KODE-4

Wednesday, May 9, 2007

SAWIR SUTAN MUDO

Seniman Tradisi yang Langka

Pantun Lawang’ parak tabu ciek,” seseorang berteriak sembari melempar uang kertas Rp 20.000. Lalu sipendendang mengalunkan syair yang isinya: ...kok takuik masuak kilangan, jaanlah rueh dipapanjang... Tabu di situ adalah simbol nasib manusia.

Tak lama kemudian, peserta bagurau dengan kese-nian tradisi saluang jo dendang di rumah dinas Guber-nur Sumatra Barat Zainal Bakar, minggu pertama November 2000, kembali meminta pantun lain. Suasana bagurau pun menjadi hangat.

Begitulah. Dari banyak kesenian tradisi di Minang-kabau, yang tetap eksis dan bisa mandiri adalah ke-senian saluang jo dendang. Hampir setiap pesta per-nikahan, baik di kota atau di desa, pada acara malam bagurau, malam begadangnya, ditampilkan kesenian saluang jo dendang.

Bagurau dengan saluang jo dendang tidak hanya pada acara pernikahan, tetapi juga pada acara sunatan, “Alek Nagari” (acara menghimpun dana untuk pem-bangunan di kampung), Lebaran, batagak panghulu (pe-ngukuhan gelar adat/kaum) serta pada acara bagurau lamak (dengan kalangan pendengar terbatas, 10-15 orang).

Bagi masyarakat luar etnis Minangkabau, saluang jo dendang tentu masih tanda tanya atau masih dipa-hami setengah-setengah. Apa dan bagaimana saluang jo dendang itu?

Menurut Ketua Dewan Kesenian Sumatra Barat, Edy Utama, agak sukar mendefenisikannya. Namun, gam-baran yang bisa diketengahkan begini: saluang dengan dendang adalah kesenian tradisi yang memadukan ke-lihaian pendendang dengan pemain instrumen musik saluang-suling tanpa block, terbuat dari buluh/talang, panjang satu ruas atau sekitar 63 cm, bagian ujung dan pangkal bolong, tetapi bagian bawah terdapat lubang pengatur nada sebanyak empat buah, setiap lu-bang berjarak sebesar diameter buluh.

Pendendang jangan dikira membawakan lagu-lagu seperti yang ngetop saat ini. Yang didendangkan adalah pantun-pantun yang kaya dengan kiasan-kiasan, sindiran-sindiran dan filosofi hidup. Pantun-pantun yang terlahir dengan cerdas dari pendendang yang me-nguasai suasana, tempat dan orang-orang lingkungan di mana ia tampil pada “Malam Bagurau” tersebut.

Tak jarang, pantun-pantun yang didendangkan itu dipesan sesuai selera penikmat (audiens). Biasanya, dalam tradisi bagurau dengan saluang dengan den-dang itu setiap pemesan pantun harus membayar.

Jadi, ada transaksi pantun-pantun. Pendendang ha-rus bisa memenuhi keinginan orang banyak. Kalau tak bisa, lazimnya, disuruh turun panggung dan tang-gunglah malu. Dengan begini, suasana bagurau betul-betul hidup, terjadi saling sindir atau bernostalgia lewat pantun-pantun pesanan tadi. Sorak-sorai bagai.

“Nada dasar yang dominan dalam saluang dengan dendang adalah ratok, nada-nada yang meratap. Bila pendendang bercerita soal nasib manusia, maka nasib manusia itu disimbolkan pada sesuatu dengan cerdas lewat pantun-pantun. Umumnya pendendang mewakili masyarakat marjinal,” ungkap Edy Utama, yang juga peneliti musik tradisi Minang.

Jadi, dalam kesenian saluang dengan dendang, yang sangat berperan sekali adalah pendendang. Dari hitungan jari sebelah tangan pendendang lelaki yang kini masih eksis, hanya ada seorang pendendang yang punya pasar kuat dan terkenal di Sumatra Barat dan luar Sumatra Barat, bahkan di mancanegara, yakni Syawir Sutan Mudo.

Syawir Sutan Mudo (58), mengaku tidak dengan serta merta menjadi terkenal. Penuh lika-liku dan perjuangan. Bermula dari anak randai (pemain teater tradisional Minangkabau) di Kotokaciak, Kabupaten Agam, pada usia 15 tahun. Saat itu, tugas yang diem-bannya adalah sebagai pendendang.

Tahun 1951, karena tuntutan hidup, ia merantau ke Palembang, Sumatra Selatan. Di rantau, di samping menggalas buah-buahan di kaki lima ia tetap mengem-bangkan kesenian tradisi. “Saya menyintai kesenian tradisi randai dan saluang jo dendang, karena pantun-pantun atau syair-syair dalam kesenian itu sangat me-narik dan mengandung unsur pendidikan. Selain itu saya tertantang untuk membuat pantun-pantun yang bisa membuat penikmat kesenian tradisi itu puas dan terkesan,” kata Syawir.

Sebagai pendendang, Syawir belajar dari penga-laman, belajar dari alam: alam takambang jadi guru. Seorang pendendang, menurut dia, harus kaya bahan, kalau tidak tak akan diterima masyarakat. Dari pantun-pantun itu, ada yang berisi nasihat, perasaan hidup, dan asmara muda-mudi. “Saking tersentuhnya pera-saan para penikmat seni tradisi itu, sering orang me-nangis spontan karenanya. Itu salah satu kelebihan Syawir. Ia secara spontan mampu mengembangkan im-provisasi dalam pantun. Pada sampiran dari pantun, ia selalu bisa mengolah dari lingkungan tempat ia ber-main (orang, tempat),” kata Yusrizal KW, pengamat seni dan Ketua Yayasan Citra Budaya Indonesia, menilai.

Makanya jangan heran, saking cerdasnya pantun-pantun yang dibuat Syawir ini, baris-baris pantunnya sering diambil untuk inspirasi dan judul-judul lagu-lagu pop Minang dewasa ini. Bahkan ratusan pantun yang ia ciptakan kini sudah menjadi dendang-den-dang tradisi, seperti antara lain “Suntiang Patah Ba-tikam”, “Banda Guntuang”, “Hujan Baribuik”, “Danau Mamukek”, dan “Talempong Anam Koto”. Awal-awal ka-rirnya sebagai pendendang, tahun 1970-an, Syawir mengaku hanya dibayar Rp 15.000 semalam (tampil sekitar tujuh-delapan jam). Kini, ia sudah dibayar sampai Rp 500.000 bahkan lebih untuk tampil satu malam (biasanya mulai tampil pukul 21.00 dan selesai pukul 04.00 non-stop). Sebagai pendendang yang profesional dan sudah sangat terkenal sejak 30 tahun terakhir, acara Syawir relatif padat. Hampir di tiap kampung ia punya relasi, punya jaringan sendiri, yang menjadi semacam peng-gerak untuk menampilkan ia kembali. Sukses sebagai pendendang sudah diraih sejak tahun 1970-an. Tercatat, antara lain tahun 1972, ia memulai rekaman lewat piringan hitam (dua buah) dan sejak tahun 1972 rekaman di pita kaset. “Sampai se-karang sudah lebih 100 kaset rekaman saluang dengan dendang yang beredar luas dan dikoleksi masyarakat Minang di kampung dan perantauan, juga dikoleksi sejumlah peneliti,” katanya.

Pernah empat kali juara pertama festival saluang de-ngan dendang, dan juga pernah jadi dosen tamu di Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang. Menurut Syawir, dasar penciptaan pantun-pantun-nya adalah penampilan yang harus mantap, pemikiran luas, mental kuat, dan banyak menyusuri kehidupan orang lain. “Dalam berpantun, yang penting isi, sampiran bisa bebas,” tukasnya.

Sedang resep untuk memelihara kualitas vokal adalah berpantang makan ketan, minum kopi, dan ma-kan jengkol. Banyak minum air putih (panas). Dan po-sisi duduk pendendang harus bersila. Tahun 1999 lalu, Syawir seakan memulai debut baru. Selain rekaman dalam bentuk video compact disc (VCD) yang dikerjakan dan diproduksi orang Jerman dengan hasil laku keras di Jerman, ia sempat tampil di sejumlah kota di Jerman. Maret 2001, ia bersama Kelompok Talago Buni diundang tampil di Perancis. “Kekayaan yang saya miliki sekarang adalah pergaulan dan perjalanan,” ujarnya. *

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Sabtu, 13 November 2000

NINA RIANTI


Berdendang Memperkaya Tari
Tiba-tiba, siang itu, suasana di kantor Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Provinsi Sumatra Barat, yang semula agak hiruk pikuk, maklum ada puluhan pegawai dan sejumlah wartawan di ruangan itu-hening. Ada alunan dendang yang se-akan-akan menghipnotis pendengarnya. Tidak lama kemudian, suasana hati kita seperti disayat-sayat. Bulu kuduk pun bergidik. Aura suaranya menggetar-kan dada, menyentuh relung hati.
Di sebuah pojok, seorang perempuan tampak tengah melantunkan secara spontan dendang-dendang berbahasa (pantun) Minang. Dendang itu dipersiapkan untuk ilustrasi gambar, memperkuat pesan dari suasana atau gambar yang akan direkam, untuk kepentingan promosi daerah Sumatra Barat.

ABDUL KADIR USMAN

“Gila” Kamus Minangkabau
Sudah lihat kamus yang disusun oleh ’orang gila’? Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia yang disusun Haji Abdul Kadir Usman Datuk Yang Dipatuan? Kerja yang luar biasa, sebuah prestasi yang membanggakan kita!” kata sastrawan dan budayawan AA Navis, menjelang akhir hayatnya.
Baru kali ini ada kamus bahasa Minangkabau yang entrinya luar biasa banyak. Kalau tidak karena “kegilaannya”, tak akan pernah terwujud kamus setebal 571 + x halaman tersebut.

Kompetisi Jurnalistik Ashoka Media dan Kewirausahaan untuk Indonesia yang Lebih Baik

Pendidikan Mahal? Degradasi Lingkungan? Korupsi yang sudah sedemikian mengakar? Diskriminasi terhadap transeksual? Terbatasnya akses para difable? Populasi ODHA/OHIDA yang semakin tinggi? Konflik horizontal yang seperti tiada habisnya?

Ambil peran serta Anda dengan menulis bagaimana Kewirausahawaan Sosial menawarkan solusi dari masalah sosial sistemik tersebut!

Sebagai bentuk apresiasi terhadap jurnalis untuk meningkatkan peran media dalam menyebarkan konsep Kewirausahaan Sosial, Ashoka bersama para pendukungnya mengundang rekan jurnalis untuk berpartisipasi dalam Kompetisi Jurnalistik. Penghargaan ini mengangkat tema "Media dan Kewirausahaan untuk Indonesia yang Lebih Baik" Siapa yang bisa mendaftar?

Kompetisi ini diperuntukkan bagi jurnalis media cetak dan online baik yang terafiliasi dengan institusi media ataupun jurnalis free lance. Setiap karya harus pernah dipublikasikan atau disiarkan antara 1 Maret - 31 Oktober 2007.

Bagaimana cara berpartisipasi? Artikel dikirim dalam bentuk kliping atau scan dari media massa yang memuatnya. Khusus untuk media online, peserta harus mengirim karya berupa print out berita yang dimaksud yang di-copy langsung dari situs beritanya atau dalam bentuk cd. Tulisan yang dikirim harus masih dalam format HTML,
dilengkapi alamat situs yang memuat karya dan url-nya. Seorang redaktur media online yang bersangkutan juga diminta untuk memuat pernyataan bahwa karya yang dikirimkan memang pernah dimuat di media itu. Peserta wajib mencantumkan hari dan tanggal pemuatan artikel.

Kirimkan formulir yang sudah diisi dengan lengkap dan benar beserta karya jurnalistik yang akan dikompetisikan ke Sekretariat Ashoka.

Aturan Kompetisi:

  1. Setiap jurnalis media cetak/online dapat ikut berkompetisi. Peserta adalah jurnalis yang bekerja di media massa secara permanen ataupun jurnalis free lance. Karya yang didaftarkan harus pernah dipublikasikan di media massa yang bersifat umum
  2. Semua karya peserta harus pernah dipublikasikan pada media massa umum pada periode waktu antara Maret-Oktober 31, 2007.
  3. Seluruh peserta harus mengirimkan karya yang orisinal. Panitia tidak menerima bentuk karya jurnalistik yang menyadur ataupun menjiplak karya orang lain.
  4. Satu hasil karya jurnalistik hanya dapat mencantumkan satu nama jurnalis.
  5. Seluruh karya yang masuk tidak akan dikembalikan dan menjadi hak Ashoka.
  6. Tim juri independen terdiri dari tiga orang pengamat media serta pakar kewirausahaan sosial.
  7. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Juri memiliki hak untuk menolak karya yang dianggap tidak memenuhi persyaratan. Juri juga berhak menarik kembali penghargaan.
  8. Batas waktu pendaftaran dan penyerahan karya pada tanggal 31 Oktober 2007. Naskah diserahkan ke Sekretariat Ashoka.

Pemenang akan diumumkan tanggal 1 Desember 2007. Tiga karya terbaik mendapatkan hadiah berupa:

Juara 1: Kunjungan ke salah satu negara Eropa untuk menghadiri pertemuan tahunan Ashoka

Juara 2: Lap Top

Juara 3: Kamera Digital

Penilaian mencakup:

· Orisinalitas ide

· Kadar informasi dan manfaat bagi pembaca

· Penguasaan masalah

· Kuat lemahnya data, fakta, angka, argumentasi, analisis, ilustrasi, ukti, dll yang mendukung suatu pendapat atau pernyataan

· Penguasaan konsep kewirausahaan sosial (ide inovatif yang berdampak sosial serta pribadi yang kreatif dan beretika)

· Relevansi kewirausahaan sosial dan konteks permasalahan sosial di Indonesia

· Formulir dapat diperoleh via online di www.ashoka.or. id atau via sekretariat. Untuk iinformasi lebih lengkap, hubungi Oda di Sekretariat Ashoka Telp/Fax. 62-22-7300955- Indonesia, Email.
ashokaindonesia@ bdg.centrin. net.id

· Terima kasih atas perhatian teman-teman media untuk turut serta menjadi bagian dari solusi atas permasalahan sosial di Indonesia.

Bloggers Writing Contest

“Festival Jajanan Bango 2007”

Pengantar

Dalam rangka pelaksanaan “Festival Jajanan Bango 2007”, PT Unilever Indonesia Tbk menggelar berbagai macam lomba, dimana salah satunya adalah “Bloggers Writing Contest”. Lomba penulisan yang memperebutkan “Festival Jajanan Bango Award” ini khusus ditujukan untuk para blogger Indonesia. Lomba penulisan ini sebagai bentuk apresiasi dari Kecap Bango kepada para blogger di Indonesia untuk ikut serta dalam mengangkat citra aneka makanan tradisional dan jajanan khas Nusantara melalui media weblog di internet. Untuk itu, Kecap Bango mengundang rekan-rekan blogger kiranya dapat ikut berpartisipasi dalam lomba penulisan ini.

“Festival Jajanan Bango Award” merupakan salah satu segmen kegiatan dalam road show “Festival Jajanan Bango” (FJB) 2007, dimana gelaran acara yang dikemas secara spektakuler ini digelar di 4 kota (Bandung, Surabaya, Jakarta, Medan), sejak Maret 2007 hingga September 2007 mendatang.

Tema

“Bloggers Writing Contest” kali ini mengangkat tema “Pengalaman Bersantap di Festival Jajanan Bango 2007”, dan terbuka untuk diikuti oleh para blogger dimana saja berada.

Kriteria lomba

  • Untuk dapat mengikuti lomba ini, Anda diwajibkan mengunjungi acara “FJB 2007”. Pilih salah satu kota terdekat dimana Anda kini bermukim: Bandung, Surabaya, Jakarta atau Medan
  • Saat tiba di lokasi, daftarkan diri Anda di tenda “Media Center”. Meja pendaftaran dibuka mulai pukul 14.00 WIB hingga 17.00 WIB. Untuk pendaftaran peserta tidak dipungut biaya apapun
  • Isi blog yang Anda tuliskan menggambarkan suasana kegiatan yang digelar oleh Kecap Bango pada tahun ini, yaitu “Festival Jajanan Bango 2007”.
  • Isi blog mengkomunikasikan acara yang digelar oleh Kecap Bango dalam penyajian yang menarik, dengan gaya penulisan hendaknya mengikuti kaidah jurnalistik dan disarankan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  • Tulisan karya Anda yang akan dinilai oleh Dewan Juri adalah yang tayang di blog sebelum 1 November 2007.
  • Keputusan Dewan Juri tak dapat diganggu gugat.

Jadwal Pelaksanaan FJB 2007

Bandung: Sabtu, 3 Maret 2007 di Lapangan Gasibu, digelar mulai pukul 11.00 WIB hingga 22.00 WIB.

Surabaya: Sabtu, 5 Mei 2007 di Lapangan Jalan Basuki Rahmad (seberang Tunjungan Plaza), digelar mulai pukul 11.00 WIB hingga 22.00 WIB.

Jakarta: Sabtu & Minggu, 30 Juni – 1 Juli 2007, di Golf Driving Range Senayan, digelar mulai pukul 11.00 WIB hingga 22.00 WIB

Medan: Sabtu & Minggu, 1 – 2 September 2007 di Lapangan Benteng, digelar mulai pukul 11.00 WIB hingga 22.00 WIB

Hadiah

Hadiah untuk para pemenang lomba masing-masing kategori:

Juara 1 – Uang senilai Rp 10,000,000

+ Merchandise Kecap Bango + Award

Juara 2 - Uang senilai Rp 7,500,000

+ Merchandise Kecap Bango + Award

Juara 3 - Uang senilai Rp 5,000,000

+ Merchandise Kecap Bango + Award

Syarat keikutsertaan dalam ”Bloggers Writing Contest”

  • Memajang blog Komunitas Bango Mania dengan URL address http://kecap-bango.blogspot.com sebagai pranala luar pada blog milik Anda. Kami sarankan kepada Anda untuk mengunduh widget di Technorati.
  • Kirimkan karya Anda yang pernah tayang di blog (bukan fotokopi), internet link (URL address), plus data peserta lomba (nama, telepon, HP, e-mail dan alamat lengkap) atau lampirkan kartu nama serta foto copy KTP, tujukan ke:

Linda Riana,BW Communications, Taman Rasuna Tower 7/L 4c, Jl. H.R. Rasuna Said, Kuningan - Jakarta 12980 E-mail: linda@bwcomms.com

Pengumuman

Pengumuman pemenang lomba akan dilaksanakan pada pertengahan Januari 2008.

ALI AKBAR NAVIS


Masih “Berjalan di Sepanjang Jalan”
Malam itu, Ali Akbar Navis atau lebih dikenal AA Navis, asyik bercerita dengan Yusrizal KW, salah seorang penulis cerita pendek garda depan Sumatra Barat. Navis memuji imajinasi cerpen Yusrizal KW “Tiga Biji Korma Per Kepala”, yang dimuat Kompas, Minggu, 12 Desember 1999.

Tuesday, April 24, 2007

Komunitas Seni Hitam Putih

PEMENTASAN TEATER
Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang akan mementaskan teater berjudul "Tangga" sutradara Yursil.
Pementasan akan dilakukan pada:
  • 21 Juli 2007 di STSI Padangpanjang
  • 27 Juli 2007 di Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat

Wednesday, April 18, 2007

Sardono, Umur, dan Kepenarian

OLEH Halim HD
“Saya sudah tua, tidak akan lagi menari”, itulah sepotong kalimat yang diucapkan oleh salah satu maestro dunia tari kita, Sardono W. Kusumo, pada sesi diskusi pada acara Indonesia Dance Festival (IDF) 2006, Jakarta, setelah salah satu pertunjukan di teater kecil Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya tidak mendengarnya secara langsung. Kata-kata dari sosok yang kita segani itu saya dengar dari cerita seorang rekan yang selama beberapa hari mengikuti hajatan dunia tari yang setiap tahun senantiasa mengundang perhatian publik peminat seni pertunjukan. 

Pakarena, Jean, dan Selop

OLEH Halim HD
Usaha untuk mematut-matutkan diri bukanlah suatu yang yang buruk. Seseorang yang merasa ingin dianggap dan menjadi tinggi tubuhnya, bisa saja dia melakukan suatu operasi atau menjalankan terapi, agar tubuh dlihat semampai dan cantik berdasarkan suatu konsep tentang keindahan tubuh. Namun, sering kita juga menyaksikan betapa banyak orang yang kerap memaksakan diri, seperti halnya seseorang yang menyaksikan suatu mode pakaian yang nampak indah dalam suatu lembaran iklan atau siaran teve, dan lalu dia ingin membeli dan memilikinya. Sementara itu, dia tidak menyadari benar bahwa keindahan pakaian yang dilihatnya sudah disesuaikan dengan kondisi tubuh peraga dan juga jamannya.

Tradisi yang Kehilangan Fungsi


OLEH Halim HD
Apa yang bisa kita harapkan dari posisi kehidupan tradisi yang nampaknya kini kian rapuh, betapapun begitu banyak usaha, terutama dalam bentuk pernyataan dari rasa keprihatinan dan uji coba dalam berbagai kegiatan, dan yang paling banyak lagi adalah pidato? Pertanyaan ini kita hadapkan kepada diri kita sendiri sehubungan dengan kian derasnya laju globalisasi dalam wujudnya produksi massal dari sistem industri global kapitalisme yang secara kasat mata nampak menelikung kita dalam berbagai bentuk konsumtivisme yang sudah demikian berurat akar di dalam kehidupan masyarakat kita? 

Kuratorial Tari: Waktu, Data, dan Kejujuran


OLEH Halim HD


Di dalam peristiwa kebudayaan yang kita sebut festival yang telah menjadi tema kehidupan masyarakat seniman yang sepanjang tahun selalu dinanti-nantikan oleh pelaku, kritisi, pengamat dan publik senantiasa berhadapan dengan problema: adakah acara itu sebagai suatu peristiwa milik masyarakat bersama, ataukah hal itu sebagai acara yang digarap oleh event organizer yang kini kian menjamur dimana-mana, yang ingin mengumpulkan kalangan seniman dan mengajak kepada pelaku kesenian untuk menyajikan karya-karya yang dianggap layak untuk ditonton. Pada peristiwa seperti itu, kita sering bertanya-tanya, bagaimana mungkin misalnya sebuah acara dengan sejumlah embel-embel yang telah disebarkan kepada masyarakat, namun selalu kita juga mengalami kekecewaan didalam menyaksikan isian acara itu.

Tuesday, April 17, 2007

Ironi Sebuah Padepokan

OLEH Halim HD
Itulah yang terjadi, yang sesungguhnya sudah begitu banyak saran dan usulan untuk bagaimana menangkap gejala yang demikian deras membentuk menjadi kenyataan, yang kini sangat pahit dirasakan. Hal itu terjadi pada Padepokan Lemah Putih (PLP) yang dikelola dan dimiliki oleh sosok tokoh movement dalam dunia seni pertunjukan, Suprapto Suryodarmo, yang pernah selama rentang waktu tahun 1980-90-an demikian fenomenal sebagai figur yang ikut mengisi bukan hanya dalam bentuk acara, tapi juga khasanah dan pengenalan kepada sisi lain dari kehidupan seni pertunjukan moderen-kontemporer yang berangkat dari berbagai gabungan akar tradisi: Jawa, Buddhisme, Tai Chi, Pencak dari berbagai wilayah nusantara dan tradisi yang diajarkan pada lembaga pendidikan.

Hak-Hak Budaya dan Ruang Publik

OLEH Halim HD
Kalangan seniman moderen yang biasanya hidup di wilayah perkotaan dan dengan kesadaran kepada informasi yang tinggi dan selalu identik dengan mitos tentang proses perubahan kebudayaan dan kondisi kehidupan dalam berbagai seginya, melandasi dirinya kepada cara pandang bahwa kebebasan individu merupakan suatu pertaruhan yang utama, yang perlu dan senantiasa mesti diperjuangkan. Hak dan bahkan kewajiban seperti itu merupakan pandangan dan sikap politik yang dibawa oleh dirinya sejak ratusan tahun yang lampau, ketika masa yang dianggap sebagai suatu jaman pencerahan di mana manusia sebagai makhluk pencipta dan memilki tanggungjawab bukan hanya kepada karyanya saja, tapi juga kepada lingkungannya. 

Catatan Terbuka untuk Staf Taman Budaya Surakarta

OLEH Halim HD
Pada catatan saya yang terdahulu yang saya beri tajuk “Suksesi Murti dan Visi Taman Budaya Surakarta” yang saya tulis dari Makassar pada tanggal 12 Maret 2007, saya lebih banyak menekankan kupasan saya kepada posisi dan fungsi kepemimpinan yang pernah diletakan oleh juragane TBS sepanjang hampir 27 tahun (selama rentang waktu kekuasaan 5 presiden, 10 menteri, 10 dirjen, dari jaman Suharto, Habibie, Gusdur, Megawati sampai SBY). 

Negara, Senirupa, Kenyinyiran, dan Kambing Hitam

OLEH Halim HD
Setiap warga pembayar pajak berhak mempertanyakan dan bahkan menggugat posisi-fungsi negara: sejauh manakah pengelola negara sudah benar-benar menerapkan undang-undang yang telah disepakati, misalnya adakah negara beserta perangkatnya memberikan anggaran yang cukup bagi kehidupan kesenian, dan sejauh manakah anggaran itu memadai bagi missi kesenian yang bisa mencitrakan sebuah bangsa melalui berbagai peristiwa, apakah itu biennale (dan festival). Hal itulah yang dipertanyakan oleh para seniman-perupa dalam diskusi di Yogyakarta seperti yang ditulis oleh Kuss Indarto “Lenyapnya Negara di Seni Rupa” (Kompas Minggu 1 April 2007). Diskusi itu menggugat posisi-fungsi negara yang tidak pernah mendukung missi senirupa moderen keberbagai peristiwa antrar bangsa.

Membayangkan Yogyakarta

OLEH Halim HD
Adakah impian seorang warga tentang suatu kota yang dianggap bisa dinikmati dengan enak sebagai suatu wishful thinking, impian disiang hari bolong, pelarian dari kenyataan kehidupan sehari-hari, frozen into nosltalgia, membeku pada masa lalu? Warga sebagai pembayar pajak sesungguhnya bukan hanya berhakbertanya, tapi juga berkewajiban untuk menggugat. Untuk itulah jika saya kini berusaha membayangkan Yogyakarta yang rindang, dan asap kendaraan bermotor kian susut, dan dada terasa enak, lega, dan mata tak perih kena debu dan asap motor-mobil, dan berjalan bisa dengan santai, serta tak takut diserempet motor-mobil, dan trotoar, side walk leluasa, dan warung-warung tak sekepenake dewek membuang bekas banyu isah-isah ditempat orang lalulalang. Jika impian dan sekaligus usaha menggugat kondisi Yogyakarta kini saya lakukan, karena saya pernah menikmati Yogyakarta seperti yang saya impikan.

Festival Kesenian Yogya dan Ruang Publik


OLEH Halim HD


Sebulan-dua yang lalu saya mendapatkan kiriman email dari seorang rekan di Yogyakarta yang mengundang saya untuk terlibat dalam seminar tentang FKY (Festival Kesenian Yogyakarta). Karena saya berada di Makassar, maka saya kirimkan beberapa catatan sebagai kontribusi saya yangs elama ini melibatkan diri dalam berbagai festival di Jawa maupun luar-Jawa. Dalam kaitan dengan hal itu, ada baiknya, yang sesungguhnya untuk kesekian kalinya saya menulis tentang hal ini, membicarakan kembali, merenungi apa sesungguhnya sebuah festival, dan bagaimana sebuah kota yang dilanda oleh derasnya ekonomisasi ruang, mampu membuat festival yang bukan hanya untuk seniman saja, tapi yang terpenting adalah bagaimana melibatkan berbagai lapisan masyarakat.

Suksesi Murti dan Visi Taman Budaya Surakarta

OLEH Halim HD
Bukan bermaksud diri menepuk dada lantaran pernah dan masih tinggal di Solo, jika saya menyatakan, bahwa ada sesuatu yang sangat menarik dari posisi dan fungsi TBS (Taman Budaya Surakarta). Yang menarik itu, bukan lantaran TBS memiliki sejumlah sarana yang boleh dikatakan memadai, jauh lebih memadai dibandingkan diantara berpuluh Taman Budaya (TB) yang ada di seantero nusantara yang pernah saya kunjungi. 

Sriwedari: Hak Sejarah dan Ruang Publik

OLEH Halim HD
Dari suatu kota yang memiliki situs sejarah dan telah menjadi landmark kota yang telah berumur ratusan tahun, yang oleh warganya dianggap sebagai suatu wilayah dimana mereka mengikatkan memori sosialnya kedalam lingkungan tradisi yang menjadi salah satu cikalbakal perkembangan kehidupan tradisi kota, disitu pula warga memandang suatu wilayah sebagai milik bersama. Sebuah ruang yang dianggap sebagai milik bersama betapapun kini dalam kondisi yang merana, hampir-hampir mendekati amburadul karena tiadanya strategi kebudayaan pengelola kota di dalam pengembangan tata kota, tetap saja warga menganggap bahwa ruang itu menjadi bagian dari sejarah kehidupan sosial mereka. Marilah kita tengok Taman Sriwedari, suatu nama yang sangat indah yang diangkat dari mitos kehidupan wayang yang selama seribuan tahun telah berakar didalam benak dan tata laku warga kota, hampir-hampir kondisinya tidak lagi bisa dianggap sebagai sebuah “taman”. 

Seni Rupa di Makassar: Labirin Masalah

OLEH Halim HD
Banyak kalangan perupa di Makassar dan daerah sekitarnya di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), termasuk juga diantaranya kalangan perupa dan pengamat dari luar wilayah itu bertanya: kenapa kehidupan senirupa di Makassar dan Sulsel tidak pernah dibicarakan, dan kenapa gaung kehidupan senirupanya tak pernah kalau tidak ingin dikatakan disinggung oleh kalangan media dan pengamat? Pertanyaan itu, selalu saya dengar dari kalangan perupa Makassar sendiri maupun mereka yang berminat. Dan selama kurang lebih sekitar 10-an tahun saya bolak-balik antara Solo dan ke wilayah kebudayaan yang memiliki tiga pendukung sub-etnis (Makassar, Bugis, Toraja; dahulu empat, ditambah Mandar.