KODE-4

Tuesday, April 17, 2007

Sriwedari: Hak Sejarah dan Ruang Publik

OLEH Halim HD
Dari suatu kota yang memiliki situs sejarah dan telah menjadi landmark kota yang telah berumur ratusan tahun, yang oleh warganya dianggap sebagai suatu wilayah dimana mereka mengikatkan memori sosialnya kedalam lingkungan tradisi yang menjadi salah satu cikalbakal perkembangan kehidupan tradisi kota, disitu pula warga memandang suatu wilayah sebagai milik bersama. Sebuah ruang yang dianggap sebagai milik bersama betapapun kini dalam kondisi yang merana, hampir-hampir mendekati amburadul karena tiadanya strategi kebudayaan pengelola kota di dalam pengembangan tata kota, tetap saja warga menganggap bahwa ruang itu menjadi bagian dari sejarah kehidupan sosial mereka. Marilah kita tengok Taman Sriwedari, suatu nama yang sangat indah yang diangkat dari mitos kehidupan wayang yang selama seribuan tahun telah berakar didalam benak dan tata laku warga kota, hampir-hampir kondisinya tidak lagi bisa dianggap sebagai sebuah “taman”. 
Perkembangan kota Solo yang selama hampir 30-an tahun khususnya sejak rejim Orba menancapkan kekuasaannya, Taman Sriwedari yang legendaris itu dan menjadi citra kota, dan selalu menjadi idam-idaman warga kota lainnya untuk mengunjunginya. Mereka menganggap belum menginjak kota Solo jika belum mengunjungi Taman Sriwedari. Namun, dalam rentang waktu 30-an tahun terakhir ini, ketika walkot Hartomo dan penerusnya menjadi penguasa kota, boleh dikatakan tidak dipedulikan sama sekali. Taman Sriwedari menjadi nampak kumuh. Padahal dahulu menjadi jembatan kebudayaan dan tradisi melalui tontonan Wayang Orang dan Kebun Binatang yang bagi warga kota menjadi kebanggaan, dan sekaligus tempat warga untuk meluangkan waktu, bersantai dan mempertalikan dirinya ke dalam ikatan tradisi.
Dan kini kembali kita dengar tentang Taman Sriwedari yang digugat oleh mereka yang merasa “memiliki”. Dan ini adalah untuk kesekian kalinya. Sepanjang pengetahuan saya, pada tahun 1980-an dan 1990-an, sebuah keluarga juga telah menggugat, dan nampaknya tidak berhasil. Saya tidak ingin memasuki wilayah perdebatan hukum yang entah kapan hal itu bisa diselesaikan. Apa yang ingin saya sampaikan disini adalah posisi dan fungsi Taman Sriwedari sebagai public space (ruang publik) yang sangat penting kaitannya dengan hak-hak warga didalam menyatakan ekspresi budayanya. Diantara latar amba di perkampung kota Solo yang kian musnah akibat pembangunan perumahan yang tidak terkontrol, dan kian rusaknya selera tata ruang bagi kehidupan sosial warga, maka kita kini makin membutuhkan suatu ruang publik yang benar-benar menjadi milik warga kota yang bisa digunakan warga untuk bukan hanya bersantai. Tapi lebih dari itu, untuk kembali mengikatkan diri kepada rentangan sejarah sosial yang pernah dimiliki oleh para pendahulunya.
Sebuah taman sesungguhnya bukanlah sekedar wilayah, meminjam ungkapan jurnalis Uruguay Eduardo Galeano, frozen into nostalgia. Taman dimanapun juga menjadi ruang bagi warga untuk merefleksikan diri, merenungi rentangan kehidupan yang dahulu dan kini. Dan dengan taman itu pula warga bukan hanya secara fisik makin sehat lantaran secara ekologis taman memang bisa menjadi paru-paru kota. Lebih dari itu, secara psikologi-sosial, taman merupakan sebuah jendela, sebuah katup bagi kondisi emosionalnya diantara tekanan hidup sehari-hari. Dan dari taman itu pula ikatan sosial warga satu dengan warga lainnya bisa saling mengaitkan, dan disitu pula kita harapkan suatu dialog santai namun intens, pembentukan sejarah lisan, oral history yang beragam berdasarkan pengalaman pribadi warga.
Kita berharap kepada pengelola kota yang sekarang, setelah Taman Banjarsari bisa dibereskan dan kembali asri, ditata kembali dari kekumuhan yang selama bertahun-tahun membuat taman itu nampak bukan hanya kotor, tapi juga membuat orang selalu enggan untuk mengunjunginya lantaran identik dengan wilayah kriminal, bisa kembali menghadirkan Taman Sriwedari seperti sediakala. Harapan ini bisa kita kembangkan juga sehubungan dengan posisi, fungsi dan kondisi kini tentang Taman Balekambang, yang dahulu menjadi bagian penting dari citra kota Solo, sebagaimana juga Alun-Alun Lor dan Alun-Alun Kidul yang selama puluhan tahun identik dengan wilayah pelacuran kelas bawah.
Dalam kaitan rekonstruksi dan pelestarian taman-taman kota yang telah menyejarah itu, ada baiknya pihak pengelola kota, khususnya walkot, membuka dialog secara terbuka, public hearing, dengan warga kota. Sebab, satau hal yang perlu juga kita sampaikan disini, sehubungan dengan tingkah laku mereka yang selalu menabalkan dirinya stake holder, khususnya kalangan seniman yang selalu bicara tentang “gerakan kebudayaan” dan mengatasnamakan warga kota tak pernah memiliki komitmen yang tulus. Sebab, dibalik proposal yang mereka susun, terdapat sejumlah kepentingan politik-ekonomi. Dan kita sebagai warga kota Solo menginginkan hak-hak ruang publik itu benar-benar dibicarakan secara terbuka bersama publik, warga kota, dan dirumuskan secara professional yang didasarkan kepada azas keadilan sosial bagi warga.***
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Pinilih

No comments:

Post a Comment