Setelah artikel saya tentang perlunya dinding laut dibangun sebagai salah satu bentuk upaya antisipasi gelombang Tsunami yang didirikan sepanjang pantai Sumatra Barat dimuat di surat kabar ini (Singgalang, 22/10/2007), dan keesokan harinya muncul tulisan Emeraldy Chatra (Padang Ekspres, 23/10/2007), dalam nada yang sama, saya mengirim pesan singkat ke telepon genggam Wali Kota Padang Fauzi Bahar.
Isinya: “Bagaimana pendapat Bapak tentang gagasan membangun dinding laut di sepanjang pantai Sumatra Barat itu, terutama Pantai Padang, yang yang turun di dua surat kabar itu?” Wali Kota menjawab: “Sebagai sebuah wacana atau gagasan, cukup bagus. Dan ini perlu diwacanakan secara luas. Jepang telah membuktikan, dan tembok itu sangat bermanfaat besar bagi masyarakatnya.” Lalu saya balas: “Bagaimana dengan Kota Padang, apakah bisa dirancang pembagunannya? Dan ini saya kira tidak menggaduh benar dengan perencanaan pembangunan kota ini ke depan.” Dijawab: Ya, semua itu akan berpulang pada anggaran. Anggaran sangat terbatas.” Sampai di situ kami “berdiskusi”.
Bagi saya, membangun dinding laut—jika dapat didirikan di semua jalur pantai di wilayah Sumatra Barat—merupakan pilihan yang sangat tepat. Kota Taro dan Pulau Okushiri di Jepang telah melakukan ini. Daerah di Jepang ini terkenal rawan diterjang Tsunami. Maka, bersama masyarakatnya, pemerintah membangun dinding raksasa sepanjang pantainya. Lebar dinding itu 15 meter, tinggi 10 meter.
Kahadiran dinding itu menghadirkan kenyamanan bagi penduduknya beraktivitas. Walau terkesan kota itu terkurung, tapi saat gempa yang berpotensi Tsunami datang, mereka tidak lagi terfokus memikirkan air laut bergulung yang akan melindas isi kota, tapi penyelamatan dari bencana gempa belaka.
Menyangkut dana pembagunannya, seperti yang dikeluhkan Fauzi Bahar, yang memang akan menelan dana besar, saya kira untuk sementara dipinggirkan dulu. Yang utama adalah prinsip. Apakah secara prinsip pemerintah bersama dengan wakil rakyat setuju membangun tembok atau dinding laut itu? Jika secara prinsip setuju, baru kita bicara pola dan strategi penggalangan dana untuk membangun dinding laut itu. Saya andaikan saja pemerintah setuju secara prinsip. Masyarakat? Pasti mendukung gagasan ini sebab menyangkut keselamatan jiwa.
Pola dan strategi pengumpulan dana pembagunan itu saya sebut saja gaya julo-julo dan pastisipasi masyarakat secara total. Di luar itu gaya julo-julo ini, pemerintah, tentu saja tetap mengupayakan proyek pembangunan ini mendapat dana dari mana saja, dan secara berkesinambungan mengalokasikannya di APBD, termasuk kabupaten dan kota yang dilewati pembangunan tembok itu.
Dengan difasilitasi pemerintah, bersama masyarakat dibentuk tim yang efektif atau bisa juga memanfaatkan lembaga yang sudah ada, seperti BAZIS, menggalang dan mengumpulkan dana dari masyarakat sebesar Rp 5.000/bulan setiap kepala keluarga (KK) yang ada di Sumatra Barat dan orang awak yang ada luar Sumatra Barat. Dana yang terkumpul inilah sebagai “modal” untuk membangun dinding itu. Soal teknis dan mekanismen pengumpulan dana bisa diatur dalam pola kerja yang terkoordinatif dan terkontrol. Semua kerja dilakukan sangat transparans.
Jika penduduk Sumatra Barat berjumlah 4,5 juta jiwa dengan pukul rata saja jumlah itu sama dengan jumlah 1.500.000 KK (data sebenarnya saya kurang tahu), maka jumlah uang yang terkumpul setiap bulan adalah Rp 7.500.000.000 X 12 bulan = Rp 90.000.000.000 setahun. Jumlah 90 milyar rupiah ini angka yang pasti. Jika berhasil pula meyakinkan orang Minang diperantauan, dengan perkiraan jumlahnya sama dengan penduduk yang ada di Sumatra Barat, maka dalam setahun berjalan terkumpul dana Rp 180 milyar.
Hitungan ini hanya berdasarkan jumlah kepala keluarga yang bisa dihimpun potensi dananya. Dan saya kira, menyumbang demi sebuah tujuan yang sangat baik bagi kemaslahatan orang banyak dan jelas penggunaannya, bagi masyarakat tak akan berat. Sejarah sudah mencatat bagaimana masyarakat di Minang ini beriyuran bersama-sama untuk membeli pesawat yang memang saat kemerdekaan dulu sangat dibutuhkan. Tak ada panitia dan macam-macamnya, tapi masyarakat dengan tulus memberikan sebagiah hartanya, dan tak ada uang emas pun jadi. Pesawat terbeli, masyarakat pun bangga.
Kembali ke dinding tembok tadi. Jika potensi kedermawanan masyarakat itu digali lagi, tentu akan terhimpun kekuatan yang besar. Pembangunannya pun bisa menyertakan masyarakat. Jika bisa diyakinkan dengan alasan yang masuk akal, saya kira masyarakat juga bersedia memberikan tenaganya untuk membangun tembok itu. Bagi mereka, yang penting berjelas-jelas. Jangan lukai hatinya dengan hal-hal yang mereka nilai sebagai pembohongan. Mekanisme penyertaan masyarakat untuk terlibat menyumbangkan tenaganya, bisa diatur kemudian dengan baik.
Pembangunan jelas dilakukan secara bertahap. Tahapannya bisa saja diprioritaskan terlebih dahulu di daerah pantai yang sangat padat penduduknya, dan seterusnya.
Maka, dengan menyertakan masyarakat dalam pembangunan dinding laut itu, apa yang menjadi problem menyangkut dana yang dicemaskan Wali Kota Padang, sedikit sudah terjawab. Dana yang terkumpul Rp 180 milyar dalam setahun, merupakan modal sosial yang sangat besar sekali dampaknya. Jika publik telah merasa memiliki dinding itu, persoalan dana bukan lagi masalah yang rumit. Yang rumit itu adalah mengelola, menata, dan meyakinkan masyarakat. Jelas hal ini dituntut kerja keras dan berkesinambungan dari pihak pemerintah. Meyakinkan masyarakat saat sekarang bukan perkara enteng, karena selama ini mereka banyak dikecewakan. Tapi hal itu tidak akan menutup rapat hati mereka untuk sungguh-sungguh dan tulus membangun.
Kini, berpulang ke pemerintah, bagaimana membaca hati masyarakat. ***
Dinding Laut ide yang bagus...
ReplyDeletesama seperti di ireland, dan pantai-pantai bisa dinikmati karena ombak yang tenang...
Memang patut dipertimbangkan. Hanya saja di di Sumatera Barat, khususnya dari daerah Padang, Pariaman sampai Tiku, perlu dipertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari pembangunan ini. Pembangunan tembok akan merubah lanskap kota dan keaneka ragaman hayati daerah Pantai. Masyarakat nelayan tradisional juga harus direlokasi.
ReplyDeleteKalau menurut saya, lebih baik kita merelokasi sebaran penduduk, artinya konsentrasi penduduk di pindahkan kedaerah yang lebih aman dari ancaman Tsunami. Fungsi alami daerah pantai dikembalikan dengan penghijauan. Pantai sebagai daerah sabuk hijau dikembalikan. Kalau perlu sekitar 500 meter dari pantai padang dijadikan daerah bersih dari bangunan, dan hanya daerah Hijau. Ekosistem terjaga, keindahan alami pantai masih bisa dinikmati.