Itulah yang terjadi, yang sesungguhnya sudah begitu banyak saran dan usulan untuk bagaimana menangkap gejala yang demikian deras membentuk menjadi kenyataan, yang kini sangat pahit dirasakan. Hal itu terjadi pada Padepokan Lemah Putih (PLP) yang dikelola dan dimiliki oleh sosok tokoh movement dalam dunia seni pertunjukan, Suprapto Suryodarmo, yang pernah selama rentang waktu tahun 1980-90-an demikian fenomenal sebagai figur yang ikut mengisi bukan hanya dalam bentuk acara, tapi juga khasanah dan pengenalan kepada sisi lain dari kehidupan seni pertunjukan moderen-kontemporer yang berangkat dari berbagai gabungan akar tradisi: Jawa, Buddhisme, Tai Chi, Pencak dari berbagai wilayah nusantara dan tradisi yang diajarkan pada lembaga pendidikan.
Jika saya katakana bahwa saran dan usulan, sebab, selama awal tahun 1990-an saya berulangkali mengirim surat dan dialog secara langsung dengan sosok yang sangat dikenal dibeberapa Negara Eropa (Belanda, Jerman, Denmark, Italia, Norwegia, Swiss, Inggris, Perancis), Amerika, Australia dan Filipina – yang kesemuanya dibentuk oleh mbah Prapto, panggilan akrabnya, melalui pengolahan gerak, yang oleh banyak kalangan di negeri-negeri industri dianggap sebagai solusi dari suatu pakem lembaga pendidikan yang cenderung membeku. Dan dari mbah Prapto pula banyak anak-anak muda pelaku seni pertunjukan tari, teater, dan juga bagi mereka yang sekedar ingin mengolah tubuh agar bisa rilek, seperti yang juga dilakukan oleh tak sedikit kaum profesional dari disiplin lain yang kesengsem oleh program mbah Prapto yang nampak sangat kuat untuk pencarian kepada akar di lingkungannya maupun akar potensi yang ada didalam diri seseorang.
Dan saran, usulan itu adalah upaya selalu untuk mempertanyakan setiap gerak dari apa yang dikerjakan oleh PLP pada masa yang akan datang: adakah dia ruang yang hanya mengkhususkan diri, ataukah dia terbuka kepada berbagai kemungkinan yang terjadi pada dunia kesenian. Dan jika meletakan kepada berbagai kemungkinan, apakah kemungkinan itu berangkat dari lingkungannya sendiri sebagai prinsip dasar, ataukah dia menunggu dari gerak pasar kesenian yang kini kian kuat. Dan bagaimana posisi tradisi yang lama maupun yang akan diciptakan diantara derasnya gerak pasar kesenian, yang justeru ikut mengubah orientasi, sikap hidup pada kebanyakan pelaku seni pertunjukan, seperti yang sesunguhnya diprihatinkan oleh mbah Prapto.
Jika kini saya katakan ironi, hal itu sehubungan dengan acara terakhir, suatu acara yang nampaknya dirancang oleh putrinya, Melati Suryodarmo, pertemuan para pelaku Performance art dengan tajuk Undisclosed Territory pada tanggal 24-25 Maret 2007 di Padepokan Lemah Putih, Mojosongo, Solo, yang kini bermukim di Jerman, yang sedang berusaha untuk membuat jaringan diantara pelaku performance art antara Eropa, Indonesia dan beberapa negara lainnya. Keinginan baik itu, tentu saja perlu didukung, apalagi dalam kaitannya dimana jenis kesenian ini masih lumayan jarang dan sangat membutuhkan pergaulan yang luas dan intensif. Namun keinginan baik saja tanpa suatu kesadaran kepada ruang keberadaan dirinya, tanpa melihat dan mendalami ruang sosial, lingkungannya, maka jangan heran kalau ada yang nyeletuk: kanggo opo tho, Mas, koyo ngono kuwi? (Untuk apa sih, Mas, seperti itu?). Orang yang lain menimpali dengan heran dan sinis: Ngopo gawe loro awake dewek? (Kenapa bikin sakit badannya sendiri?). Perlu diketahui bahwa acara itu nampaknya didominasi tentang kondisi tubuh dan bagaimana tubuh yang belum selesai mengalami benturan, termasuk membenturkan diri pelaku itu ke tembok atau ke benda lainnya, sebagaimana Afrizal Malna menulis dengan tajuk “Pekerjaaan Tubuh Yang Belum Selesai” (Kompas Minggu, 1 April 2007).
Ironi itu sesungguhnya disadari benar oleh mbah Prapto, yang belakangan ini sedang berusaha kembali memahami “kesenian rakyat” yang dekat dengan lingkungan sosialnya, dan ingin kembali menancapkan akar yang agak lain dari perkembangan terakhir PLP, yang selama rentang waktu hampir 20 tahun penuh dengan kehadiran londo, yang sering membuat masyarakat di lingkungannya juga heran dan bahkan bengong oleh tingkah laku yang agak tidak biasa bagi mereka. Disinilah mbah Prapto yang rajin mendatangi berbagai komunitas pedesaaan dan pegunungan bertanya kepada rekan kongkonya, ketika acara Undisclosed Territory berlangsung: sakpenere kanggo opo kesenian koyo ngono ning padepokan? (Sebenarnya untuk apa kesenian seperti itu di padepokan?). Dengan kata lain, dia menyadari benar bahwa sesungguhnya suatu jenis kesenian bukanlah sesuatu yang “netral” terhadap kondisi ruang, apalagi ruang sosial, apapun prinsip demokrasi dan toleransi yang dianutnya.
Dan kembali kita berhadapan dan merasakan ironi yang kian pahit: bukankah dulu mbah Prapto seperti mereka, kaum muda yang sedang mencari dan berusaha memahami tubuhnya, yang jika kita menyaksikan pada tahun 1970-an dan 1980-an, dimana mbah Prapto berjungkir balik jumpalitan, ngolet dimana saja, dan bahkan di atas atap genting pendapa Sasanamulya pada siang hari bolong? Bukankah mbah Prapto pernah ngolet di diskotek di Purwokerto bersama para londo dan pelaku seni pertunjukan, sama seperti dia melakukannya di mall atau di Bundaran HI Jakarta? Mbah Prapto mungkin bisa saja memberikan penjelasan, atau tepatnya apologi: “saya kan melakukan ritual, berdo’a, bersemedi, bermeditasi”, atau apalah bumbu lainnya, yang sesungguhnya menunjukan bahwa mbah Prapto kini meninggalkan prinsip kepada kemungkinan pertemuan dan pergaulan dunia kesenian. Walaupun tentu saja kita juga bisa menerima apa yang diprihatinkan oleh sosok yang kini akrab dengan lingkungan birokrasi pariwisata dan pemkot yang dahulu dijauhinya, tentang betapa perlunya kesadaran kepada ruang sosial bagi seniman jenis apapun dalam melakukan kegiatan. Dan karena itu pula sesungguhnya kenapa putrinya dan rekan-rekannya mau bertemu di PLP, yang dianggap sebagai laboratorium, bukan sekedar panggung, seperti dahulu mbah Prapto selalu menekankan kepada pelacakan dan usaha memahami ruang-diri dan ruang-sosial.
Dan kesenian yang berada dalam ruang yang kita anggap ironis memang menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, apalagi dijaman dimana berbagai ukuran, kriteria mengalami jungkirbalik dan sementara itu pencarian belum tuntas, dan disitu pula kita selalu akan terus bertanya dengan rasa prihatin, sama halnya saya ingin bertanya kepada mbah Prapto: kenapa pula kini bergiat di wilayah “kesenian rakyat” yang pada tahun 1970-80-an istilah itu menjadi momok, dan dianggap politis? Atau mbah Prapto kini sedang ngambang, terapung-apung dibawa arus jaman namun tak berdaya, dan bingung? Eling, mbah, sing samadya, semeleh lan sumarah! (Sadar, mbah, terima saja seadanya dengan ikhlas).***
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih Solo
No comments:
Post a Comment