KODE-4

Friday, February 15, 2008

Menutup Jam Gadang Sudah Final

Kebijakan menutup Jam Gadang saat malam penyambutan tahun baru oleh Pemko Bukittinggi, bukan sesuatu yang lucu. Tindakan itu dalam rangka menyelamatkan masyarakat, terutama dari hal yang berakibat negatif. “Kebijakan itu sudah final dan melalui musyawarah. Jangan dinilai sebagai sesuatu yang lawak-lawak”, kata Masri Habib Dt. Pandak, Ketua Lembaga Kerapatan Alam Minangkabau (LKAAM) Bukittinggi, Kamis (14/2). Datuak Pandak mengungkapkan hal tersebut, sekaitan pandangan miring yang diapungkan berbagai kalangan di tingkat provinsi, serta komentar yang ditulis Wisran Hadi, menyusul dikeluarkannya statemen Walikota Drs. H. Djufri, perihal rencana penutupan Jam Gadang pada malam tahun baru, sebagaimana diberitakan Singgalang edisi Rabu 13 Pebruari 2008.
Menurut Datuak Pandak, ditutupnya Jam Gadang pada malam penyambu­tan tahun baru masehi itu, karena pada dasarnya pengunjung di pelataran Jam Gadang itu sangat berjubel. Mereka hanya ingin menikmati detik-detik menjelang berdempetnya jarum panjang dan jarum pendek Jam Gadang pukul 00.00 WIB. “Adakah orang lain yang memikirkan nasib puluhan bahkan mungkin ratusan ribu yang nyaris dalam kondisi berdempet di seputaran Jam Gadang itu,” kata Datuk Pandak mempertanyakan. Dalam kondisi seperti ini, andai terjadi sedikit saja keributan, akibatnya sangat fatal. Bisa menimbulkan korban jiwa. Karena waktu itu tidak hanya orang dewasa yang berkumpul di sana , tetapi juga anak-anak, bahkan perempuan hamil. Semuanya itu berlangsung pada malam hari.
Persoalannya akan semakin rumit lagi, bila timbul korban jiwa dalam kondisi beramai-ramai itu. Contoh terakhir adalah konser musik di Bandung yang menelan 11 korban jiwa. “Saya sudah berbicara langsung dengan Walikota Djufri, dia sempat menangis ketika mendengar berita orang meninggal dunia di Ban­dung , hanya karena menonton pagelaran musik. Potensi peristiwa seperti itu juga ada di Bukittinggi, terutama pada penyambutan tahun baru,” katanya. Kata Datuk Pandak, kalau korban sudah terjadi, yang disalahkan siapa? Pasti Pemko pula yang jadi kambing hitamnya. Semua orang akan menuding tentang kelalaian Pemko, ketidak-beresan walikota, ketidak-mampuan aparat keamanan dan banyak lagi sumpah serapah yang muncul. Menurutnya, sekarang Pemko tengah menyusun programnya agar ke­mungkinan terburuk itu tidak terjadi. Artinya, Pemko jauh hari sudah mencari sebelum hilang, memintas sebelum hanyut dan bakuli­mek sabalun abih atau lebih berhemat sebelum miskin.
Datuak Pandak menambahkan, dalam nada guyon, “tak ada urusan tikus di sini, dan tidak ada pula lumbung yang mesti dibakar”. Soal rencana kain penutupnya yang merupakan warna marawa atau panji-panji Minangkabau, agaknya memang belum banyak orang yang tahu, bahwa ketiga warna itu sudah merupakan kesepakatan tidak resmi digunakan untuk warna marawa , dan hal ini berlaku di Luak Nan Tigo. Entah kalau di luar ketiga luak itu. Kalau ketiga warna itu adalah warna bendera Jerman, itu kebetulan saja. Dan, tidak ada pula orang membantah bahwa warna hitam, merah dan kuning sebagai warna marawa Minangkabau.

Jangan sisi ekonomi saja
Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bukittinggi, DR. Zainuddin Tanjung, MA., menyebut kebijakan Pemko menutup Jam Gadang pada malam penyambutan tahun baru, jangan dilihat dari sisi ekonomi saja. Adalah pemikiran yang sangat dangkal bila melihatnya dari segi untung rugi secara finansial. Justru Pemko Bukittinggi mengambil kebijakan itu berdasarkan kajian substansi yang sangat luas, terutama terhadap adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah . Ditinjau dari segi budaya, kata Zainuddin, jangan dilihat dari sudut yang sempit atau pengertian umum. Memperingati dan meraya­kan datangnya tahun baru Masehi bukanlah budaya Minangkabau dan islami. “Agama Islam tidak mengajarkan memperingati tahun baru, termasuk tahun baru Islam sendiri yakni 1 Muharram. Bahkan lebih diperte­gaskan, Islam tidak menggariskan baik dalam wajib maupun sunat untuk melaksanakan acara ritual,” tambah Zainuddin.
Menurutnya, kebetulan 1 Muharram dijadikan sebagai hari libur nasional. Mumpung memanfaatkan hari libur, pada 1 Muharram terse­but sangat pantas dilaksanakan kegiatan yang bernuansa agama, seperti wirid, tablig akbar dan lain-lainnya. Tapi konteksnya tidak lari dari upaya untuk mensyiarkan ajaran Islam. Zainuddin juga mengggarisbawahi, apa yang diambil oleh Pemko ini, adalah sebuah kebijakan yang benar-benar menyentuh secara esen­sial nilai-nilai keagamaan di negeri ini. Patut didukung, karena tujuannya sangat mulia. Ia mengingatkan, bila pada malam penyambutan tahun baru, ratusan ribu orang berkunjung ke Bukittinggi dan dominan terfokus ke kawasan Jam Gadang sampai larut malam. Menjelang Subuh mereka bersebar, entah kemana. Ingat, mereka itu tidak hanya satu ke­luarga, tetapi yang lebih banyak adalah kaum muda. Ia juga tidak tahu, karena berasal dari luar kota , apakah mereka itu suami isteri, atau hanya sekadar berpasangan dan memanfaatkan momentum tahun baru untuk memadu kasih ke Bukittinggi.
“Kalau itu memang benar terjadi, laknat Allah tentu akan turun. Kita tidak ingin hal itu terjadi,” ulasnya. Zainuddin menegaskan, apa pun resikonya, dan apapun yang bakal terjadi, MUI dan segenap ulama Bukittinggi mendukung program yang dilaksanakan Pemko.

Tak bergeming
Bergemingkah Walikota Djufri? Ternyata tidak. Usai membaca Sing­galang tentang munculnya tanggapan yang bernada miring terhadap kebijaksanaan Pemko Bukittinggi tersebut, Djufri terlihat tersen­yum. Tidak sedikit pun terkesan di wajahnya rasa tidak senang. Kendati demikian, Djufri mengemukakan, bahwa kebijakan menutup Jam Gadang menyambut pergantian tahun baru masehi itu adalah prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Ini sudah merupakan kese­pakatan antara Pemko dengan Muspida serta masyarakat Bukittinggi sendiri. “Malahan dalam konteks pengembangan kepariwisataan Bukittinggi, masyarakat sudah sepakat biarlah Bukittinggi sepi dari pengunjung daripada ramai tapi penuh maksiat. Itu sudah komitmen warga kota ,” ulasnya.
Penutupan Jam Gadang hanya sekitar 13 jam, pada malam pergantian tahun Masehi. Bukan ditutup sepanjang masa. “Adalah sangat tidak pantas bila kebijakan ini dilihat hanya dari satu sudut saja,” kata Djufri. Dalam lima tahun terakhir, Pemko sudah mengantisipasi agar kera­maian di sekitar Jam Gadang berkurang dengan mengadakan pentas terbuka di Lapangan Kantin, dan kegiatan hiburan lainnya di berbagai tempat, termasuk di Ngarai Sianok. Namun menjelang pukul 00.00 WIB pada malam pergantian tahun, secara serentak orang menuju Jam Gadang. Tak bisa dihalangi, bahkan mengarahkannya saja tidak bisa. Maklum, ratusan ribu orang bergerak dengan satu tujuan, yakni melihat jarum Jam Gadang akan berdempet di pengujung tahun. Diakui banyak yang diuntungkan bila pengunjung berjubel. Tapi dalam suasana yang sulit diduga karena ramainya orang, dan terja­di keributan sehingga menimbulkan korban jiwa. Djufri mengajak, agar jangan melihatnya dari segi bisnis saja, tetapi harus dikaji secara lebih mendalam dan jalan pikiran yang jernih. o 202/203
Sumber: Singgalang, 15 Februari 2008

No comments:

Post a Comment