KODE-4

Sunday, March 23, 2008

Pertunjukan Tanpa Elemen Teater

Catatan Pementasan Datuk Layau

Oleh Nasrul Azwar

Tafsir terhadap teks telah menjadi wilayah kuasa sutradara teater yang paling absolut. Pada wilayah teks budaya yang maha luas itu, sutradara merambah belantara ikon, simbol budaya, dan penanda sosial lainnya untuk diwujudkan dalam estimasi ruang dan waktu dalam satu frame panggung dengan pertanggungjawaban kreatif sutradara.


Tafsir yang direpsentasikan dengan sebutan pementasan teater kerap memiliki kecenderungan pengaktualisasian tematik dengan kondisi kekinian. Teks budaya (tradisi) yang mendasarinya menjadi pijakan dan landasan kreatif sutradara untuk merentangkan sebuah “historiografi” perjalanan masa, katakanlah, semenjak munculnya sebuah cerita dengan tradisi oral hingga ke tradisi tulis pada saat sekarang. Masa atau zaman yang panjang itu—terlihat mencengangkan—dapat dimanpatkan dalam satu kerangka panggung dengan durasi cerita yang singkat oleh sutradara teater. Nyaris semua kelompok teater yang ada di Indonesia tak lepas dari pola dan tafsir seperti itu.

Menoleh ke belakang (tradisi) sebagai basis kreativitas bukan hal baru dalam teater modern Indonesia. Tendensi serupa ini telah berlangsung lama. Dalam tafsir yang demikian, ada “kesombongan tradisi” masa lalu yang menjadi kebanggaan kreativitas. Pada batas ini, kecelakaan tafsir sering terjadi—seperti yang diungkapkan Ninuk Kleden (2004)—anggapan bahwa kebudayaan dapat berperan sebagai identitas etnik mempunyai konsekuensi teoritis yang mengharuskan orang memperlakukan kebudayaan sebagai “tanda”. Sementara pemikiran tentang hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier) telah mengalami perubahan. Kalau semula hubungan tersebut boleh dikatakan memiliki makna tunggal, kini tidak demikian lagi. Jadi, tafsiran tentang representasi identitas, dalam hal ini identitas etnik, bukan merupakan hubungan yang linear dan bukan merupakan hubungan yang final.

Tafsir terhadap representasi identitas etnik, taruhlah kisah Datuk Layau (Kek Layau) yang berasal dari etnis Bangka, adalah tanda yang ditandai dengan memakai perangkat kekinian dalam pertunjukan teater Datuk Layau (Pertumpahan Darah 1850) yang dipentaskan Teater Lantera Kota Pangkalpinang di pelataran rumah dinas Wali Kota Pangkalpinang pada 29-30 Desember 2007 dengan sutradara Willy Siswanto, tampaknya—sepanjang pertunjukan—mengalami metamorfosis pengerucutan simbolisasi dengan memaknai kekuatan tradisi oral (lisan) budaya etnik Bangka. Pertunjukan sepanjang lebih-kurang 80 menit itu memang berada dalam cengkeraman “kekuasaan” tafsir sutradara. Kisah Datuk Layau yang diangkat dari tradisi tutur (tradisi oral) laksana lukisan realis yang diresepsi menjadi kisah dramatik heroik, dan dipertunjukkan dengan mencoba-coba serealistis mungkin, namun gagap.

Pada tulisan ini, sebenarnya saya tak ingin membincangkan tentang elemen-elemen teater, konsep penyutradaraan, konsep pertunjukan, dan lain sebagainya yang terkait dengan dramaturgi. Saya menghindar dari perbincangan tersebut karena memang pertunjukan teater Datuk Layau tak bisa dilihat dari kaca mata itu. Keterbatasan fasilitas, dan kondisi tempat pertunjukan yang sangat minimalis, menyebabkan saya tak kuasa bicara elemen-elemen teater.

Namun demikian, proses pertunjukan sudah dilewati. Pementasan Datuk Layau sudah dinikmati publik. Satu sisi, yakni penonton terhibur, sudah tercapai. Pesan yang ingin disampaikan tentang sosok Datuk Layau, seorang pejuang dari kampung kecil bernama Bakam dalam menantang kolonial Belanda, sudah sampai pula pada publik.

Lalu, menjelang menyaksikan pertunjukan Datuk Layau dengan segenap persiapan yang saya bangun dalam pikiran saya, ternyata tak seindah yang saya bayangkan. Sambutan dari pejabat yang berlama-lama membuat suasana yang sebelumnya tampak seremonialis menjadi betul-betul pertunjukan seni yang seremonial.

Setengah pertunjukan teater Datuk Layau yang memang sangat membosankan, saya mulai teringat apa yang diucapkan Eugenio Barba dan kawan-kawan dalam sebuah tulisannya. Eugenio Barba dalam tulisan berjudul Anatomie de L’ Acteur (1985) yang diterjemahkan Yudiaryani ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan: kata “teks” sebelum menunjukkan teks tertulis maupun lisan, dicetak atau tulisan tangan, berarti rajutan bersama. Dalam pengertian ini, tidak ada pementasan yang hadir tanpa rajutan bersama tanpa “teks”. Artinya, apa yang berhubungan dengan “teks” (rajutan) dapat diartikan sebagai ‘dramaturgi’—yang berarti drama-eregon—suatu kerja, penampakan bekerjanya sebuah laku dalam pertunjukan plot. Memang sulit membedakan dalam pendekatan dramaturgi, pementasan yang dianggap sebagai “penyutradaraan” seorang sutradara dan apa yang disebut sebagai “penulisan” seorang pengarang. Perbedaannya hanya tampak dengan jelas melalui penggarapan teater, melalui penafsiran sebuah teks tertulis.

Dari itu pula, menilik sebuah hasil garapan teater, yang menghasilkan pementasan teaterikal, penonton akan berhadapan dengan apa yang disebut laku. Laku menjadi pusat perhatian dalam dramaturgi. Perhatian yang diberikan bukan saja apa yang didialogkan aktor, akan tetapi juga suara-suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya, musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks”.

Laku yang dibawa para aktor ke atas panggung tak menguatkan ingatan dan imajinasi saya ke sosok seorang pejuang dan ulama yang bernama Kek Layau. Properti dimensi ruang dan waktu, musik, karakter, emosi, dan lain sebagainya, gagal merekonstruksi ingatan saya pada masa lalu. Pertunjukan teaterikal yang penuh dengan kejutan, seolah berhenti malam itu. Pementasan Datuk Layau tak berhasil menyugesti kesiapan saya untuk bertahan di kursi penonton.

Lemah pada Konsep

Teater yang dibangun dengan konstruksi dan landasan yang kuat, ia akan menjelma menjadi pertunjukan yang siap tampil di mana saja. Panggung sebagai wilayah pementasan bukan properti yang dijadikan harga mati. Teater yang sudah jelas konsep penyutradaraan dan pertunjukannya, tak akan gagap jika dipertunjukan di panggung mana saja: teater tertutup, terbuka, arena, dan di lapangan terbuka sekalipun.

Pementasan Datuk Layau sebenarnya bermasalah dari sisi tempat pertunjukan. Artinya, konsep pertunjukan yang belum matang membuat pementasan malam itu seakan kehilangan momentum. Sutradara yang bertanggungjawab dalam wilayah ini seperti tak membayangkan soal ruang dan waktu, properti, dan juga komposisi panggung. Akibatnya, untuk mengatakan satu bukti ketidakmatangan konsep ini adalah penukaran “babak” dengan kode matinya lampu. Cara ini jelas, sutradara tidak mempertimbangkan suasana lingkungan sekitar yang lampunya tetap terus menyala. Bagi saya, konsep ini bisa jalan jika pertunjukan dilakukan di teater tertutup. Seperti yang saya sebutkan di atas, soal elemen teater rasanya sulit untuk diperbicangkan lebih jauh dalam pertunjukan Datuk Layau ini.

Aspek lain yang sangat berpengaruh pada hasil garapan adalah soal naskah. Naskah sebagai urat pertunjukan yang terlihat dari dialog-dialog yang disampaikan pemain di atas panggung, masih terkesan artifisial, verbalistik, dan renggang.

Konsekuensi dari sebuah naskah yang berangkat dari kisah nyata adalah karakter tokoh yang semestinya tidak berada di bawah watak sebenarnya. Kek Layau, salah seorang tokoh pejuang, tentu akan kehilangan aura dan pesonanya, saat dia dimainkan dalam kadar yang verbalistik. Dan apa yang terjadi di atas panggung, peran Datuk Layau seperti kehilangan kharismatiknya.

Pada batas ini, studi sosiologis, antropologis, psikologis, dan juga kultur menjadi sangat penting. Walau ada upaya untuk datang ke kampung Bakam sebagai bentuk observasi, tapi dalam pertunjukan tak terlihat sama sekali. Pemain seperti kahilangan karakter, sutradara seolah kehilangan konsep. Dan pertunjukan Datuk Layau malam itu, seperti menyaksikan pementasan teater tanpa elemen teater. Tapi, satu upaya telah dilakukan: pementasan teater. Satu terobosan di saat publik Bangka merindukan pertunjukan seni. ***

No comments:

Post a Comment