Pejuang Seni Tradisi, Karyanya Sulit "Ditemukan" Lagi
Bagi dunia sastra Riau, BM Syamsuddin adalah seorang maestro. Sayangnya setelah meninggal, pelan tapi pasti, namanya mulai dilupakan orang. Karyanya juga sudah tak ditemukan lagi kecuali di rak-rak buku para koleganya.
"SEJAK itu ke mana-mana saja pergi Wak Dolah, Atan mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Ilmu Sosial dan Politik smester tujuh mengambil masa langkau itu tetap bersama-sama beliau. Memasuki perairan Sengkanak hingga ke Kepala Jeri Pulau Terong, kadang-kadang menyeberang ke Bukum, ditandai dengan keriat-keriut kalas dayung sampan-koleknya. Mereka berdua beranak telah benar-benar hafal seluk-beluk perairan, sekitar pedesaan pantai itu. Karena itulah pada saat-saat tertentu dipandang mujur, sampan-koleknya melaut waktu pula bagi penduduk sekitarnya.. ."
Dengan penghayatan teaterikal, sastrawan Riau, SPN Marhalim Zaini, membaca salah satu cerpen BM Syamsuddin yang berjudul "Batam Peburuan" tersebut di depan hadirin yang datang pada acara "Malam Mengenang BM Syam" yang diselenggarakan Komunitas Paragraf, di Galeri Ibrahim Sattah Kompleks Bandar Serai Pekanbaru, Ahad (13/5) lalu. Sebelum Marhalim tampil, musisi dan juga dosen musik di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Hukmi dan kawan-kawannya, juga tampil menyanyikan beberapa buah lagu hasil dari gubahan puisi, di antaranya "Lingkaran Aku Cinta Padamu" gubahan Zuarman Ahmad.
Malam itu, ketika hujan membuat beberapa kawasan di Pekanbaru berubah menjadi kubangan air, ada sekitar 50-an lebih pecinta, peminat dan pekerja sastra/seni yang datang dari berbagai komunitas dan sanggar sastra/seni (seperti AKMR, Forum Lingkar Pena [FLP], mahasiswa-mahasiswi FKIP Unri, Latah Tuah, Bahana Mahasiswa Unri, Aklamasi UIR, dan yang lainnya), mau hadir dalam acara sederhana tersebut, yang menurut budayawan Al azhar, lebih bagus jika kata "mengenang" diganti dengan "mengingat". Alasannya, "Kalau ‘mengenang’, kita hanya terperangkap pada memori-memori masa lampau, tetapi kalau ‘mengingat’, apa-apa yang pernah dilakukan oleh orang yang kita ingat harus menjadi pelajaran bagi kita ke depan untuk perbaikan-perbaikan dan spirit," kata Al Azhar malam itu.
Nampak juga hadir beberapa sastrawan seperti Gde Agung Lontar, Olyrinson, Budy Utamy, Titin Kasmila Dewi, Abel Tasman, Herlelaningsih, Parlindungan, Jefry Al Malay, Murparsaulian dan yang lainnya. Hadir sebagai pembicara diskusi adalah Al Azhar dan pengajar FKIP Unri, Elmustian Rahman.
Pejuang Seni Tradisi
Menurut Al azhar, selain kuat dalam karya sastra, jauh sebelum cerpen-cerpennya menghiasi berbagai media di tanah air, BM Syam adalah seorang pekerja teater yang tangguh, ulet, penuh dedikasi dan sangat idealis. Al Azhar menceritakan, pada tahun 1981 di Taman Budaya Riau, dalam diskusi seusai pementasan drama oleh Sanggar Taman Republik, BM Syam kesal karena sutradara yang mementaskan naskahnya yang berjudul Warung Bulan, yakni Al azhar sendiri, menafikan anasir-anasir Makyong dan Begubang Topengka, dua bentuk teater rakyat di Kepulauan Riau. Naskah itu disunting dan ditafsirkan kembali oleh Al azhar menjadi sebuah pementasan yang memang agak berbeda dengan naskah aslinya. Tapi, bagi BM Syam, anasir-anasir Makyong dan Begubang Topengka itu adalah hal yang penting dan esensial dalam naskah tersebut, dan tidak bisa ditafsirkan sembarangan. Meskipun, sebenarnya BM Syam juga telah menafsirkan Makyong dan Bagubang Topengka dari bentuk aslinya.
"Itu adalah contoh bagaimana BM Syam sangat gigih memperjuangkan kehidupan teater tradisional Melayu," kata Al Azhar.
Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti Makyong, Mendu, Bangsawan dan lainnya, juga dilakukan di berbagai iven kebudayaan, seperti di Taman Ismail Mazuki (TIM) tahun 1970-an, hingga keterlibatannya dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Nusantara pada tahun 1990-an. BM Syam juga kemudian mengajar sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) FKIP UIR. Menurut Al Azhar lagi, setelah BM Syam meninggal, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. "BM Syam menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana dan pemaparan, tetapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu," ungkap pengurus harian Yayasan Bandar Serai ini.
Meski banyak dikritik orang karena dianggap sebagai "perusak tradisi" tersebab telah menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata "muda" pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya Bangsawan muda, Mendu muda dan sebagainya. BM Syam tidak ingin wacana "tradisional" dan "modern" diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat tersebut. "Harus kita akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak teater tradisi," kata Al azhar lagi.
Bobot Estetika
Di bagian lain, Elmustian Rahman menjelaskan, BM Syam telah menemukan bobot estetikanya dengan memilih bahasa lokal (Melayu) dalam karya-karya sastranya. Karya-karya BM Syam, kata Elmustian, telah memperlihatkan sosok kulturnya. Yang menarik, menurutnya, bahasa Melayu yang menjadi dasar dan akar bahasa Indonesia, banyak diterjemahkan orang ke bahasa Indonesia, karena banyak orang yang minim pemahaman dan apresiasi.
"Karya-karya BM Syam terlihat kuat penggunaan aspek lokalitas sebagai kekuatan, dalam hal ini lokalitas Melayu. Aspek-aspek bahasa tersebut terlihat dalam struktur kalimat, kosa kata, dan penggunaan istilah-istilah yang khas Melayu, ungkapan-ungkapan yang semuanya arkhaik dan memperlihatkan ciri-ciri bahasa Melayu," kata Elmustian.
Menurut Elmustian lagi, BM Syam tidak hanya memasukkan aspek tertentu dari kampung halamannya dalam karya-karyanya, tetapi juga mampu memberi warna tersendiri dengan polesan dan campuran yang sempurna kepada karyanya dan menjadi persoalan-persoalan dan ungkapan-ungkapan serta sikap dan kebiasaan-kebiasaan dari negeri lain di luar kampung halamannya. "Dalam karya BM Syam, upaya tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipersoalkan atau dituduh sebagai sesuatu yang tumpang tindih. Hal ini disebabkan karena persoalan-persoalan yang muncul di kampung halamannya juga menjadi persoalan di luar kampung halamannya," ungkap Elmustian.
Di bagian akhir, Elmustian menjelaskan bahwa saat ini sangat sulit mengumpulkan dan mendapatkan semua karya BM Syam. "Mahasiswa tidak tergoda untuk menulis skripsi tentang sastrawan Riau, pertimbangannya bukan karya sastra Riau tidak bermutu, layak atau tidak, tetapi karena sulitnya mendapatkan karya-karya itu, termasuk karya-karya BM Syam," jelas Elmustian.
Generasi Terputus
Dalam diskusi yang berkembang, salah seorang peserta diskusi, Parlindungan, mempertanyakan mengapa kita harus menyelenggarakan acara untuk mengenang orang yang sudah mati. "Saya kira banyak karya dan sastrawan kita yang masih hidup yang bisa dibedah dan didiskusikan, " ungkapnya.
Mengomentari hal tersebut, Koordinator Komunitas Paragraf, Marhalim Zaini menjelaskan, apa yang dilakukan Paragraf sebaiknya juga dilakukan oleh komunitas lain yang ada di Riau, karena banyak hal dan tema yang bisa dijadikan bahan kajian diskusi. "Saya kira di Pekanbaru saja, banyak komunitas maupun sanggar. Kalau satu komunitas atau sanggar menjadwalkan diskusi sebulan sekali, bayangkan bagaimana pembicaraan seni dan sastra, atau teater, di Pekanbaru ini. Alhamdulillah apa yang dilakukan Paragraf selama ini mendapat respon dari masyarakat sastra dan seni di Pekanbaru dan Riau, meskipun semuanya masih serba terbatas," jelas Marhalim.
Di bagian lain, Marhalim juga risau tentang terputusnya generasi teater tradisi seperti Makyong, Mendu, Randai atau Bangsawan, karena persoalan komunikasi. Menurutnya, di tempatnya mengajar, yakni di Jurusan Teater AKMR, ada mata kuliah Teater Melayu 1 hingga 5, dan agar mahasiswa bisa memahami dengan baik, pihaknya langsung mendatangkan para pelaku teater tradisi itu untuk mengajar langsung ke AKMR. Namun, kebanyakan, komunikasi menjadi persoalan karena banyak dari mereka yang tidak bisa berkomunikasi (menularkan ilmunya) dengan baik, dan malah membuat mahasiswa juga kebingungan. "Ini yang menjadi masalah kita. Jika seperti ini terjadi terus-menerus, lama-lama teater tradisional kita akan lenyap karena kesulitan komunikasi tersebut," jelas Marhalim.
Di sinilah peran seorang BM Syam yang semasa hidupnya mau langsung mengajarkan pemahamannya tentang Makyong dan Begubang Topengka yang memang dipahaminya, sementara latar belakang guru memudahkan BM Syam untuk berkomunikasi dengan siswa dan mahasiswanya. "Kita telah kehilangan orang-orang seperti BM Syam," lanjut Marhalim.
Di bagian lain, Hukmi berpendapat, karya-karya BM Syam yang "sangat Melayu" bisa diterima oleh media-media Jakarta yang "sangat Indonesia", berarti ada yang istimewa dari karya-karya BM Syam tersebut. "Persoalannya, karya-karya BM Syam tersebut bisa diterima khalayak yang lebih luas karena eksotikanya atau karena estetikanya? " tanya Hukmi membuka ruang pemahaman.
Pada mulanya, karya BM Syam seperti beberapa cerpen terkenalnya yang dimuat di banyak media Jakarta seperti Kompas dan Suara Karya, yakni "Jiro San, Tak Elok Menangis", "Nang Nora", "Asrama Itu Telah Tiada", "Bianglala di Langit Natuna", "Nang Sahara" atau "Cengkeh pun Berbunga di Natuna", "Bintan Sore-sore", "Perempuan Sampan", "Toako" dan yang lainnya bisa menembus media Jakarta, kata Al azhar, karena cerpen-cerpen tersebut sangat eksotik menggambarkan setting Riau dan persoalan-persoalan yang dimunculkan. "Saya mengambil kesimpulan itu karena saya yakin, mereka (media Jakarta, red) tidak memahami estetika Melayu. Yang mereka pahami adalah Melayu yang eksotik, yang terkesan tradisional dan lain sebagainya."
Hal itu ditambah oleh Elmustian Rahman, bahwa menerjemahkan bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia adalah hal yang konyol. "Bahasa Melayu itu ibunya bahasa Indonesia, mengapa harus diterjemahkan dengan mencari padanan kata dan kalimat dalam bahasa Indonesia? Ini juga berlaku terhadap karya-karya BM Syam," kata pengajar di FKIP Unri tersebut.
Lebih Dikenal Penulis Roman
BM Syam adalah seorang pengarang yang ulet dan berprinsip. Latar belakang pendidikan gurunya membuatnya seperti itu. Lahir pada 10 Mei 1935 di Selubuk Sedanau, Pulau Tujuh Kabupaten Natuna (kini Provinsi Kepulauan Riau), bakat menulisnya mulai terlihat kuat saat duduk di bangku Sekolah Guru Bantu (SGB) pada tahun 1953. Seperti ditulis Kazzaini Ks dalam kata pengantar Kumpulan Cerpen Jiro San, Tak Elok Menangis (Yayasan Sagang, 1997), BM Syam adalah seorang guru yang mengajar di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari tahun 1955 hingga 1981, berpindah-pindah di beberapa kawasan di Riau. Selain itu, BM Syam pernah mengajar di FKIP UIR (1988-1994) dan pernah menjabat sebagai Kepala Subseksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas P dan K Kota Pekanbaru, sampai pensiun dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1994.
Di awal-awal kepengarangannya, BM Syam lebih banyak menulis cerita panjang dalam bentuk roman/novel yang dimuat sebagai cerita bersambung di beberapa media, di antaranya Haluan (Padang), dan beberapa naskah drama. Namun meski begitu, dengan nama samaran Dinas Syams, dia menulis cerpen di Majalah Merah Putih pada tahun 1956. Tetapi, memang, karya-karya panjang BM Syam lebih dulu terbit dalam bentuk buku, misalnya empat roman, yakni Damak dan Jalak (1983), Harimau Kuala (1983), Braim Panglima Kasu Darat (1984), Tun Biajid I (1984) dan Tun Biajid II (1984). Juga dua buku tentang drama tradisionalnya, yakni Mendu Kesenian Rakyat Riau (1981) dan Seni Peran Makyong (1982) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Namun, ternyata, seperti diceritakan oleh Al azhar, jauh sebelum itu BM Syam sudah menulis beberapa buku (berdasarkan catatan Zaini yang menulis skripsi tentang BM Syam di FKIP UIR), yakni empat naskah drama: Fatimah Sri Gunung (1972), Payung Orang Sekampung-kampung (1975), Warung Bulan (1980) dan Tunggul (1981); dua cerita bersambung yang dimuat di Haluan: Perkawinan di Atas Gelombang (1979) dan Ombak Bersabung (1980); cerita anak-anak: Si Kelincing dan Sepasang Terompah Cik Gasi (1981), Batu Belah Batu Bertangkup (1982), Dua Beradik Tiga Sekawan (1982), Ligon (1983) dan Cerita Rakyat dari Batam (1996). Sementara yang khusus memuat cerpen-cerpennya adalah Jiro San, Tak Elok Menangis (1997). Penerbit buku-buku BM Syam antara lain Balai Pustaka, Karya Bunda, Grasindo dan Yayasan Sagang.
Ciri khas bahasa dalam karya-karya BM Syam adalah kemampuannya menggunakan bahasa Melayu dengan kosa kata lama yang kadang sudah jarang digunakan oleh masyarakat. Penggambarannya tentang perkampungan Melayu yang eksotik dan kadang ironis, memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengarang.
BM Syam meninggal dengan damai pada hari Jumat, 21 Februari 1997 di Rumah Sakit (RS) Ahmad Muchtar, Bukittinggi, karena penyakitnya. Kepada rekan-rekan seniman yang menjenguknya, baik ketika masih dirawat di RS Yayasam Abdurrab, Pekanbaru, maupun di RS Ahmad Muchtar, BM Syam selalu mengatakan keinginannya untuk menulis dan tetap menulis kalau dirinya sembuh. Sayang, maut akhirnya menjempunya lebih cepat yang membuat keinginannya untuk terus menulis menjadi terhenti.
Keinginan untuk selalu menulis tanpa henti tersebut juga tersirat pada apa yang dikatakannya kepada Hasan Junus, sahabatnya, ketika dianjurkan untuk menulis cerpen. "Kawan, mana bisa menulis cerita pendek. Tiga puluh halaman masih belum berbentuk cerita," katanya ketika itu ("Sagang" Riau Pos, Minggu 23 Februari 1997, dikutip oleh Kazzaini Ks dalam kata pengantar Jiro San, Tak Elok Menangis [1997]).
Lalu, di manakah karya-karya BM Syam tersebut kini? Kecuali di rak-rak buku para sahabatnya atau di rak-rak apak dan berdebu di beberapa perpustakaan, buku-buku BM Syam kini sudah tak ditemukan lagi di toko buku. Generasi sekarang pun sudah banyak yang melupakan karya-karya tersebut karena tak ada lagi penerbit yang mau mencetak ulang lagi buku-bukunya.
"Mestinya lembaga kesenian di Riau dan Pemerintah Provinsi Riau mengambil peran untuk menerbitkan karya-karya BM Syam lagi, agar generasi kini bisa belajar dari apa yang telah diperbuatnya lewat karya-karyanya, " kata Sekretaris Komunitas Paragraf, Budy Utamy.***
LAPORAN HARY B KORIUN (Komunitas Paragraf Pekanbaru)