OLEH Halim HD
Beberapa waktu yang lalu seorang teman mengirimkan email kepada saya, sebagai bagian memanfaatkan tehnologi jagat maya itu menjadi media diskusi. Dalam kiriman kabar kepada saya itu, dia menyinggung tentang usaha beberapa seniman yang konon ingin membuat “gerakan kebudayaan” melalui rancangan tata ruang publik Balekambang sebagai titik tolak “gerakannya”. Didalam proposal itu, secara rinci dijelaskan apa tujuan dan sasarannya, dan yang terakhir inilah yang terpenting: UUD, ujung-ujungnya duit, yang sekian miliar, yang membuat wawalkot Solo kaget: kenapa pula seniman yang ingin membuat “gerakan” yang belum kelihatan jelas kemana arah dan tujuannya walaupun, seperti siapa saja bisa menyusun, tertulis di dalam proposal.
Disini saya ingin menyampaikan alternatif pemikiran yang secara umum mungkin bisa menjadi bahan diskusi bersama, sebelum siapapun dengan label apa saja melontarkan gagasan. Pertama, sudahkah suatu “gerakan” itu melakukan penelitian yang gamblang dan absah secara akademis tentang suatu wilayah yang akan dikelolanya? Dan yang terpenting sebelum sebuah kelompok dianggap sebagai suatu “gerakan”, adakah kelompok itu absah secara sosiologis. Sebab, satu hal bagi siapa saja yang mempelajari berbagai gerakan khususnya kebudayaan, disitu pula dia akan mempertanyakan tentang “frame of ideas” yang sesungguhnya bukan sekedar rumusan gagasan, tapi sebuah kerangka ideologis dan perangkat operasional yang ikut mendukungnya. Sebab, sebuah “gerakan” hanya bisa absah jika kerangka ideologis itu memang ter/di-uji didalam kegiatan masyarakat. Cap “gerakan” itu hanya absah jika ada dukungan masyarakat. Ujian yang lain, adakah yang namanya “gerakan” itu memikirkan suatu “the ultimate momentum”: kerangka waktu dari proses pengujian uji-coba gagasan dalam praktek dari pengelola “gerakan” bersama masyarakat yang ada disekitarnya, sehingga bisa seperti ombak yang bergerak dan menyentuh bagian lainnya. Disini, waktu yang akan menguji. Dan secara internal, adakah kelompok itu telah menjadi kelompok organik kedalam dirinya maupun lingkungan masyarakatnya. Disinilah seringkali banyak seniman yang kedodoran, disamping berbagai segi diatas, lantaran dirinya telah menganggap memiliki “organisasi”, padahal sekedar kongko-kongko, dan membuat kertas surat ber-kop yang biasanya gagah dan dengan disain yang indah.
Bahan diskusi kedua, yang perlu kita pikirkan tentang Balekambang adalah suatu kesadaran sejarah sosial dengan rasa prihatin apalagi dalam kondisi sosial-ekonomi seperti sekarang ini: bagi siapa saja yang ingin terlibat didalam renovasi dan pengembangan Balekambang hendaknya bukan berangkat dari/untuk kepentingan sebuah proyek, yang seperti biasanya selalu berkutat dalam masalah politik-ekonomi belaka. Dengan kata lain, seharusnya Balekambang dilihat dari sudut kondisi serta kepentingan masyarakat sekitarnya. Nah, untuk merancang Balekambang yang akan dating kita akan melihat bahwa kondisinya tidak membutuhkan capaian sepuluh miliar. Balekambang hanya butuh pada awalnya sentuhan, kedatangan seniman yang mau berdailog, dan bagaimana seniman yang menamakan dirinya “gerakan” itu dengan rinci dan tajam mendalam mengupas berbagai masalah sosial yang ada dari perspektif tata ruang tradisi.
Berangkat dari gagasan sederhana itu, maka bagi saya, yang diperlukan oleh masyarakat Balekambang, khususnya seniman-tradisi dan warung pendukung adalah lampu-lampu penerangan yang sederhana, yang tidak membuat orang merasa takut karena suasana gelap dan kumuh. Hal yang terakhir ini yang perlu kita benahi dengan pendekatan tata ruang tradisi, suatu kerangka arsitektur tradisi yang didukung oleh bahan-bahan lokal. Dalam proses renovasi dan pengembangan tata ruang tradisi, sebaiknya pihak pemkot menunjuk arsitek yang benar-benar paham, dan menggunakan tukang yang juga memahami kebutuhan kesederhanaan. Saya katakan kesederhanaan, sebab banyak sekali seniman atau arsitek yang terperangkap ke dalam disain yang konon “tradisi” tapi selalu mewah. Dan kemewahan itu biasanya identik dengan politik-ekonomi proyek yang tersembunyi dibalik “gerakan”.
Kesederhaan juga berarti mengandung makna keterlibatan seniman-tradisi dan warga dan warung pendukung disekitar Balekambang untuk masuk kedalam proses pembuatan tata ruang Balekambang. Dengan keterlibatan itu, mereka selalu rumangsa handerbeni, merasa memiliki, bagaikan rumah mereka sendiri, dan disitu pula mereka akan memelihara. Sebab, satu hal yang selalu menjadi masalah bagi kita semuanya adalah soal maintenance, pemeliharaan yang lemah, dan hal itu memakan biaya besar.
Jadi, bagi siapapun yang ingin mengajukan gagasan kepada pemkot Solo untuk kembali merenovasi dan mengembangkan Balekmabng sebagai ruang publik tradisi, sangat penting secara moral juga meletakan dirinya kedalam kerangka dan nilai-nilai piwulang yang banyak dikandung didalam tradisi kita, dan jangan menjadikan Balekambang sebagai batu loncatan, dan lalu: dadi kere munggah bale mergane proyek!***
Halim HD. – Networker Kebudayaan Forum Pinilih, Solo
No comments:
Post a Comment