Pantun Lawang’ parak tabu ciek,” seseorang berteriak sembari melempar uang kertas Rp 20.000. Lalu sipendendang mengalunkan syair yang isinya: ...kok takuik masuak kilangan, jaanlah rueh dipapanjang... Tabu di situ adalah simbol nasib manusia.
Tak lama kemudian, peserta bagurau dengan kese-nian tradisi saluang jo dendang di rumah dinas Guber-nur Sumatra Barat Zainal Bakar, minggu pertama November 2000, kembali meminta pantun lain. Suasana bagurau pun menjadi hangat.
Begitulah. Dari banyak kesenian tradisi di Minang-kabau, yang tetap eksis dan bisa mandiri adalah ke-senian saluang jo dendang. Hampir setiap pesta per-nikahan, baik di
Bagurau dengan saluang jo dendang tidak hanya pada acara pernikahan, tetapi juga pada acara sunatan, “Alek Nagari” (acara menghimpun dana untuk pem-bangunan di kampung), Lebaran, batagak panghulu (pe-ngukuhan gelar adat/kaum) serta pada acara bagurau lamak (dengan kalangan pendengar terbatas, 10-15 orang).
Bagi masyarakat luar etnis Minangkabau, saluang jo dendang tentu masih tanda tanya atau masih dipa-hami setengah-setengah. Apa dan bagaimana saluang jo dendang itu?
Menurut Ketua Dewan Kesenian Sumatra Barat, Edy Utama, agak sukar mendefenisikannya. Namun, gam-baran yang bisa diketengahkan begini: saluang dengan dendang adalah kesenian tradisi yang memadukan ke-lihaian pendendang dengan pemain instrumen musik saluang-suling tanpa block, terbuat dari buluh/talang, panjang satu ruas atau sekitar 63 cm, bagian ujung dan pangkal bolong, tetapi bagian bawah terdapat lubang pengatur nada sebanyak empat buah, setiap lu-bang berjarak sebesar diameter buluh.
Pendendang jangan dikira membawakan lagu-lagu seperti yang ngetop saat ini. Yang didendangkan adalah pantun-pantun yang kaya dengan kiasan-kiasan, sindiran-sindiran dan filosofi hidup. Pantun-pantun yang terlahir dengan cerdas dari pendendang yang me-nguasai suasana, tempat dan orang-orang lingkungan di mana ia tampil pada “Malam Bagurau” tersebut.
Tak jarang, pantun-pantun yang didendangkan itu dipesan sesuai selera penikmat (audiens). Biasanya, dalam tradisi bagurau dengan saluang dengan den-dang itu setiap pemesan pantun harus membayar.
Jadi, ada transaksi pantun-pantun. Pendendang ha-rus bisa memenuhi keinginan orang banyak. Kalau tak bisa, lazimnya, disuruh turun panggung dan tang-gunglah malu. Dengan begini, suasana bagurau betul-betul hidup, terjadi saling sindir atau bernostalgia lewat pantun-pantun pesanan tadi. Sorak-sorai bagai.
“Nada dasar yang dominan dalam saluang dengan dendang adalah ratok, nada-nada yang meratap. Bila pendendang bercerita soal nasib manusia, maka nasib manusia itu disimbolkan pada sesuatu dengan cerdas lewat pantun-pantun. Umumnya pendendang mewakili masyarakat marjinal,” ungkap Edy Utama, yang juga peneliti musik tradisi Minang.
Jadi, dalam kesenian saluang dengan dendang, yang sangat berperan sekali adalah pendendang. Dari hitungan jari sebelah tangan pendendang lelaki yang kini masih eksis, hanya ada seorang pendendang yang punya pasar kuat dan terkenal di Sumatra Barat dan luar Sumatra Barat, bahkan di mancanegara, yakni Syawir Sutan Mudo.
Syawir Sutan Mudo (58), mengaku tidak dengan serta merta menjadi terkenal. Penuh lika-liku dan perjuangan. Bermula dari anak randai (pemain teater tradisional Minangkabau) di Kotokaciak, Kabupaten Agam, pada usia 15 tahun. Saat itu, tugas yang diem-bannya adalah sebagai pendendang.
Tahun 1951, karena tuntutan hidup, ia merantau ke
Sebagai pendendang, Syawir belajar dari penga-laman, belajar dari alam: alam takambang jadi guru. Seorang pendendang, menurut dia, harus kaya bahan, kalau tidak tak akan diterima masyarakat. Dari pantun-pantun itu, ada yang berisi nasihat, perasaan hidup, dan
Makanya jangan heran, saking cerdasnya pantun-pantun yang dibuat Syawir ini, baris-baris pantunnya sering diambil untuk inspirasi dan judul-judul lagu-lagu pop Minang dewasa ini. Bahkan ratusan pantun yang ia ciptakan kini sudah menjadi dendang-den-dang tradisi, seperti antara lain “Suntiang Patah Ba-tikam”, “Banda Guntuang”, “Hujan Baribuik”, “Danau Mamukek”, dan “Talempong Anam Koto”. Awal-awal ka-rirnya sebagai pendendang, tahun 1970-an, Syawir mengaku hanya dibayar Rp 15.000 semalam (tampil sekitar tujuh-delapan jam). Kini, ia sudah dibayar sampai Rp 500.000 bahkan lebih untuk tampil satu malam (biasanya mulai tampil pukul 21.00 dan selesai pukul 04.00 non-stop). Sebagai pendendang yang profesional dan sudah sangat terkenal sejak 30 tahun terakhir, acara Syawir relatif padat. Hampir di tiap kampung ia punya relasi, punya jaringan sendiri, yang menjadi semacam peng-gerak untuk menampilkan ia kembali. Sukses sebagai pendendang sudah diraih sejak tahun 1970-an. Tercatat, antara lain tahun 1972, ia memulai rekaman lewat piringan hitam (dua buah) dan sejak tahun 1972 rekaman di pita kaset. “Sampai se-karang sudah lebih 100 kaset rekaman saluang dengan dendang yang beredar luas dan dikoleksi masyarakat Minang di kampung dan perantauan, juga dikoleksi sejumlah peneliti,” katanya.
Pernah empat kali juara pertama festival saluang de-ngan dendang, dan juga pernah jadi dosen tamu di Akademi Seni Karawitan
Sedang resep untuk memelihara kualitas vokal adalah berpantang makan ketan, minum kopi, dan ma-kan jengkol. Banyak minum air putih (panas). Dan po-sisi duduk pendendang harus bersila. Tahun 1999 lalu, Syawir seakan memulai debut baru. Selain rekaman dalam bentuk video compact disc (VCD) yang dikerjakan dan diproduksi orang Jerman dengan hasil laku keras
SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Sabtu,