KODE-4

Sunday, January 6, 2008

Dari "Selompret Malajoe" Sampai "Slompret Melayoe"

OLEH SURYADI


Benarkah Selompret Melajoe Terbit Perdana 1860? demikian judul tulisan Saifur Rohman, kandidat doktor ilmu filsafat UGM, di harian ini September lalu. Artikel itu menanggapi pernyataan Dr Dewi Yulianti, pakar sejarah pers Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, yang mengatakan bahwa Selompret Melajoe terbit tahun 1860. Hal itu dikemukakannya dalam sarasehan "Melacak Jejak Pers Jawa Tengah" yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Tengah.

Menurut Saifur Rohman, jika yang dimaksud Dewi Yulianti adalah Selompret Melajoe-dengan kata "Melajoe", bukan "Melaijoe"-maka ia meragukan bahwa surat kabar itu terbit pertama kali tahun 1860. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi sedikit informasi tambahan tentang surat kabar itu, yang disebut-sebut sebagai pers pertama berbahasa Melayu yang terbit di Jawa Tengah, yang mungkin bermanfaat bagi penyusunan sejarah pers Jateng.
Salah satu sumber kepustakaan mengenai surat kabar ini adalah karya Ahmat Adam, Sejarah dan Bibliografi Akhbar Melayu Abad Kesembilan Belas (Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1992), yang juga dapat ditemukan dalam disertasinya, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913) (Cornel University Southeast Asia Publications, 1995). Walaupun Adam menginformasikan banyak hal mengenai Selompret Melajoe dalam kedua karyanya itu, ada beberapa kekeliruan dalam uraiannya yang, oleh karenanya, perlu dikoreksi.
Nama Selompret Melajoe hanyalah satu dari empat versi nama dari surat kabar yang sama yang terbit di Semarang itu. Sedangkan Adam (1992:40) hanya menyebutkan tiga versi.
Mula-mula surat kabar ini bernama Selompret Malajoe, yang terbit sekali seminggu tiap hari Jumat, setebal empat halaman, dengan ukuran kecil kira-kira sebesar map. Menurut Adam (ibid:40) edisi pertamanya terbit 3 Februari 1860. Adam tidak menyebut sumber rujukannya, tapi ia mengatakan terbitan tahun pertama surat kabar ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Pada tahun-tahun awal penerbitannya, sistem penomoran Selompret Malajoe dibuat per tahun, namun pada setiap nomor tidak dicantumkan tahun keberapa, seperti biasa ditemukan di kepala setiap surat kabar. Setiap tahun Selompret Malajoe terbit sebanyak 52 nomor. Untuk tahun 1865, misalnya, edisi nomor 1 terbit pada "hari Djoemaat 6 Januarij Ao [Anno] 1865" dan edisi terakhir (edisi 52) terbit "hari Saptoe 30 December Ao [Anno] 1865". Rupanya mulai edisi nomor 16/Sabtu, 22 April 1865, jadwal terbit surat kabar ini berubah dari hari Jumat ke Sabtu. Edisi-edisi tahun berikutnya dimulai lagi dari nomor 1. Begitu seterusnya sampai tahun 1877.
Versi pertama ini (Selompret Malajoe) bertahan sampai awal 1866. Mulai edisi nomor 3 untuk tahun 1866 (terbit Sabtu, 20 Januari), kata "Malajoe" berubah tulisannya menjadi "Melajoe" sehingga nama surat kabar ini menjadi Selompret Melajoe.
Mulai edisi nomor 8 untuk tahun 1866 (terbit Sabtu, 4 Februari), kata "Melajoe" berubah lagi tulisannya menjadi "Melaijoe" sehingga judulnya menjadi Selompret Melaijoe. Dan, mulai nomor 28 untuk tahun itu juga (terbit Sabtu, 14 Juli 1866) surat kabar ini terbit dengan ukuran yang lebih besar sedikit dengan jumlah halaman sama.
Rupanya nama Selompret Melaijoe pun tidak bertahan lama. Namanya berubah lagi menjadi Slompret Melayoe (catatan: tertulis "Slompret", bukan "Selompret"). Saya belum dapat melacak kapan persisnya perubahan ini. Soalnya, nomor-nomor terbitan dari 1880-1884 tidak terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden.
Agaknya nama Slompret Melayoe ini tetap dipakai sampai akhir riwayat surat kabar ini tahun 1911. Namun, demikian perlu dicek edisi-edisi terakhirnya, yang menurut Adam (1992:97) tersimpan di PNRI, untuk melihat apakah namanya berubah lagi.
Perubahan ejaan
Jadi, Selompret Malajoe (versi 1), Selompret Melajoe (versi 2), Selompret Melaijoe (versi 3), dan Slompret Melayoe (versi 4) sebenarnya adalah surat kabar yang sama. Silih-berganti hoofdredateur yang telah menerajui surat kabar ini selama rentang lima dekade masa hidupnya (1860-1911)- G.C.T. van Dorp, W. Hoezoo, G.R. Lucardie, Classz, J.P.Velden, Hilling, D. Appel, dan J.P.P. Halkema.
Adalah biasa pada abad ke-19 bahwa beberapa surat kabar pribumi mengalami "penyempurnaan" nama, misalnya kata "Timoor" pada beberapa surat kabar awal kemudian berubah menjadi "Timor", kata "Soerabaija" kemudian berubah menjadi "Soerabaia". Itu terjadi karena pada waktu itu belum ada sistem ejaan yang standar (standadized orthography) untuk bahasa Melayu ragam tulis memakai aksara Latin (Rumi).
Perubahan kata "Malajoe" menjadi "Melaijoe", lalu menjadi "Melajoe", dan kemudian menjadi "Melayoe" sangat mungkin dipengaruhi oleh pengenalan berbagai sistem ejaan yang semuanya menurut kemauan masing-masing oleh para sarjana bahasa Melayu sepanjang abad ke-19.
Akan tetapi, jelaslah bahwa bentuk penulisan "Melajoe" sama sekali tidak terkait dengan sosialiasi Ejaan Van Ophuijsen, sebagaimana dikatakan oleh Saifur Rohman. Seperti dijelaskan di atas, nama Selompret Melajoe sudah dipakai sejak Januari 1866, sedangkan Ejaan Van Ophuijsen baru diluncurkan tahun 1901.
Sejauh pelacakan saya, memang Selompret Melajoe adalah surat kabar berbahasa Melayu yang pertama terbit di Jateng. Namun, untuk konteks Indonesia (bekas wilayah Hindia Belanda dulu), sudah ada dua surat kabar lain yang sudah lebih dahulu terbit, yaitu Soerat Kabar Bahasa Melaijoe dan Soerat Chabar Betawi.
Mungkin tarikh munculnya edisi perdana Selompret Malajoe, yaitu 3 Februari 1860, dapat dijadikan dasar pijakan untuk menentukan awal sejarah dan hari jadi pers Jateng. Tapi, tinggal pertanyaan: apa kriteria dan batasan pers Jateng? Jika dasar pijaknya adalah istilah vernacular press yang terbit di Jateng-dengan demikian tersirat keragaman bahasa penduduk asli, termasuk Bahasa Melayu, sebagai media penyampainya-maka di wilayah ini sudah ada pers bumiputera yang terbit lebih dahulu dari Selompret Malajoe, yaitu surat kabar berbahasa dan beraksara Jawa Bramartani, yang terbit di Surakarta.

Edisi pertamanya terbit pada 25 Januari 1855 (lihat De Lima 1989), lima tahun lebih awal dari Selompret Malajoe, dan 10 tahun setelah terbitnya Semarangsch Advertentieblad (1845-1852), surat kabar pertama berbahasa Belanda untuk wilayah Midden-Java. ***
Suryadi Alumnus Universitas Andalas, Dosen pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie, Universiteit Leiden, Belanda. Pernah diterbitkan di Kompas, Selasa, 06 November 2007

No comments:

Post a Comment