Kapau, Batu Taba IV Angkek, dan Koto Gadang. Kini, isu itu tampaknya mendapat nyawa baru lagi. Akibatnya, hiruk pikuklah mereka menyuarakan pemekaran.

Membaca konstelasi politik yang berkembang di tingkat lokal Agam-Bukittinggi, dengan isu pemekaran, membatalkan PP 84/1999 menjadi sangat penting dan signifikans. Dan ini kayaknya dimanfaatkan secara baik para politisi lokal dengan target tertentu, tentunya.

Sementara, melihat respons masyarakat di tingkat akar rumput, untuk mendirikan kabupaten baru, bagi mereka bukan cerita yang mengasyikkan. Toh, hadirnya kabupaten baru belum menjamin terangkat derajat kehidupannya. Malah, akan membuat kandang-kandang baru pejabat negara untuk mengorupsi uang rakyat.

Dari tahun ke tahun, sejak PP 84/1999 disahkan sebagai produk hukum formal, yang juga memunculkan sederet ekses yang mengikutinya, permasalahannya bukan sekadar PP itu lagi, tapi telah bakisa ke masalah politik. Ia sudah menjadi konsumsi para elit politik lokal. Politisi pusat yang selama ini hanya pulang kampung saat Lebaran, memanfaatkan sentimen primordial, dan rasa kenagarian sebagai bahan untuk “dilemparkan” ke tengah publik dan ranah politik. Ia seolah representasi kepentingan masyarakat luas. Namun sesungguhnya, ia punya target politik untuk pemilihan umum selanjutnya.

Dari itu pula, bagi saya, membuang isu-isu ke tengah masyarakat dengan klaim sebagai aspirasi dan kepentingan kesejahteraan masyarakat, misalnya, tentang pemekaran Agam itu, jika itu berasal dari mulut seorang politisi, anggap saja sebagai omong kosong: Kita masukkan saja dalam tong sampah yang ada di depan halaman rumah kita.

Dalam kondisi negeri yang masih mencoba merangkak untuk memulihkan nasib mereka akibat bencana alam gempa bumi, mengapungkan keinginan untuk memekarkan Agam, saya kurang bijak. Kurang tepat. Dan tidak perlu. Karena problem utama masyarakat dan nagari-nagari yang berada Agam Timur, bukan pemekaran. Pemulihan ekonomi, kesejahteraan yang rendah, dan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di nagari-nagari Agam Timur, adalah persoalan yang sesungguhnya mesti dicarikan solusinya.

Angka kemiskinan diperkirakan naik drastis pascagempa bumi yang meluluhlantakkan beberapa nagari di Agam Timur pada Maret 2007 lalu. Angka anak putus sekolah akibat kemiskinan juga menjadi problem utama dihadapi hampir setiap nagari di Agam Timur. Rendahnya asupan gizi bagi balita juga jadi soal yang tidak bisa dibiarkan. Tingginya angka kriminal juga menjadi masalah hampir setiap nagari. Rendahnya kemampuan sumber daya manusia mengelola nagari, juga jadi soal yang sangat signifikans.

Fakta menunjukkan, rata-rata nagari-nagari di Agam Timur (juga termasuk nagari-nagari yang ada di Sumatra Barat) tak mampu secara mandiri menghidupi roda pemerintahannya. Semua tergantung pada alokasi dana dari pemerintah. Semua aktivitas nyaris berharap dari dana pemerintah. Karena lemahnya pengetahuan, kurangnya sumber daya manusia yang lebih dinamis dan kreatif, nagari-nagari di Sumatra Barat seperti kehilangan gairah: tampak mati suri. Yang hadir mengisi nagari-nagari itu orang-orang tua yang telah berusia lebih 60 tahun. Dan perhatikan agak serius, semua persoalan demikian itu dihadapi nagari-nagari di Agam Timur. Ini permasalahan yang sangat mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya.

Persoalan PP 84/1999 biarkan saja seperti itu. PP 84/1999 tidak akan mengubah nagari-nagari di sekitar itu menjadi hebat dan maju. Demikian juga dengan pemekaran Agam, juga tak ada kepastian dengan hadirnya Kabupaten Agamtuo, nagari-nagari yang masuk ke dalamnya akan menjelma sebagai nagari yang mandiri, kuat, dan masyarakatnya sejahtera.

Tanpa PP 84/1999 dan pemekaran Agam, anak nagari akan tetap seperti itu, karena bukan kedua hal itu yang akan mengubah nagari menjadi maju, tapi kemauan secara tulus anak-anak nagari bersangkutan membangun kampung halamannya. Sumber daya manusia yang cerdas, terlatih, terampil, dan punya jaringan yang kuat dengan lembaga-lembaga lain yang bisa mengembangkan kampung halamannya, untuk satu nagari saja, mereka bertebaran di setiap pelosok negeri ini. Jika mereka rela mengalokasikan waktunya 1 jam dalam sehari untuk kampung halamannya, pastilah nagari di Minangkabau tidak seperti sekarang ini kondisinya: hidup enggan, mati tak mau.***

Sebuah Cerita tentang Wakil Rakyat

Oleh Nasrul Azwar

Teman saya bercerita tentang kurenah salah seorang anggota DPRD yang berasal dari sebuah kabupaten di Sumatra Barat. Nama anggota wakil rakyat ini, sebut saja DR (HC) Sidi Ambin. Dia diuntungkan oleh sistem pemilu. Entah bagaimana logika hitungannya, Sidi Ambin tiba-tiba saja sudah duduk di kursi empuk DPRD dari Partai ESQ, sebut saja dulu demikian. Gelar yang melekat di namanya itu, yang tak boleh lupa menuliskannya, tak jelas riwayat dan sejarah peraihannya. Tiba-tiba saja ada.

Cerita teman saya itu begini. Seperti lembaga lainnya, anggota DPRD tentu memunyai wadah organisasi untuk berkumpul sesama anggota legislatif. Nama wadah itu Asosiasi Anggota DPRD Seluruh Indonesia (AADSI), sebut saja seperti. Hal yang sama juga dilakukan sesama gubernur, bupati, dan walikota se-Indonenesia. Untung saja presiden cuma satu di negeri ini, kalau lebih, tentu akan muncul pula asosiasinya.

Suatu kali, AADSI menggelar pertemuan di Kota Jayapura, Provinsi Tanah Papua. Semua anggota DPRD diharapkan hadir di kota ini. DR (HC) Sidi Ambin jauh-jauh hari telah menyiapkan keberangkatannya. Baginya, ini pertemuan akbar yang maha penting.

Seperti biasa, pihak sekretariat DPRD menyiapkan segala sesuatunya secara makisimal, termasuk tiket yang dipilih executive. Sebanyak 25 orang anggota dewan berangkat berbarengan dalam satu pesawat. Sepanjang hidung ditampuah angok, ini pertama kali DR (HC) Sidi Ambin naik persawat. Kalau bukan anggota legislatif, mungkin ia tak akan pernah naik patatabang.

Dengan kepercayaan diri yang penuh dan sedikit menegakkan kepala (maklum anggota legislatif), bersama rombongan, DR (HC) Sidi Ambin menelusuri koridor Bandar Udara Internasional Minangkabau. Dan terus masuk ke pintu pesawat. Hatinya gembira. Dia pilih kursi dekat jendela. Dihempaskan tubuhnya di kursi itu. Saat bersamaan, seorang pramugari mendekati DR ((HC) Sidi Ambin.

Pramugari itu berkata: “Bapak mesti pindah duduk, Pak. Bapak kan mestinya di executive?”

Langsung saja DR ((HC) Sidi Ambin menghardik, “Tidak! Tidak! Saya bukan executive. Saya legislatif!”

Tidak mengerti maksud penumpang yang satu ini, dengan kebijakannya sendiri, pramugari itu membiarkan saja DR ((HC) Sidi Ambin duduk di kursi yang dipilihnya itu.

DR ((HC) Sidi Ambin pun kembali melihat ke kiri-kanan, dan atas. Tampaknya, ia mengamati semua sudut dan tempat dari kursinya. Sabuk pengaman sudah dikenakan, dan ketika itu pula ia nyaris berteriak ke penumpang di sebelahnya. Dengan bahasa ibunya, DR ((HC) Sidi Ambin bersorak: “Oi sanak, batau juo kecek urang nan alah naik patabang ko yo. Dari ateh patabang ko, yo nampak sagadang samuik urang-urang nan di bawah tu.”

“Patabang ko alun tabang lai, Pak. Masih maagekkan masinnyo. Nan Apak caliak tu, sabana samuik e,” kata penumpang di sebelahnya.

“Oooo!”

Akhirnya, setelah melewati tiga kali transit, rombongan mendarat di Bandar Udara Sentani Jayapura. Di sini mereka dijemput dan diantar panitia ke tempat pertemuan, di sebuah hotel yang cukup besar.

Setelah beristirahat sejenak, semua tamu dijamu makan malam. Karena anggota legislatif seluruh Indonesia ini berasal dari berbagai agama yang berbeda, tentu panitia menyediakan dan membagi tempat sesuai dengan menu agama masing-masing.

Manconconglah DR ((HC) Sidi Ambin sambil mencingangak di dekat meja panitia. Lalu dengan ramah dan bahasa yang lembut, panitia pun bertanya kepada DR ((HC) Sidi Ambin.

“Maaf Pak, Bapak muslim atau...”?

“Siapa bilang saya muslim. Saya Sidi Ambin. Muslim itu Bupati Padang Pariaman (maksudnya Muslim Kasim),” jawab DR ((HC) Sidi Ambin tegas dan penuh percaya diri.

Tapurangah panitia mendengan jawaban anggota legislatif ini. Dan dia pun membiarkan DR ((HC) Sidi Ambin berlalu entah ke meja mana.

Tiga hari pertemuan itu digelar. Peserta pun kembali ke tempat masing-masing. Banyak juga yang memperpanjang harinya di daerah paling Timur ini. Tapi, rombongan DR (HC) Sidi Ambin langsung pulang sesuai jadwal.

Sesampai di Bandara Cengkareng, DR ((HC) Sidi Ambin tampak tergesa-gesa. Kawan-kawan yang lain heran. Tagageh bana DR ((HC) Sidi Ambin di bandara itu. “Manga tagageh bana, Pak Sidi,” kata salah seorang dari rombongan.

“Oi ngangak bana kalian di Jakarta ko ma! Itu hah, lai tampak dek Apak-apak merek tu: BAGGAGE,” jawab DR ((HC) Sidi Ambin sambil tangannya menunjuk sebuah tulisan yang tergantung di dekat pintu masuk. “Disuruahnyo bagageh awak!”

Semua teman-teman DR ((HC) Sidi Ambin pun tersenyum, tapi DR ((HC) Sidi Ambin tak hirau. Dia tetap bergegas.

***

Anekdot seputar anggota legislatif itu bukan tidak punya latar belakang sosial. Paling tidak, indikasi munculnya bisa saja terkait sikap yang menyebalkan dan juga pandangan yang sinis terhadap tabiat wakil rakyat selama ini.

Buktinya, pada harian Singgalang, Rabu, 24 Oktober 2007, menurunkan 3 berita tentang perangai memuakkan anggota DPRD. Dua berita pada halaman 1 dan satu berita halaman 4. Berita itu intinya berkaitan dengan perempuan. Pada pertengahan Agustus tahun ini, dua orang anggota DPRD ditangkap polisi di sebuah hotel di Bukittinggi. Mereka dituduh menggunakan sabu-sabu dan berbuat mesum.

Selain itu, menjelang Lebaran masyarakat Sumatra Barat juga dibuat bingung: sebagain besar anggota DPRD Sumatra Barat periode 1999-2004 (45) orang sudah dinyatakan bersalah secara hukum dan kasasinya juga ditolak MA, dan sudah memunyai kepastian hukum untuk dijebloskan ke panjara, ternyata bertolak belakang dengan 10 orang anggota lainnya; kasasi mereka diterima MA, dan dinyatakan bebas.

Jika dideretkan dua tahun terakhir, berjuntai-juntai panjangnya perangai anggota DPRD di Sumatra Barat yang membuat masyarakat tidak habis pikir: mengapa hal-hal yang melanggar asas kepatutan, norma-norma itu dilakukan?

Tapi, itulah realitas. Realitas anggota legislatif. Wakil rakyat yang dipilih rakyat. Bukan tak mungkin, bahwa anekdot yang diceritakan teman saya itu, betul-betul terjadi di negeri ini. Jika memang demikianlah kualitas sumber daya dan mentalitas anggota legislatif itu: rata-rata selevel dengan DR ((HC) Sidi Ambin. ***

SUMBER: Harian Singgalang, Rabu, 31 Oktober 2007

Bajulo-julo Membangun Dinding Laut

Oleh Nasrul Azwar

Setelah artikel saya tentang perlunya dinding laut dibangun sebagai salah satu bentuk upaya antisipasi gelombang Tsunami yang didirikan sepanjang pantai Sumatra Barat dimuat di surat kabar ini (Singgalang, 22/10/2007), dan keesokan harinya muncul tulisan Emeraldy Chatra (Padang Ekspres, 23/10/2007), dalam nada yang sama, saya mengirim pesan singkat ke telepon genggam Wali Kota Padang Fauzi Bahar.

Isinya: “Bagaimana pendapat Bapak tentang gagasan membangun dinding laut di sepanjang pantai Sumatra Barat itu, terutama Pantai Padang, yang yang turun di dua surat kabar itu?” Wali Kota menjawab: “Sebagai sebuah wacana atau gagasan, cukup bagus. Dan ini perlu diwacanakan secara luas. Jepang telah membuktikan, dan tembok itu sangat bermanfaat besar bagi masyarakatnya.” Lalu saya balas: “Bagaimana dengan Kota Padang, apakah bisa dirancang pembagunannya? Dan ini saya kira tidak menggaduh benar dengan perencanaan pembangunan kota ini ke depan.” Dijawab: Ya, semua itu akan berpulang pada anggaran. Anggaran sangat terbatas.” Sampai di situ kami “berdiskusi”.

Bagi saya, membangun dinding laut—jika dapat didirikan di semua jalur pantai di wilayah Sumatra Barat—merupakan pilihan yang sangat tepat. Kota Taro dan Pulau Okushiri di Jepang telah melakukan ini. Daerah di Jepang ini terkenal rawan diterjang Tsunami. Maka, bersama masyarakatnya, pemerintah membangun dinding raksasa sepanjang pantainya. Lebar dinding itu 15 meter, tinggi 10 meter.

Kahadiran dinding itu menghadirkan kenyamanan bagi penduduknya beraktivitas. Walau terkesan kota itu terkurung, tapi saat gempa yang berpotensi Tsunami datang, mereka tidak lagi terfokus memikirkan air laut bergulung yang akan melindas isi kota, tapi penyelamatan dari bencana gempa belaka.

Menyangkut dana pembagunannya, seperti yang dikeluhkan Fauzi Bahar, yang memang akan menelan dana besar, saya kira untuk sementara dipinggirkan dulu. Yang utama adalah prinsip. Apakah secara prinsip pemerintah bersama dengan wakil rakyat setuju membangun tembok atau dinding laut itu? Jika secara prinsip setuju, baru kita bicara pola dan strategi penggalangan dana untuk membangun dinding laut itu. Saya andaikan saja pemerintah setuju secara prinsip. Masyarakat? Pasti mendukung gagasan ini sebab menyangkut keselamatan jiwa.

Pola dan strategi pengumpulan dana pembagunan itu saya sebut saja gaya julo-julo dan pastisipasi masyarakat secara total. Di luar itu gaya julo-julo ini, pemerintah, tentu saja tetap mengupayakan proyek pembangunan ini mendapat dana dari mana saja, dan secara berkesinambungan mengalokasikannya di APBD, termasuk kabupaten dan kota yang dilewati pembangunan tembok itu.

Dengan difasilitasi pemerintah, bersama masyarakat dibentuk tim yang efektif atau bisa juga memanfaatkan lembaga yang sudah ada, seperti BAZIS, menggalang dan mengumpulkan dana dari masyarakat sebesar Rp 5.000/bulan setiap kepala keluarga (KK) yang ada di Sumatra Barat dan orang awak yang ada luar Sumatra Barat. Dana yang terkumpul inilah sebagai “modal” untuk membangun dinding itu. Soal teknis dan mekanismen pengumpulan dana bisa diatur dalam pola kerja yang terkoordinatif dan terkontrol. Semua kerja dilakukan sangat transparans.

Jika penduduk Sumatra Barat berjumlah 4,5 juta jiwa dengan pukul rata saja jumlah itu sama dengan jumlah 1.500.000 KK (data sebenarnya saya kurang tahu), maka jumlah uang yang terkumpul setiap bulan adalah Rp 7.500.000.000 X 12 bulan = Rp 90.000.000.000 setahun. Jumlah 90 milyar rupiah ini angka yang pasti. Jika berhasil pula meyakinkan orang Minang diperantauan, dengan perkiraan jumlahnya sama dengan penduduk yang ada di Sumatra Barat, maka dalam setahun berjalan terkumpul dana Rp 180 milyar.

Hitungan ini hanya berdasarkan jumlah kepala keluarga yang bisa dihimpun potensi dananya. Dan saya kira, menyumbang demi sebuah tujuan yang sangat baik bagi kemaslahatan orang banyak dan jelas penggunaannya, bagi masyarakat tak akan berat. Sejarah sudah mencatat bagaimana masyarakat di Minang ini beriyuran bersama-sama untuk membeli pesawat yang memang saat kemerdekaan dulu sangat dibutuhkan. Tak ada panitia dan macam-macamnya, tapi masyarakat dengan tulus memberikan sebagiah hartanya, dan tak ada uang emas pun jadi. Pesawat terbeli, masyarakat pun bangga.

Kembali ke dinding tembok tadi. Jika potensi kedermawanan masyarakat itu digali lagi, tentu akan terhimpun kekuatan yang besar. Pembangunannya pun bisa menyertakan masyarakat. Jika bisa diyakinkan dengan alasan yang masuk akal, saya kira masyarakat juga bersedia memberikan tenaganya untuk membangun tembok itu. Bagi mereka, yang penting berjelas-jelas. Jangan lukai hatinya dengan hal-hal yang mereka nilai sebagai pembohongan. Mekanisme penyertaan masyarakat untuk terlibat menyumbangkan tenaganya, bisa diatur kemudian dengan baik.

Pembangunan jelas dilakukan secara bertahap. Tahapannya bisa saja diprioritaskan terlebih dahulu di daerah pantai yang sangat padat penduduknya, dan seterusnya.

Maka, dengan menyertakan masyarakat dalam pembangunan dinding laut itu, apa yang menjadi problem menyangkut dana yang dicemaskan Wali Kota Padang, sedikit sudah terjawab. Dana yang terkumpul Rp 180 milyar dalam setahun, merupakan modal sosial yang sangat besar sekali dampaknya. Jika publik telah merasa memiliki dinding itu, persoalan dana bukan lagi masalah yang rumit. Yang rumit itu adalah mengelola, menata, dan meyakinkan masyarakat. Jelas hal ini dituntut kerja keras dan berkesinambungan dari pihak pemerintah. Meyakinkan masyarakat saat sekarang bukan perkara enteng, karena selama ini mereka banyak dikecewakan. Tapi hal itu tidak akan menutup rapat hati mereka untuk sungguh-sungguh dan tulus membangun.

Kini, berpulang ke pemerintah, bagaimana membaca hati masyarakat. ***