KODE-4

Monday, February 19, 2007

Mencermati Festival Minangkabau 2004

OLEH Nasrul Azwar

Festival Minangkabau—semula bernama Pekan Budaya—dari pelbagai informasi yang berkembang akan diselenggarakan pada 19 – 26 November 2004. Rencana Festival Minangkabau dikesankan sebagai iven kelanjutan dari Pekan Budaya yang sebelumnya pernah digelar di Sumatra Barat. Tujuannya dasarnya adalah mendenyutkan aktivitas seni dan budaya Minangkabau sebagai aset kebudayaan yang pantas dilestarikan dan dijaga, terutama kesenian tradisi, juga, tentu saja, arahnya untuk menarik hati wisatawan mancanegara dan lokal agar datang ke daerah ini. Maka, Festival Minangkabau dimungkinkan sebagai iven yang mengentalpekatkan aspek-aspek wisata di dalamnya.

Dengan dasar dan tujuan yang demikian itu, janganlah berharap besar pada Festival Minangkabau itu kita akan menyaksikan pertunjukan seni yang memiliki kualitas yang bersandar pada aspek seni kontemporer, pertunjukan seni dari seniman yang melakukan perjelajahan kreativitas, inovatif, proses pencapaian-pencapaian baru dalam ranah seni dan budaya. Jangan juga meminta kehadiran pertunjukan seni tradisi Minangkabau yang pelakunya sendiri telah berpuluh-puluh tahun mengawal kesenian itu sendiri. Karena tujuan dasar adalah pariwisata, maka yang paling diutamakan adalah semarak, ramai, massal, dan instant.

Dari beberapa puluh kali rapat untuk merancang program ini, baik yang diadakan di Kantor Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud) Provinsi Sumatra Barat, maupun di Kantor Gubernur Provinsi Sumatra Barat, namun sampai kini banyak hal yang belum jelas, baik itu posisi dan peran masing-masing lembaga, arah, bentuk, tujuan program ini, serta posisi seniman dan budayawan, maupun mekanisme penyelenggaraannya. Sehingga, agenda rapat seolah berkisar di dalam kain sarung saja. Itu ke itu saja yang dibicarakan setiap rapat. Kondisi dan sikap demikian jelas sangat-sangat menyebalkan.

Kini, Surat Keputusan Gubernur telah diterbitkan untuk meletakkan “dasar hukum dan legalitas” dari penyelenggaraan Festival Minangkabau ini. Jumlah panitia penyelenggara di luar pelindung dan panitia pengarah, melebihi 200 orang. Jumlah yang cukup dasyat, memang, untuk ukuran sebuah iven tingkat provinsi. Maka, jangan bicara tentang efektivitas dan efesiensi di dalam penyelenggaraan iven ini. Karena, hal itu sama dengan meludah ke atas langit. Dan jangan pula mempertanyakan, ukuran dan indikator apa yang digunakan untuk menyebut Festival Minangkabau 2004 ini sukses dan berhasil. Karena memang tak ada ukurannya. Memang tak ada standarnya.

Pada awal rapat di Dinas Parsenibud, telah muncul kepermukaan bahwa iven ini akan dilaksanakan sebuah Event Organizer (EO), kata Asrien Nurdin, pimpinan rapat saat itu, yang sudah berpengalaman dalam penyelenggaraan iven serupa. Dengan dibungkus beragam alasan, saat itu Kepala Dinas Parsenibud Provinsi Sumatra Barat telah merekomendasikan dan memberi referensi bahwa Festival Minangkabau tidak bisa tidak, harus dilaksanakan oleh EO itu. Alasan yang disampaikan saat itu adalah keterbatasan dana penyelenggaraan yang dialokasikan dalam APBD 2004 hanya Rp 650 juta, dan EO dinilai dapat mencari tambahan dari pihak sponsorship dan donatur lainnya.

Jelas, rencana iven ini diselenggarakan oleh organizer mendapat tantangan serta penolakan keras dari pelbagai pihak terkait, baik DKSB maupun Taman Budaya Sumatra Barat, dan juga budayawan dan seniman yang hadir saat itu maupun yang mendengar informasi ini. Rapat selanjutnya pun jadi tidak berkeruncingan. Keterlibatan EO itu secara langsung terhadap penyelenggaraan Festival Minangkabau, dinilai pelbagai pihak sebagai pelecehan terhadap keberadaan lembaga atau institusi kesenian dan kebudayaan, termasuk seniman dan budayawan di Sumatra Barat. Tepatnya, seniman dan pelaku seni sebagai buruh di “rumahnya” sendiri. Memang, pada akhirnya EO sebagai penyelenggara Festival Minangkabau 2004 dibatalkan.

Pola ini memang tidak serta-merta diterima sebagai apa adanya, karena di dalam rencana penyelenggaraan Festival Minangkabau itu sendiri, juga ditunggangi dengan kepentingan politik menjelang pemilihan Gubernur Sumatra Barat di tahun 2005. Artinya, ada “proyek” kepentingan posisi jabatan di dalamnya. Festival Minangkabau hanya salah satu “jembatan” untuk menuju kursi SB-1 bagi para pejabat yang kini berada pada kursi yang memiliki potensi besar untuk mengantarkankanya ke SB-1 itu. Festival ini hanya diasumsikan sebagai “pembujuk” publik Sumatra Barat: bahwa pemerintah sangat peduli dengan seni dan kebudayaan. Benarkah itu intinya? Saya kira bukan. ***

Darah PRRI di Tanah Minang

OLEH Nasrul Azwar

Saat itu tanggal 10 Februari 1958. Saat ini, tepat empat puluh delapan tahun yang lalu. Genderang perang ditalu. Pemicunya, tersebab ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat: banyak senjang, tak sedikit yang timpang dalam roda pemerintahan. Maka, 10 Februari 1958, lewat Radio Republik Indonesia (RRI) Padang, Dewan Perjuangan membacakan tuntutannya untuk pemerintahan pusat yang dikenal dengan “Piagam Perjuangan”. Isinya: 1). Bubarkan Kabinet Djuanda dan kembalikan mandatnya ke presiden, 2). Bentuk zaken kabinet nasional dibawah suatu panitia pimpinan M. Hatta dan Hamengkubuwono IX, 3). Beri kabinet baru mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilu mendatang, 4). Presiden Soekarno/Pj. Presiden agar membatasi diri menurut konstitusi. 5). Bila tuntutannya tak dipenuhi dalam tempo 5x24 jam, Dewan Perjuangan akan mengambil kebijaksanaan sendiri.

Pemerintah Pusat diultimatum. Digaham oleh daerah, tentu saja Pusat murka. Jika orang pusat murka, alamat hancur negeri ini. Lima hari setalah ancaman itu, Pusat kirim tentara ke Padang sebanyak 7500-10000 personil terdiri dari Kodam Diponegoro, Siliwangi, Brawijaya dan elit Banteng Raiders juga KKO khusus Marinir AL ke Sumatra Tengah (Minangkabau). Tidak cukup? Pusat memperkuat lagi dengan mengirim 5-7 kapal perang dan ditambah dengan pesawat tempur. Kolonel Ahmad Yani memimpin penyerangan. Galibnya sebuah pertempuran, tentu pakai sandi. Namanya Sandi Operasi 17 Agustus. Maka, berdarah-darahlah negeri ini. Dentuman dan raungan senjata perang sahut-menyahut. Perang sesama saudara sendiri. Saling mengunus senjata dengan saudara yang pernah sama-sama berjuang mengusir penjajah. Peristiwa yang sangat ironis, dan terkesan naif.

Di Pasa Ateh Kota Bukittinggi, saat pagi masih merangkak, ratusan pedagang dibantai tentara pusat karena dicurigai ada tentara pro PRRI yang menyelinap di dalamnya, ternyata dugaan itu salah. Rakyat sipil yang akan menggelar dagangan pagi itu terbunuh sia-sia. Dan tak ada yang bertanggung-jawab. Di Nagari Simarasok, Kabupaten Agam, kepala seorang datuk dipancung oleh OPR lalu diarak keliling kampung untuk ditonton ramai-ramai. Semua di luar batas kemanusiaan. Harga diri telah hancur. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi tumbal kekejaman ambisi dan ketaatan terhadap perintah. Saat itu, masyarakat tidak mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang terjadi di negerinya. Mengapa tiba-tiba saling bunuh sesama bangsa. Meletusnya perang sesama saudara ini hingga kini tidak pernah jelas berapa jumlah nyawa manusia yang terbunuh. Negara Indonesia (pemerintah pusat atau pun daerah) sebenarnya harus menjelaskan sejarah hitam ini secara transparan kepada publik, apa sebenarnya yang terjadi.

Banyak pelaku dan juga sejarhwan mengatakan, semula gerakan itu tidak tampak berniat ingin menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, pemberontakan itu akhirnya dikenal sebagai "gerakan anti-Jawa", karena kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dan luar Jawa dianggap semakin besar. Sejak kemerdekaan diproklamasikan 1945, beberapa gerakan atau pemberontakan demi memisahkan diri dari negara kesatuan, terjadi di berbagai daerah, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Indonesia Bagian Timur. Saksi dan pemaain saat itu berteori sebagai perjuangan koreksi, tetapi mengapa pemerintah pusat tidak mengatakan dengan nada yang sama. Pemerintah pusat saat itu tidak merasa ada yang perlu dikoreksi oleh daerah-daerah yang memberontak. Maka, senjata adalah jawaban yang tepat pagi pusat, karena—bagi pusat—apa yang dilakukan oleh berbagai nama dewan yang dibentuk di daerah sebagai rupa pembangkangan dari sekian banyak para militer yang sakit hati. Di dalam teori militer, mereka disebut desersi. Maka, kebijakannya adalah tumpas.

Banyak hal yang perlu diperdebatkan tentang peristiwa PRRI itu seiring dengan masih banyaknya fakta-fakta yang diselubungi. Seorang pakar sejarah dari daerah ini mengatakan, isu-isu yang jadi latar belakang gerakan protes PRRI terhadap pemerintahan pusat, esensinya mencerminkan isu-isu yang berkembang ditataran nasional, antara lain dominasi pusat terhadap daerah yang sangat besar, peran politik militer, serta meluasnya pengaruh komunis. Selain itu, juga faktor penglikuidasian oleh jajaran tinggi militer di Jakarta terhadap Divisi IX Banteng.

Lalu, bukankah faktor penglikuidasian Divisi IX Banteng itu bisa diasumsikan sebagai kebijakan yang menyakitkan bagi petinggi-petinggi militer yang ada di daerah? Atau bisa juga karena Amerika Serikat kita saling membunuh.

Peristiwa berdarah itu memang membuat luka. Luka bagi siapa saja. Tetapi, saat kini, barangkali, luka itu sudah dilupakan. Dilupakan oleh perjalanan masa. Dilupakan oleh pemerintah yang semakin tidak menghargai rakyatnya. Empat puluh depalan tahun memang rentang waktu yang tidak panjang. Dia masih berada dalam ingatan kolektif rakyat dan pelakunya. Karena masih segar, tentu tidak menutup kemungkinan peristiwa yang sama akan muncul lagi, jika negeri ini masih tetap dijarah, diperkosa, dikuras, dan rakyat makin menderita dari hari ke hari. Kita lihat saja.***

Dusta dalam Pers

OLEH Nasrul Azwar

Orang Minang mulai menerbitkan surat kabar bernama Bintang Timor semenjak Desember 1864 lalu dengan menggunakan bahasa Melayu, semua orang sudah tahu. Tapi, tidak semua orang bahwa Kota Padang termasuk salah satu kota pers tertua di Sumatra.

Seperti yang ditulis Suryadi (2001), sepanjang paroh kedua abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20, seperti yang dicatat Ahmat Adam dalam artikelnya “The Vernacular Press in Padang, 1865-1913”, puluhan surat kabar pribumi bermunculan di Padang, tak kurang dari 29 surat kabar daerah telah terbit di Padang dalam periode 1865-1913, dan banyak lagi yang terbit setelah periode itu.

Kini, di Sumatra Barat, semenjak Presiden Soeharto digulingkan pada 21 Mei 1998–di awal abad 21 ini—tercatat 52 buah penerbitan pers hingga akhir tahun 2003—terlepas dari jatuh bangunnya dunia pers itu. Kondisi masing-masing periode itu tentu berbeda sesuai kondisi zamannya, baik itu perbedaan sisi idealisme persnya maupun kepentingan serta latar belakang penerbitan pers itu. Masa lalu tetap sebagai masa lalu. Juga sebaliknya, masa sekarang adalah saat kini. Keterkaitannya adalah spirit dan representasi masyarakat yang melingkunginnya. Beberapa pendapat mengatakan kondisi pers saat sekarang telah kehilangan spirit dan idealismennya. Tak lebih sebagai ruang reportase aktivitas kekuasaan. Sikap pers yang terbit di Sumatra Barat adalah sikap kepentingan kekuasaan dan pengusaha, dan borjuistif. Pers di Sumatera Barat tidak menguatkan sejarahnya sendiri. Pers yang lahir di Sumatra Barat seperti kehilangan identintifikasinya sejalan dengan perkembangan ruang, waktu, dan konteksnya.

Maraknya penerbitan media cetak tidak diiringi dengan makin menguatnya kebutuhan membaca media cetak bagi masyarakat. Sehingga kemampuan untuk bertahan bagi media cetak lebih berorientasi pada pengiklan bukan pembaca. Maka, bagi media cetak “pemburuan” iklan menjadi sangat utama dan vital. Untuk itu pula, seperti harus dimaklumi, menjelang sebuah “peristiwa” besar berlangsung, taruhlah pemilu atau pilkadal, penerbitan media cetak yang baru bak cendawan tumbuh. Orientasi penerbitannya hanya sesaat, instant, dan tanpa idealisme jurnalistik, serta tidak punya arah yang jelas. Kecenderungan demikian berlangsung silih berganti dengan pelaku “pers” yang sama dengan perubahan nama media cetaknya saja.

Memperoleh informasi yang bersih, jelas, dan transparans yang dihadirkan media pers bagi masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Sebaliknya, jika informasi yang didedahkan media pers ke tengah masyarakat dengan pelbagai alasan dan bentuk, serta selanjutnya mengalami distorsi yang sangat prinsip, maka media pers telah memanipulasi informasi dan pembohongan sistematis kepada masyarakat.

Maka, bagi media cetak “pemburuan” iklan menjadi sangat utama dan vital. Untuk itu pula, seperti harus dimaklumi, menjelang sebuah “peristiwa” besar berlangsung, taruhlah, misalnya, pilkadal, pelantikan pejabat, anugrah untuk sebuah kota, dan lain-lainnya, penerbitan media cetak yang baru bak cendawan tumbuh. Kecenderungan demikian berlangsung silih berganti dengan pelaku “pers” yang sama dengan perubahan nama media cetaknya saja.

Jika kita jeli, amatilah produk pers yang hadir saat sekarang. Kita akan menjumpai berita dengan pola dan bentuk bervariasi dengan kecenderungan news order (berita orderan) dari sosok pejabat, penguasa, pengusaha, dan lain sebagainya. Berita berita orderan tentu saja dengan imbalan uang sekian ratus ribu sampai jutaan. Dari sini, wartawan yang bernegoasiasi dengan sosok itu juga mendapat komisi atau fee dari perusahaan surat kabar tempat ia bernaung. Besaran komisi dan fee itu bervariasi tergantung kebijakan perusahaan surat kabar masing-masing. Biasanya tak lebih 30% dari nilai negosiasi itu.

Media pers seperti itu telah melakukan pembohongan kepada kepada masyarakat dengan pola pembungkusan yang rapi terhadap fakta-fakta seolah-seolah yang hadir pada lembar surat kabar mereka fakta yang sesungguhnya. Idealnya, kerja jurnalistik mengolah fakta menjadi informasi jurnalisme, Keberadaan media jurnalisme tidak dapat terlepas dari platform demokrasi yang menjaga keberadaan warga dalam konteks kebebasan: "kebebasan untuk" (freedom for) dan "kebebasan dari" (freedom from).

Dengan kata lain, materi yang dijadikan informasi jurnalisme adalah fakta yang berasal dari kehidupan publik. Inilah yang membedakan media jurnalisme dengan media lainnya, yaitu dalam pengutamaan informasi yang berasal dari fakta publik. Karenanya fakta personal kendati menjadi informasi media, tidak dapat disebut sebagai informasi jurnalisme. Suatu fakta hanya dapat dipandang bernilai jika ditempatkan dalam proses sosial yang menjadi "ruang"nya.

Kini dusta jurnalisme terus mengalir ke tengah publik. Manipulasi fakta yang dilakukan media pers sebenarnya telah berlangsung semenjak Orde Baru hingga kini. Dan itu tidak mungkin kita bandingkan dengan pers yang lahir di Sumatra Barat pada abad-19 dan awal 20. Maka, jangan heran, Sumatra Barat tidak memiliki media pers yang “monumental” keberadaannya. Karena semua telah masuk dalam lingkaran politik kepentingan.***

Pekan Budaya Birokrat

OLEH Nasrul Azwar

Jika Sumatra Barat masih tetap dilindungi Sang Pencipta, di pengujung tahun 2006 ini para seniman, pekerja seni, budayawan, intelektual, pemikir, dan tokoh-tokoh adat, dan lain sebagainya akan merayakan kehebatan Minangkabau. Pada Pekan Budaya (juga sebagian menyebutnya dengan Festival Minangkabau) dengan sangat suka ria akan tampil karya-karya master piace seniman Sumatra Barat dari beragam cabang, tentunya. Jika usia kita diberi Sang Pencipta usia sampai di ujung tahun ini, kita akan menikmati mahakarya para pegiat seni di daerah

Pemerintah Provinsi Sumatra Barat lewat Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya telah menganggarkan dana untuk itu. Seperti biasanya, seniman dan pekerja seni tetap berada dalam ketiak-ketiak para birokrat itu. Seperti bisanya pula, pola dan pelaksanaannya tidak pernah lepas dari tangan birokrat di jajaran Dinas Parsenibud dengan modal SK Gubernur yang memuat orang-orangnya segerombak “tundo”. Pola demikian, sampai dunia ini mengecil tampaknya tidak akan pernah berubah. Seniman dan pekerja seni, sampai bumi ini mengeriput juga akan berada di bawah kaki para birokrat itu. Hal demikian terus berlangsung. Maka, tetap menganga juga para seniman dan bercarut pungkang memaki para birokrat itu. Sementara, birokrat tersenyum dikulum-kulum.

Pekan Budaya—atau apalah namanya—memnag dikesankan sebagai iven kelanjutan dari Pekan Budaya yang sebelumnya pernah digelar di Sumatra Barat. Tujuannya dasarnya adalah mendenyutkan aktivitas seni dan budaya Minangkabau sebagai aset kebudayaan yang pantas dilestarikan dan dijaga, terutama kesenian tradisi, juga, tentu saja, arahnya untuk menarik hati wisatawan mancanegara dan lokal agar datang ke daerah ini. Maka, Festival Minangkabau dimungkinkan sebagai iven yang mengentalpekatkan aspek-aspek wisata di dalamnya.

Dengan dasar dan tujuan yang demikian itu, janganlah berharap besar pada Festival Minangkabau itu kita akan menyaksikan pertunjukan seni yang memiliki kualitas yang bersandar pada aspek seni kontemporer, pertunjukan seni dari seniman yang melakukan perjelajahan kreativitas, inovatif, proses pencapaian-pencapaian baru dalam ranah seni dan budaya. Jangan juga meminta kehadiran pertunjukan seni tradisi Minangkabau yang pelakunya sendiri telah berpuluh-puluh tahun mengawal kesenian itu sendiri. Karena tujuan dasar adalah pariwisata, maka yang paling diutamakan adalah semarak, ramai, massal, dan instant.

Dari beberapa kali rapat untuk merancang program ini, baik yang diadakan di Kantor Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud) Provinsi Sumatra Barat, maupun di Kantor Gubernur Provinsi Sumatra Barat, sampai kini banyak hal yang belum jelas, baik itu posisi dan peran masing-masing lembaga, arah, bentuk, tujuan program ini, serta posisi seniman dan budayawan, maupun mekanisme penyelenggaraannya. Sehingga, agenda rapat seolah berkisar di dalam kain sarung saja. Itu ke itu saja yang dibicarakan setiap rapat. Kondisi dan sikap demikian jelas sangat-sangat menyebalkan.

Kini, Surat Keputusan Gubernur telah diterbitkan untuk meletakkan “dasar hukum dan legalitas” dari penyelenggaraan Pekan Budaya ini. Jumlah panitia, konon, yang cukup dasyat, memang, untuk ukuran sebuah iven tingkat provinsi. Maka, jangan bicara tentang efektivitas dan efesiensi di dalam penyelenggaraan iven ini. Karena, hal itu sama dengan meludah ke atas langit. Dan jangan pula mempertanyakan, ukuran dan indikator apa yang digunakan untuk menyebut iven ini sukses dan berhasil. Karena memang tak ada ukurannya. Memang tak ada standarnya.

Marilah kita berkesenian dan berkebudayaan, merayakan kemurahan hati para birokrat yang telah menyediakan uang hampir mencapai Rp 1 milyar. Marilah bersama-sama menyaksikan sekelompok siswa SD berbalas pantun, bermain randai, dan juga lomba pidato adat bagi anak TK.

Seniman dan pekerja seni terus menitikkan keringatnya. Meneteskan air mata. Menahan lapar. Sementara, para birokrat dan juga ibu-ibu darma wanita menyiapkan makanan lezat untuk disantap para tamu. Dan terus-menerus. Selamat untuk kawan-kawan seniman dan panitia.***

100 Hari Kinerja GAMMA

Mengecewakan!

OLEH Nasrul Azwar

Media online http://www.ranah-minang.com yang diakses sekitar 2000 user/hari melakukan jajak pendapat tentang kinerja pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman. Jajak dilakukan sejak Desember 2005 sampai Februari 2006. Sekitar 259 pemilih yang terjaring, 200 pemilih (77,22%) menyebut kinerja pasangan ini mengecewakan, 44 pemilih (16,99%) memuaskan, dan 15 pemilih (5,79%) tidak peduli.

Hal serupa pernah juga digelar tentang 5 pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang pantas menjadi Gubernur Provinsi Sumatra Barat. Saat itu, 104 pemilih (42,28%) menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman mengugguli 4 (empat) pasang calon lainnya. Yang mengesankan adalah hasil jajak pendapat ini ternyata tak meleset jauh hasil perolehan suara masing-masing kandidat yang bersaing dalam pilkadal 27 Juni 2005 lalu.

Besarnya persentase yang pilihan user pada opsi “mengecewakan”, tentu sesuatu fenomena faktual yang perlu disikapi secara kritis, walau latar belakang pemilih sulit dilacak keberadaannya dan bukan obsolut representasi masyarakat Sumatra Barat. Untuk itu pula, galibnya media massa sebagai salah satu ranah publik, secara faktual jajak pendapat berkaitan dengan salah satu fungsi media-massa untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol serta pertanggungjawan sosial pada audiencenya.

Selain itu, juga berkaitan dengan asumsi dasar bahwa user yang berpartisipasi dalam jajak pendapat sebelumnya tentang pasangan yang pantas menjadi Gubernur Sumatra Barat, perlu kiranya jajak pendapat itu di-follow up. Diupayakan, pertanyaan dalam jajak pendapat keduanya saling berkaitan, tatapi yang kedua ini lebih kepada semacam koreksi terhadap kinerja dan performance pemerintahan kedua pasang yang dipilih rakyat Sumatra Barat.

Alasan yang argumentatif jajak pendapat dilakukan jelas tidak memiliki pretensi dan kepentingan apapun. Jajak pendapat sangat mungkin dilakukan mengingat sebagian besar user atau pengakses situs ini adalah masyarakat yang secara psikologis-emosional dan geneologis berkaitan dengan Sumatra Barat atau ranah Minang, serta tentu saja memiliki kepedulian dengan ranah Minang.

Uniknya, jajak pendapat ini user dipersilakan juga untuk mengomentari terhadap kinerja Gamawan Fauzi-Marlis Rahman. Tentu saja, komentar yang muncul itu sesuai dengan opini, pengalaman, dan latar belakang pendidikannya. Terbukanya kesempatan bagi user berkomentar, membuat jajak pendapat menjadi berbeda dengan jajak pendapat yang dilaksanakan pihak lain selama ini. Untuk diketahui, sampai saat ini pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman telah memasuki 191 hari kerja semenjak dilantik pada 15 Agustus 2005.

Namun demikian, inilah fakta yang berhasil dihimpun dari 14 komentar itu, mencuat pelbagai pendapat tentang kinerja pasangan ini. Paling tidak, dari komentar yang dituliskan user di pada kolom “komentar”, dapat disimpulkan sebagian besar user menyebutkan belum ada program konkret seperti dijanjikan dalam kampanye dulu dan program yang sifnifikans, terarah, gebrakan yang konseptual, dan masih belum jelasnya siapa yang menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan pasangan ini. Selain itu, program kedua pasangan ini masih berkutat pada soal-soal remeh temeh yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan setingkat gubernur.

Selain itu, menyangkut keterkaitan dengan pencanangan pemerintah tentang tahun 2006 sebagai tahun budaya, tampaknya pasangan ini kurang tanggap. Kurang tanggap ini dapat dibaca dalam APBD tahun 2006, baik arah, kebijakan, program, peristiwa-peristiwa budaya yang dibuat instansi pemerintah Provinsi Sumatra Barat.

Akan tetapi, user tetap menaruh harapan kepada pasangan ini dengan memberi catatan “khusus” agar elemen-elemen lembaga publik, cendekiawan, intelektual, institusi legislatif, dan masyarakat Sumatra Barat, baik yang berada di ranah Minang maupun di rantau, dan lain sebagainya untuk tetap mengawasi dan “mengingatkan” jika kebijakan gubernur ditenggarai merugikan rakyat.

Salah seorang user berkomentar, belum terlihat adanya keinginan Gawaman-Marlis untuk menciptakan good government, pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang dapat diawasi oleh masyarakat yang mereka pimpin, pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. “Karakter orang Minang sudah bergeser. Keinginan untuk mengkritisi pemegang kekuasaan, sepertinya sudah tidak ada atau sangat jauh berkurang. Masyarakat suka mencari aman, berusaha mendekatkan diri dengan pemegang kekuasaan, berharap datangnya proyek. Tidak ada yang dapat diharapkan dari lembaga legislatif yang semakin adem tanpa gejolak karena berebut mencari lahan, berebut bikin kaukus,” katanya.

Menariknya, semenjak dibukanya jajak pendapat di http://www.ranah-minang.com hingga artikel ini ditulis, opsi “mengecewakan” ini terus berada diperingkat teratas dan tak pernah bergeser. Indikator ini tentu sangat menarik dicermati lebih lanjut. Paling tidak jika kita mencoba mengaitkannya dengan perjalanan 191 hari (sampai saat kini) pasangan Gamawan-Marlis sebagai pemimpin Sumatra Barat.

Jika melihat kondisi semenjak pasangan ini dilantik pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu dan dikaitkan dengan hasil jajak pendapat, yang 77.22% responden mengatakan “mengecewakan” tentu dapat dimaklumi..

Gubernur Sumatra Barat yang hadir sekarang dalam pengertian reformasi kultural, hukum, politik, sosial, dan tuntutan hadirnya tatanan good local governance reform, sangat beda dengan pola dan sistem politik gubernur terdahulu. Seratus sembilan puluh satu hari mestinya telah terjadi perubahan yang sangat signifikan di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat itu sendiri, dan ternyata masih jauh panggang dari api.***

Kontoversi PP No 84/1999:

Semua Pihak Mesti Duduak Barapak

OLEH Nasrul Azwar

Dalam penelusuran dokumentasi perihal hubungan Agam dengan Bukittinggi dalam wilayah pemerintahan ke dua daerah itu, yang mengesankan tidak kundusif ternyata telah berlangsung lama. Perseteruan yang paling mutakhir adalah soal diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 84 Tahun 1999 tentang tapal batas kedua daerah itu.

Pada tahun 1968, perseteruan dua daerah ini menyangkut perkara Pasar Sarikat Bukittinggi. Ketika itu solusi sengketa ini, disepakati masing-masing DPRD-GR membentuk Panitia Khusus. Namun kedua DPRD-GR itu tidak berhasil mencapai kata sepakat alias kandas. Maka, penyelesaian Pasar Sarikat diserahkan kepada masing-masing pemerintahan.

Konflik ini berawal dari dari tuntutan pemerintah Kabupaten Agam dengan mengeluarkan “resolusi”. Agam merasa berhak menerima hasil Pasar Sarikat Bukittinggi yang memang berada di daerah otonomi Nagari Kurai V Jorong. Tuntutan ini dinilai Pemerintah Kotamadya Bukittinggi bersifat sepihak, akhirnya memang tidak dapat dipenuhi.

Perselisihan ini tampaknya menjadi titik awal konflik Agam–Bukittinggi, hingga kini. Padahal dalam sejarah kulturalnya, kedua masyarakat ini badunsanak. Namun, dalam perspektif kekuasaan dan pemerintahan, bagi Bukittinggi dan Agam, badunsanak ini bukan berarti menjadi alasan yang tepat untuk membagi hasil dari aset yang dimiliki Kota Bukittinggi.

Lalu, kini muncul bibit baru yang memperuncing konflik kedua wilayah administrasi yang berbeda ini: PP Nomor 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Agam. Tampaknya, PP yang telah hampir berusia tujuh tahun ini adalah satu pintu yang akan membuka luka lama hubungan yang tidak enak kedua daerah itu. Dan tentu saja tidak diharapkan perselesihan serupa terjadi di tingkat masyarakat bawah.

Memang, kita tidak dapat pula menutup mata, permasalahan yang berkenaan dengan PP No 84/1999, sekarang soalnya bukan lagi pro-kontra belaka. Akan tetapi, telah menjadi komoditas politik dan kepentingan segelintir orang. Artinya, duduk perkara sesungguhnya dari PP tersebut seakan telah diabaikan. Dan substansi dari PP itu pun tidak lagi menjadi pikiran bersama. Seolah dengan terbitnya PP tersebut, semua pihak yang berkaitan dengan itu, kehilangan akal sehat dan pikiran jernih. Yang muncul kepermukaan adalah statement dari beragam kalangan yang cenderung bernada emosional, agitatif, provokatif, dan kontraproduktif. Dan ini membuat masyarakat semakin kian bingung.

Kita bersama pun tentu sepakat, bahwa musyawarah menuju kemufakatan adalah pilihan yang paling tepat untuk membuka dialog dan perbicangan ke arah penyelesaian sengketa PP No 84/1999 ini. Sikap mau bermusyawarah ke arah yang saling menguntungkan – tidak ada pihak yang merasa dirugikan – kiranya sangat perlu sekali diupayakan ke dua belah pihak: pro-kontra. Budaya musyawarah untuk menuju satu kemufakatan, tampaknya telah lama ditinggalkan, baik itu ditingkat elit kekuasaan maupun di tingkat masyarakat.

Konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan semenjak terbitnya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini, yang memang belum memperlihatkan titik terangnya. Ini jelas sekali membuktikan bahwa budaya dan sikap musyawarah telah mulai ditinggalkan. Dan kita cenderung menempuh jalan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan persoalan. Pada batas ini, pihak Agam mencoba mencari solusi dengan cara dan polanya sendiri. Demikian juga dengan Bukittinggi, berjalan sendiri pula dengan caranya. Dan juga sama halnya dengan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, DPRD kedua pihak, DPRD Sumatra Barat, tokoh-tokoh masyarakat kedua pihak, serta masyarakat pun ikut di dalamnya. Sehingga akhirnya, PP 84/1999 tidak akan pernah terselesaikan.

Melihat kondisi demikian, tentu kita merasa prihatin. Mengapa jalur musyawarah tidak pernah ditempuh lagi? Padahal, musyawarah dan duduk bersama dalam satu meja untuk menyelesaikan satu masalah, misalnya, telah berabad-abad diajarkan nenek moyang kita. Dan sikap rela bermusyawarah itu sangat kental terkandung dalam adat dan budaya Minangkabau. Indak ado kusuik nan indak salasai (Tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan). Maksudnya, tentu saja, tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan, jika semua dilakukan dengan bermusyawarah.

Sekaitan dengan itu, tentu, mencari jalan ke luar dari perseteruan Agam – Bukittinggi yang berkenaan dengan PP No 84/1999 itu, kandungan filosofis dari ungkapan adat di atas, jelas sangat perlu kita maknai secara mendalam untuk mencari jalan penyelesaian sengketa PP tersebut. Dan dari perjalanan panjang perkara PP itu, baik pihak Agam, Bukittinggi, DPRD ke dua daerah, dan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, serta tokoh-tokoh masyarakat dari ke dua daerah, juga masyarakat, seperti telah melupakan makna dan nilai-nilai filosofis adat Minangkabau dan juga mamangan yang dikutip di atas. Sikap egaliter, menghargai pikiran dan pendapat orang lain, seakan dengan sengaja dipinggirkan.

Sikap demikian itu, jelas sangat merugikan bagi masa depan masyarakat dan juga bangsa ini. Karena, apa pun bentuk penyelesaian yang ditempuh tanpa musyawarah, jelas sangat berbahaya. Dan yang akan merasakan sekali akibatnya tentu saja masyarakat atau publik. Selain itu—jika kelak persoalan PP No 84/1999 diselesaikan tanpa jalan musyawarah—ia akan muncul sebagai jalan penyelesaian yang bersifat instant. Dan ini akibatnya akan lebih parah dan rumit. Maka, tidak ada jalan lain; penyelesaian pro-kontra PP No 84/1999 harus ditempuh dengan musyawarah, semua pihak diharapkan berbesar hati dan berlapang dada, duduak barapak membincangkan permasalahan ini secara jernih, arif, bijak, dan tetap mengacu pada kepentingan publik. Dan jelas ini menjadi tantangan yang sangat penting bagi kepala daerah yang akan dipilih langsung masyarakat ke dua wilayah itu nanti. ***

Sunday, February 18, 2007

Play Boy dan ABSBK


OLEH
Nasrul Azwar

Bisnis media massa memang menjanjikan untuk mengeruk keuntungan besar. Apalagi contentnya “menyosialisasikan” ke dalam ruang publik bentuk-bentuk tubuh yang seksi dengan pencitraan tubuh yang bagus tanpa lemak, sintal, padat, serta kekar. Tentu saja disajikan dengan sedikit kain pembungkus. Malah bisa juga bugil, tentu disuguhkan dalam berbagai pose. Citra bentuk tubuh yang seksi (tubuh perempuan dan lelaki) adalah polarisasi untuk menghadirkan mainstream bagi publik bahwa tubuh yang “aduhai” itu telah memenuhi standar pengelola media massa itu.

Di ruang-ruang publik—baik di mailing list, medai elektronik, cetak, dan di mal— cerita tak lepas dari menunggu “lahirnya” sebuah majalah yang diimajinasikan mampu memenuhi aspirasi libido siapa saja. Majalah ini menamakan dirinya majalah dewasa yang memang telah lama terbit dan beredar di Amerika Serikat, Play Boy. Pada bulan Maret majalah Play Boy edisi Indonesia akan diluncurkan. Dua bulan dari sekarang, pro-kontra telah meruyak-piyak bak perang seperti akan dimulai. Play Boy versi Indonesia, yang masih jabang itu, menuai promosi maha dasyat. Ia jadi “benda” yang telah berhasil memenuhi kaidah pencitraan dan meraih brand image dagang. Satu sisi, strategi bisnis dan promosi Play Boy telah berjalan tanpa beriklan dengan biaya yang besar. Negeri ini memang dibesarkan dengan cara dagang kapitalis yang busuk. Bangsa ini enggan belajar dari diri dan lingkungannya. Bangsa ini telah berada dalam perangkat mesin kapitalisme, dan mereka sendiri yang menggerakkan agar mesin itu bekerja.

Sebelumnya, semenjak kran kebebasan terbuka lebar 6 tahun lalu, saat begitu maraknya penerbitan tabloid dan malajah yang content-nya tak jauh-jauh dari menjajakan tubuh telanjang manusia, tak ada reaksi sekeras akan terbitnya Play Boy versi Indonesia ini. Semua orang mengenal tabloid Exotica, Lelaki, Lipstik, Popular, ME, dan sejenis ini yang kini tetap beredar dan memang laris manis terjual. Untuk yang telah beredar demikin luas itu, yang tidak ada batasan jual belinya, boleh siapa saja, tidak ada reaksi dari siapa-siapa, malah oplahnya makin menanjak dari hari ke hari. Barangkali, awal terbitnya media ini dilakukan diam-diam. Beda dengan Play Boy, pengelolanya berani berteriak lantang: Kami akan terbit pada Maret.

***

Lalu, baru-baru ini 3 anggota DPRD Sumatra Barat dari Komisi A; Yul Akhyari Sastra, Djanas Raden, dan Johardi Das (Singgalang, Rabu, 18/1/2006) berkomentar tentang wilayah yang tak jauh beda dengan akan beredarnya Play Boy itu yakni tentang prostitusi di Sumatra Barat yang mereka nilai perlu diakomodasi dalam APBD tahun 2006. Tentu, jika menyangkut APBD jelas ujungnya anggaran. Ketiga wakil rakyat ini sepakat memulaukan pelacur yang berkeliaran saban malam—mungkin karena naas—terjaring razia Sat Pol PP. Selama ini, kata mereka, pelacur yang tertangkap itu cuma “direhabilitasi” di Panti Andam Dewi Sukarami, dan itu tidak memberi efek jera. Maka sebaiknya mereka dipulaukan saja agar tidak mengganggu psikologis lingkungan sekitar. Maksud mereka, wanita tuna susila (WTS) itu diisolasikan di sebuah pulau (entah pulau mana yang digunakan, tak jelas), tanpa mengikutkan “pemakai”nya. Artinya, laki-laki yang memanfaatkan jasa WTS tiap malam itu tak perlu diisolasikan pula.

Memang tidak adil! Yang selalu dipersalahkan wanitanya, bukan lelakinya. Bukankah “transaksi” itu dapat berjalan jika ada pihak lelaki yang maago “barang” padusi itu? Mungkin, karena anggota DPRD Sumatra Barat itu kebetulan laki-laki, maka perlu kiranya mereka membela kaumnya. Salahkan saja padusi malam itu!

Saya sendiri tak heran dengan ucapan mereka itu. Gagasan itu bukan “barang baru” lagi. Lima belas tahun lalu, ide serupa sudah menjadi wacana publik di ranah Minang. Namun, perjalanan gagasan itu mentah dan hilang demikian saja. Banyak pihak yang menolaknya. Lalu hilang demikian saja.

Kini, pangana itu diapungkan lagi oleh wakil rakyat yang duduk di DPRD Sumatra Barat, malah, dari pengakuan mereka, akan dikembangkan dalam pembahasan APBD 2006. Jika dulu wacana ini tidak sampai ke tingkat legislatif, kini barang itu sudah berada di tangan wakil rakyat. Entah bentuk apa realisasinya, kita belum tahu, tapi kita tunggu sajalah selanjutnya.

Tapi, ada baiknya juga, karena wacana itu telah di tangan wakil kita, maka saya usul agar pulau yang akan ditempati WTS itu ditata dan dibangun dengan fasilitas yang representasif dan profesional. Maksud saya, pulau itu dikhususkan buat lokalisasi bukan semata diperuntukkan isolasi bagi WTS yang ditangkap Sat Pol PP. Penempatan lokalisasi WTS di salah satu pulau yang ada di wilayah hukum Sumatra Provinsi Barat lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang berkeliaran di sudut-sudut kota dan pojok jalan. Kontrol bisa dijalankan dengan sistematis, akurat, dan jelas. ***


Tiga Peristiwa yang Membingungkan

OLEH Nasrul Azwar

Sepekan terakhir, paling tidak perhatian masyarakat Sumatra Barat tertuju pada: Pertama, Universitas Andalas memberikan gelar doktor honoris kausa kepada Presiden, dan ini pertama kali universitas tertua di luar Pulau Jawa memberikan gelar HC kepada orang lain. Tapi, jika Anda mau mengamati lebih dalam prosesi upacara pemberian gelar Dr (HC) itu, ada kalimat yang tertulis di selempang warna hijau (warna khas Unand) yang dikenakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bagi orang-orang yang selalu berurusan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang benar, terasa ganjil. Kalimat di selempang tertulis seperti ini: DOCTOR. H.C

Tanyalah ke Balai Bahasa Padang, misalnya, apakah tanda baca “titik” setelah “Doctor” itu telah sesuai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Jika tak sempat menanyakan itu, coba buka Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihatlah bagaimana menuliskan tanda baca (.) yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Hal-hal yang kecil seperti itu, memang dianggap remeh dan tidak menjadi perhatian serius, tapi bagi akan jadi sangat serius jika penggunaan tanda baca yang salah itu melekat di tubuh orang nomor satu di negeri ini. Semua mata mengarah ke satu titik ini. Dan ironis sekali hal ini dilakukan oleh dunia perguruan tinggi.

Kedua, pemberian gala sangsako adat Yang Dipertuan Maharajo Pamuncak Sari Alam kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Puan Puti Ambun Suri kepada Ny. Ani Yudhoyono. Pro-kontra pemberian gelar adat itu pun mengiringi perjalanan “sejarah” budaya Minangkabau.

Jika disingkap dalam pandangan kajian kultural, menurut Jordan dan Weedon (1995) membahasakannya dalam politik kebudayaan seperti ini: kekuasaan untuk memberi nama; kekuasaan untuk merepresentasi akal sehat; kekuasaan untuk menciptakan “versi-versi resmi”, dan kekuasaan untuk merepresentasi dunai sosial yang sah. Di sini, ranah budaya publik didominasi dan diklaim oleh kekusaan yang sah. Klaim dan dan penciptaan yang dihasilkan oleh kekuasaan itu menjadi kebenaran.

Dalam pandangan budaya Gramscian, menyatakan bahwa ada suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas-kelas sosial yang dipinggirkan dengan cara merebut persetujuan. Kekuasaan selalu melibatkan basis-basis sosial yang bersetuju dengannya, dan pemberian gelar adat oleh hegemoni kepada hegemoni lainnya menjadi pilihan dalam pengendalian sosial.

Ketiga, pencanangan gerakan pengentasan kemiskinan berbasis nagari oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Yang Dipertuan Maharajo Pamuncak Sari Alam, di Parikmalintang, Padangpariaman. Bagi saya, program ini terkesan sangat naif malah sebuah pelecehan terhadap otoritas nagari di Minangkabau. Kita tahu, nagari merupakan satu sisi perkembangan sejarah yang relatif panjang selama berabad-abad.

Prof Dr Abdul Aziz Saleh (1990) menyebutkan, sejarah nagari di Minangkabau jauh lebih panjang daripada masyarakat perkotaan. Kehidupan masyarakatnya berlandaskan kepada struktur sosial dan nilai budaya, dan pola interaksi sosial yang dimapankan dalam tradisi dan adat. Semua ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan (1) distribusi kekuasaan, teramasuk distribusi wewenang dan tanggung jawab (distrubution of authority and responsibility), dan proses dan mekanisme pengambilan keputusan, (2) distribusi kemakmuran (distrubution of wealth), termasuk proses dan mekanisasi serta distribusi informasi, dan (3) distribusi penghargaan kekuasaan, menentukan posisi dan status seseorang atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

Selain itu, dalam mamangan adat Minangkabau tentang nagari juga disebutkan seperti ini: sawah balantak basupadan/ladang diagiah bintalak/bukik dibari bakaratau/rimba diagiah bajiliung. Secara sederhana, kandungan makna dari mamangan itu adalah bagaimana nagari mendistribuksikan potensi alamnya secara ekonomis. Secara sistemik, nagari tidak memberi, atau meminimalisir, ruang kemiskinan, dan ketidakadilan dalam memperoleh kemakmuran bersama lewat konsep distribusi di atas. Pendek kata, tak ada kemiskinan di dalam nagari.

Maka, apa yang disebut dengan “mengentaskan kemiskinan berbasis nagari” yang dicanangkan pemerintah dan sebagai model pengentasan kemiskinan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kembali ke pemerintahan nagari di Sumatra Barat yang diemban Perda No 9/2001, gagal total. Paling tidak, dengan kalimat “mengentaskan kemiskinan berbasis nagari”, dapat diasumsikan angka kemiskinan telah meningkat di tingkat nagari, maka pemerintah perlu mengetaskannya.

Anehnya, hingga kini angka kemiskinan masyarakat di tingkat nagari tak pernah diketahui. Jika pun ada masyarakat yang miskin di Sumatra Barat, maka angka itu berkisar di perkotaan atau masyarakat urban. Untuk Kota Padang, misalnya, konon angka kemiskinannya hampir mencapai 150 ribu jiwa.

Namun pada tingkat nagari—yang dijadikan basis pengentasan kemiskinan—tampak jelas bahwa Pemerintah Provinsi Sumatra Barat belum memahami secara mendalam esensi masyakakat nagari di Minangkabau. Paling tidak, program yang dicanangkan pemerintah adalah gambaran ketidakmengertian itu. ***


Friday, February 16, 2007

Pertunjukan Old Track Teater Padang

Revolusi Dimulai dari Suku Naga

OLEH Nasrul Azwar

Penguasa, politisi, dan pengusaha seperti anjing berebut tulang. “Tulang” itu adalah Bukit Selako yang sangat kaya dengan emas, intan, dan tembaga lainnya. Bukit Seloka yang jadi incaran investor itu terletak di perkampungan Suku Naga yang berada dalam kekuasaan pemerintahan Astinam. Sri Ratu, pimpinan tertinggi negara Astinam, akan menguasai bukit itu dan menjadikan sebagai daerah tambang dengan dalih pembangunan. Para pembantu Sri Ratu—semenjak perdana mentri hingga mentri-mentri lainnya, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) negara Astinam—berlomba menjadi penjilat yang “santun” dan dengan pelbagai alasan merayu rakyat Suku Naga untuk menyukseskan program pembukaan pertambangan itu.

Kelompok Suku Naga yang berada di Bukit Seloka itu tak merelakan perkampungan mereka dijadikan kota tambang. Kelompok Suku Naga—dibawah pimpinan Abisavam sebagai kepala suku—melakukan perlawanan dan perjuangan. Perjuangan, militansi, dan loyalitas Suku Naga terhadap leluhur mereka, yang dengan sangat teliti telah memilih tempat itu berabad-abad yang lalu, membuat Sri Ratu murka. Suku Naga dianggap telah melakukan tindakan subversif dan pembangkangan. Apalagi, setelah perjuangan Suku Naga melawan keotoriterianisme Sri Ratu dipublikasikan secara internasional oleh Carlos, seorang jurnalis yang berpihak pada perjuangan Suku Naga, mendapat respons dari lembaga-lembaga internasional.

Itulah inti cerita dari naskah Perjuangan Suku Naga karya dramawan WS Rendra yang dipentaskan Old Track Theater Padang di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat pada 10-11 Juni 2004 lalu, yang disutradarai Rizal Tanjung. Cerita yang mengalir seperti menemukan pembenarannya secara faktual. Peristiwa teater yang berlangsung dua hari adalah Sumatra Barat, juga Indonesia saat kini: penuh kebusukan, kerakusan, dan kebiadaban para pejabat, politisi, dan juga pengusaha. Rakyat diperlukan pejabat dan politisi jika itu menyangkut kelanggengan kekuasaannya. Selain itu, “pergilah ke neraka”.

Bentuk garapan dengan mengolabotasikan tari, musik, seni rupa, dan seni tradisi Minangkabau ini, sebagai sebuah tontonan cukup menarik, komunikatif, dan relevantif. Akan tetapi, hal-hal yang berhubungan dengan elemen-elemen teaterikal dan teknis, seperti: gerak, kustum, make-up, penguasaan dimensi ruang, waktu, dramaturgi, dan kecenderungan garapan, memang masih memberi kesan belum demikian tertata rapi. Penguasaan dimensi ruang dan waktu, misalnya, terlihat tumpang tindih di atas panggung. Penggantian adegan dengan interval musik, tidak memberi efek yang signifikan bahwa peristiwa teater telah beralih ke peristiwa lainnya. Memang, risiko demikian acap luput dari perhatian sutradara, apalagi garapannya menggabungkan pelbagai cabang seni lainnya di atas panggung.

Perjuangan Suku Naga bukan kisah yang berlatar Minangkabau, dan juga bukan dikarang oleh pengarang yang berasal dari latar budaya Minangkabau. Namun, keberanian Rizal Tanjung, yang hampir 15 tahun tidak menyentuh teater, mengadaptasinya dengan latar budaya Minangkabau, tentu perlu dihargai. Selain itu, menyertakan koreografer Deslenda dan Ery Mefri dalam penataan gerak, perupa Nazar Ismail pada artistik, dan Kelompok Pentassakral Alda Wimar di musiknya, memang bukan kerja yang sederhana untuk mengemasnya menjadi pertunjukan teater. Sebagai sutradara, Rizal Tanjung tampaknya berhasil membaca kekuatan dan kelebihan masing-masing seniman yang berbeda media ekspresinya itu, walau beberapa hal, seperti diungkap di atas, masih terkesan belum tergarap dengan apik.

Makna Referensial

Menyaksikan pertunjukan teater Perjuangan Suku Naga seperti diajak menonton secara langsung tentang perangai busuk dan mentalitas korupsi para pejabat negara, aparat hukum/birokrat, dan politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) yang kini masih terus berlangsung di negeri ini, termasuk di Sumatra Barat.

Pementasan Perjuangan Suku Naga di Kota Padang seakan menemukan momentumnya. Mengapa tidak? Tindakan korupsi berjamaah yang dilakukan anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat, DPRD Kota Padang, DPRD Kota Payakumbuh, dan mungkin menyusul yang lainnya merupakan fakta dan realitas yang sulit dimungkiri masyarakat Minangkabau. Ia menjadi sejarah hitam di daerah ini. Sangat memalukan.

Semula, Old Track Theater akan mementaskan Perjuangan Suku Naga ini di halaman Kantor DPRD Provinsi Sumatra Barat, akan tetapi, karena alasan teknis yang tak mungkin disiasati, maka pagelaran dilakukan di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, dengan tetap mengundang anggota legislatif yang terpilih pada Pemilu legislatif 5 April 2004 lalu dan juga yang masih aktif. Namun, dua hari pertunjukan, tak satupun yang hadir.

Di luar konteks proses kreatif seniman, para politisi, birokrat/penegak hukum, aparat negara berlomba menistakan dirinya. “Proses kreatif” juga berlangsung di panggung-panggung gedung rakyat, kantor-kantor dinas, dan departemen. Penghuninya menghadirkan “teater” bagi diri mereka. Tetapi tidak ada manusia di dalamnya. Yang ada hanyalah keserakahan, kerakusan, kedustaan, dan politik kotor, mirip dengan anjing berebut tulang. Pada posisi ini, Perjuangan Suku Naga telah memberi penjelasan paling terbuka tentang manusia yang bertabiat demikian.

Keotoriteran Sri Ratu (dimainkan Deslenda), kemunafikan Perdana Mentri (Ery Mefri), Mentri Pertambagan (Syarifuddin Arifin), dan Ketua Parlemen (Saparman) adalah karakter yang diidentifikasikan sebagai obsesi purba manusia yang selalu meminta kepuasan ruang-ruang nafsu “kebinatangannya” ketika tampuk kekuasaan berada di tangannya. Dengan dalih “demi pembangunan”, nafsu-nafsu binatang itu dioperasikan dengan memproduksi pelbagai undang-undang, paraturan, dan semua diklaim sudah disetujui rakyat. Produk hukum sepihak itulah yang digelindingkan kehadapan Suku Naga. Kelompok Suku Naga dipaksa untuk pindah dari desanya dengan alasan pemerataan penduduk, akan tetapi mereka tak mau menerima kebijakan Sri Ratu. Jalan yang dipilih adalah melawan penguasa yang otoriter dan sewenang-wenang. Dibantu Carlos (Ode Barta Ananda)—seorang jurnalis—(tokoh Carlos ini mengingatkan saya pada Sidney Jones, wakil International Crisis Group, yang izin kerja dan visanya tak bisa diperpanjang, setelah Kepala Badan Intelijen Negara memberikan informasi yang ganjil kepada DPR dan aparat pemerintah), bersama-sama Suku Naga mereka menolak perintah Sri Ratu, yang akhirnya memang kasus Caslos mirip Sidney Jones. Dia diusir dari negara Astinam, sedangkan Sidney Jones diusir dari Indonesia.

Pada posisi demikian, pementasan Perjuangan Suku Naga dalam sirkulasi non-artistik-estetikanya, menemukan relasi yang erat dengan konteks sosial, politik, dan budaya Indonesia mutakhir. Dalam resepsi dan interkoneksi seperti itu, proses penggarapan teater yang dilakukan Old Track Theater, jelas memiliki orientasi dan capaian tertentu secara politis dan kultural, tentu, terlepas pencapaian artistiknya.

Korupsi secara gotong-royong yang dilakukan anggota legislatif di Sumatra Barat merupakan aib dan nista yang demikian memalukan dan sangat sulit diterima masyarakat Sumatra Barat (Minang). Suku Naga adalah sekelompok minoritas yang mencoba memberi makna lewat perjuangannya melawan penguasa dan politisi yang korup, bebal, dan kotor di dalam tubuh negara Astinam. Seniman, juga kelompok minoritas, tampaknya berupaya memberi ruang-ruang responsif kondisi demikian. Pun, hanya sekelompok orang saja yang menghadang tindakan korupsi ramai-ramai wakil rakyat di Sumatra Barat. Akhirnya, revolusi memang dimulai dari keompok minoritas: yaitu Suku Naga, dan berhasil.***

Kontroversi PP 84/1999

Konsumsi Elit Politik
OLEH Nasrul Azwar
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 84 Tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dipengujung pemerintah Presiden BJ Habibie, hingga kini memang masih memunculkan kontroversi pro-kontra. Mengedepannya pro-kontra tampaknya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Agam. Semenjak diterbitkannya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini sikap menolak terhadap PP muncul sangat dasyat kepermukaan. Seolah-olah inilah suara masyarakat Kabupaten Agam yang sesungguhnya. Sedangkan, sebagian yang setuju perubahan batas wilayah tersebut, juga mengklaim suara masyarakat.

Kontroversi PP No 84/1999

Api dalam Sekam

OLEH Nasrul Azwar

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 84 Tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dipengujung pemerintah Presiden BJ Habibie, hingga kini memang masih memunculkan kontroversi pro-kontra. Mengedepannya pro-kontra tampaknya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Agam. Semenjak diterbitkannya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini sikap menolak terhadap PP muncul sangat dasyat kepermukaan. Seolah-olah inilah suara masyarakat Kabupaten Agam yang sesungguhnya. Sedangkan, sebagian tokoh masyarakat yang setuju perubahan batas wilayah tersebut, juga mengklaim sebagai suara masyarakat.

Sikap ambivalensi dan menduanya sebagian tokoh-tokoh masyarakat tersebut dapat dilihat dari suara-suara yang muncul di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam dan juga Kecamatan IV Koto. Baru-baru ini muncul selebaran di Kecamatan Tilatang Kamang berbentuk jajak pendapat menyangkut PP No 84/1999 ini, yang akhirnya memicu reaksi keras dari tokoh-tokoh masyarakat di kecamatan itu. Dan secara dramatis pula, mereka “menyandara” Bupati Agam, Aristo Munandar, untuk menentukan sikap tegasnya. Akan tetapi, seperti yang telah diduga – jika ada desakan yang demikian keras dari masyarakat—pejabat akan menjawab ‘akan diusut dan tidak mengetahui kejadian itu’. Jawaban demikian mesti dimaklumi.

Lain halnya dengan Nagari Sianok VI Suku Kecamatan IV Koto, yang juga salah satu nagari masuk dalam peta perubahan batas wilayah. Di tengah nagari yang kini banyak ditinggalkan masyarakatnya, muncul suara-suara yang tidak satu irama. Sebagian tokoh masyarakatnya—yang diwakili Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sianok VI Suku—setuju dengan masuknya Nagari Sianok VI Suku ke dalam wilayah Kota Bukittinggi dengan bersyarat: tidak ada intervensi bentuk apa pun dalam pengaturan hukum adatnya. Sebagian lagi menolak tanpa ada syarat apa pun. Artinya, masih terjadi suara ambivalensi.

Jika dalam sebuah seminar yang dilaksanakan di sebuah hotel di Bukittinggi pada 14 November 1999, sosiolog Mochtar Naim menyebutkan bahwa gambaran perluasan kota itu adalah gambaran Indonesia dan dunia ketiga lainnya di mana pun di dunia ini, di mana struktur ekonomi dan sosialnya timpang dan dualistik. Kelompok kecil pemilik modal yang menguasai bagian besar dari kekayaan nasional, bekerja sama dengan para penguasa, sementara jumlah terbesar dari rakyat hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Mochtar secara eksplisit menolak perubahan batas wilayah yang dikeluarkan eksekutif itu, sebab ujungnya akan menyengsarakan rakyat saja. “Jika KAN dan pemuka-pemuka masyarakat sepakat bulat untuk menolak masuk kota maka tidak siapa pun yang bisa memaksakannya,” ucap Muchtar dalam makalahnya.

Maka, selanjutnya dalam seminar itu, KAN bersama para pemuka masyarakat Anak Nagari se-Agamtuo menghasilkan butir-butir kesepakatan antara lain: menolak diberlakukannya PP No 84 tahun 1999. Kelompok yang menamakan dirinya Badan Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Anak Nagari Agamtuo menjadi wujud komunitas sebagai fasilitas yang tegas-tegas menolak PP No 84/1999 itu. Suara-suara penolakan dari kelompok ini terus menghiasi opini yang dilansir media massa.

Namun demikian, suasana justru sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat kota Bukittinggi sendiri, baik dari kalangan eksekutif (pemerintah kota Bukittinggi), legislatif (DPRD Kota Bukittinggi), atau tokoh-tokoh dan pemuka masyarakatnya. Respon terhadap perubahan batas wilayah itu terlihat dingin dan terkesan amat apatis. Ada apa dibalik itu?

Sikap dingin dan apatis itu pada sisi tertentu memang dapat dimaklumi. Sebab, pada posisi ini pemerintahan Kota Bukittinggi lebih diuntungkan ketimbang Agam. Akan tetapi, beberapa kalangan yang dekat dengan birokrat Kota Bukittinggi menilai, sikap demikian itu sebagai representasi ketertutupan pemerintahan Kota Bukittinggi terhadap wacana dan perubahan yang berkembang.

Dibalik Penolakan

Polemik tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dan sekaligus diiringi dengan pro-kontranya kini tampaknya bukan semata soal telah diberlakukannya secara resmi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dan terbitnya PP No 84 Tahun 1999 itu sendiri. Akan tetapi, dari sekian banyak informasi dan wacana yang berkembang menyangkut PP tersebut, secara strategis saya ingin mengatakan bahwa penolakan PP penuh dan diwarnai dengan intrik politis dan kepentingan tertentu. Tepatnya, penolakan sebagian tokoh-tokoh masyarakat itu hanya sebagai tujuan antara, yang pada akhirnya nanti berujung kepada sebuah rencana besar untuk mendirikan secara primodialistik sebuah wilayah yang disebut Luhak Agam. Luhak Agam inilah yang dijadikan semacam acuan untuk menyatukan kembali apa yang disebut dengan ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’.

Rencana ini makin kian menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Sebab, pemikiran yang kini terus bergulir seiring dengan desentralisasi adalah budaya lokal (local culture). Maka, akan sangat relevan sekali, untuk mewujudkan sebuah wilayah dengan ikatan budaya, wacana budaya lokal memang menjadi konsep yang paling tepat untuk diterapkan dan diapungkan.

Dari itu pula, untuk mengembalikan konsep yang pernah ada di tengah kehidupan sosial masyakat: ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’, penolakan terhadap perubahan batas wilayah menjadi sangat penting. Sebab, seandainya PP itu diterapkan, tidak bisa tidak, rencana besar untuk menyatukan konsep dan rencana besar itu akan menemukan kesulitan, memakan waktu yang panjang sekaligus melelahkan.

Pada dasarnya, arah, rancangan pemikiran dan wacana yang demikian itu sangat menarik sekali, jika acuannya pada basis kekuatan dan pemberdayaan kehidupan sosial masyarakat. ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’ menjadi satu referensi budaya dan sosial yang cukup dasyat sinerginya jika benar-benar terealisasikan dalam tatanan yang benar dan terarah. ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’ diwujudkan sebagai basis partisapasi masyarakat secara menyeluruh. Akan tetapi, celakanya, perkembangan dari polemik tentang penolakan PP tersebut, hingga kini, saya kira, tetap masih bersifat eksklusif, elitis, dan hanya segelintir orang tertentu saja yang bersuara dan berperan di dalamnya. Lalu pertanyaannya, ada apa dibalik semua ini?

Bagaimana dengan suara dari masyarakat akar rumput, baik yang berada di Kota Bukittinggi maupun yang berada di wilayah Kabupaten Agam? Hingga kini memang tidak pernah terdengar secara tegas, apa sesungguhnya keinginan kedua wilayah masyarakat itu?

Bagi saya untuk menemukan titik persoalan pro-kontra PP No 84/1999 itu mesti mengacu pada partisipasi dan aspirasi masyarakat secara total. Dan selama berkembangnya pro-kontra PP itu, eksistensi dan keberadaan masyarakat secara luas tidak pernah digubris, baik itu pemerintahan, tokoh masyarakat, dan DPRD dari kedua wilayah yang berseteru, maupun institusi yang berkait dengan masalah ini. Saya masih yakin benar, hampir 99% masyarakat kedua wilayah itu belum mengetahui apa itu PP No 84/1999 tentang perubahan batas wilayah mereka. Padahal, ini menjadi sesuatu yang sangat ironis sekali jika suara masyarakat tidak didengarkan untuk sebuah kebijakan yang kelak akan sangat menentukan nasib sosial mereka.

Maka, hingga ini ke atas, suara masyarakat di kedua wilayah itu tidak bisa tidak mesti disertakan secara signifikan. Dan inilah penyebabnya PP No 84/1999 itu tidak pernah terselesaikan secara baik. ***

Kontroversi PP 84/1999

Quo Vadis Masyarakat Luhak Agam?

OLEH Nasrul Azwar

Musyawarah Masyarakat Luhak Agam yang pernah dilangsungkan di Istana Negara Bung Hatta Bukittinggi pada 18-19 Desember 2002, memang tidak menghasilkan “pernyataan bersama” tentang penolakan atau menerima terhadap salah satu produk hukum yakni Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1999 (PP 84/1999) tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari keterangan Panitia Pelaksana, agenda untuk membahas hal demikian memang tidak akan disinggung.

Sekretaris Panitia Pengarah, Drs. H. Hawari Siddik dan Ketua Panitia, Drs. Suardi Mahmud mengatakan, dalam Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini tidak akan menyinggung persoalan PP 84/1999 tentang pemekaran Kota Bukittinggi sebagai bagian dari materi bahasan. Sebab, kata Hawari Siddik, persoalan PP 84/99 telah diserahkan penyelesaiannya kepada Gubernur Provinsi Sumatra Barat, Bupati Agam, dan Wali Kota Bukittinggi. “Semua berkasnya telah berada di tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno (semasa Presiden Megawati Soekarno Putri-Red). Mendagri yang akan memutuskan yang terbaik bagi kedua daerah. Kini tinggal bagaimana keputusannya, itulah nanti yang kita terima,” katanya.

Satu sisi, tidak diperbincangkannya persoalan PP 84/1999 dalam Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini disayangkan banyak pihak. Paling tidak, Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, dalam perspektif dan kekuatan strategisnya, tentu pada saat sekarang—pada saat kondisi masyarakat Luhak Agam dan juga Kota Bukittinggi—menunggu kepastian tentang masa depan dan konsekuensi jika PP 84/1999 diterapkan, baik itu konsekuensi pada aspek budaya, ekonomi, sosial, dan juga nagari, maupun apa manfaatnya bagi masyarakat jika masuk dalam wilayah administrasi Kota Bukittinggi, tampak soal PP 84/1999 jadi “menggantung” di langit.

Sementara, salah seorang tokoh masyarakat Agam, Masfar Rasyid, juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Barat, sempat bersikeras memasukkan PP 84/1999 dalam agenda pembahasan materi. Namun, dengan pelbagai alasan, permintaan wakil rakyat ini tidak dikabulkan panitia. Ini soal jadi dilematis. Apa lagi, jika ada keinginan tokoh-tokoh masyarakat yang selama ini dinilai vokal menyuarakan penolakan PP 84/1999, ternyata suaranya hilang, dan semua soal diserahkan ke pemerintah. Paling tidak, melunaknya suara yang lantang dulu, menjadi tanda tanya.

Dibaca dari pelbagai laporan media cetak tentang Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini, pada pembukaan resmi oleh Gubernur Sumatra Barat, disebutkan bahwa jajaran pejabat Pemko Bukittinggi dan DPRD Kota Bukittinggi tidak hadir dalam acara tersebut. Ini soal lain tentunya. Namun, apakah ini bisa kita asumsikan sebagai penolakan secara tak langsung terhadap musyawarah tersebut. Ketidakhadiran jajaran Pemko Bukittinggi dan DPRD Kota Bukittinggi ini dapat dimaknai bahwa musyawarah itu hanya ajang “romantisme” masa lalu bagi tokoh-tokoh mayarakat Agam, atau tak lebih sekadar pertemuan biasa yang tidak pantas diikuti jajaran Pemko Bukittinggi dan DPRD-nya, karena tidak ada agenda yang jelas dan terarah.

Memang, telah diperkirakan sejak semula, apa yang dihasilkan dari Musyawarah Masyarakat Luhak Agam itu akan kehilangan vitalitas dan semangat untuk membuka ruang wacana dan dialog yang cerdas. Gemuruhnya terbenam di antara ketidakpastian nasib masyarakat di sekitar daerah-daerah yang masuk dalam PP 84/1999 itu. Tentu ini jadi preseden buruk bagi masyarakat, sebab tokoh-tokoh masyarakat yang bisa mewakili aspirasi dan kemauannya, ternyata tidak seperti yang diharapkan. Paling tidak, harapan bagi masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri, kini tergantung kepada pemerintah. Jika pemerintah mengatakan untuk pelaksanaan PP 84/1999, harus dilakukan segera mungkin, maka tidak bisa tidak, tentu harus dijalankan.

Posisi Tawar

Permasalahan yang mengemuka antara Agam-Bukittinggi, yang telah memasuki tahapan konflik vertikal dan horisontal, sejatinya bukan dimaknai dalam perkara PP No 84/1999 saja. Akan tetapi, jauh sebelum keluarnya PP No 84/1999 telah mengapung keinginan mendirikan Kabupaten Agamtuo.

Dalam “sejarahnya” gagasan pemekaran Agam ini disuarakan LIMBAGO AGAMTUO (Lembaga Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Agamtuo) sebelum PP 84/1999 disahkan. Rencana tersebut ditandatangani dalam Musyawarah Kerapatan Adat Nagari bersama pemuka masyarakat se-Agamtuo di Gadut. I. K. Angku Payung Ameh sebagai Ketua Umum, Suardi Mahmud Bandaro Putiah sebagai Sekretaris Umum, tertanggal 22 September 1999. Bagi tokoh-tokoh tersebut, pemekaran Kabupaten Agam sangat perlu sekali. Pemekaran itu berorientasi pada optimalisasi pengembangan potensi wilayah masing-masing. Jadi, dengan demikian, pemekaran Kabupaten Agam bukan untuk memecah belah orang Agam. Bila PP 84/1999 dibatalkan, maka ide pembentukan Kabupaten Agamtuo bisa lekas direalisasikan.

Kini, gagasan itu tampaknya dimentahkan kembali lewat apa yang disebut dengan Musyawarah Masyarakat Luhak Agam baru-baru ini. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, para penggagas dan panitia musyawarah tidak lepas dari tokoh-tokoh yang sama. Tampaknya visi ke depan tentang Luhak Agam, belum duduk betul bagi mereka yang selama ini ngotot menolak PP No 84/1999 itu. Gagasan pemekaran Kabupaten Agam itu, memang masih dalam tataran wacana, namun momen sepenting Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, jadi tanda tanya: mengapa ide ini tidak menjadi bahan materi bahasan yang dalam., jika memang pemekaran dianggap sebagai jalan keluar pemecahan konflik PP No 84/199 itu.

Sejauh ini, masyarakat memang belum membaca apa yang dihasilkan dari Musyawarah Masyarakat Luhak Agam itu. Dan hingga kini “butir-butir” yang ditelorkan dalam pertemuan itu, masih disimpan dan file-file penyelenggara. Publikasi dan sosialisasi kepada publik belum terlihat, baik itu di pers maupun media lainnya.

Jika ada informasi yang menyebutkan bahwa hasil musyawarah ini diserahkan kepada Gubernur Sumatra Barat, tentu itu soal lain. Yang pasti hingga kini masyarakat Agam dan juga Bukittinggi, tidak jelas betul apa isi “rekomendasi” yang diserahkan ke gubernur itu. Ketidaktransparanan ini menjadi ironi dan aneh, tentunya.

Bom Waktu

Pada batas ini, tampaknya kekuatan publik sebagai modal utama untuk “penekan” kebijakan pemerintah yang dinilai kurang akomodatif dan berpihak kepada masyarakat, menjadi tenggelam. Dikarenakan, kekuatan itu “dimafaatkan” dan “diminimalisasikan” oleh “kekuatan lain” yang mengklaim sebagai penyampai aspirasi masyarakat bawah. PP No 84/1999 dapat membuktikan hal demikian. Karena tidak mengagendakan materi bahasan tentang pro-kontra PP No 84/1999, maka aspirasi yang berkembang dan kekuatan publik dihilangkan demikian saja dalam sebuah musyawarah yang juga mengatasnamakan masyarakat Luhak Agam. Ini menjadi sangat ironis jika dikaitkan dengan gejolak, polemik, ekses-ekses, dan akibat dari pemberlakukan PP No 84/1999 ini.

Dalam logika paling sederhana, empat tahun terakhir polemik dan pro-kontra – menerima atau menolak PP No 84/1999, telah menjadi bahan gunjingan sehari-hari masyarakat yang daerahnya masuk dalam PP No 84/1999. Sepanjang itu pula polemik telah berkembang, yang kadang telah ke luar dari substansi dan permasalahan yang sebenarnya. Lalu, permasalahan ini dihapus dalam agenda Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, tentu ini perlu jadi pertanyaan publik: Ada apa sesungguhnya?

Jika alasan yang disampaikan penyelenggara bahwa persoalan PP No 84/1999 telah berada di tangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Sumatra Barat, dan tidak perlu lagi dibahas, maka untuk apa musyawarah dilakukan, dan mengapa sebanyak 12 nagari yang masuk dalam daftar PP No 84/1999, kini menggugat Presiden RI sebesar Rp 12 milyar? Secara kasat mata, tampaknya memang telah terjadi dualisme dan perpecahan dalam menyikapi eksistensi PP No 84/1999 itu. Lalu, pertanyaan yang lebih “ekstrem”: siapa sesunguhnya “di belakang” musyawarah ini, dan akan dibawa ke mana Luhak Agam itu, sehingga kehilangan posisi tawar yang sangat strategis, jika Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini membahas soal PP No 84/1999, terlepas bagaimana output yang dihasilkan?

Dari berbagai laporan media cetak, banyak hal yang terungkap bahwa PP No 84/1999 telah memicu konflik di tengah masyarakat, terutama konflik yang terjadi dalam tubuh lembaga publik, seperti KAN (Kerapatan Adat Nagari). Misalnya, baru-baru ini, seperti dilansir Singgalang (12/12/2002), pengurus KAN Kurai Bukittinggi telah membantah keikutsertaan anggota dari lima KAN Kurai Bukittinggi dalam rombongan masyarakat Agam yang akan membicarakan masalah PP No 84/1999 dengan DPRD Sumatra Barat. Sekaligus KAN Kurai Bukittinggi membantah kahadiran Forum Komunikasi Masyarakat Kurai. Forum ini telah mengeluarkan pernyataan bahwa identitas sosial, budaya, dan juga batas-batas kultural masyarakat Kurai akan lenyap drastis jika PP No 84/1999 pelaksanaannya direalisasikan.

Fakta-fakta demikian menjadi indikator penting untuk melihat dan menganalisis dampak serta ekses jika PP No 84/1999 diterapkan. Tampaknya, perkaranya bukan semata bahwa keputusan pelaksanaan PP No 84/1999 mesti diserahkan ke Mendagri, akan tetapi lebih jauh dari dan bukan sesedehana itu.

Memang benar, baru-baru ini, tujuh pejabat tinggi di Sumatra Barat dipanggil Hari Sabarno – Mendagri – untuk menghadap, dan sekaligus membicarakan masalah PP No 84/1999. Tujuh orang petinggi itu adalah Gubernur Sumatra Barat, Kepala Kantor Linmas Kesbang Kantor Gubernur Sumatra Barat, Ketua DPRD Sumatra Barat, Bupati Agam, Wali Kota Bukittinggi, Ketua DPRD Agam, dan Ketua DPRD Kota Bukittinggi.

Sebelum bertolak ke Jakarta, DPRD Agam menggelar rapat dengan materi bahasan tentang penolakan pelaksanaan PP No 84/1999. “Jika PP No 84/1999 itu dipaksakan pelaksanaannya, maka pihak DPRD Agam tidak akan bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan dari penerapan PP No 84/1999 itu. Maka, jika muncul gejolak dan konflik di tengah masyarakat, yang bertanggung jawab adalah Gubernur Sumatra Barat, Wali Kota Bukittinggi, dan DPRD Kota Bukittinggi,” ungkap Yosiano Muchtar, Wakil Ketua DPRD Agam, seperti dikutip Singgalang (12/12/2002).

Dari itu pula, agar tidak terjadi konflik di tengah masyarakat, DPRD Agam, tambah Yosiano Muchtar, PP No 84/1999 harus dicabut, dan selanjutnya program kerja sama yang menyenergikan kekuatan masing-masing antara Agam dengan Bukittinggi, menjadi pilihan yang paling tepat.

“Sebab proses lahirnya PP No 84/1999 penuh dengan unsur paksaan terhadap pejabat saat itu.”

DPRD Agam menolak keras pemberlakuan PP No 84/1999 itu karena amanat dan aspirasi dari masyarakat Agam, baik itu tertulis maupun lisan. Semua aspirasi itu telah disampaikan ke Pemerintah Provinsi Sumatra Barat sebagai bahan kajian dan pertimbangan.

Namun demikian, bagi Syamsu Z.A, salah seorang tokoh masyarakat Uba Koto Tangah Tilatang Kamang Agam, punya pendapat lain bahwa keberadan PP No 84/1999 pada intinya hanya mengatur bidang administrasi dua wilayah itu. Katanya, dengan direalisasikan PP No 84/1999 jelas tidak akan mengganggu dan berakibat negatif bagi adat, budaya, dan tatanan sosial, baik itu bagi masyarakat Kurai di Bukittinggi, maupun masyarakat Agam sendiri, yang daerahnya masuk PP No 84/1999 itu. Disebutkannya lagi, masyarakat sekitar Bukittinggi—Tilatang Kamang, IV Angkek Canduang, Banuhampu, dan IV Koto, justru sangat mendambakan masuk wilayah Kota Bukittinggi.

Dari pernyataan Syamsu Z.A itu, bahwa masyarakat Agam yang masuk dalam PP No 84/1999 mendambakan masuk dalam wilayah Kota Bukittinggi, ternyata tidak benar sama sekali, jika itu dikaitkan dengan munculnya gugatan 12 Nagari di Luhak Agam kepada Presiden RI. Gugatan ganti rugi immaterial dan budaya sebesar Rp 12 milyar bukan saja ditujukan ke Presiden, tetapi juga kepada Mendagri, Gubernur Sumatra Barat, Wali Kota Bukittinggi, DPRD, dan Bupati Agam. Dua belas nagari di Agam yang menggugat itu adalah Cingkariang, Gaduik, Sianok VI Suku, Guguk Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia IV Angkek, Kapau, Batu Taba IV Angkek, dan Koto Gadang.

Menurut Miko Kamal, kuasa hukum penggugat, objek gugatannya adalah tindakan para penggugat yang tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi publik dalam proses melahirkan PP No 84/1999, dan tuntutannya meminta hakim untuk membatalkan PP No 84/1999 dengan rekomendasi yang dikeluarkan tergugat (Singgalang 21/12/2002).

Menyedihkan

Musyawarah Masyarakat Luhak Agam yang dilansungkan 2 hari itu pada akhirnya memang menghasilkan “butir-butir” visi dan misi Agam ke depan. Dari pelbagai laporan yang dilansir media cetak, butir-butir itu diharapkan sebagai acuan bagi pihak eksekutif dan legislatif dalam mengambil kebijakan pembagunan Luhak Agam di masa yang akan datang. Semua hasil itu, kata penyelenggara musyawarah, akan diserahkan kepada Gubernur Sumatra Barat, Bupati Agam, Wali Kota Bukittinggi, DPRD Agam, dan DPRD Kota Bukittinggi.

Sejauh yang dilaporkan media cetak itu, hasil musyawarah terlihat masih bersifat umum dan masih bias, belum mengarah pada acuan yang detail dan rinci tentang masa depan Agam-Bukittinggi. Persoalan yang menggantung, selain PP No 84/1999, juga belum terbahas secara tuntas, misalnya tentang Pasar Serikat Bukittinggi, aset Agam yang berada di Bukittinggi, persoalan pendidikan, dan sosial.

Dalam musyawarah itu, secara khusus direkomendasikan kepada DPRD Agam dan Bupati Agam bahwa semua keputusan musyawarah itu betul-betul menjadi acuan bagi legislatif dan eksekutif Kabupaten Agam untuk membangun Agam yang mandiri, berprestasi dan aspek pembangunan yang berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Permintaan “khusus” ini, secara konseptual jelas masih bersifat normatif, dan sangat bias, serta kurang jelas bentuk konkretnya sebagai acuan DPRD dan Pemkab Agam untuk melihat Agam ke depan. Dalam perhitungan yang sederhana saja, bagaimana mungkin sebuah visi dan acuan dibangun, sementara soal masa depan wilayah/daerah Agam yang masuk dalam PP No 84/1999 tidak menjadi pertimbangan bagi peserta musyawarah, yang menurut laporan panitia hampir mencapai 800 orang itu, terdiri pelbagai elemen?

Jelas, dalam hal ini ada kekaburan membuat sebuah rumusan dan acuan dari persoalan yang demikian besarnya, yakni PP No 84/1999. Pertanyaannya: Apa yang mesti dilakukan oleh pihak Agam, seandainya PP No 84/1999 direalisasikan dengan segenap konsekuensinya kelak? Maka, tidak dimasukkannya materi persoalan PP No 84/1999 dalam musyawara itu, tentu sangat menyedihkan. Sementara, tenaga, pikiran, dan dana untuk menyelenggarakan musyawarah, yang katanya telah dipikirkan 5 tahun terakhir, telah terkuras habis, dan hasilnyapun diasumsikan akan berantakan jika suatu saat nanti PP No 84/1999 harus dilaksanakan.

Satu sisi, di tengah masyarakat Agam yang nagarinya tercantum dalam PP No 84/1999, masih terjadi dualisme aspirasi: menolak dan menerima. Selain itu tentu 12 nagari sedang memperkarakan PP No 84/1999 ke tingkat pengadilan. Lalu, akan mau dibawa ke mana Luhak Agam ini?***


Catatan Perjalanan ke Melaka:

Cara Melaka Menjual Seni-Budaya Indonesia
OLEH Nasrul Azwar
Pesta Gendang Nusantara (PGN) V di Melaka berjaya mencatatkan rekor dalam The Malaysia Book Of Records. Sebagian peserta PGN V berasal dari Indonesia. Kesenian Indonesia diperdagangkan?
Persembahan Perdana Satu Sempena PGN V yang dilangsungkan pada acara puncaknya 15 April 2002 di Bandar Bersejarah Ayer Keroh Melaka yang berhasil menghimpun 800 pemusik dan penari dari 30 kelompok seni di Nusantara, memang memperlihatkan kelihaian Majlis Perbandaran Melaka Bandaraya Bersejarah (MPMBB), di Indonesia sama dengan Pemerintah Kota, mengelola sebuah paket seni pertunjukan dalam perspektif kepelancongan/wisata.

Duet GAMMA

Berkisar di Kain Sarung
OLEH Nasrul Azwar

Media online http://www.ranah-minang.com yang diakses sekitar 2000 user/hari dari berbagai belahan dunia, kembali melakukan jajak pendapat tentang kinerja pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman. Sebagai gubernur dan wakil gubernur Sumatra Barat. Pertanyaan jajak pendapat yang ditayangkan semenjak tanggal 26 November 2005 adalah “Bagaimana kinerja Gamawan Fauzi-Marlis Rahman dalam 100 Hari Kerja”. 26 November 2006 adalah tanggal yang tepat untuk 100 hari pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman menjadi gubernur dan wakil geburnur Sumatra Barat semenjak keduanya resmi dilantik pada 15 Agustus 2005.