KODE-4

Wednesday, January 30, 2008

Rekomendasi

Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008
Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008

  1. Krisis moneter pada 1997 telah memurukkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Salah satu dampaknya adalah aset-aset nasional harus dijual kepada pihak asing, sehingga kepemilikan pihak asing terhadap aset-aset nasional makin menguat. Makin menguatnya kepemilikan asing tersebut tentu makin mengokohkan nilai-nilai kebudayaan asing, terutama kebudayaan Barat (baca: westernization) , dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Karena itu, nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme misalnya kemandirian dan kenusantaraan dalam karya sastra menjadi sangat penting untuk kembali dibumikan di Tanah Air. Karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan sangat pentingnya nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme tersebut. Tahun 2008 menjadi momen yang tepat untuk melakukan upaya tersebut mengingat pada tahun ini kita memperingati perjalanan kebangsaan atau nasionalisme kita untuk yang keseratus tahun.
  2. Krisis moneter pada 1997, yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan berujung menjadi krisis multidimensi, telah memicu konflik antarkelompok, antargolongan, antarsuku, dan antaragama di Indonesia. Kebenaran hanya diklaim sebagai milik satu kelompok, satu golongan, satu suku, atau satu agama tertentu dan pihak lain seperti dipaksa menerima kebenaran versi mereka. Kebinekaan atau keberagaman laksana kehilangan pijakannya. Bertolak dari kondisi seperti itu, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk menyuarakan sangat pentingnya kebinekaan atau keberagaman sebagai pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi. Tapi, hal itu bukan berarti bahwa komunitas sastra tak boleh mengidentifikasi diri secara spesifik, unik, atau khusus. Yang pokok, identitas yang spesifik dan unik tersebut tetap hidup dalam semangat inklusivisme. Semangat inklusivisme itulah yang diharapkan dapat menjadi tali penghubung atau jembatan yang mampu mengharmoniskan hubungan antarkomunitas sastra. Bukan napsu kekuasaan untuk menghegemoni atau mendominasi pelbagai komunitas sastra lain.
  3. Krisis multidimensi akhirnya juga membuat bangsa Indonesia laksana berjalan di tempat. Kemajuan seperti menjadi sesuatu yang musykil diraih di tengah keterpurukan pelbagai sendi kehidupan. Seperti negara-negara lain yang dihempas krisis moneter, Indonesia semestinya mampu menjadikan krisis multidimensi sebagai pijakan untuk melangkah lebih maju dengan semangat baru. Karya sastra dan komunitas sastra semestinya juga mampu menjadi bagian dari langkah lebih maju dengan semangat baru tersebut.
  4. Kemajuan selayaknya tetap bercermin pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dalam konteks kesusastraan Indonesia, sejarah kesusastraan Indonesia sepantasnya disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusastraan di negeri ini. Terhadap fenomena sejarah sastra mulai dari masa pasca1908, hingga tahun-tahun terakhir (sastra kontemporer) agar para pengamat dan sejarawan dari berbagai kalangan tak terpengaruh sejarah dominant yang mempengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia. Untuk itu, misalnya, kita ”terutama pemerintah” dapat membentuk semacam dewan sejarah kesusastraan Indonesia yang mampu menyusun sejarah kesusastraan Indonesia yang benar-benar mencerminkan realitas perjalanan sejarah kesusastraan di Indonesia. Secara struktural, dewan tersebut bisa saja berada di bawah dewan sejarah kesenian Indonesia. Payung utamanya sendiri bisa berupa dewan sejarah kebudayaan Indonesia. Tentu, sebelum itu, kita ”terutama pemerintah” harus lebih dulu menyusun strategi kebudayaan Indonesia.
  5. Agar penerbitan dan penyebarluasan karya sastra bisa lebih baik perlu diciptakan kondisi-kondisi yang mendukung misalnya pemerintah menurunkan harga kertas, menghapuskan pajak atas karya sastra dan kemudahan-kemudahan lainya.
  6. Kongres KSI 2008 di Kudus menegaskan perubahan yang cukup signifikan menjadi ormas terbuka dengan segera mendirikan 100 cabang baru di dalam dan diluar negeri dalam kurun waktu 3 tahun.

Kudus, Jawa Tengah, 20 Januari 2008

Tertanda,
Para Peserta Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008

No comments:

Post a Comment