KODE-4

Tuesday, April 17, 2007

Membayangkan Yogyakarta

OLEH Halim HD
Adakah impian seorang warga tentang suatu kota yang dianggap bisa dinikmati dengan enak sebagai suatu wishful thinking, impian disiang hari bolong, pelarian dari kenyataan kehidupan sehari-hari, frozen into nosltalgia, membeku pada masa lalu? Warga sebagai pembayar pajak sesungguhnya bukan hanya berhakbertanya, tapi juga berkewajiban untuk menggugat. Untuk itulah jika saya kini berusaha membayangkan Yogyakarta yang rindang, dan asap kendaraan bermotor kian susut, dan dada terasa enak, lega, dan mata tak perih kena debu dan asap motor-mobil, dan berjalan bisa dengan santai, serta tak takut diserempet motor-mobil, dan trotoar, side walk leluasa, dan warung-warung tak sekepenake dewek membuang bekas banyu isah-isah ditempat orang lalulalang. Jika impian dan sekaligus usaha menggugat kondisi Yogyakarta kini saya lakukan, karena saya pernah menikmati Yogyakarta seperti yang saya impikan.

Bukankah pada akhir tahun 1960-an dan sepanjang tahun 1970-an Yogyakarta bisa dengan enak dinikmati, tidak seperti sekarang. Untuk menggugat kondisi Yogyakarta sekarang kita tidak perlu menjadi seorang pakar lingkungan. Silakan jalan dari stasiun Tugu ke arah Tugu, atau ke pasar (Lu)bering Harjo, melintasi Malioboro maka hidung dan mata kita terasa pedih, seperti kita mengalami di jalan Cornel Simanjuntak, Diponegoro, Katamso, dan beberapa ruas jalan lain yang membuat kulit kita dengan sekejab disergap oleh udara dan debu. Sementara itu telinga kita juga tak bisa lowong dari deru kendaraan, klakson yang tak pernah berhenti dari tugasnya yang dibebankan secara berlebihan.
Dan impian saya mungkin tak pernah didengar oleh “wakil rakyat” dan kalangan eksekutif yang selalu teriak “atas nama dan kehendak rakyat” ketika mereka pidato pada masa kampanye, atau ketika mereka diwawancarai oleh media massa. Aneh bin ajaib, apakah mereka tidak tahu terhadap kondisi yang dihadapi oleh wargakota. Atau mereka menganggap seperti rumah, kendaraan dan kantor mereka yang sudah dipenuhi oleh penyejuk udara, dan itu suatu “kenikmatan” yang telah membutatulikan mereka, menjadi bebal lantaran jadi kere munggah bale?
Yogyakarta kini menjadi belantara bangunan fisik yang didorong oleh syahwat politik ekonomi atas “kemajuan jaman” yang kini membuat orang sesak untuk bernapas. Dan kesesakan itu bukan hanya berpengaruh secara fisik, juga pikiran dan perasaan kita beserta benih bayi dan anak-anak yang kini sedang tumbuh berkembang yang akan kian susut dalam kapasitas pertumbuhannya. Dengan kata lain, perkembangan urban areas, tata ruang perkotaan yang tidak didasarkan kepada kesadran lingkungan, ekologis, akan mengakibatkan suatu degradasi bagi generasi yang akan datang didalam pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan emosional dan intelektual, dan menciptakan watak yang tak sabaran, mudah marah.
Secara praktis, Yogyakarta yang mengemban masa lampau yang mengemban begitu banyak khasanah tradisi, dan hal itulah yang selalu diagul-agulkan dalam dunia pariwisata, yang kini menjadi pertanyaan kita, adakah khasanah tradisi itu hanya sekedar dijadikan kembang lambe bagi kalangan turis, dan kita tak pernah belajar dari masa lampau tentang suatu lingkungan yang lebih baik, yang sesungguhnya secara ekonomis akan lebih bermanfaat: potensi manusia yang akan berkembang dengan baik sebagai sumber dari segala sumber untuk penciptaan kebudayaan? Dan kenapa pula isyarat jaman melalui gempa bumi Yogykarta tidak ditangkap sebagai suatu pertanda tentang ekologi Yogyakarta yang kini kian bubrah?
Membayangkan Yogyakarta yang rindang, sejuk bukan lantaran air conditioning bukanlah – meminjam ungkapan Eduardo Galeano, penulis Uruguay – frozen into nostalgia, namun harapan untuk masa depan, harapan kepada penciptaan kebudayaan yang berangkat dari benih dan anak-anak yang kini tumbuh berkembang. Dan merekalah pemilik yang akan datang itu, yang jika kita bergeming dengan cara berpikir binatang ekonomi, maka bukan hanya sumpah serapah. Tapi, corengan sejarah hitam dari suatu jaman yang tidak eling lan waspada.***
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih Solo

No comments:

Post a Comment