OLEH Halim HD
Apa yang bisa kita harapkan dari posisi kehidupan tradisi yang nampaknya kini kian rapuh, betapapun begitu banyak usaha, terutama dalam bentuk pernyataan dari rasa keprihatinan dan uji coba dalam berbagai kegiatan, dan yang paling banyak lagi adalah pidato? Pertanyaan ini kita hadapkan kepada diri kita sendiri sehubungan dengan kian derasnya laju globalisasi dalam wujudnya produksi massal dari sistem industri global kapitalisme yang secara kasat mata nampak menelikung kita dalam berbagai bentuk konsumtivisme yang sudah demikian berurat akar di dalam kehidupan masyarakat kita?
Adakah tradisi yang kita agul-agulkan yang selalu membuat diri kita menepuk dada sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai adiluhung, sebagai khasanah kehidupan kita masih berfungsi untuk menahan laju, atau minimal menciptakan suatu cara berpikir kritis, jernih, dan mendalam? Bukankah kita selalu mendengar ujar-ujar eling lan waspada pada hampir setiap pertemuan sosial pada acara resmi maupun obrolan di warung? Ataukah hal itu hanya jadi sekedar pengisi, selingan dikala obrolan mandeg, tak ada bahan obrolan dan tak mampu menelusuri dan melacak masalah lebih jauh dan kita masuk kedalam masa lampau, dan memotongnya sekedar untuk selingan diantara nyruput wedang teh gitelnas (legi kenthel panas)? Benarkan ujar-ujar itu kini sekedar sisa dari masalampau, dan tidak lagi memiliki konteks aktual untuk menggedor diri kita, menggugat diantara jaman kian deras dengan berbagai tawaran yang menggiurkan, dan bukan hanya mampu tapi dapat membuat diri lupa daratan, dan begitu banyak orang dadi kere munggah bale lewat kreditan, atau menggadaikan tanah hanya untuk sebuah mobil, motor, kulkas, dan mengijonkan 6-7 kuintal padi hanya untuk sebuah hape?
Dan kenapa pula ajaran yang dianggap adiluhung itu yang selalu disampaikan oleh kalangan elite sosial dan justeru mereka pula yang sering melanggarnya: lihatlah seliweran kendaraan mewah, dan saksikanlah ruang tamu, dan bagaimana kalangan elite sosial politik itu bertingkah laku dan pola konsumsinya, dari makanan, pakaian, dan terutama asesoris yang ting gemantung disekitar tubuhnya? Atau kita kini memasuki suatu jaman dimana hipokrisi telah menjadi bagian kehidupan kita, dan kita masuk kedalam apa yang dinyatakan oleh pujangga Ronggowarsita, jaman edan, rusaknya tatanan, dan kita kehilangan kriteria etik dan moral didalam menjalani kehidupan, asal lahap, dan asal bisa hidup, apapun dilakukan?
Ketika kita berusaha menggugat diri kita dengan sejumlah gedoran pertanyaan itu, lantaran ajaran yang datang dari tradisi hanya jadi kembang lambe, lip service. Dan berkaitan dengan ajaran, pendidikan, maka perlu kiranya kita menengok dan melacak sejauh manakah ajaran itu masih dan memang ada di lingkungan keluarga? Bukankah pemikir pendidikan dan tokoh sejarah kita Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa keluarga merupakan basis yang paling penting didalam menerapkan dan mengembangkan watak sang anak, disamping lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan? Kita singgung prinsip pendidikan yang utama ini, lantaran kita juga mulai meragukan, apakah benar keluarga di lingkungan kita kini masih menerapkannya. Atau dia kalah oleh siaran teve yang hampir 24 jam mengisi rumah tangga, dan ajaran moral peninggalan leluhur lupa disampaikan dan diterapkan oleh kepala keluarga? Dan membiarkan anak-anak diloloh oleh iklan, dirayu oleh gaya hidup yang tak mengukur kemampuan diri? Kenapa pula banyak kepala keluarga menjadikan teve sebagai pengasuh anak-anak? Kenapa mereka membiarkan anak-anak dibesarkan oleh mesin elektronika? Bagaimana anak-anak bisa mendapatkan kehangatan, kasih sayang, dan bisa menghormati orangtuanya jika mereka dibiarkan hidup, tumbuh dan berkembang bersama mesin indoktrinasi itu?
Maka jangan heran dan jangan kaget jika anak-anak kini tumbuh dan mereka bukan tidak mungkin bisa dengan dingin melakukan suatu perbuatan yang jauh dari harapan kita. Hal itu bukan hanya karena godaan disekitar lingkungan, tapi juga karena orangtua membiarkan anaknya diasuh dan dibesarkan oleh teve. Dan dari teve tak ada sesuatu yang bersifat personal, hangat, semuanya disamakan seperti sebuah mesin yang membuat benda-benda massal. Dari kondisi seperti itu, kita sesungguhnya sedang menyiapkan suatu generasi manusia gerombolan, yang tak memiliki karakter, kecuali mengidentikan dengan gelombang massa. Lihatlah betapa reaksi yang berlebihan, dan sok berkuasanya ketika mereka berada dijalanan bersama dalam gerombolan supporter olahraga atau massa organisasi partai politik.
Dalam kondisi seperti itu pula mereka sangat antusias menerima kostum seragam dalam bentuk pakaian maupun cara berpikir. Disini fanatisme tumbuh dan berkembang. Dengan mudah mereka digiring kearah kemauan suatu kekuasaan politik maupun ekonomi: siap konflik dengan gerombolan lain demi sebuah slogan, dan melahap apa saja demi sebuah iklan. Dan dari tradisi, piwulang, betapa kini begitu ironis hanya jadi bagian untuk menghibur diri bahwa kita masih punya jatidiri? ***
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Panilih
No comments:
Post a Comment