KODE-4

Tuesday, April 17, 2007

Hak-Hak Budaya dan Ruang Publik

OLEH Halim HD
Kalangan seniman moderen yang biasanya hidup di wilayah perkotaan dan dengan kesadaran kepada informasi yang tinggi dan selalu identik dengan mitos tentang proses perubahan kebudayaan dan kondisi kehidupan dalam berbagai seginya, melandasi dirinya kepada cara pandang bahwa kebebasan individu merupakan suatu pertaruhan yang utama, yang perlu dan senantiasa mesti diperjuangkan. Hak dan bahkan kewajiban seperti itu merupakan pandangan dan sikap politik yang dibawa oleh dirinya sejak ratusan tahun yang lampau, ketika masa yang dianggap sebagai suatu jaman pencerahan di mana manusia sebagai makhluk pencipta dan memilki tanggungjawab bukan hanya kepada karyanya saja, tapi juga kepada lingkungannya. 
Dunia berpusat kepada dirinya, dan disitu pula kita menyaksikan suatu perspektif antroposentris yang kini masih juga dianut dan bahkan dijadikan andalan untuk mempertahankan posisinya. Pada tahapan yang paling ekstrim dari sikap dan cara pandang antroposentrisme itu, juga memasuki wilayah cara pandang umumnya manusia, maka kita dapatkan dimana setiap makhluk menganggap dirinya sebagai pusat dari perubahan dan pengelolaan jaman dan dunia semesta. Akibat dari sikap semacam ini maka kita temukan kerakusan yang diciptakan oleh manusia yang dilandaskan kepada produk yang diciptakannya, yang dihasilkan dari pengelolaan, atau tepatnya eksploitasi kepada alam lingkungannya. Kerusakan ekologis, jutaan hektar hutan tropis musnah setiap tahunnya yang kian parah itu, adalah salah satu tema sentral kehidupan masakini yang kian kita rasakan sejak tema kehidupan dilandasi oleh ideologi pembangunan. Ideologi ini yang menganggap bahwa kesejahteraan manusia perlu dan mesti ditingkatkan berdasarkan ukuran ekonomi semata; dan kesejahteraan itu pula yang telaha memperangkap manusia kedalam berbagai bentuk dan jenis kerakusan yang dirangsang oleh berbagai dorongan yang merasuk ke dalam diri manusia dalam bentuk konsumtivisme. Konsumtivisme inilah yang kini telah menjadi darah daging siapa saja, dan seluruh getaran urata syarat menjadi dorongan syahwat dari hewan yang menelan apa saja yang diproduksi.
Dan seniman moderen yang telah menjadi ujung tombak dalam perubahan itu, disitu pula dirinya memegang andil, saham didalam penciptaan dunia yang rakus melalui berbagai bentuk dan jenis disain visual, bebunyian yang ikut merangsang dan menggoda, berbagai koreografi yang dijadikan sarana bagi iklan yang kini menjadi khasanah kebudayaan, penelitian, pengembangan dan penerapan rekayasa psikologi dijadikan sebagai acuan untuk mengembangkan pasar dan disatupadukan dengan karya seniman moderen. Ketika seluruh enerji manusia moderen yang namanya seniman digabungkan dengan para ahli ilmu sosial, psikologi dan manajemen, maka lengkaplah penaklukan jaman yang ujungnya diderita oleh sesama yang masih melata, yang mengais sekeping kepeng atau seremah isi perut.
Ironi dari dunia seniman moderen adalah ketika dirinya menikmati kondisi kesejahteraan yang pada tahapan yang paling ekstrim demikian tinggi dirinya berdiri, berpijak di atas – meminjam istilah Peter Berger - kurban primida manusia. Sementara itu pula dirinya menyatakan ikut bertanggungjawab kepada lingkungannya dalam suatu konsep, pemikiran dan bentuk serta jenis ekspresinya yang senantiasa pula mendapatkan sambutan gegap gempita di antara barisan kata emi kata, kalimat demi kalimat yang menghablur pada lembaran dan sorotan berbagai media massa yang kian mengjangkau keberbagai ruang kehidupan. Legitimasi bukan hanya diperlukan tapi juga suatu kepentingan yang saling mengisi, kepentingan bersama dengan pengelola kapital atas nama kemajuan jaman. Atas nama kesenian, atas nama ekspresi dirinya, dan mengatasnamakan lingkungan serta kehidupan kemasyarakatnnya, sang seniman menolak segala sesuatu yang dianggap larangan. Semuanya tiada tabu. Segala sesuatunya mesti bisa dikerjakan dan diekspresikan berdasarkan kepentingan kesenian moderen yang selalu menuntut bahwa dirinya mesti mengubah jaman. Penabalan dan pendakuan itu menjadi privelese yang sampai kini masih diyakini. Dan dengan itu pula dirinya bagaikan hewan dengan kacamata kuda yang hanya memandang ke depan, yang berkejaran dengan impian, harapan, cita-cita dirinya sendiri.
Sementara itu, pada taraf yang maling mikro namun tersebar disegala peloksok disekitar kehidupan seniman moderen, kita temukan kondisi yang paling kasat mata: suatu lingkungan di antara tetangganya, yang menjadi bagian dari sejarah dirinya, kehidupan masyarakat tradisi di pedesaan dan kampung-kampung di wilayah perkotaan yang kehilangan ruang sosial bagi warga untuk menyatakan dirinya, kehilangan public space akibat proses pembangunan yang menggusur setiap jengkal tanah untuk kepentingan ekonomi. Dan dengan landasan kepentingan ekonomi itu pula khasanah tradisi yang dahulu menjadi akar bagi kehidupan dan pergaulan sosial warga diposisikan sebagai benda dan jenis kehidupan “kelas kambing”: siapapun dirinya dari setiap warga yang tidak menganut aliran dan arus besar moderenisasi akan ditinggal oleh jaman. Bila perlu, dilindas dan dijadikan sekedar tambalan bagi ruas lalulintas arus pemikiran dan proses bentuk dan produksi moderenisasi.
Dan moderenisasi itu kini menggusur balai-balai desa yang hanya sekedar dijadikan rapat lurah, yang dahulunya menjadi bagian penting bagi kehidupan warga untuk menyatakan diri melalui berbagai ekspresi dirinya, serta berbagai kebutuhan dari irigasi sawah, panen yang gagal, upacara bersih desa, dongeng dan cerita dari para tetua dan sesepuh desa dan kampung, sampai dengan pertemuan untuk membicarakan perkawinan tetangga. Sementara balai desa dikoloni dan dikooptasi oleh kekuatan birokrasi yang menjadi elemen penting moderenisasi, di bagian luar rumah-rumah warga dimana latar amba (tanah lapang) yang menjadi tempat bermain anak-anak, menyatakan diri melalui dolanan (permainan anak-anak) serta berbagai upacara warga diubah menjadi pendukung sarana lalulintas sistem transportasi bermotor, dan real estate tingkat lokal. Semuanya atas nama pembangunan, kemajuan jaman dan tentu moderenisasi.
Adakah seniman moderen yang tinggal diperkotaan pernah menengok kembali wilayah pedesaan, kampung-kampung halamannya, ruang sejarah sosial dimana dirinya pernah lahir dan tumbuh walau sesaat, dan merenunginya kembali pada jaman kiwari, dan memberikan empatinya, solidaritas sesama warga? Sebab, memperjuangkan hak bicara, hak-hak berbudaya dan hak-hak mengekspresikan diri secara lisan, tulisan maupun melalui berbagai bentuk produk karya kesenian moderen yang sering terasa sangat vokal yang dilakukan oleh seniman moderen diantara kegagapan dan budaya bisu wong ndesa, rasanya tidaklah absah, tak memiliki validitas jika dirinya masih hanya berkutat dalam sikap antroposentris yang menganggap segala sesuatu berpusat kepada dirinya sendiri, yang selama ini disadari atau tidak dirinya telah masuk kedalam perangkap dari impian, cita-cita dan harapan yang obsesif kepada lingkungan keluarganya saja.. Atau dirinya telah merasa puas jika telah memasuki arena dan dilegitimasikan oleh taman budaya, dewan kesenian (city art council), pusat kesenian (art center) dari tingkat lokal, nasional dan internasional, dan menutup mata terhadap tetangganya yang dibelenggu oleh program kepariwisataan yang banal dan dangkal, demi sekepeng-dua penyambung hidup?
Dan dari ruang publik yang kian menyusut atau bahkan kian musnah, termasuk juga di wilayah perkotaan yang dialaminya sendiri semestinya seniman moderen bisa ikut bicara dan mempertanyakan kembali dan mengukur sejarah sosial yang kini dialaminya: sejauh manakah hak-hak azasi berkebudayaan dan berkesenian bisa diukur sebagai pembuktian kehidupan kesenian dan kebudayaan memang benar-benar dirasakan oleh semua warga, jika disekelilingnya tidak ada lagi ruang bagi warga tradisi untuk menyatakan dirinya di balai-balai desa atau di latar amba. Sebab, betapa tidak lucunya jika warga desa dan kampung berjejalan di ruang tamunya yang juga sudah dijejali oleh berbagai produk industri. ***
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih Solo

No comments:

Post a Comment