KODE-4

Wednesday, June 27, 2007

Kesenian Tradisi Indonesia dalam Wacana Kebinnekaan

(Catatan Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003)
OLEH SAHRUL N
Wilayah Indonesia yang kaya dengan pulau-pulau serta suku-suku bangsa, juga kaya dengan jenis-jenis kesenian tradisional. Jenis kesenian tradisional yang telah mapan dan sangat erat hubungannya dengan tradisinya merupakan kesenian yang kekuatan daya hidupnya tergantung dengan kebesaran budaya dan tata masyarakat dan budaya yang mendukungnya. Kesenian tradisional (traditional arts) tak lepas dari lingkungan yang menghidupinya. Khasanah pertunjukannya adalah rakyat setempat dan mitologi yang berkembang di daerah yang bersangkutan. Sikap sosial para pendukungnya masih dipengaruhi kultur lingkungan, kepercayaan-kepercayaan kepada leluhur dan sebagainya.

Indonesia: Sophisme Yang Merajalela


OLEH SAHRUL N
Memahami Indonesia hari ini adalah memahami sesuatu yang absurd, yang tercerai berai oleh sistem yang tak jelas. Di satu sisi Indonesia memiliki Presiden sebagai orang nomor satu dengan demokrasi Pancasila sebagai ideologinya.

Pertunjukan Tari Ali Sukri: Penganten Ombak: Ikonitas Kultur yang Terbelah

OLEH SAHRUL N
Pertunjukan tari Ali Sukri yang berjudul “Penganten Ombak” merupakan pembelahan budaya lewat ikon-ikon gerak yang diuniversalkan. Properti sedemikian rupa membentuk alur-alur kehidupan yang senantiasa bergerak tanpa henti dan menuju berbagai makna tentang hidup manusia. Hanya lewat selembar plastik besar, pertunjukan ini sarat dengan konflik bathin manusia, terutama manusia yang sedang dilanda bencana. Dalam hal ini tragedi Aceh menjadi inspirasi utama pertunjukan ini. Perang saudara belum berakhir datang lagi bencana yang hampir tidak menyisakan apa-apa. Akan tetapi ini semua ada hikmahnya. Tuhan seakan tidak tega melihat derita rakyat Aceh akibat perang yang tak pernah usai. Tuhan meminangnya dan menjauhkannya dari arena perang.

Membaca Seni Ritual Mentawai Versus Seni Minangkabau dalam Wacana Intra-Kultural


OLEH SAHRUL N., S.S., M.Si, pengajar STSI Padangpanjang
I
Sumatera Barat tidak hanya dihuni oleh etnis (Melayu) Minangkabau, tetapi juga suku pedalaman yang berdiam di kepulauan Mentawai yang adat dan agamanya jauh berbeda dengan Minangkabau. Minangkabau diidentikan dengan agama Islam, sementara Mentawai masih dihuni sebagian besar agama nenek moyang. Bahkan sampai pada makanan pokokpun berbeda. Orang Minang beras menjadi makanan pokok, sementara Mentawai adalah sagu.

Tuesday, June 26, 2007

Islamidar dan Seni "Sampelong"

KOMPAS, Rabu, 13 Juni 2007





Oleh Mahdi Muhammad

"Mungkin ada yang masih bisa memainkan alat musik ini. Tetapi, mereka entah di mana sekarang. Anak-anak muda sekarang sudah jarang yang bisa memainkan kesenian ini. Ini yang menjadi kekhawatiran kami," ungkap Islamidar (66), pertengahan Mei 2007. (Selengkapnya...)


KOMPAS, Rabu, 13 Juni 2007

Penjaga Sekolah Sekaligus Guru

Islamidar tak pernah mengecap pendidikan formal yang tinggi. Saat menginjak kelas I Sekolah Menengah Pertama, suami Tati Afrida ini terpaksa keluar karena mata kirinya mengalami kebutaan. Hingga saat ini, Islamidar hanya menggunakan mata kanannya untuk membaca atau untuk kegiatan lainnya. (Selengkapnya...)

Feminisme, Impian Perempuan Jadi Laki-laki

OLEH SAHRUL N, dosen di STSI Padangpanjang
Menyinggung persoalan seks, Helena Cixous memberikan gambaran bagaimana Zeus dan Hera menikmati hubungan seksual mereka. Ketika ditanya "Di antara laki-laki dan perempuan, siapa yang menikmati kesenangan yang lebih besar?". Untuk menjawab pertanyaan ini baik Zeus maupun Hera sama-sama tidak bisa memberikan jawaban.

Teater Sumatra Barat:



Mayat Hidup yang Ditangisi

OLEH Nasrul Azwar, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)

Keinginan melihat pertunjukan teater di Sumatra Barat yang berbobot, agaknya harus dipupus. Sejak tahun 2000-2007 pertunjukan teater di Sumatra Barat jumlahnya mungkin mencapai ratusan, dan sebanyak itu pula repertoar yang sudah diangkat ke atas pentas. Tapi, nyatanya, kuantitas pertunjukan tidak menjamin kualitas pertunjukan. Problem utamanya tak jauh dari seputaran: berkesenian (berteater) dilakukan karena adanya iven atau memenuhi undangan atau dalam rangka. Artinya pula, teater di Sumatra Barat telah kehilangan substansi dan hakekatnya. Maka, jika menyebut konstelasi dan peta perteateran mutakhir di Indonesia, jangan berharap banyak Sumatra Barat menjadi salah satu simpul. Teater di Sumatra Barat tidak dianggap penting dalam kancah dan arah perkembangan teater di Indonesia. Pegiat-pegiat teater yang muncul sekarang ini, tak lebih sekumpulan orang yang hanya mampu bersorak sorai di kandangnya sendiri: narsisisme. Malah, minus referensi perkembangan teater mutakhir. Mereka ini kurang membaca.

Sebelum era itu, teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu titik dari mata rantai sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke belakang tentu akan lebih panjang. Pijakan tradisi randai dan juga teks-teks kaba melahirkan sebuah "tradisi baru" dalam teater di Sumatra Barat. Tradisi baru itu yang kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater di Sumatra Barat. Puluhan kelompok teater yang pernah lahir di Sumatra Barat dalam era tahun 60-70-an dan 80-90-an adalah sebagai representasi praktik-praktik pemaknaan yang bermaian dalam aktivitas-aktivitas penciptaan makna. Produksi dan pertukaran tanda yang bernilai yang menghasilkan makna dan pemahaman baru tentang teater. Proses urbanisasi dari kekuatan kultur tradisi lisan ke kultur teks visual panggung berlangsung secara ketat. Tema-tema dan konsep penyutradaraan kerap dibasiskan pada tradisi lokal.

Sepanjang masa pertumbuhan teater di Sumatra Barat itu pula, kontribusi yang paling berarti bagi jagad teater di Indonesia dapat dikatakan cukup signifikans. Saat itu, kehidupan teater di Sumatra, tampaknya cerita dengan basis kultural Minang menjadi primadona. Naskah-naskah yang berbasis tradisi dan kultur Minangkabau dirayakan dengan sangat semarak. Era tahun 70-80-an dapat dikatakan sebagai era puncak bagi kehidupan teater dengan basis tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi, silakan keluar. Paham demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia.

Saat itu pula, perkembangan teater di Sumatra Barat berbanding lurus dengan kehidupan kritik teater. Kedua wilayah ini, peristiwa teater dan kritik teater, saling melengkapi. Maka, suasana berkesenian sangat kondusif dan mesra. Namun, era demikian tidak berjalan sepanjang masa. Tahun 90-an hingga ke atas, terasa sebagai antiklimaks. Penurunan kondisi demikian ditenggarai bahwa para pegiat teater di Sumatra Barat beralih ke “wilayah” lain dan juga menoleh pada kehidupan masa depannya. Maka, pada era 90-an terjadi “kevakuman” aktivitas teater. Jika beberapa kelompok dapat juga melakukan pertunjukan teater, tak lebih sebagai pelepas penat-penat. Namun demikian, saat itu pula, kehidupan teater seperti ditumpukan pada kampus-kampus perguruan tinggi yang ada di Sumatra Barat. Beberapa iven pertemuan teater dari berskala lokal hingga regional pernah dilangsungkan di daerah ini.

Festival teater yang pernah digelar di Sumatra Barat semenjak tahun 70-an hingga 2007 (dan ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus) sudah sering dilaksanakan. Tujuan utama festival mengakomodasi kelompok-kelompok teater yang ada di Sumatra Barat dan juga menawarkan tontonan alternatif bagi publik. Namun kondisi kehidupan teater di Sumatra Barat tidak juga sehat. Belum lagi jika dihitung iven-iven yang digelar lembaga-lembaga kesenian, perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang terkait dengan kehadiran teater, juga tak terhitung jumlahnya.

Sebagian pemerhati teater menyebutkan, puncak pertumbuhan seni teater di Sumatra Barat berlangsung pada era 1980-an sampai awal tahun 1990-an. Fakta demikian memang dapat dibuktikan dari jumlah peserta dalam Festival Teater Sumatra Barat yang dilaksanakan tahun 1980 dan 1985 yang masing-masing berjumlah 13 kelompok teater. Dan jika ditilik dari asal kelompok teater yang ikut festival, tampak merata dari berbagai daerah di Sumatra Barat—semenjak dari Maninjau, Pelembayan di Agam, Pariaman sampai ke Payakumbuh. Dari gambaran peserta ini, pertumbuhan teater pada saat itu tidak terpusat di Padang saja.

Kini, Festival Teater Sumatra Barat akan digelar. Jika tak ada aral melintang, bulan Agustus 2007 sebuah peristiwa teater yang bertendensi festival akan memunculkan “puncak-puncak” dari sebagian elemen teater: kelompok teater terbaik, aktor dan aktris, sutradara, artisitik, dan musik. Namun, sepanjang informasi yangt didapat, belum jelas benar apa tema besar Festival Teater Sumatra Barat 2007 ini. Jika tak ada tema, katakanlah tema itu untuk meletakkan frame sebuah festival, tentu dapat menyulitkan arah dan tujuan penilaian festival ini, juga tak menutup kemungkinan peserta festival juga akan kehilangan arah.

***

Teater di Indonesia lahir dari urbanisasi. Perpindahan yang terus berlangsung tak pernah henti. Perpindahan dalam bentuk apa saja. Maka dengan demikian, dalam sejarahnya, teater terus perpacu dalam urban-urban yang menyuarakan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, dan juga gagasan-gagasan radikal. Proses urbanisasi itu yang kemudian membentuk kata-kata, sakigus ideologi. Ideologi-ideologi yang lahir dari teater akan menyatakan dirinya sebagai “isme” atau paham yang kelak akan diepigoni oleh yang lain. Semua terus berlangsung dalam urbanistis.

Seperti menggergaji air, ideologi teater yang sudah termapankan terus menerus digerus dengan pelbagai cara, namun tetap jua tidak “terputuskan”. Ia terus mengalir ke sudut-sudut kepala sutradara, pelakon, pembuat naskah teater, dan juga kelompok teater yang bersifat komunal, hingga saat kini.

Maka, dari itu pula, teater tidak akan pernah mampu melepaskan dirinya dari ideologi. Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari rahim mereka yang dikandung sepanjang proses latihan berjalan. Kelahiran ideologi tentu terjadi saat teater berada dalam ruang publik. Ada penonton yang menyaksikan dengan latar belakang “ideologi” yang berbeda pula. Klaim penonton terhadap sebuah peristiwa teater menjadi risiko yang mesti diterima. Tidak ada kata absolut di dalamnya. Semua berpendar ria dalam relativitas. Munculnya klaim yang mengecewakan dari penonton setelah menyaksikan pertunjukan teater, misalnya, haruslah disikapi sebagai wilayah sebagaimana teater itu sendiri menyuarakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan lain sebagainya.

Pertimbangan demikian, seperti pernah ditulis Asrul Sani, teater itu adalah urbanisasi yang datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, yang berakibat teater telah masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen. Maka, peristiwa teater—sekali lagi—wilayah yang terbuka, dinamis, dan tidak berjalan dalam kerangka baku. Untuk itu pula, penonton teater berada pada posisi yang terus menerus berubah setiap pertunjukan. Jika dikejar lebih jauh, dalam setiap pertunjukan atau peristiwa teater, sesungguhnya koridor untuk memahami nilai-nilai demokrasi sedang berlangsung.

Kondisi yang seolah telah “terpola” antara penonton dan peristiwa teater, lebih luas juga peristiwa budaya lainnya, tampaklah penonton memiliki toleransi yang sangat dinamis dan terbuka ketika berhubungan dengan peristiwa teater. Hal demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Afrizal Malna. “Penonton memberikan toleransi kepada pertunjukan. Penonton mencoba melakukan suatu eksperimen kecil tentang cara-cara berdemokrasi dengan memberi toleransi terhadap apa yang sedang dirumuskan teater dalam pertunjukannya. Dan tidak harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, telah memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang mereka sampaikan.”

Dengan pemahaman yang demikian, teater pun menjadi amat semarak, heboh, bebas, dan dinamis. Akan tetapi, kata Putu Wijaya, masalah kebebasan bukan sesuatu yang gampang. Untuk mencapai ke arah yang demikian, diperlukan pembelajaran, keterampilan, dan juga akal serta strategi dalam mengumbar kebebasan.

Dari sekian banyak perjalanan kehidupan kesenian di Indonesia, utamanya teater, memang tidak bisa tidak, belenggu utama yang mengikat teater menjadi terpuruk adalah biaya produksi, selain tentu saja kemampuan intelektual pegiat teater itu sendiri. Kini, di Sumatra Barat, seperti sudah disebut di atas bahwa teater di daerah ini mengalami masa kelam dan berada pada titik nadir yang mencemaskan.

Memang, kondisi demikian terasa sangat ironis ketika kondisi zaman telah sangat maju, canggih, akses informasi yang demikian mudah, dan membina jejaring dengan komunitas sejenis tidak lagi sulit (karena teknologi informasi membuka peluang untuk itu). Selain itu pula, tantangan hidup kesenian itu sendiri pada saat sekarang sangat besar dan beragam, misal, begitu terbuka berbagai kemungkinan untuk berhadapan dengan penonton (publik), tantangan yang berada dalam lingkaran seniman itu sendiri: kerusakan lingkungan hidup yang demikian parahnya, ekologis, ketidakadilan sosial, politik yang banal, kemisklinan, dan konflik antaretnis, serta kebohongan yang kerap dilakukan para politisi. Kondisi-kondisi demikian itu jelas berbeda dengan apa yang terjadi dalam era-era pertumbuhan teater sebelumnya, walau beberapa pola dan substansinya sama.

Teater, tentu saja dalam berbagai perspektif dan elemennya, akan tampak menyibak dengan lembut kemungkinan-kemungkinan kontemplatif deari semua persoalan manusia itu. Namun demikian, sayang sekali, pegiat teater di Sumatra Barat tak mampu membaca soal itu dan mereka kurang merenung, tampaknya. ***

Monday, June 25, 2007

Pentas Teater Nyai Ontosoroh

Kisah perlawanan perempuan bernama Sanikem. Zaman kolonial Belanda gadis-gadis dijual, diserahkan kepada pembesar-pembesar Belanda dijadikan gundik, atau Nyai. Jaman penjajahan Jepang perempuan dijual dan dipaksa dijadikan Jugun Ianfu. Zaman sekarang perempuan-perempuan dijual oleh keluarga, olehnegara, dijadikan TKW, menjadi budak rumah tangga, kadang dipaksa atau ditipu dijadikan pekerja seks demi devisa, jadi pahlawan sehari, kemudian dilupakan. Sudah waktunya perempuan harus melawan, melawan sehormat-hormatnya. Pengarang tersohor Indonesia , Pramoedya Ananta Toer mengajarkan tentang perlawanan perempuan dan pembentukan karakter, dalam novelnya yang paling popular Bumi Manusia. Tahun ini untuk pertama kalinya sosok perempuan pelawan, gundik dan perempuan terpelajar sekaligus, Nyai Ontosoroh, muncul di atas panggung.

Adaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: "Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. .."

Naskah : Faiza Mardzoeki, Sutradara : Wawan Sofwan
Tempat Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki,Jakarta (12, 13, 14 Agustus 2007)

AKTOR Salma, Rudi Wowor Restu Sinaga, Ayu Diah Pasha, Madina Wowor, Temmy, Sita"RSD" Nursanti, William Bivers, M Hendrayanto, Teuku Rifnu Wikana,Nuansa Ayu, Felencia Hutabarat, Antony Ayes, Temmy H, Rusman, Joint,Bowo GP, Syaeful Amri-Ari-, Rusman, Pipien Putri, Rebecca Henscke

  • TIM ARTISTIK
    Direktur Artistik : Dolorosa Sinaga
    Co Penata Artistik: Gallis A.S
    Penata Musik : Fahmi Alatas
    Penata Busana : Merdi Sihombing,
    Penata Lampu : Aziz Dying & Sari
    Sound Engineer : Mogan Pasaribu
    Koreografer: Pipien Putri
    Ticket:
    VIP Rp 100.000,00
    Wings Rp 75.000,00
    Balkon Rp 30.000,00

    Nonton Hemat khusus Mahasiswa dan pelajar pada pertunjukan Hari Senin
    13 Agustus 2007) mendapat diskon 20%, dengan menunjukan kartu mahasiswa/ pelajar
  • Tiket dibeli pada bulan Awal Juli 2007
  • Namun, untuk lebih aman dan pasti anda mendapatkan ticket, bisa menghubungi sekarang juga untuk booking ke : Miranda Putri di: 021-70764004 dan 081808701099 atau ke Sekretariat: Jl. Tebet Barat Dalam II D NO. 21, Jakarta, Indonesia 12810 Telp/fax : (62-21) 8302028. Atau kontak ke: Dewi Djaja 08159787838, 021-68592885 dan Efriza di 08155006450 Email: nyaiontosorohtheatr e@yahoo.co. id, Multiply : http://nyaiontosorohtheatre.multiply.com

Sunday, June 24, 2007

Etnisitas Minangkabau dalam Film Dog's Life


OLEH SAHRUL N
Saya pernah mendapat beberapa pertanyaan dari orang di luar etnis Minangkabau, seperti, “Kenapa orang Minang suka berburu babi?”, “Kenapa orang Minang suka pada anjing, padahal orang Minang itu Islam?”, “Kenapa babi harus dibunuh, padahal ia hanya hidup di hutan?”, dan pertanyaan lain yang sejenis dengan itu. Waktu itu saya menjawabnya dengan logika-logika seadanya yang tentu saja tidak akan memuaskan penanya tersebut.

Dzikrullah: Spirit Islam dalam Musik Elizar Koto


OLEH SAHRUL N, dosen STSI Padangpanjang
Bahasa membicarakan manusia dan manusia membicarakan bahasa. Maksudnya, karena bahasa di dunia ini banyak dan khas serta berbeda-beda, maka bahasa menjadi tanda dan gejala terpenting dalam kehidupan, gejala utama dalam dinamika manusia, dan akar terpokok dalam ilmu pengetahuan. Musik merupakan salah satu media bahasa manusia, saat ini mulai menggeser subjek masalah sebelumnya yaitu alam (kosmosentris), agama (teosentris), dan manusia (antroposentris). Ketiga unsur ini menjadi menyatu dalam bahasa musik yang akan dihadirkan Elizar Koto (sang komposer) pada Minggu tanggal 4 Mei 2003 di sebuah desa yang bernama Pitalah Bungo Tanjung Padangpanjang.

Perjumpaan Dua Etnis Pedagang


OLEH NELTI ANGGRAINI
DATA BUKU
Judul: Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat
Penulis: Erniwati
Halaman: xvi + 175 halaman

Penerbit: Penerbit Ombak

Cetakan: Pertama, Januari 2007
Tionghoa—salah satu etnis yang identik punya naluri bisnis yang kuat—berjumpa dengan etnis Minang dengan etos dagang yang tak kalah pekat, apa jadinya? Sejarawan Universitas Negeri Padang juga kandidat doktor Jurusan Sejarah Universitas Indonesia yang cukup intens dan fokus melakukan kajian tentang etnis Tionghoa, Erniwati, mencoba memotret keberadaan dan perkembangan komunitas Tionghoa di Ranah Minang, dan bagaimana mereka berinteraksi dan membaur dengan penduduk pribumi Minangkabau. Dalam kajian dan pendekatan historis, ia memaparkanya dalam buku Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatra Barat.

Thursday, June 21, 2007

Waktu Batu: Tradisi Teater Rangkap Tiga


Pementasan Teater Garasi Yogyakarta
OLEH SAHRUL N
Bicara tentang identitas teater Indonesia hari ini, maka kita akan bicara tentang tiga tradisi teater, yaitu tradisi Timur, tradisi Barat, dan tradisi Timur Barat. Masing-masing tradisi teater ini memiliki bentuk dan konsep sendiri dalam menyampaikan gagasan di panggung pertunjukan. Tradisi Timur dan tradisi Barat memiliki pakem yang jelas dan terstruktur dengan baik serta memiliki penonton yang jelas. Sementara tradisi Timur Barat bisa diolah dalam bentuk eksperimentasi-eksperimentasi, sehingga daya ungkapnya lebih universal. Akan tetapi bagi Teater Garasi Yogyakarta yang melakukan pementasan di STSI Padangpanjang pada tanggal 31 Maret 2003 dengan judul “Waktu Batu (Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa Terbelah?)” mencoba menghilangkan dikotomi Barat dan Timur dan identitas hanyalah proses untuk menuju pada ketegangan kreativitas. Semua bentuk adalah tradisi. Masa lalu, masa kini, masa datang adalah tradisi dan Waktu Batu adalah tradisi rangkap tiga.

Wednesday, June 20, 2007

Dito Natura dan Wakidi


OLEH BUDIMAN
Pameran seni lukis yang berlangsung di Hotel Bumiminang Padang tanggal 14 – 31 Desember ini oleh kelompok Dito Natura adalah semacam bentuk kristalisasi mengenang 116 tahun sang maestro Wakidi. Karena orang-orang kelompok Dito Natura ; Ar. Nizar, Firman Ismail, Jhaya, Idran Wakidi, Yose Rizal dan Yazid mereka semua merupakan murid-murid Wakidi yang telah banyak belajar perihal melukis dan perjalanan sang guru sendiri sebagai pelukis. Jadi pameran ini merupakan akumulasi rasa kecintaan yang tinggi dan mendalam mereka semua terhadap Wakidi yang dianggap telah berjasa besar tidak saja pada muridnya tapi juga pada perjalanan seni lukis di Sumatera Barat.

Komunitas SAGA : Solusi Atasi Krisis Penulis Seni Rupa


OLEH BUDIMAN
Komunitas Saga merupakan komunitas yang terbentuk dari kegiatan workshop kritik seni rupa yang diadakan oleh Dewan Kesenian Sumbar pada tanggal 11-13 Februari 2007 yang lalu di FBSS UNP Padang. Komunitas Saga berdiri dimaksudkan untuk mewadahi para penulis/kritikus seni rupa yang bergerak di daerah Sumbar. Komunitas ini diketuai oleh Syofyan Ali Munir (Parsenibud), wakil ketua Minda Sari (guru SMKN 7 Padang), Sekretaris : Budiman (penulis) dan bendahara : Abdita (guru SKKN 4 Padang) dengan jumlah anggotanya sebanyak 30 orang yang terdiri dari berbagai kalangan seperti dosen seni rupa, penulis seni, guru seni rupa, dll. Komunitas Saga bersekretariat di Jurusan Seni Rupa FBSS UNP Padang.

Monday, June 18, 2007

Kumpulan Cerpen "Merantau"

Kompas, Senin, 18 Juni 2007


Sebuah Budaya Tradisi Merantau

OLEH FADLILLAH MALIN SUTAN KAYO

Membaca kumpulan cerpen Perantau karya Gus tf Sakai (2007), mengingatkan kembali akan disertasi Mochtar Naim (1979) yang monumental. Jika orang ingin membaca tentang merantau, maka ada tiga buku yang agaknya wajib dibaca, yaitu pertama buku Mochtar Naim, kedua buku Tsuyoshi K (1989), dan yang ketiga adalah karya Gus tf Sakai.(Lengkapnya...)

Pesona Iyut Fitra Dalam Musikalisasi Puisi


OLEH BUDIMAN
Siapa yang tidak kenal dengan namanya Iyut Fitra, seorang sastrawan muda asal Payakumbuh yang malang melintang dalam dunia sastra (puisi, cerpen, dll) di kancah seni Indonesia. Karya-karya Iyut Fitra telah banyak dipublikasikan di berbagai media massa Nasional (Kompas, Media Indonesia, Horizon, dll) maupun lokal dan bahkan diantaranya telah diterbitkan dalam bentuk buku (Musim Retak). Dilihat dari usahanya dalam berkarya dan beraktivitas membesarkan dirinya dan daerah kelahirannya Payakumbuh, pantas kita acungi jempol.

STATEMENT AJI

TOLAK REVISI UU PERS, PERJUANGKAN KEBEBASAN PERS

Belum genap satu dasawarsa masyarakat Indonesia menikmati kebebasan pers telah muncul ancaman baru dengan beredarnya DRAFT Revisi Undang Undang Pers Nomor 40/1999 versi Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Dalam konsiderans awal Revisi UU Pers Nomor 40 versi Kominfo ini, disebutkan "pers punya tanggung jawab membantu pemerintah melaksanakan program-program pembangunan, menjalankan fungsi pemerintahan dll

Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan sikap sbb:

  1. MENOLAK KONSEP Undang-Undang Pers Nomor 40 versi Kominfo yang secara gamblang bertendensi memutarbalikkan esensi kebebasan pers yang telah dijamin Konstitusi, menyerimpung fungsi sosial-politik pers, dan mendudukkan pers sebagai subordinat/alat kekuasaan pemerintah. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meyakini kebebasan pers dan kebebasan publik untuk mendapatkan informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi, menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan, wajib dilindungi oleh negara dan masyarakat.
  2. MENOLAK upaya pihak-pihak yang hendak mengembalikan Indonesia ke zaman kegelapan informasi, penyeragaman informasi, dan pengendalian pers oleh aparat birokrasi sipl dan militer seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. AJI berpendapat upaya merevisi UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dewasa ini merupakan upaya Negara mengembalikan fungsi Departemen Penerangan (Deppen) sebagai lembaga sensor pemberitaan dan informasi publik dan lembaga pengatur organisasi pers. Dalam sistem demokrasi, pers yang independen dan profesional merupakan pilar keempat setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers berfungsi mengontrol jalannya kekuasaan negara, bukan sebaliknya.
  3. REVISI UU PERS bukanlah hal penting (urgen) pada saat negara
    menghadapi berbagai masalah yang lebih mendasar, seperti kemiskinan, pemberantasan korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Masih banyak Rancangan Undang Undang lain seperti RUU Kebebasan Mencari Informasi Publik (KMIP)
    atau revisi Kitab Undang Acara Pidana (KUHP) yang lebih patut didahulukan. Alasan bahwa UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 belum lengkap atau terlalu liberal, tidak bisa dijadikan alasan pembenar revisi. Sebaliknya, AJI akan memperjuangkan UU Pers Nomor 40 Tahu 1999 sebagai Lex Spesialis dan melengkapinya dengan aturan pendukung UU Pers yang diperlukan.
  4. ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) mengajak seluruh komunitas pers dan masyarakat luas untuk bersama-sama menjaga kebebasan pers dan hak informasi publik dari campur tangan negara dan upaya pengaturan yang berlebihan oleh
    aparatur negara dan kaum birokrat.

Jakarta, 16 Juni 2007

Aliansi Jurnalis Independen

1. Heru Hendratmoko – Jakarta
2. Abdul Manan – Jakarta
3. Muhammad Hamzah – Banda Aceh
4. Ayi Jufridar – Lhokseumawe
5. Dedy Ardiansyah – Medan
6. Hasan Basril – Pekanbaru
7. Juwendra Asdiansyah – Lampung
8. Jajang Jamaludin - Jakarta
9. Margiyono – Jakarta
10. Mulyani Hasan – Bandung
11. Tarlen – Bandung
12. Bambang Muryanto - Yogyakarta
13. Dwidjo Utomo Maksum – Kediri
14. Abdi Purnomo – Malang
15. Mahbub Djunaidi – Jember
16. Sunudyantoro – Surabaya
17. Hamluddin – Surabaya
18. Rofiqddin – Semarang
19. Adi Nugroho – Semarang
20. Komang Erviani – Denpasar
21. Mursalin – Pontianak
22. Veraneldy – Padang
23. Fadli – Makassar
24. Cunding Levi – Jayapura
25. Rahmat Zena – Makassar
26. Amran Amier – Palu
27. Bambang Soed – Medan
28. Ruslan Sangadji – Palu
29. M. Nasir Idris – Kendari
30. M. Faried Cahyono – Jakarta
31. Andy Budiman – Jakarta
32. Luviana – Jakarta
33. Suwarjono
34. Nugroho Dewanto
35. AA Sudirman

Sunday, June 17, 2007

Maestro-maestro Seni Sumbar

OLEH BUDIMAN
Apa yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat dengan mengukuhkan beberapa orang seniman sebagai maestro-maestro seni Sumbar adalah langkah yang sangat tepat sekali. Pengukuhan sebagai maestro yang ditandai dengan pembuatan film dokumenter masing-masing dari mereka dapat dikatakan sebagai sebuah simbol. Maestro-maestro seni yang dikukuhkan adalah Arby Samah (Maestro Patung), Wakidi (Maestro Seni Rupa), Sawir Sutan Mudo (Maestro Seni Dendang Tradisi Minang), Yusaf Rahman (Maestro Musik Minang) dan Rusli Marzuki Saria (Maestro Sastra).

Saturday, June 16, 2007

Koreografer Rasmida "Menghidupkan" Hoerijah Adam

OLEH SAHRUL, dosen di STSI PADANGPANJANG
Akan selalu ada peristiwa-peristiwa kembali ke cahaya, ketika seseorang merasakan zaman keemasan dari kemenangan dan sekali lagi berdiri tegak dan tak tergoyahkan, siap untuk menghadapi bahkan hal-hal yang paling keraspun, seperti sebuah busur meregang melawan bahaya-bahaya baru. Tapi, Anda adalah dewa yang tak bertuan. (Nietzsche dalam Genealogi Moral, hal: 46)
Tulisan Nietzsche di atas memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh Hoerijah Adam semasa hidupnya. Sebagai seorang pelopor kesenian tari Minangkabau, Hoerijah Adam telah menorehkan tinta emas dan menuju pada kemenangan kreativitas. Sosoknya berdiri tegak dan tak tergoyahkan, seperti tugu estetis dalam jiwa seniman-seniman muda saat ini. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya ada hal-hal yang membuat dirinya menderita, seperti kehancuran rumah tangga sampai pada peristiwa tragis kematiannya. Begitu itu saja, Hoerijah Adam pun harus berhadapan dengan adat Minangkabau yang keras. Sosok perempuan di Minangkabau --mungkin juga pada etnis lain-- adalah sosok yang menjadi nomor dua. Perempuan adalah ibu rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Sementara untuk dunia yang lebih luas laki-laki merasa lebih berkuasa. Dari fenomena ini, Hoerijah Adam menyongsong derasnya angin kebiasaan. Dia menantang dunia yang dikuasai laki-laki dan dia menang dalam perjuangannya. Kesendirian dalam kemenangan Hoerijah Adam sama halnya dengan apa yang dikatakan Nietzsche bahwa “Anda adalah dewa --mungkin untuk Hoerijah Adam bisa disebut dewi-- yang tak bertuan”.

Thursday, June 14, 2007

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival)

17 – 26 Juni 2007
Menyambut HUT Kota Pariaman ke 5

Kerjasama Masyarakat Nagari Marunggi dengan dukungan Pemda Kota Pariaman dan Aliansi Indonesia Festival (ALIF)

A. LATAR BELAKANG

Tradisi budaya dalam masyarakat Minangkabau, baik di daerah pedalaman maupun di pesisiran, umumnya ditopang oleh tradisi sosial yang berakar kuat di dalam masyarakat pendukungnya. Dapat dikatakan tradisi budaya, termasuk tradisi kesenian merupakan bagian yang integral dari suatu masyarakat, terutama yang hidup di daerah pedesaan atau nagari.

Menurut para ahli, seni tradisi merupakan wadah pengikat solidaritas sosial dan penyampai nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat pendukungnya, di samping menjadi media hiburan. Dengan demikian fungsi seni tradisi dalam masyarakat begitu penting, dan patut untuk diberikan perhatian oleh semua pihak.

Kota Pariaman sebagai Kota Pantai, yang terletak di pantai barat Sumatera, merupakan suatu wilayah budaya yang memiliki berbagai budaya dan seni tradisi yang unik. Dari daerah ini tumbuh tradisi kesenian seperti Ulu Ambek, Indang, Gandang Tambua, yang menjadi identitas budaya Pariaman.

Berbagai seni tradisi tersebut biasanya ditampilkan dalam acara Alek Nagari, yang merupakan sebuah institusi budaya yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Alek Nagari atau dapat juga disebut dengan Festival Rakyat (Folk Festival), merupakan simpul untuk masyarakat nagari (anak nagari) untuk menjalin silaturahmi budaya secara partisipatif dan berkelanjutan. Dalam konteks kebudayaan Minangkabau Alek Nagari, selain berfungsi sebagai jembatan silaturahmi, sekaligus juga berperan sebagai ruang ekspresi untuk mempertahankan dan mengembangkan spirit budaya yang mereka miliki.

Dengan alasan ini pulalah, Alek Nagari Marunggi kembali dirancang dan direvitalisasi, sebagai bagian dari upaya menghidupkan semangat dan tradisi budaya yang ada di Kota Pariaman.

B. TUJUAN

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival) secara umum bertujuan untuk:

  1. Menampilkan berbagai keunikan budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Kota Pariaman, sebagai bagian yang penting dari budaya Indonesia.
  2. Merevitalisasi kelembagaan budaya “Alek Nagari” yang pernah tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Nagari Marunggi kususnya dan Kota Pariaman umumnya.
  3. Mengembangkan seni tradisi sebagai media pendidikan budaya dari berbagai generasi yang hidup di dalam masyarakat Pariaman, baik yang tinggal di kampung maupun di rantau.
  4. Mengembangkan jaringan budaya antar masyarakat nagari (anak nagari) di Kota Pariaman.
  5. Mendukung program Pemda Kota Pariaman dalam menggerakkan pariwisata budaya berbasiskan masyarakat.

C. PROGRAM

Kegiatan yang akan ditampilkan selama Alek Nagari Marunggi ini akan mempertunjukan berbagai kesenian anak nagari yang hidup di Kota Pariaman, antara lain:

  1. Pertunjukan silat tradisional khas Pariaman Ulu Ambek
  2. Pertunjukan Seni Bernuansa Islam, Baindang
  3. Pertunjukan musik tradisional Pariaman, Gandang Tambua
  4. Pertunjukan Silat antar perguruan Silat
  5. Pertunjukan sastra tutur Minangkabau Pasambahan
  6. Pertunjukan tradisi penyambutan Silat Galombang

D. JADWAL DAN TEMPAT

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival) dilaksanakan antara 17 Juni – 26 Juni 2007, bertempat di Desa Marunggi Kenagarian Sunua Kurai Taji, Kecamatan Pariaman Selatan. Kegiatan pertunjukan dilaksanakan siang malam sesuai dengan tradisi Alek Nagari yang tumbuh dan berkembang di Pariaman.

E. PESERTA

Peserta Alek Nagari Marunggi ini adalah berasal dari Nagari-nagari yang ada di Kota Pariaman, yang merupakan perwakilan komunitas budaya dari setiap nagari tersebut. Komunitas budaya (seni) yang terlibat dalam Alek Nagari Marunggi ini antara lain kelompok Silat Ulu Ambek, Kelompok Indang, Kelompok Silat, Kelompok Musik Gandang Tambua dan musik saluang dan dendang.

F. ORGANISASI PELAKSANA

Pensipnya Alek Nagari Marunggi dilaksanakan oleh masyarakat nagari setempat dengan dukungan Pemda Kota Pariaman, yang difasilitasi oleh Edy Utama dan Nursyam saleh. Masyarakat Nagari Marunggi pada dasarnya telah memiliki institusi Alek Nagari dan ruang budaya yang disebut sebagai Laga-Laga, namun dalam beberapa tahun belakangan ini tidak dilaksanakan lagi. Penyelenggaraan Alek Nagari Marunggi diharapkan akan dikelola secara mandiri oleh Anak Nagari Marunggi bersama pimpinan masyarakat yang ada di sana.

Kontak Person
Edy Utama
Perumahan Unand BIII/04/02
Ulu Gadut-Padang
Sumatra Barat-INDONESIA
Telp. 0751-73164 Fax 0751-35667
HP. 0811660108