Dua Diskusi yang Menarik Diskusi pertama ada dalam ranah kesenian. Hal yang selalu menarik di sini adalah diskusi seputar bagaimana mensinergikan pekerja dan karya seni dengan kekuasaan negara dan dengan kekuatan lembaga seni yang bergerak dengan format swasta. Chanel kesenian di tubuh pemerintahan dijembatani oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Provinsi Sumatra Barat dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Budaya Sumatra Barat. Pada pihak swasta, lembaga paling populer adalah Dewan Kesenian (DK). Eksistensi dan fungsi seperti tertuang dalam Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) kedua lembaga ini menyiratkan betapa seni merupakan aset bangsa yang dimiliki setiap individu warga negara yang wewenangnya terlindungi secara hukum.
Sama menariknya dengan diskusi kedua, yakni gejolak sosial-keagamaan tentang ide dasar sekulerisasi yang sejak awal dikampanyekan karena urusan agama adalah persoalan keyakinan personal yang tidak akan berhasil baik ketika diurus oleh negara. Pada perjalanan prosesnya, ide sekulerisasi ini mendapat bantahan-bantahan, bahwa apa pula jadinya ketika negara tidak mengurus agama? Secara politis, agama merupakan kekuatan massa yang sangat potensial dalam gerak perubahan bangsa, seperti halnya kesenian juga. Begitulah, diskusi seputar pemisahan agama dengan negara terus menjadi isu-isu hangat. Hingga, pada titik tertentu, terutama ketika sejumlah kekuatan melakukan kritik terhadap kegagalan sosialisasi paham yang dominan dengan memunculkan aliran baru yang sering (dipandang) “sesat”. Baik dalam diskusi kesenian maupun keagamaan, sebenarnya terdapat tiga gaya penolakan arus bawah yang mengemuka akhir-akhir ini. Pertama, menolak dengan demonstrasi. Ketidaksetujuan beberapa kepentingan terhadap kebijakan sentral kekuasaan diartikulasikan dengan protes verbal. Kantor-kantor pemerintah seperti tak pernah urung menyambut gerombolan demostran seakan tidak ada lagi ruang berdialog antara rakyat dengan pemimpinnya, sehingga perlu turun ke jalan dan berorasi sesuai tuntutan yang membuat mereka tidak puas.
Gaya ini bisa pula dikatakan dengan penolakan verbal yang terjadi setelah kebijakan ditetapkan tidak mewakili aspirasi orang banyak. Kedua, penolakan dengan cara diam. Barangkali lantaran tidak punya kekuatan dan terisolasi oleh kekuatan yang dominan, seseorang atau kelompok tidak bisa berbuat apa-apa, kalangan ini cuma diam. Sekali pun begitu, sesungguhnya telah tercipta mayoritas yang diam di tengah kebijakan yang “sesat”. Kekuatan mayoritas yang diam baik dalam kesenian maupun keagamaan menjadi kekuatan pasif yang suatu saat sangat mengkhawatirkan menjelma bola api dan mengancam kekuatan yang dominan itu sendiri. Tetapi, ini jarang terjadi. Kalau pun terjadi akan menunggu waktu yang cukup lama. Ketiga, penolakan dengan membuat aliran atau paham baru melalui pelembagaan cita-cita bersama yang kalah dan terabaikan oleh kekuatan dominan. Pilihan inilah yang cenderung keliru dan sering terjebak dalam “kesesatan”. Merupakan hal yang lumrah bila ini terjadi dalam keagamaan. Namun, akan janggal dan perlu didiskusikan lebih lanjut jika ini terjadi dalam kesenian. Pertanyaannya, adakah aliran “sesat” dalam kesenian yang menolak kekuatan dominan? Bahan Diskusi untuk Dewan Kesenian Sumatra Barat Sebagaimana disinggung di awal, kompleksitas persoalan kesenian secara struktural-formal bermuara ke Dinas Parsenibud. Secara struktural-informal berkisar di bawah Dewan Kesenian sebagai lembaga yang juga diproyeksikan untuk mengayomi dan mewadahi pekerja dan atau karya seni dengan arah kebijakan yang jelas. Ini tentunya supaya tidak ada “kesesatan”. Baik itu “kesesatan” yang timbul dari kalangan seniman yang tidak berada dalam kekuatan dominan atau kesesatan yang dipicu oleh kekeliruan yang melembaga dalam tubuh lembaga pengayom seperti Dinas Parsenibud; UPTD Taman Budaya atau Dewan Kesenian itu tadi.
Jika kekeliruan bergulir dalam lembaga yang mempunyai Tupoksi formal seperti Dinas Parsenibud dan UPTD Taman Budaya, teknis evaluasinya sudah baku dan pelaku yang bergerak di dalamnya pun sudah permanen seperti lembaga atau dinas pemerintahan yang lain. Akan tetapi, bagaimana dengan kekeliruan yang terjadi dalam tubuh Dewan Kesenian yang notabebenya juga merupakan lembaga yang akan memobilisasi kepentingan kesenian? Apa teknik evaluasi terhadapnya? Dalam tulisan ini hendak dikemukakan bahan diskusi terkait dengan apa yang kini tengah bergulir dalam Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB). Hirarki hukum Dewan Kesenian yang serupa dengan Ormas atau Yayasan ini memiliki dinamika yang unik. Terdapat ruang transparansi yang luas sekaligus terdapat pula wilayah “kongkalingkong” yang sarat dengan nuansa politis dan kepentingan pribadi pengurus. Kerja kolektif antara seniman yang “duduk” di DKSB dengan pekerja seni yang berkutat pada karya kreatif semestinya tetap jadi fokus kebijakan. Tapi, apakah setiap individu yang duduk di DKSB tersebut adalah semuanya seniman? Atau, apakah mereka seorang manejer; organisatoris yang non-seniman tetapi mengerti kesenian? Yang pasti, dalam perspektif manajemen, penyempitan ruang evaluasi terhadap kerja kolektif sebuah organisasi memunculkan pertanyaan rahasia yang disimpan seluruh elemen yang merasa punya kepentingan. Kondisi ini mirip dengan kerusakan kecil yang dilakukan tikus dalam liangnya. Perlahan menggerogoti elemen vital sebuah bangunan. Secara perlahan pula, bangunan tersebut akan keropos. Dalam UUD 1945 Pasal 28C (1) dinyatakan, bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan untuk kesejahteraan manusia.
Lembaga kesenian swasta di luar lembaga seni pemerintah, seperti dewan kesenian, dewan kebudayaan, yayasaan, maupun forum-forum yang berkaitan dengan kesenian lainnya secara hirarkis-struktural tidak ada hubungan dengan pemerintah, kendati alokasi dana yang dimiliki sebagian besar bersumber dari APBD, baik pada level provinsi atau kota. Penting diketahuai bahwa sumber dana APBD tersebut keberadaannya tidak diatur oleh peraturan daerah (Perda) kecuali hanya didasari oleh good-will pemerintah. Artinya, mulus atau tidaknya kucuran dana yang disumbangkan untuk lembaga dewan kesenian, misalnya adalah amat bergantung pada kebaikan dari pemimpin yang berkuasa dan juga kemampuan seniman dalam meyakinkan pemerintah. Sangat lazim terjadi, kalau kebetulan pemimpinnya senang kesenian, kegiatan kesenian yang diselenggarakan akan mulus. Kalau sebaliknya, tentu tidak bisa jalan atau setidaknya tersendat karena dana telah dialirkan untuk membantu korban bencana atau olah raga, misalnya, lantaran si pemimpin lebih memandang efek kebijakan menanggulangi bencana dan oleh raga lebih mendesak untuk dilakukan. Pada beberapa tempat di Indonesia, seperti dikupas dalam Majalah Gong Edisi 94/IX/2007, ternyata dewan kesenian mampu menunjukkan eksistensinya. Bahkan oleh pemerintah setempat kemudian dirangkul sebagai mitra yang harmonis saat mengemas sebuah kegiatan kesenain.
Kerjasama yang terjalin seperti biasanya terarah pada dua kekuatan. Pemerintah memiliki kekuatan hukum sebagai fasilisator dan seniman bertanggung jawab terhadap segala pikiran dan teknis artistik kegiatan kesenian tersebut. “Kemesraan” serupa inilah yang diapungkan sebagai kondisi ideal sebuah negara yang menjunjung martabat kesenian. Apa yang Terjadi pada Dewan Kesenian Sumbar? Penting dibicarakan, bahwa sejak Musyawarah Seniman Sumatera Barat (30 April 2007) untuk memilih pengurus DKSB Periode 2007-2010 berlangsung hingga sekarang belum terjadi “kemesraan” yang dimaksud di atas. Pengurus DKSB selain terlihat kewalahan menggelar lobi dengan mengusung project logical construc kesenian Sumbar ke Pemerintahan Provinsi, juga tampak tidak punya spirit yang jelas untuk melakukan transparansi dengan pegiat seni di daerah ini. Jangankan pada tingkat provinsi, di kota Padang saja masih terdapat kemacetan komunikasi antar seniman dengan praktisi seni yang ada di Dewan Kesenian Kota Padang. Kondisi inilah yang secara perlahan dikhawatirkan menjadi bahaya laten “bola api”. Sejumlah data yang terakses, belakangan ini, terutama sejak Musyawarah Seniman 30 April 2007 lalu menampakkan gejala kemacetan tersebut. Dalam APBD 2008, DKSB dapat bantuan Rp. 150 juta sama dengan tahun 2007. Tidak ada peningkatan. Justru dana yang digunakan untuk operasional dan gaji pengurus dimanfaatkan dari APBD 2007.
Pada APBD-Perubahan 2007, dana untuk DKSB sama sekali tidak dialokasikan alias nihil. Ini sama artinya, bahwa pengurus DKSB sekarang ini telah menumpang biduk hilir, yaitu tanpa bekerja keras sedikit pun, dana sudah tersedia dan tinggal menghabiskan saja sesuka hati. Sesuatu yang sangat ironis, memang. Tentu kita tidak ingin, pengurus DKSB terjebak seolah berladang di punggung seniman. Bayangkan saja, tanpa melakukan apa-apa, dana sudah tersedia Rp 150 juta. Dana ini merupakan hasil “jerih payah” pengurus DKSB periode sebelumnya. Dari amatan saya, sampai sekarang, program yang dilakukan dan terealisasi lebih banyak tak berkaitan dengan kesenimanan, namun lebih banyak pada program “untuk proyek ke dalam”. Program yang tampak untuk menghamburkan uang Rp 150 juta itu adalah penetapan gaji pengurus, rapat internal, pembagian THR. Gaji pengurus ditetapkan melalui SK pengurus juga adalah ketua umum Rp1.200.000, Sekretaris Rp 1 juta, wakil sekretaris (2 orang) masing-masing dapat Rp400 ribu, bendahara Rp800 ribu, wakil bendahara Rp400, empat orang ketua bidang masing-masing menerima Rp250 ribu, dan staf/pembantu umum Rp300 ribu. Total pengeluaran pengurus harian DKSB per bulan Rp 5.500.000. Selama setahun Rp 66 juta. Besaran gaji pengurus ini memang perlu dipertanyakan, dan apa alasan mereka mematok gaji sebesar itu. Untuk perbandingan saja, pengurus sebelumnya, gaji ketua harian sebesar Rp850 ribu. Sementara anggaran untuk DKSB tak pernah beranjak dari angka Rp150 juta, dan rasanya menaikkan gaji untuk pengurus harian DKSB periode saat kini tanpa alasan yang masuk akal, jelas melukai amanah dan kepercayaan seniman Sumatra Barat. Logikanya, jika anggaran tak pernah beranjak dari angka di atas, seharusnya pengurus untuk menetapkan gajinya mengacu pada gaji pengurus lama. Kecuali pengurus DKSB sekarang mampu meyakinkan Pemeritah Provisi Sumatra Barat untuk mengalokasikan dana bagi DKSB di atas Rp1 milyar. Tapi ternyata semuanya jauh panggang dari api, sorak besar, gaya selangit, formalnya minta ampun, berurusan di kantor DKSB seperti berurusan dengan bank, tapi untuk ABT 2007 saja tak tembus.
Kembali ke dana tadi. Yang jelas Rp66 juta itu untuk gaji pengurus 1 tahun, ditambah uang rapat, taruhlah 3 kali rapat menghabiskan dana Rp5 juta, tambah THR Rp 15 juta, kebutuhan kopi, ATK dan lain-lainnya Rp5 juta 1 tahun. Total semuanya Rp89 juta. Ada program yang dikerjakan, yang kabarnya hasil dari pertemuan pengurus DKSB dengan Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi. Gubernur, katanya sangat memerlukan data base seniman Sumatera Barat. Maka, demi menyenangkan hati gubernur, dirancanglah program itu. Teknis pelaksanaan kegiatan ini, seluruh anggota komite yang ada (tari, musik, teater, sastra, seni rupa, dan film) sebanyak 18 orang ditugaskan ke daerah untuk mengumpulkan data seniman di kota/kabupaten. Komite ini “turun” ke lapangan selama empat hari: 1 hari diberi dana Rp250 ribu bersih. Untuk ini saja habis Rp18 juta, belum terhitung rental mobil, akomodasi, dan lain sebagainya. Kenapa tidak dibuat tim untuk proyek ini? Konon kabarnya, pengurus harian tak mau mengambil risiko konflik dengan komite: komite menuntut agar mereka diberi gaji layaknya pengurus harian. Maka jalan keluarnya, semua komite diturunkan ke lapangan dan diberi upah Rp250 ribu satu hari. Ternyata strategi ini cukup ampuh. Komite-komite tampak berbahagia karena mendapat pula bagian dari kue yang besar itu. Jika ruang transparansi terbuka, kiranya perlu dipertanyakan, kalau cuma untuk mengumpulkan data, mengapa harus turun ke daerah? Padahal sesungguhnya bisa dilakukan via surat, telepon, atau email yang mungkin memakan biaya yang lebih sedikit. Kenapa ini dipertanyakan, karena di samping itu semua, ada kegiatan pengayoman kesenian yang lebih penting, tetapi terabaikan. Sekadar contoh, di bidang sastra, sudah beberapa kali sastrawan daerah ini diundang ke berbagai forum sastra nasional, tetapi tidak bisa ikut karena terkendala dana. DKSB paling tidak mesti memahami ini. Tapi apa yang terjadi ketika Yetti A KA yang diundang dalam Temu Sastrawan Sumatra di Medan akhir bulan lalu dan minta bantuan ke DKSB, ternyata DKSB hanya bisa bantu Rp250 ribu. Jumlah ini sama dengan upah 1 hari komite yang ke lapangan itu. Tapi bantuan ini dengan halus ditolak Yetti A KA. Ini ke Medan, Bung! Selain itu, ada juga gawe berdiskusi dengan sastrawan Afrizal Malna. DKSB memanfaatkan kehadiran Afrizal di Sumatra Barat. Juga ada acara yang tak berkait dengan proses kreatif seniman, yaitu pidato kebudayaan bersama Syafii Maarif yang mengangkat persoalan “klasik”: Kebudayaan Ranah Gurindam (Minangkabau) dalam Ancaman? Terlepas dari efek komunikasi seniman dengan pemerintahan provinsi yang diharapkan membaik dari acara ini, masih tersisa tanya: apa hubungan acara ini dengan kesenian yang memiliki persoalan yang cukup banyak tersebut?
Dari itu semua, bahasan ini tetap menyimpan optimisme, bahwa sesungguhnya masyarakat kesenian Sumbar tidak akan berhenti berdialektika dengan karya hanya gara-gara kemacetan koordinasi atau penyempitan ruang dalam mobilitas kepentingan kesenian yang terjadi di DKSB tersebut. Tapi setidaknya, penolakan-penolakan yang mengapung akibat kebijakan kesenian yang mengalami “kelesuan” ini tidak menimbulkan aliran “sesat” yang menyesatkan. Dan, kiranya, jangan sampai justru DKSB itu sendiri yang akhirnya dipandang sebagai aliran “sesat” dalam pelembagaan kesenian. Jika begitu, tentunya, tidak perlu ada dewan kesenian. Jika tidak begitu, maka sudah semestinya dilakukan perubahan mendasar, agar “kesesatan” yang dimaksud tidak semakin menggerogoti kemurnian cita-cita kesenian serta sebagai bahan evaluasi bagi kita semua: Dilarang berladang di punggung seniman!* Sebuah Kontemplasi Tahun Baru, Padang, 2008 M/1429 H*
No comments:
Post a Comment