KODE-4

Tuesday, April 17, 2007

Suksesi Murti dan Visi Taman Budaya Surakarta

OLEH Halim HD
Bukan bermaksud diri menepuk dada lantaran pernah dan masih tinggal di Solo, jika saya menyatakan, bahwa ada sesuatu yang sangat menarik dari posisi dan fungsi TBS (Taman Budaya Surakarta). Yang menarik itu, bukan lantaran TBS memiliki sejumlah sarana yang boleh dikatakan memadai, jauh lebih memadai dibandingkan diantara berpuluh Taman Budaya (TB) yang ada di seantero nusantara yang pernah saya kunjungi. 
Di jaman ketika, untuk mengambil contoh yang fenomenal, dimana berbagai sensor yang dilakukan oleh kekuasaan rejim yang represif, dari tahun 1980-an sampai dengan reformasi, di situlah TBS melakukan investasi kultural, suatu penancapan cikal bakal cara pandang dan sikap dalam mengelola kehidupan kesenian dan berbagai segi kehidupan kebudayaan yang dibutuhkan bukan hanya oleh kalangan seniman saja. Tapi juga oleh warga, publik, khususnya kota Solo dan Jawa Tengah. Larangan demi larangan bisa dilewati dan berbagai pertunjukan yang tidak diperkenankan tampil dimuka publik, seperti Teater Dinasti dari Yogyakarta dan sejumlah pementasan Emha Ainun Najib bersama kelompok musik Kiyai Kanjeng yang di Yogyakarta dan beberapa daerah lain yang dilarang, bisa dan mendapatkan sambutan antusias ketika manggung di TBS. Dan pada era dimana represi politik kebudayaan dijalankan oleh rejim Orba yang mengatasnamakan stabilitas dan keamanan, dan condisioning trauma yang terus-menerus digalang dan ditancapkan kedalam benak warga tentang bahaya laten Lekra, dan sejumlah seniman Lekra tidak bisa hadir, Joko Pekik pada tahun 1993 memamerkan karyanya, pameran tunggal untuk pertama kalinya. Ada hal yang menarik sebelum pameran yang berulangkali ditunda lantaran keraguan sang perupa itu, lantaran dia “tahu diri” akibat cap sampar politik yang ditabalkan kedalam diri dan keluarganya. Dia bertanya: “Mas, apa betul TBS mau menerima saya untuk pameran tunggal?”. Saya jawab:” juragane TBS, Mas Murtijono, sudah setuju ketika saya lontarkan gagasan untuk pameran tunggal sampeyan. Tinggal sampeyan sekarang, apa siap, dan kapan siapnya untuk menggelar karya sampeyan?”. Setelah satu-dua kali penundaan, pameran diselenggarakan, dan sebagian besar karya itu terjual pada hari pertama dan kedua.
Satu-dua contoh tentang Teater Dinasti dan Joko Pekik yang menjadi momok bagi penguasa militer di Yogyakarta adalah secuil dari ratusan rencana kerja yang secara pribadi saya terlibat bersama rekan-rekan seniman dan mahasiswa untuk mengisi acara di TBS. Dan puluhan diskusi di Solo yang bahkan oleh kampus yang konon memiliki mimbar akademis dan memiliki kebebasan berbicara yang lebih luas tak mampu menyelenggarakan, TBS mengadakannya. Saya kurang tahu taktik atau strategi seperti apa yang digunakan oleh pimpinan dan staf TBS untuk “mengelabui” penguasa militer dan sipil di Solo sehingga diskusi buku tentang Pramoedya Ananta Toer misalnya, atau pembacaan puisi oleh seorang-dua penyair yang dianggap sampar politik lantaran dulu sebagai pengurus dan aktivis organisasi kesenian terlarang, bisa berjalan lancar.
Gambaran pengelolaan TBS yang gamblang, terbuka dan melibatkan begitu banyak seniman dan mahasiswa untuk memikirkan rencana kerja setiap tahunnya, adalah salah satu segi terpenting. Dibanyak daerah yang saya kunjungi, sekitar 20-an TB, saya menemukan cara kerja yang ekslusif dimana program dikelola dan diterapkan oleh staf TB sendiri, dan pelaku kesenian hanya disodorkan apa yang ada. Dan itupun jauh dari maksimal. Dari cara kerja seperti itu, dimana kongkalikong dan patgulipat melalui kuitansi kosong dan proposal yang senantiasa didongkrak anggaran kerjanya, pimpinan dan staf TB diberbagai daerah bisa mengisi koceknya sendiri. Tentu ada juga seniman yang bermain mata dan ini tidak sedikit, yang biasanya kerabat atau rekan baik, atau mereka yang bersetuju dengan patgulipat soal kuitansi dan proposal.
Ada suatu cerita yang menarik. Ini pada tahun 1993, acara Temu Teater Indonesia (TTI). Sejumlah redaktur senibudaya dari Jakarta dan berbagai daerah berdatangan. Ada seorang redaktur seni budaya yang bertanya kepada kepala suku TBS: “berapa anggaran TBS setiap tahunya?”. Sang kepala suku memanggil seorang stafnya dan meminta untuk membawa buku besar dan tebal. Dari buku itu dia membeberkan sejumlah anggaran yang ada, dan apa saja yang dijadikan prioritas, dan mana yang menjadi bagian dari usaha untuk membuka kemungkinan acara baru, disamping yang mesti diselenggarakan setiap bulannya, seperti wayang kulit, keroncong, karawitan. Di sebuah kafe, beberapa redaktur yang mengundang saya untuk kongko menyatakan bahwa mereka bukan hanya jarang tapi juga tidak pernah bertemu dengan cara atau manajemen seperti itu. Hal itu ditegaskan oleh seorang redaktur Surabaya Post, yang tidak pernah bisa mengalami hal sepertit itu di Taman Budaya Jawa Timur. Sementara almarhum Joko “Gojek” Santosa, jurnalis Suara Merdeka sambil ngakak menambahkan: “kalau perlu Anda melakukan audit, dan kepala suku pasti bersedia”.
Keterbukaan didalam mengelola program dan anggaran serta melakukan de-birokratisasi adalah salah satu kekuatan yang dimiliki oleh TBS. Dengan itu pula dan ditambah oleh cara pandang pimpinan yang mengajak stafnya bahwa TBS adalah milik publik yang mengharuskan seluruh staf memberikan pelayanan yang terbaik. TBS sebagai “taman” yang terbuka bagi siapa saja sebagaimana peletakan dasar sejak awal tahun 1980-an, dan dari situ pula TBS yang secara administrasi milik Jawa Tengah, mampu mengemban dan mengembangkan citra, image, sebagai lembaga kebudayaan dan kesenian yang melintasi batas-batas wilayahnya. Ketika saya berkujung keberbagai daerah di Sumatera, Sulawesi, Bali, Lombok, Kalimantan dan berbagai kota di Jawa, selalu kalangan seniman bertanya tentang TBS, dan disitu pula suatu citra yang terbentang dan tertanam dengan baik, tumbuh di dalam diri kalangan seniman bukan hanya di Solo tapi juga di berbagai geografi kultural. Di Tokyo, seorang sutradara The Black Tent Theatre, Makoto Satoh dan isterinya, koreografer dan pendiri Dance Zero-One (sebelumnya bernama Takeya Contemporary Dance Company), punya kesan yang baik tentang TBS. Di Bandung, sebuah kota yang dianggap sebagai “gudang seniman” dan memiliki berbagai jenis dan bentuk ruang untuk berkesenian, dalam sebuah obrolan santai di kantor koran Pikiran Rakyat, almarhum Suyatna Anirun, redaktur senior dan sutradara handal dan pendiri STB (Studiklub Teater Bandung) menyatakan kepada saya: “Rasanya seperti di rumah sendiri. Sampai-sampai saya lupa pamit ketika saya pulang ke Bandung. Tolong, mas, sampaikan maaf dan terima kasih saya kepada teman-teman di TBS”. Itu diucapkan oleh pakar teater realis ketika almarhum datang bersama STB untuk kesekian kalinya. Hal yang sama juga dirasakan oleh Slamet Raharjo dan almarhum Max Arifin, untuk menyebut dua sosok dunia seni pertunjukan dan film, walaupun dalam kapasitas menonton berbagai pertunjukan dalam suatu festival yang diselenggarakan oleh berbagai komunitas kesenian, dalam obrolan di Sor Pelem. Alamarhum Bagong Kussudiarja, Jadug Ferianto, Butet Kertarejasa, Emha Ainun Najib, Umar kayam, Bakdi Soemanto, Darmanto Jt., Rendra, Ratna Sarumpaet, Andi Ummu Tunru, Basri B. Sila serta puluhan dan mungkin ratusan pelaku seni pertunjukan diberbagai daerah punya kesan yang mendalam terhadap TBS, sama seperti kalangan jurnalis dari berbagai media massa cetakan dan elektronika.
Saya telah menyinggung soal pelibatan berbagai seniman secara individual maupun komunitas. Inilah hal yang terpenting yang dilakukan oleh TBS. Interaksi yang bersifat personal namun kritis dan kesediaan TBS untuk menampung berbagai gagasan dan sambutan TBS yang dirasakan tanpa suatu sikap birokratis membuat hubungan itu terasa intensitasnya, dan menghasilkan rumusan gagasan dalam bentuk kerja dan peristiwa yang menguyndang decak kagum dari kalangan seniman dan jurnalis diberbagai daerah. Berbagai rencana kerja, misalnya, “Nur Gora Rupa” (1994), “Refleksi Setengah Abad Republik” (1995) adalah contoh dimana diskusi dan lontaran gagasan yang digelar disebuah warung bisa dirumuskan dan secara tangkas dan sigap ditangkap oleh TBS, dan menjadikan TBS sebagai lembaga senibudaya yang fenomenal, seperti yang ditulis oleh jurnalis Kompas – waktu itu – Sujiwo Tejo. Dan hal itu sebenarnya hanya secuil contoh dimana sikap terbuka dan mewujudkan bagaimana menjadikan TBS bukan sekedar kepanjangan tangan pemerintah. Marilah kita baca kembali kliping koran tentang “Perdebatan Sastera Kontenstual” yang dilansir oleh Ariel Heryanto dan didukung oleh Arief Budiman dan Romo Mangunwijaya dan sejumlah sasterawan dan penulis muda. Bayangkan pada waktu itu, Oktober 1984, ketika rejim Orba demikian perkasanya dan demikian intensifnya melakukan kontrol, TBS menerima dan bersedia sebagai salah satu sponsor utama untuk acara yang dianggap oleh sejumlah seniman senior di Solo sangat riskan, sebab para pembicaranya dianggap dari “sayap kiri” (dan kere, kata Darmanto Jt.). Sekali lagi, TBS membuktikan dirinya sebagai lembaga publik yang dikelola dan dibiayai oleh pemerintah, namun dengan cerdas dan visioner, meletakan dasar lembaga publik yang memiliki kemestian untuk membuka diri selebar-lebarnya demi kebutuhan ekspresi warga dan khususnya seniman, dan kebutuhan kepada arus pemikiran jaman yang lain.
Di antara itu, khususnya juragane TBS yang juga menganggap bahwa dirinya sebagai manajer yang mengelola kehidupan kesenian, perlu melakukan eksperimentasi program sebagaimana juga kalangan seniman melakukan eksperimentasi didalam cara kerja dan produksinya. Nah, disinilah yang juga bisa kita petik: TBS dijadikan sebagai laboratorium bagi arah pemikiran yang secara praktis diterapkan pada berbagai rencana kerja yang terbuka, dan merayakan suatu acara bukan lantaran hal itu sudah ada. Yang lebih penting, bagaimana melakukan rangsangan kepada kalangan seniman secara individual dan komunitas masuk kedalam arus bukan hanya untuk presentasi karyanya saja, tapi juga mesti melihat kedepan: sejauh mana kesenian memiliki manfaat untuk jangka panjang bagi kehidupan sosial-politik dan perubahan jaman. Mungkin hal ini dirasakan berlebihan. Menurut saya, hal itu konsekuensi logis dari proses sejarah dimana kehidupan sosial mengalami stagnasi akibat berbagai tekanan politik praktis dari penguasa, maka diperlukan suatu lobang, aliran dari arus yang mungkin awalnya kecil yang akan menjadi fenomena dan realitas yang dipegang oleh masyarakat: kriwikan dadi grojogan”.
Marilah kita coba mengingat kembali sejumlah lakon dan pertunjukan Teater Gapit, walaupun kini bankrut, adalah lantaran dukungan kuat TBS, seperti juga hadir dan munculnya Teater Ruang, Teater Gidag Gidig dan puluhan grup “teater kampus” yang boleh dikatakan lebih leluasa latihan dan manggung di TBS ketimbang di kampusnya sendiri. Dalam dunia tari sosok Jarot Budidarsono, Mugiyono, Eko PC, Fitri, Rini Endah, Kadek untuk menyebut beberapa sosok yang memulai pada sekitar awal 1990-an dan awal 2000-an, dan kini mereka melintasi batas-batas, seperti juga Slamet Gundono yang bermain dalam berbagai media. Dunia musik, tak sedikit yang merasakan kontribusi TBS: Sadra, Yayat Suhiryatna, Dedek Wayudi, Gondrong, Rudi, Mack Baihaqi. Dan tentu, Suprapto Suryodarmo, shaman dancer, yang memiliki jaringan antar bangsa dan memiliki padepokan Lemah Putih juga ikut merasakan manfaat kehadiran TBS. Ada begitu banyak sosok dari kaum muda yang pada tahun 1980-an kini menjadi sosok seniman yang telah “menjadi orang”, yang kini juga masih saya rasakan berlanjut kepada mereka yang meneruskan rintisan cara kerja yang telah dijalani oleh “seniornya”.
Tentu bahwa eksistensi mereka yang dianggap “menjadi orang” di dalam profesi dunia kesenian berkaitan dengan spirit dan cara kerja personal yang menganggap bahwa jalan itu sebuah wilayah yang oleh “langit” telah disediakan. Tapi lahan itu mesti digarap dan disemai. Saya menyaksikan tak sedikit seniman yang juga mengalami patah dijalan, sekedar menjadi petugas administrasi, atau broker kelas lokal yang menghimpit-himpitkan dirinya kelingkungan pemkot mengais sekepeng-dua pengisi kocek. Apa yang ingin saya tegaskan disini adalah kaitan kuat antara kapasitas personal seniman dengan adanya suatu lembaga yang meletakan dirinya sebagai ruang publik yang terbuka yang mau menerima dan bersedia untuk melakukan kolaborasi kerja: menyediakan ruang dan proses eksplorasi kreatif, tanpa seniman merasakan kunkungan birokratisasi seperti yang banyak dialami oleh sejawatnya diberbagai daerah, ditambah oleh cara-cara patgulipat yang membuat harga diri kian ambrool.
Wilayah kesenian yang kini kita hadapi relatif bukan lagi masalah kontrol dari sistem sosial-politik dari penguasa. Diantara berbagai soal yang dihadapi dunia kesenian, ada yang lebih kuat: kekuasaan politik ekonomi dengan “ideologi angka” yang disadari atau tidak akan dan selalu memasuki wilayah kerja kesenian dan kebudayaan. Di dalam hal ini arus yang telah menjadi kembang lambe, buah bibir bagi siapa saja yang namanya proses globalisasi merasuki berbagai wilayah kehidupan kita. Soal yang kita hadapi selama ini, misalnya ketika kita bicara soal posisi dan fungsi tradisi, selalu saja kita mencari scape goat, kambing hitam: mencari kesalahan kepada pihak luar untuk menyatakan bahwa tradisi kita rusak oleh kekuatan yang datang dari mancanegara. Ironi dari hal ini, sementara kita menyalahkan kekuatan globalisasi, sementara itu pula kita menikmatinya: betapa banyak dalang dan seniman tradisi yang ber-hape-ria hanya sekedar untuk menyatakan dirinya memasuki dunia moderen, dan hape menjadi sekedar status simbol yang digonta-ganti setiap bulannya, dan bila perlu dua-tiga kali. Belum lagi wilayah ruang tamu yang dijejali oleh berbagai produk, dan betapa “bahagianya” kalangan seniman, moderen dan tradisi, ketika memasuki ruang-ruang mall, dan menganggap diri telah menjadi bagian anak jaman yang sah. Namun, diantara itu pula, kita rasakan keluh kesah yang terus menerus tentang ketergusuran posisi dan fungsi berbagai khasanah kesenian tradisi.
Masalah yang kita hadapi sesungguhnya adalah, sejauh manakah diri kita mampu melakukan bargaining ketika globalisasi merasuki wilayah sosial dan personal kita, dan disitu pula kita mampu menyiapkan diri untuk menerima berbagai konsekuensi logis dari perkembangan jaman, yang memang tak bisa ditolak. Dengan kata lain, sikap menerima diri kita mestilah bukan lantaran sikap keterpaksaan, bukan juga lantaran bahwa disitu ada sejumlah deposito yang bisa kita raih dan mengalihkannya ke dalam kocek pribadi kita. Ingat, globalisasi merupakan arus yang diciptakan oleh kekuatan kapitalisme dengan landasan neo-liberalisme, dan disitu pula proses produksi yang culturalized yang membuat setiap orang merasa “berbudaya-kembali” hanya jika menerima dan melahap setiap produk industri. Dan teve merupakan ujung tombak dari globalisasi yang utama, yang membuat siapa saja terpukau, dan disitu pula terjadi proses pergeseran nilai dan tingkah laku.
Kita membutuhkan strategi dan politik kebudayaan yang lebih jelas. Soal ini menyangkut masalah sistemik. Dan menyangkut soal ini, mengharuskan diri kita untuk terus-menerus melakukan eksplorasi, melacak kembali akar kita untuk menancpkannya pada masa kini demi kebutuhan masa yang akan datang. Maka, secara praktis, sambil menunggu momentum yang tepat, secara lokal maupun internasional, arus perubahan yang bisa mengimbangi antara kapasitas lokal dan arus globalisasi, kita membutuhkan berbagai ruang-ruang laboratorium kesenian dan kebudayaan. Hal inilah yang ingin saya tekankan kepada TBS dan kalangan seniman secara individual maupun komunitas.. TBS mesti kembali merenungi perjalanannya yang telah hampir 30 tahun, dan pimpinannya yang akan pensiun pada bulan Juli 2007, yang telah mengelola selama 27 tahun, harus merefleksikan kembali, dan merumuskan suatu strategi praktis dan visioner. Dan hal itu terletak masih harus pada hubungan yang terbuka. Yang perlu dikembangkan oleh TBS yang akan datang hendaknya tidak lagi sekedar berada di wilayahnya dalam pengertian di Kentingan atau di Solo saja. Dia perlu mengembangkan jaringan yang intensif dengan berbagai komunitas, dan komunitas ini perlu didukung dalam kaitannya pembentukan dan pengembangan kembali ruang-ruang publik, balai-balai kampug, balai-balai desa, latar amba yang kini kian menyusut atau bahkan musnah dalam kaitannya dengan hak berekspresi warga dalam berkebudayaan. Sebab, kolonisasi mutahir yang terjadi bukan di istana, bukan pula di pusat kekuasaan. Tapi di ruang-ruang tamu, rumah-rumah warga yang memiliki teve, dan waktu mereka habis oleh itu, menggantikan berbagai ekspresi tradisi lokal yang kini kian luntur, yang ditambah pula ketiadaan ruang-ruang publik disekitarnya, yang dahulu menjadi wilayah berekspresi. Dan selama ini, kebanyakan seniman merasa puas dengan fasilitas yang ada di TBS; mereka terlena dan bersikap masabodoh oleh proses ekonomisasi ruang perkotaaan dan desa-desa. Maka usaha pencarian akarnya kembali, adalah konsekuensi logis secara intelektual, etik dan moral: merumuskan kembali tata ruang berekspresi bersama warga dan seluruh elemen masyarakat.
Dalam menyambut usaha pelacakan dan eksplorasi akar kehidupan kesenian dan kebudayaan yang akan datang, diperlukan visi yang menjadi rumusan awal bagi strategi praktis TBS. Dan visi itu, tidak harus hanya oleh seorang pimpinan yang baru beserta stafnya yang tentu masih gamang. Murtijono pun dahulu sangat manfaatkan, dan dia tahu betul bahwa dirinya memiliki keterbatasan dalam informasi, data serta hubungan sosial dan personal dengan kalangan seniman diberbagai daerah. Makanya dia membuka diri. Sekali lagi, pimpinan TBS yang baru perlu belajar dari pendahulunya: membuka diri selebar-lebarnya, melakukan de-birokratisasi, berani koceknya diperiksa, berani debat-diskusi soal rencana kerja, mau datang ke berbagai komunitas, silaturahmi, dan jangan hanya sibuk dan ngapurancang jika pejabat propinsi atau pusat yang datang berkunjung. Maka public hearing, melakukan dengar-pendapat secara kontinyu sebanyak 2-3 kali setahun perlu diadakan, dan didukung oleh pertemuan informal yang santai. Dengan begitu, sangat mungkin berbagai gagasan akan muncul dan tumbuh berkembang yang akan menjadi rumusan visi pada setiap rencana kerja. Dengan kata lain, dengan kebersamaan kita bisa meraih apa yang kita harapkan. Dan harapan itu, hanya bisa ter/di-wujudkan apabila pimpinan TBS tidak hanya bersibuk dengan proyek di sekitar lahannya sendiri, pembangunan berbagai fasilitas tambahan. Jika dia hanya mengurusi dan berkutat dengan masalah seperti itu, maka citra TBS yang selama rentang waktu hampir 30 tahun yang telah ter/di-bangun dengan keringat yang bercucuran dan dengan biaya ratusan miliar sepanjang keberadaan TBS, akan surut dan sirna. Yang ada sejumlah rumor, gosip, isu yang membuat kita merasa muak. Dan bisa-bisa akronim TBS berubah menjadi: “Tempat Buaya Siluman”, atau “Tempat Buaya Seniman”. Dan hal seperti ini tentu tidak kita inginkan.
Satu hal lagi yang ingin saya sampaikan disini: bukankah pimpinan TBS yang baru bisa belajar dari pengalaman ketika menjadi mahasiswa ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) disamping dari lingkungannya sendiri; dan bukankah pimpinan yang akan datang juga mengalami lintasan sejarah bersama almarhum Sedyono “Gendhon” Humardhani; dan dirinya bisa membandingkan perbedaaan spirit, sikap dan cara pandang antara ASKI, STSI dan lalu menjadi ISI; apakah dirinya bisa memahami dan merasuki spirit dan laku Sedyono “Gendhon” Humardani dan menerapkannya; atau dia mengulang dari kebanyakan cantrik pak “Gendhon” yang kini kebanyakan jadi birokrat, yang tak segan-segan bermain patgulipat. Dan kita berharap kepada pimpinan TBS yang baru agar ingat dan merenungi serta mengambil manfaat dari lintasan sejarah yang pernah dimasukinya. Sebab, jika tidak dia seperti bunyi ungkapan yang telah menjadi isyarat jaman, dan menjadi “Si Malin Kundang” versi Surakarta.***
Makassar, 12 Maret 2007
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih Solo

No comments:

Post a Comment